Anda di halaman 1dari 11

Penerbitan Lembaga dan Perhimpunan Ilmiah Dalam

Negeri dan Luar Negeri

Oleh:

Ianatul Khafidlah/ 17030234038

Kimia B 2017

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


SURABAYA
2018
1. Penerbitan Lembaga dan Perhimpunan Ilmiah Dalam Negeri
1) Sebutkan salah satu laporan penelitian, meliputi:
a. Topik/ tema/ judul: Peternakan Itik di Kabupaten Brebes/ Peternakan/
Profil Usaha Peternakan Itik Di Kabupaten Brebes (The Profile Of Duck
Business In Brebes Regency).
b. Nama penulis: M. Handayani, A. Setiadi, S. Gayatri dan H. Setiyawan
c. Nama sumber, jilid, nomor, tahun, halaman, Dep./ balai/ lembaga:
Journal of Animal Agricultural Socio-economics Universitas
Diponegoro, Volume 3, No. 1, 2007, 20-25, Laboratorium Sosial
Ekonomi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro
d. Ikhtisar karangan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil peternakan itik
di Kabupaten Brebes. Metode penelitian menggunakan metode survey.
Data primer penelitian berasal dari interview langsung dengan
responden. Responden adalah anggota kelompok tani ternak (KTT)
dipilih secara purposive random sampling. Analisis data secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata peternak sudah
berpengalaman sebagai peternak itik selama 4,85 tahun, strain itik lokal
berasal dari Tegal dan Cirebon. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa penyakit ND dan cholera adalah penyakit yang sering
menjangkiti peternakan itik di Kabupaten Brebes.
Berdasarkan penelitian harga jual telur itik tidak stabil,
pengolahan telur itik menjadi produk yang mempunyai nilai jual tinggi
masih sangat terbatas biasanya hanya diolah menjadi telur asin,
kesulitan bahan baku pakan (bekatul, ikan runcah, loyang) terutama
pada saat musim penghujan, harga pakan yang relatif tinggi dengan
kontinyuitas yang tidak menentu, daya dukung lembaga penunjang
(Bank, koperasi) dalam memberikan modal relatif belum baik, serta
agribinis pembuatan pakan alternatif pengganti ikan runcah belum ada.
Harga produk telur itik saat ini dijual antara Rp 550,- sampai Rp 610,-
dan rata-rata pendapatan peternak sebulan sebesar Rp 568.604,-.
2) Sebutkan hasil terpenting dari suatu daerah. Sebutkan nama daerah tersebut,
serta tuliskan pula nama sumber, jilid ke berapa, nomor, tahun, halaman berapa!
Pengembangan ternak itik akan menjadi salah satu cara untuk meningkatkan
pendapatan penduduk yang ada di pedesaan. Kabupaten Brebes merupakan
salah satu sentra produksi telur itik di Jawa Tengah.
 Gambaran umum Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes secara geografis memiliki kondisi yang sesuai
untuk pengembangan budidaya ternak itik. Selain itu memiliki
dukungan dari sub sektor pertanian, kependudukan dan pendidikan yang
bermanfaat bagi ternak itik. Kabupaten Brebes merupakan salah satu
dari 35 daerah otonom di Propinsi Jateng. Terletak di sepanjang pantai
utara Laut Jawa, memanjang ke selatan berbatasan dengan wilayah Kab.
Banyumas dan Kab. Tegal, sebelah Timur berbatasan dengan Kota
Tegal dan sebelah Barat berbatasan dengan Kota Cirebon Jawa Barat
(BPS, 2004). Faktor lain yang turut mendukung bagi pengembangan
peternakan Itik di Kabupaten Brebes, adalah adanya fakta bahwa
sebagian besar (84,62 %) masyarakat peternak itik bermata pencaharian
utama sebagai petani. Pekerjaan memelihara ternak dan pertanian,
merupakan kegiatan yang bersifat saling terkait, dan saling menunjang.
Dari pertanian memberikan kontribusi berupa sumber bahan pakan yang
berasal dari limbah pertanian, sedangkan dari peternakan itik
memberikan kontribusi bagi kesuburan tanah dan tanaman, dari kompos
yang berasal dari campuran feses dan sisa pakan.
 Responden menurut pengalaman

