Anda di halaman 1dari 6

AMFOTERISIN B

Di susun oleh
Baiq Ressa Puspita Rizma( K1A017008), Helen Nabila(K1A017022) , Husnul Ma’rifah (
K1A017024), M Taupin Yanuar (K1A017030), Sita Wulandari(K1A017046)
Farmasi B 2017

A. SUMBER/ ASAL BAHAN UTAMA ANTIBIOTIK DAN


PENELITINYA
Amphotericin B pada awalnya diisolasi dari Streptomyces nodosus pada tahun
1955. Ini adalah Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia, obat-obatan yang
paling efektif dan aman yang dibutuhkan dalam sistem kesehatan . Amfoterisin B tersedia
sebagai obat generik . Biaya di dunia berkembang dari rangkaian pengobatan pada 2010
adalah antara 162 dan 229 USD.
Amfoterisin B awalnya diekstrak dari Streptomycesnodosus , bakteri berfilamen , pada
tahun 1955, di Institut Squibb untuk Penelitian Medis dari kultur streptomycete yang tidak
terdeskripsi yang diisolasi dari tanah yang dikumpulkan di wilayah Sungai
Orinocodi Venezuela . Dua zat antijamur diisolasi dari kultur tanah, Amphotericin A dan
Amphotericin B, tetapi B memiliki aktivitas antijamur yang lebih baik.Selama beberapa
dekade itu tetap satu-satunya terapi yang efektif untuk penyakit jamur invasif sampai
pengembangan antijamur azol pada awal 1980-an.

