PENDAHULUAN
1
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi diabetes insipidus?
3. Bagaimana klasifikasi diabetes insipidus?
4. Apa saja etiologi diabetes insipidus?
5. Apa saja tanda dan gejala diabetes insipidus?
6. Bagaimana patofisiologi pada diabetes insipidus?
7. Bagaimana pathway diabetes insipidus?
8. Apa saja komplikasi diabetes insipidus?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada penyakit diabetes insipidus?
10. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita diabetes insipidus?
11. Bagaimana asuhan keperawatan keperawatan diabetes insipidus?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian diabetes insipidus.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi diabetes insipidus.
3. Mengetahui klasifikasi diabetes insipidus.
4. Mengetahui etiologi diabetes insipidus.
5. Mengetahui tanda dan gejala diabetes insipidus.
6. Mengetahui patofisiologi pada diabetes insipidus.
7. Mengetahui pathway diabetes insipidus.
8. Mengetahui komplikasi diabetes insipidus.
9. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada penyakit diabetes insipidus.
10. Mengetahui penatalaksanaan pada penderita diabetes insipidus.
11. Mengetahui asuhan keperawatan keperawatan diabetes insipidus.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan poliuri.
Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh hipotalamus atau
hipofisis (sentral) dan gangguan respons terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik).
(Kusmana, Felix. 2016)
Diabetes insipidus merupakan gangguan metabolisme air yang disebabkan oleh
defisiensi vasopresin (juga dikenal dengan hormon ADH) yang bersikulasi atau oleh
resistensi ginjal terhadap hormon ini ( William dan Wilkins, 2011).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit ini
diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme
neurohypophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam
mengkonversi air. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus yang
idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin.
(Khaidir Muhaj, 2009)
Kelenjar hipofisis adalah suatu kelenjar endokrin yang terletak di dasar tengkorak (sela
tursika) fossa pituitaria os. Sfenoid. Besarnya kira-kira 10 x 13 x 6 mm dan beratnya
sekitar 0,5 gram. Kelenjar ini memegang peranan penting dalam menyekresi hormon yang
lain, dan memengaruhi pekerjaan kelenjar yang lain.
Pada hipofisis diatur agar setiap kelenjar endokrin, sendiri-sendiri atau bersama-sama,
dapat melaksanakan fungsi dengan baik dan terkoordinasi. Fungsi hipofisis dapat diatur
oleh susunan saraf pusat melalui hipotalamus yang dilakukan oleh sejumlah hormon yang
dihasilkan hipotalamus. Akibat rangsangan susunan saraf pusat, hormon-hormon yang
mengatur fungsi hipofise disebut hipophysiotropic hormone dihasilkan oleh sel-sel
neorosekretori yang terdapat dalam hipotalamus.
Kelenjar hipofisis mempunyai tiga lobus, yaitu lobus anterior, lobus intermedia, dan lobus
posterior. Lobus posterior mendapat persarafan dari nukleus supraoptik dan paraventrikular
3
di hipotalamus. Lobus anterior mendapat suplai darah dari pembuluh darah hipofisis portal.
Secara embrionik ketiga lobus ini berasal dari jaringan yang berbeda.
Hipofisis posterior
Lobus posterior kelenjar hipofise (neurohipofisis) berasal dari evaginasi atau penonjolan
dasar ventrikel otak ketiga, menghasilkan dua macam hormon:
a. Vasopresin atau arginen vasopresin (APV), hormon anti-diuretik (ADH) yang bekerja
melalui reseptor-reseptor tubulus distal ginjal, menghemat air, mengonsentrasi urine
dengan menambah aliran osmotik dari lumina-lumina ke intestinum medular yang
membuat kontraksi otot polos. Dengan demikian ADH memelihara konstannya
osmolaritas dan volume cairan dalam tubuh. Pengaturan sekresi:
Perubahan tekanan osmotik efek plasma (osmoreseptor)
Perubahan volume cairan ekstrasel (stres reseptor)
Peningkatan osmolalitas plasma dan penurunan volume plasma merangsang sekresi
vasopresin.
Penurunan osmolalitas dan peningkatan volume plasma menghambat sekresi
vasopresin.
Osmoreseptor terdapat di hipotalamus dan stres reseptor sistem kardiovaskular
bertekanan rendah dan tinggi.