Ditinjau dari segi Pengalaman, secara keseluruhan dapat dilihat pada


Tabel di atas. Tabel tersebut menunjukkan pengalaman rata-rata anggota
KTT ternak itik di Kabupaten Brebes berkisar 4 -7 tahun dengan rataan
sekitar 4.85 tahun. Pengalaman beternak itik dimulai secara turun
temurun. Bertambahnya pengalaman disinyalir menyebabkan
peningkatan pengetahuan peternak yang dimungkinkan pada
peningkatan jumlah pendapatan.
 Strain ternak itik yang dipelihara

Pada tabel di atas menunjukkan strain yang dipelihara oleh peternak


anggota KTT hampir semuanya memelihara ternak itik dengan strain
lokal yang berasal dari Cirebon dan Tegal. Umumnya Peternak tersebut
membeli dan hanya sebagian kecil yang membibitkan sendiri. Ditinjau
dari Hen Duck Average (produktivitas) starin lokal sudah cukup baik
dikarenakan nilainya yang lebih besar dari 50 %.
 Jumlah ternak yang dipelihara

Pada tabel di atas menunjukkan rata-rata jumlah ternak yang dipelihara


oleh anggota KTT sumber pangan paling besar apabila dibandingkan
dengan 2 KTT yang lain. Hasil penelitian menunjukkan jumlah ternak
itik yang dipelihara oleh KTT Sumber Pangan sebesar 662 ekor,
sedangkan anggota KTT Maju Jaya sebesar 586 ekor dan KTT Amalia
sebesar 518 ekor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarso dkk
(2004) menunjukkan ada korelasi positif antara jumlah kepemilikan
ternak dengan jumlah pendapatan. Hasil ini juga didukung oleh
penelitian Oxtovianto (2005) yang menyatakan semakin besar jumlah
ternak yang dipelihara dengan asumsi faktor yang lain tetap akan
menyebabkan jumlah pendapatan yang diperoleh anggota KTT.
 Penyakit yang menyerang

Intensitas serangan penyakit pada umumnya dalam kisaran


ringan (<10 % populasi). Penanggulangan hama dan penyakit itik
utamanya masih bertumpu pada cara kimiawi yaitu menggunakan obat-
obatan. Cara penanggulangan ND (tetelo) dan kolera adalah dengan
vaksin.
 Pemasaran telur

Pada tabel di atas, telur itik yang dihasilkan di Kabupaten Brebes


rata-rata diolah sendiri menjadi telur asin, dan dijual pada pedagang
pengumpul. Permasalahan yang sangat sering terjadi adalah harga telur
itik yang berfluktuasi dan tidak ada kestabilan harga. Hasil penelitian
yang dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2005 menunjukkan harga telur
itik yang ada di Kabupaten Brebes mencapai titik terendah yaitu berkisar
Rp.550,- -Rp.610,-. Pengembangan komoditas dengan sistem Agribisnis
yang perlu diperhatikan pertama kali adalah bagaimana menjamin pasar
hasil usaha.
 Harga telur
Harga telur berfluktuasi antara Rp 550 – Rp 610. hasil penelitian
yang dilakukan pada bulan Agustus 2005 menunjukkan harga telur ada
pada level terendah yaitu pada kisaran Rp 550.
 Pendapatan usaha telur

Tabel tersebut menunjukkan pendapatan rata-rata peternak


anggota KTT (Maju Jaya, Sumber Pangan dan Amalia) Rp 568.604.
Hasil Penelitian menunjukkan Anggota KTT Sumber pangan
mempunyai pendapatan yang paling tinggi yaitu Rp 692.807, disusul
KTT Maju Jaya Rp 564.087 dan KTT Amalia Rp 448.919. Perbedaan
jumlah pendapatan dikarenakan jumlah skala kepemilikan itik dan
penggunaan pakan ikan fillet duri dan ikan runcah utuh. Penggunaan
ikan fillet duri menunjukkan biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan penggunaan ikan runcah utuh.
3) Buat kurva produksi dari data pada soal no 2, selama x tahun!