B. PROSES FARMASETIKA
1. Peringatan:
Bila diberikan secara parenteral sering menimbulkan efek samping (perlu
pengawasan ketat dan uji dosis yang diperlukan); pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal, hitung jenis sel darah, dan pemeriksaan elektrolit plasma (hindari
penggunaan obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti kortikosteroid, kecuali
untuk mengendalikan radang); antineoplastik; pergantian tempat suntikan yang
terlalu sering (iritasi), infus yang cepat (risiko aritmia). Hati-hati pada wanita hamil
dan ibu menyusui. Reaksi anafilaksis kadang-kadang terjadi pada penggunaan
amfoterisin intravena. Dianjurkan untuk memberikan dosis percobaan sebelum
infus amfoterisin dan pasien diamati selama kira-kira 30 menit. Antipiretik dan
kortikosteroid sebagai profilaksis hanya diberikan pada pasien dengan riwayat
reaksi obat sebelumnya, sedangkan amfoterisin harus diberikan.
2. Efek Samping:
Bila diberikan secara parenteral: Anoreksia, nausea, muntah, diare, sakit perut;
demam, sakit kepala, sakit otot dan sendi; anemia; gangguan fungsi ginjal
(termasuk hipokalemia dan hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal; toksisitas
kardiovaskuler (termasuk aritmia); gangguan darah dan neurologis (kehilangan
pendengaran, diplopia, kejang, neuropati perifer); gangguan fungsi hati (hentikan
obat); ruam; reaksi anafilaksis.
3. Dosis:
Fecaloral: untuk kandidiasis intestinal, 100-200 mg tiap 6 jam. Bayi dan Anak-anak,
100 mg 4 kali sehari. Injeksi intravena: infeksi jamur sistemik, dosis percobaan 1
mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mcg/kg bb/hari, pelan-pelan
dinaikkan sampai 1 mg/kg bb/hari; maksimum 1,5 mg/kg bb/hari atau selang sehari.
4. Catatan:
Biasanya diperlukan terapi jangka panjang. Jika terputus lebih dari 7 hari, ulangi
lagi dengan dosis 250 mcg/kg bb/hari dan dinaikkan pelan-pelan. Mikosis sistemik
berat dan atau deep mycosis: terapi dapat dimulai dengan dosis harian 1,0 mg/kg bb
berat badan. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan menjadi dosis yang
direkomendasikan yaitu 3,0 - 4,0 mg/kg bb. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing pasien.
5. Aktivitas antijamur
a. Aktivitas antijamur: Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan
sedang matang. Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5. Menghambat
aktivitas Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, Coccidioides
immitis, dan beberapa spesies Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula,
Blastomyces dermatitis, Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies
Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies
Trychophyton.
b. Regimen dosis: Amfoterisin B konvensional atau Amfoterisin B deoksikolat
untuk injeksi dilarutkan dalam dekstrosa 5% dengan dosis kecil pada
permulaan, lalu dosis bertahap sampai pada 0,5-0,7mg/kg BB. Kemudian pada
sediaan yang telah ada dipasaran berupa formulasi baru yaitu Amfoterisin B
liposomal atau Amfoterisin formulasi lipid. Dosisnya sebanyak 3-4mg/kgBB
/hari yang diberikan dalam bentuk infus dalam 3-4 jam.
c. Indikasi: Sebagai antibiotika spektrum luas, Amfoterisin B bersifat fungisidal
dapat digunakan dalam hampir semua infeksi jamur.Obat ini digunakan untuk
mengobati infeksi jamur berupa koksidioidomikosis,parakoksidioidomikosis,
aspergilosis, kromoblastomikosis, dan kandidiosis.
d. Kontraindikasi: 1) Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif, 2) Gangguan
fungsi ginjal 3) Ibu menyusui 4) Pada pasien yang mengonsumsi obat
antineoplastik.
e. Efek samping: 1) Deman dan menggigil: Keadaan ini paling sering muncul saat
pemberian pertama intravena, tapi biasanya mereda setelah pemberian ulang. 2)
gangguan ginjal: Pasien dapat memperlihatkan penurunan kecepatan
penyaringan glomerulus dan fungsi tubulus ginjal. Bersihan kreatinin dapat
menurun dan kadar kalium serta magnesium menghilang. 3) Hipotensi:
Penurunan tekanan darah seperti syok yang disertai hipokalemiadapat terjadi
sehingga membutuhkan suplementasi kalium.4) Anemia: Anemia normositik
dan nomokromik akibat penekanan produksi eritrosit yang reversibel dapat
terjadi.5) Efek neurologik: Pemberian secara intratekal dapat memicu masalah
neurologik yang serius. 6)Tromboflebitis
f. Interaksi Obat: 1) Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin,
pentamidine, Streptomycin, Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan
ginjal 2) Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone,
Prednisolone : Meningkatkan risiko hipokalemia 3) Digoxin : ampulhoterisin B
meningkatkan risiko keracunan digoxin 4) Fluconazole : melawan kerja
ampulhoterisin B.
g. Mekanisme kerja obat: Zat Polyen mengikat ergosterol dalam membran sel
jamur dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari
sel jamur merembas keluar. Amfoterisin memiliki toksisitas yang selektif,
karena dalam sel-sel manusia sterol utamanya adalah kolesterol dan bukannya
ergosterol. Penggunaannya semakin meluas bagi penderita infeksi jamur
sistemis dengan daya tahan tubuh yang lemah.
h. Inkompatibilitas: Disarankan untuk tidak mencampurkan amfoterisin B dengan
obat lain. Kebanyakan inkompatibilitas disebabkan adanya pengendapan dari
amfoterisin B yang disebabkan perubahan pH atau dikarenakan kerusakan
suspense koloidalnya.
Pengendapan dapat terjadi jika amfoterisin B ditambahkan pada larutan sodium
klorida 0,9% atau larutan elektrolit.
i. Bentuk dan kekuatan sediaan di pasaran:1) Amfoterisin B untuk injeksi tersedia
dalam bentuk vial berisi 50 mg bubuk liofilik untuk membuat Amfoterisin
deoksikolat. 2) Amfoterisin B formulasi dispersi koloid (ABCD), 3)
Amfoterisin B formula vesikel unilamelar (Ambisome), dan 4) Amfoterisin B
kompleks lipid (ABLC).