Rangsangan angiotensin II, adrenalin, kortisol, estrogen, dan progesteron susunan
saraf pusat dan peningkatan suhu tubuh.
b. Oksitosin diproduksi oleh anterior hipotalamik nuklei, sel ganglionik dari supraoptik
nuklei, dan sel paraventrikular. Efek oksitoasin:
4
Kontraksi sel mioepitel kelenjar mamae (galaktokinetik), mengeluarkan air susu.
Rangsangan pada papila mamae dari isapan bayi sekresi oksitosin menimbulkan
ejeksi air susu.
Kontraksi uterus membantu pengeluaran fetus dan plasenta pada waktu persalinan,
rangsangan serviks dari vagina menyekresi oksitosin yang membantu dalam partus.
Vasopresin dan oksitosin disintesis pada nukleus paraventrikel dan supraoptik
hipotalamus, bersama protein mengikat neurofusin, diangkut melalui akson serat traktus
hipotalamus, dan disimpan di ujung-ujung serat neurohipofisis. Perangsangan tersebut
akan menimbulkan eksositosis hormon dari ujung serat saraf ke pembuluh kapiler di
sekitarnya.
Sumber : ululalbab31n.logspot.com
5
mereabsorpsi sebagian besar air yang disimpan dalam tubuh. Salah satu rangsangan
yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan volume darah.
b. Hormon oksitosin dibentuk dalam nukleus paraventrikel, merupakan salah satu zat
yang dapat menimbulkan kontraksi uterus dalam keadaan hamil, rangsangan sangat
kuat pada akhir kehamilan. Efek oksitosin selama persalinan meningkat pada stadium
akhir sehingga menimbulkan sinyal saraf melewati hipotalamus membantu proses
persalinan.
Di samping itu membentuk laktasi sehingga timbulnya pengiriman air susu dari alveoli ke
duktus sehingga diisap bayi.
Pengaturan final urine diatur oleh 3 jenis hormon. Osmoreseptor pada hipotalamus sangat
sensitif terhadap osmolaritas serum. Selama dehidrasi osmolaritas serum meningkat.
Osmoreseptor pada hipotalamus merangsang sekresi, meningkatkan permeabilitas sel
tubulus koligentes terhadap air ADH.
Oleh karena penting untuk mempertahankan suatu keseimbangan yang tepat antara
reabsorpsi tubulus dan filtrasi glomerulus, mekanisme saraf, faktor hormonal, dan kontrol
setempat meregulasi reabsorpsi dari beberapa zat terlarut dapat diatur secara bebas
terpisah dari yang lain terutama melalui mekanisme pengontrolan hormonal.
Sel kapiler paru selanjutnya mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin
II mengonsentrasi otot polos sekeliling arteriola. Hal ini meningkatkan tekanan darah,
selanjutnya meningkatkan laju filtrasi glomerulus (LFG). Angiotensin II juga mendorong
sekresi aldosteron, hormon ketiga yang memengaruhi.
6
Korteks adrenal jika dirangsang oleh angiotensin II menyekresi aldosteron dengan
meningkatkan resorpsi air di ginjal, meningkatkan tekanan darah dan menurunkan
osmolitas serum. Aldosteron juga berespons terhadap kadar abnormal natrium darah.
Permeabilitas duktus koligentes bagian medula di kontrol oleh ADH, bersifat permeabel
terhadap ureum dan membantu meningkatkan osmolitas daerah ginjal untuk membentuk
urine yang pekat.
2.3 Klasifikasi
Ada tiga bentuk diabetes insipidus, yaitu: neurogenik, nefrogenik, dan psikogenik.
1. Diabetes insipidus neurogenik.
Diabetes insipidus neurogenik atau sentral merupakan respons ADH yang tidak
adekuat terhadap osmolaritas plasma dan terjadi ketika terdapat lesi organik pada
hipotalamus, pedikulus infundibularis, atau hipofisis posterior yang secara parsial
atau total menyekat sintesis, transportasi, atau pelepasan ADH.
2. Diabetes insipidus nefrogenik.
Diabetes inispidus nefrogenik disebabkan oleh respons renal yang tidak adekuat
terhadap ADH. Permeabilitas duktus pengumpulan terhadap air sebagai respons
terhadap ADH tidak meningkat. Diabetes insipidus nefrogenik umumnya
berhubungan dengan gangguan obat-obatan yang merusak tubulus renal atau yang
menghambat pembentukan cAMP (cyclic adenosine monophosphate) dalam tubulus
tersebut sehingga aktivasi second messenger tidak terjadi.