Populasi Ternak Itik di Kabupaten Brebes dan


Jawa Tengah
4.500.000
4.000.000
3.500.000
3.000.000
2.500.000
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
0
1999 2000 2001 2002 2003 Trend

Brebes Jawa Tengah

Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah (2004)

Grafik Harga Telur Bulan April – Agustus 2005


2. Penerbitan Lembaga dan Perhimpunan Ilmiah Luar Negeri
1) Sebutkan salah satu laporan penelitian, meliputi:
a. Topik/ tema/ judul: Sustainability of smallholder tea production in
developing countries/ Development and Sustainability in Africa/
Sustainability of smallholder tea production in developing countries:
Learning experiences from farmer field schools in Kenya.
b. Nama penulis: D.D. Onduru, A. De Jager , S. Hiller , R. Van den Bosch
c. Nama sumber, jilid, nomor, tahun, halaman, Dep./ balai/ lembaga:
International Journal of Development and Sustainability, part 1, volume
1, number 3, 2012, Pages 714-742
d. Ikhtisar karangan:
A study to determine the impacts of farmers field schools (FFS)
on smallholders’ adoption of good agricultural practices in tea and to
assess sustainability of smallholder tea production was conducted in the
highlands of Kenya. Input-output data on tea management and on
sustainability indicators (score 0-10) were collected from a sample of
120 FFS participants at the beginning of the study and from 60 randomly
selected FFS participants and a comparison group of 60 non-FFS
participants at the end of the study, 18 months later. The study showed
that the smallholder tea systems are moving towards social sustainability
and economic returns were positive. Sustainability indicator scores, for
FFS members, increased by 4% from the base period. The FFS
participants also attained a significantly higher level of farm
sustainability, knowledge gains on good agricultural practices (GAP)
and higher yields and farm and tea income than their non-FFS
counterparts. These findings indicate that FFS methodology had a
positive contribution to enhancing farmer learning and adoption of good
agricultural practices in tea and improved farmers’ livelihoods.

2) Sebutkan hasil terpenting dari suatu daerah. Sebutkan nama daerah tersebut,
serta tuliskan pula nama sumber, jilid ke berapa, nomor, tahun, halaman berapa!
This tea practice aims to assess the sustainability of farmers' tea production
carried out in the highlands of Kenya.
 Tea is an important commodity in the world
Tea is the most popular and cheapest beverage next to water and
is an important commodity in terms of jobs and export earnings for a
number of tropical developing countries. While tea is produced in more
than 35 countries, only a handful-China, India, Kenya and Sri Lanka are
responsible for almost three-quarters of production and, indeed, more
than half of the world’s tea is produced in China and India alone (Sanne
van der Wal, 2008). At global scale, tea is majorly produced in large
plantations, but smallholder production is important in countries such as
Kenya and Srilanka. Kenya is the third largest producer of tea
(displacing Sri Lanka), after India and China and largest exporter of
black tea in the World with smallholder production accounting for about
66% of total tea production (378 million kilograms in 2011), (Kariuki,
2012). Tea is the leading exchange earner (earned US$ 1.3 billion in
foreign exchange in 2011) and contributes about 4% of Gross Domestic
Product (GDP). The tea sectors also offers employment all-year-round
to about 639,521 growers in the rural areas in addition to proving
employment in other parts of the tea value chain. As a labour intensive
industry, tea sector supports livelihoods of more than three million
persons directly and indirectly (about 10% of Kenya’s total population)
(Tea Board of Kenya, 2008).
 Study site