Sumber : Pio Nas (Pusat Informasi Obat Nasional) Badan Pengawasan Obat Dan
Makanan

C. UJI KLINIS YANG DILAKUKAN DAN ESTIMASI BIAYA


Berdasarkan pengujian Amfoterisin B hal hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Pasien Kurang dari 18 tahun
2. Wanita hamil atau menyusui
3. Adanya riwayat reaksi hipersensitivitas

keselamatan pasien pengujian Amfoterisin B :


1. Test kehamilan pada wanita
2. Evaluasi laboratorium pada fungsi ginjal, hati, dan hematopoietik
3. Setiap kualitas pasien harus menerima dosis yang sama amfoterisin B injeksi
perawatan tetap dalam waktu 24 jam. Di kecualikan pada pengujian pasien dengan
penyesuaian dosis selama proses pengujian berlangsung. Untuk hasil aktivitas
pengujian , pasien mungkin menerima baik formulasi generik (pengobatan A) atau
referensi formulasi (pengobatan B) selama 5 hari (hari 1-5), dan kemudian beralih
ke yang lain perawatan selama 5 hari (hari 6-10).
4. Pasien akan menerima sendiri amfoterisin B dosis dalam jumlah besar selama
pengujian. Setelah pengujian selesai, melanjutkan pasien menerima liposomal
amfoterisin B injeksi dalam dosis jumlah besar.
5. Semua subyek penelitian uji klinis Amfoterisin B dapat diberi standar tidak tinggi
lemak setiap hari selama penelitian yang tersedia tidak ada gangguan perawatan pada
pasien . Selain itu, memulai pengobatan dua jam setelah standar (tak-tinggi lemak) yaitu
sarapan setiap hari selama penelitian . Selain itu, menghindari bersamaan terapi
intravena lemak emulsi, seperti jumlah gizi orang tua (TPN), karena yang dapat
berubah farmakokinetik (pk) profil dari amfoterisin B liposomal injeksi.

Terapi antifungal sistemik amfoterisin B (AmB) merupakan pilihan utama untuk infeksi
ini. Pasien diberikan amfoterisin B selama 14 hari dan direncanakan akan dilakukan
debridement setelah pemberian amfoterisin B selesai karena diharapkan dapat
meningkatakan keberhasilan debridement. Kombinasi pembedahan (debridement), terapi
antifungal sistemik, dan koreksi terhadap faktor yang menjadi predisposisi dapat
memperbaiki prognosis penyakit ini dan harus dilakukan secepatnya.5,6,7 Walaupun
dengan tatalaksana adekuat namun mortalitas infeksi ini tetap tinggi. Dosis amfoterisin B
yang diberikan adalah 5-10 mg/Kgbb per hari.Kelemahan terapi ini harus diberikan secara
parenteral dan potensi nefrotoksik. Berdasarkan tingkat keparahan dan outcomeyang buruk
dianjurkan memberikan amfoterisin B dosis 5-10 mg/KgBB per hari meskipun risiko
nefrotoksisitas meningkat. Amfoterisin B sebagai terapi inisial pada mukormikosis pada
uji klinis AMBIZIGO mendapatkan rerata respons pada minggu ke 12. Pada pasien yang
intoleran terhadap dosis AmB dosis dapat direduksi.Posaconazole sebagai salvage
treatmentterbukti efektif pada kasus rekrakter dan pada pasien intoleran dosis standard.
Studi tersebut juga kemudian mengganti dengan Posaconazole 200 mg empat kali sehari
pada saat kondisi penyakit telah stabil. Pada penyakit yang ekstensif dan progresi penyakit
yang cepat dan kondisi umum yang buruk dianjurkan mengkombinasikan AmB dan
Posaconazole.Belum ada standar durasi pemberian obat yang optimal dan dianjurkan tetap
melanjutkan pemberian obat sampai didapatkan resolusi kerusakan pada jaringan dengan
CT/MRI.
Sumber :
Marpaung.,dkk.2018. Mucor mikosis Rino-orbita-cerebra pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 1 : Sebuah Laporan Kasus. Jurnal penyakit dalam Indonesia. 5 (1). 44.
Nahata, M., C.1986. Clinical Use of Amphotericin B and Flucytosine in Pediatric Systemic
Fungal Infection. Journal of Pharmacy Technology
D. MEKANISME KERJA ANTIBIOTIKA, SPEKTRUM KERJA DAN
MEKANISME RESISTENSI SECARA FENOTIP DAN GENOTIP
1. Mekanisme Kerja Amfoterisisn B
Mekanisme amfoterisisn B, yang mana berhubungan dengan jenis lain
polyenes, didasarkan pada pengikatan moiety hidrofobik dari molekul AmB di
moiety ergosterol pada membrane sel jamur, memproduksi suatu agregat yang
membentuk chanel transmembrane. Kerusakan ini menyebabkan depolarisasi
membrane dan meningkatkan permeabilitas membrane terhadap proton dan katon
monovalent. Hidrogern Intermolekular membentuk interaksi pada hidroksil,
carboksil, dan asam amino menstabilkan bentuk pembukaan dari chanal yang
terbentuk, merusak aktivitas dan membiarkan isi sitoplasma keluar, menyebabkan
kematian sel.AmB juga memiliki kemampuan untuk mengikat kolesterol yang ada
pada dinding sel mamalia, yang berperan besar pada perusakan dari kemampuan
toksik.
Sumber :
Laborin, Rafael Laniado, dan Vargas, Noemi Cabrales.2009.Amfotericin B : Side
Effect and Toxicity. REvista Iberoamericana de Micrologia. Vo. 26 (4):
223-227.