3. Diabetes insipidus psikogenik.
Diabetes insipidus psikogenik disebabkan asupan cairan yang ekstrem dan mungkin
bersifat idiopatik atau berhubungan dengan psikosis ataupun sarkoidosis. Polidipsia
dan poliuria yang diakibatkan akan mengeluarkan ADH lebih cepat dari pada ADH
yang dapat digantikan.
2.4 Etiologi
Diabetes insipidus dapat terjadi sekunder akibat trauma kepala, tumor otak, atau ablasi
pembedahan atau iradiasi kelenjar hipofisis. Dapat pula terjadi akibat infeksi sistem
saraf pusat (meningitis, ensefalitis, limfoma payudara atau paru). Penyebab lain diabetes
insipidus yaitu kegagalan tubulus renalis dalam merespons ADH; bentuk nefrogenik ini
7
dapat terkait dengan hipokalemia, hiperkalsemia dan obat-obatan (seperti litium,
demeklosiklin/declomycin). (Brunner & Suddarth: 2009)
Jennifer P. Kowalak, dkk menyebutkan dalam buku alih bahasa yang berjudul, “Buku
Ajar Patofisiologi” (2011) bahwa penyebab diabetes insipidus meliputi:
1. Gangguan yang didapat (akuisita), familial, idiopatik, neurogenik, atau
nefrogenik.
2. Berkaitan dengan stroke, tumor hipotalamus atau hipofisis, dan trauma atau
pembedahan kranial (diabetes inispidus neurogenik)
3. Galur terkait-X resesif atau gagal ginjal stadium terminal (end-stage renal failure)
(diabetes insipidus nefrogenik yang lebih jarang terjadi)
4. Obat-obat tertentu, seperti litium (Duralith), fenitoin (Dilantin), atau alkohol
(diabetes insipidus transien).
8
5. Demam
6. Perubahan tingkat kesadaran
7. Hipotensi
8. Takikardia
9. Sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat gangguan elektrolit dan dehidrasi
10. Rasa penuh pada abdomen, anoreksia, dan penurunan berat badan akibat konsumsi
cairan yang hampir terus-menerus.
2.6 Patofisiologi
Diabetes insipidus berhubungan dengan insufisiensi ADH yang menimbulkan poliuria
dan polidipsia. Ada tiga bentuk daibetes insipidus, yaitu: neurogenik, nefrogenik, dan
psikogenik
Diabetes insipidus neurogenik atau sentral merupakan respons ADH yang tidak adekuat
terhadap osmolaritas plasma dan terjadi ketika terdapat lesi organik pada hipotalamus,
pedikulus infundibularis, atau hipofisis posterior yang secara parsial atau total menyekat
sintesis, transportasi atau pelepasan ADH. Ada banyak lesi organik yang dapat
menyebabkan diabetes insipidus dan lesi tersebut meliputi tumor otak, hifofisektomi,
aneurisma, trombosisi, fraktur kranium, infeksi, serta gangguan imunologi. Diabetes
insipidus neurogenik memiliki awitan yang akut. Pada keadaan ini dapat terjadi sindrom
tiga-fase, yang meliputi:
1. kehilangan progresif jaringan saraf dan peningkatan dieresis
2. diurenis normal
3. poliuria dan polidipsia yang merupakan manifestasi gangguan permanen pada
kemampuan menyekresi ADH dengan jumlah yang memadai.
Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan oleh respons renal yang tidak adekuat
terhadap ADH. Permeabilitas duktus pengumpulan terhadap air sebagai respons
terhadap ADH tidak meningkat. Diabetes insipidus nefrogenik umumnya berhubungan
dengan gangguan dan obat-obatan yang merusak tubulus renal atau yang menghambat
pem bentukan cAMP (cyclic adenoxine monophospiate) dalam tubalus tersebut
sehingga aktivasi second messenger tidak terjadi. Gangguan yang menyebabkan
9
diabetes insipidus nefrogenik meliputi pielonefritis, amiloidosis, uropati destruktif,
penyakit polikistik, dan penyakit ginjal intrinsic. Obat-obat yang menyebabkan kondisi
ini meliputi litium (Eskalith), obat anestesi umum, seperti metoksifluran dan
demeklosiklin (Declomycin). Di samping itu, hipokalemia atan hiperkalsemia akan
mengganggu respons ginjal terhadap ADH. Bentuk genetik diabetes insipidus
nefrogenik adalah galur resesif yang berhubungan dengan kromosom x (x-linked
recessive trait).
Diabetes insipidus psikogenik disebabkan oleh asupan cairan yang ekstrem dan
mungkin bersifat idiopatik atau berhubungan dengan psikosis ataupun sarkoidosis.