The study was conducted in four Counties in the highlands of


Kenya, namely Nyamira and Kericho (West of the Rift Valley) and
Muranga and Embu (East of the Rift Valley). The socio-economic
characteristics of the districts are presented in Table 1. In terms of
population density the districts are in the following decreasing order of
magnitude Nyamira > Muranga > Kericho > Embu. High poverty levels
are reported in the study districts west of the Rift Valley (Nyamira and
Kericho) than those in the East (Muranga and Embu) of the Rift valley.
The farming system in the study sites is characterized by
smallholders raising both crops and livestock. However, tea is the
dominant cash crop. With over 562,000 smallholder tea growers in
Kenya and land under tea of 115, 023 ha (KNBS, 2008; Kagira et al.,
2012), the average land holdings in the smallholder sector is estimated
to be 0.205 ha. According to Kavoi et al. (2002), the minimum
economic tea farm unit for smallholder farmers is estimated to be 0.1 ha
(0.25 acres).
 General approach and farmer field schools
The study was carried out using a multi-institutional and multi-
disciplinary approach with farmer field school methodology as the main
framework for farmer learning and implementation of activities. The
various institutions (extension, research and development institutions)
participated in FFS process, bringing-in diverse expertise (technical and
socio-economic) to increase farmer knowledge and skills. The FFS
learning focused on basic agro-ecological processes through field
observations, season-long field studies (trials/experimentation) and
facilitated plenary discussion, experience sharing and training sessions.
Farmer Field Schools were first initiated in the FAO assisted Indonesian
national Integrated Pest Management (IPM) programme in Central Java
(1989) in rice growing areas to address a major threat to food security
resulting from dramatic yield losses caused by the brown planthopper
(Pontius et al., 2002).
 Formation of farmer field schools
Four tea processing factories with registered smallholders
delivering tea to them were selected to participate at the beginning of
the study, one in each of the study County. A tea factory has several tea
buying centres (collection centres) under its designated geographical
coverage (catchment). In each tea factory catchment, a representative
tea buying centre with a number of smallholder tea growers delivering
tea to the buying centre was selected for the study. One FFS was formed
in each of the selected tea buying centre catchment and therefore, one
FFs per factory catchment. This resulted in formation of four FFS (30
members per FFS). Meetings were held in each of the selected factories
with prospective participants (tea growers) prior to formation of FFS.
This was to gain rapport and collaboration and to enlist volunteer
farmers into the FFS learning process. Volunteer farmers formed the
respective FFS in each factory catchment at the start of the study.
3) Buat kurva produksi dari data pada soal no 2, selama x tahun!
 Social sustainability
Social sustainability focuses on the personal assets like
education, skills, experience, consumption, income and satisfaction in
basic needs, labour and employment (social and human capital) and is
strongly linked to institutional aspects which aims at interpersonal
processes like democracy and participation, ethics and equity (inter-and
intragenerational equity, gender equity, ethical trade/practices), security
and independent and pluralistic sources of information (Omann and
Spangenberg, 2002). The study used education level, age of household
heads and family labour self reliance to assess social sustainability of
smallholder tea production systems (chart 1).

Average parameter values for indicators of


social sustainability (standard deviation in
parenthesis)
200

100

0
0 2 4 6 8 10
-100

-200

Education of Age of
 Economic sustainability
Economic sustainability deals with saving the economic basis of
livelihood, safeguarding and improving employment in agriculture, food
security and food quality and contributing to the productivity of the whole
economy (Lütteken and Hagedorn, 1999). In the study, gross margins and net
cash flows were selected as indicators for assessing the economic dimension
of sustainability of tea enterprise (Chart 2).

Average parameter values for indicators of


economic sustainability (standard deviation in
parenthesis)
1500

1000

500

0
0 2 4 6 8 10 12

Gross margins Gross margins


Net cash flow (Ksh ha-1yr-1) x

Anda mungkin juga menyukai