2. Spektrum Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan salah satu antifungi yang sangat potensial,
menampilkan aktifitas dalam perlawanan terhadap bentuk yeast dan patogenesisi
filamen jamur.
Amfoterisin B menunjukkan aktivitas melawan Cryptococcus spp dan
kebanyakan Candida spp, kecuali pada Candida lusitaniae. AmB juga menunjukkan
aktivitas melawan Aspergilus spp, dengan pengecualian pada Aspergillus terreus, yang
biasanya resistance. Terlabih lagi, formulasi Amfoterisisn B aktif melawan jamur yang
dimorfic, termasuk Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermaditis, Coccidiodes
immitis, dan Paracoccidiodes spp. Amfoterisin B aktif melawan banyak organisme
pathogen dalam grup Mukorales. Meski, Scedosporium spp dan Fusarium spp,
biasanya memiliki MIC ( Minimal Inhibitory concentrations) yang tinggi.
Sumber : Nett, Janiel E. dan Andes, David R. Antifungal Agens: Spectrum of
Activity, Pharmacology and Clinical Indication. (Article in Press).
Sumber :
Ellis, David.2002. Amfotericin B: Spectrum and Resistance. Journal of Antimicrobal
Chemotherapy. 49,Suppl.SI,7-10

3. Resistensi Amfoterisin B
Resistensi terhadap Amfoterisin B terbilang jarang dan biasanya disebabkan
oleh penurunan jumlah ergosterol dalam plasma lemma atau perubahan target lipid,
yang menyebabkan penurunan kemambuan pengikatan Amfoterisin B. Dan lagi,
beberapa sel jamur mengalami mutasi dalam mekanisme biosintesis ergosterol, yang
mengakibatkan pembentukan ergosterol-like coumpound lebih banyak dari pada
pembentukan ergosterol, yang memiliki daya tarik-menarik yang kurang terhadap
amfoterisin B. Beberapa jamur seperti C. Albicans, C.tropicals,C.parapsilosis dan
C.lustaniae dilaporkan telah resisten terhadap AmB. Dilaporkan juga beberapa jamur
seperti T. beigeli dan Malassezia furfur telah resisten terhadap AmB. S. apiospernum,
dan S. polificans, dan beberapa strain dari S.schenkii, menunjukkan aktivitas resisten
terhadap amfoterisin B. Meskipun, kebanyakn gejala dari spresies-spesies tersebut
jarang dilihat.
Sumber :
Ellis, David.2002. Amfotericin B: Spectrum and Resistance. Journal of Antimicrobal
Chemotherapy. 49,Suppl.SI,7-10

Anda mungkin juga menyukai