Polidipsia dan poliuria yang diakibatkan akan mengeluarkan ADH lebih cepat daripada
ADH yang dapat digantika. Poliuria kronis dapat memengaruhi gradien konsentrasi
medula renal sehingga pasien kchilangan kemampuan secara total atau parsial untuk
memekatkan urine.
10
2.7 Pathway
Diabetes insipidus
Pada nukleus supraoptik preventicular gagalnya air kemih tidak tertahan dan tidak
POLIURIA
POLIDIPSI gangguan
Nocturia keseimbangan
cairan
urine
11
Gangguan pola tidur
kulit
2.8 Komplikasi
Komplikasi diabetes insipidus yang mungkin terjadi meliputi:
1. Pelebaran traktus urinarius
2. Dehidrasi berat
3. Syok dan gagal ginjal jika dehidrasi berat.
1. Hipovolemia
2. Hiperosmolalitas
3. Kolaps sirkulasi
4. Penurunan kesadaran
5. Gangguan SSP
6. Distensi kandung kemih
7. Hidroureter
8. Hidronefrosis
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengindikasi adanya penyakit diabetes
insipidus, yakni:
1. Uji deprivasi cairan: Cairan tidak diberikan selama 2 sampai 12 jam sampai pasien
kehilangan 3% sampai 5% berat badannya. Ketidakmampuan meningkatkan berat jenis
dan osmolalitas urine selama uji dilakukan merupakan tanda diabetes insipidus. Uji
12
dehidrasi atau deprivasi air menunjukkan peningkatan osmolalitas urine setelah
pemberian vasopressin melebihi 9%.
2. Prosedur diagnostik lainnya berupa pengukuran kadar ADH dan osmolalitas urine serta
plasma secara bersamaan dan juga terapi uji coba desmopresin (vasopresin sintetis)
dan infuse intravena (IV) larutan salin hipertonik.
3. MRI dapat menunjukkan tumor hipofisis atau tumor otak.
4. CT scan dapat menunjukkan trauma kepala, tumor hipofisis, atau tumor otak.
5. Urinalisis menunjukkan urine berwarna pucat dengan berat jenis sebesar 1,005 atau
kurang dan osmolalitas kurang dari 200 mOsm/kg.
6. Sampel urine 24 jam menunjukkan penurunan berat jenis dan peningkatan volume.
7. Kimia serum menunjukkan peningkatan kadar natrium, BUN, dan kreatinin.
8. Osmolalitas serum meningkat.
9. Kadar vasopressin serum menurun
2.10 Penatalaksanaan
Terapi bertujuan untuk mengganti ADH (biasanya diberikan sebagai program terapi jangka
panjang), memastikan penggantian cairan yang adekuat, mengidentifikasi dan mengatasi
penyebab patologi intrakranial. Nefrogenik memerlukan pendekatan penatalaksanaan yang
berbeda. (Brunner & Suddarth: 210)
1. Umum
2. Terapi Farmakologis
a. Desmopresin (DDAVP), diberikan intranasal, satu atau dua kali pemberian tiap hari
untuk mengontrol gejala.
13
b. Pemberian ADH intramuskular (vasopresin tanat dalam minyak) tiap 24 sampai 96
jam untuk menurunkan volume urine (kocok dengan kuat atau hangatkan; diberikan
pada malam hari; rotasikan sisi injeksi untuk mencegah lipodistrofi).
c. Klofibrat (Atromid-S), suatu agens hipolipidemik, diketahui memiliki efek anti-
diuretik pada pasien yang mengalami vasopresin hipotalamikresidual; klorpropamida
(Diabinese) dan diuretik tiazid juga dapat digunakan pada tahap ringan penyakit
karena obat-obat ini menguatkan efek vasopresin.
d. Diuretik tiazid, deplesi garam ringan, dan inhibitor prostaglandin (ibuprofen [Advil,
Motrin], indometasin [Indocin], dan aspirin) digunakan untuk mengatasi bentuk
nefrogenik dari diabetes insipidus.
e. Hormon hipofisis posterior, seperti vasopressin dan desmopresin
f. Diuretik tiazid, seperti hidroklorotiazid, pada DI nefrogenik
g. Cairan IV:
ü Jika natrium serum >150 mEq/L: 5% dekstrosa dalam air.
ü Jika natrium serum <150 mEq/L: larutan normal saline.
3. Pembedahan
Tidak diindikasikan, kecuali untuk mengatasi penyebab yang mendasari seperti tumor.
4. Penatalaksanaan Keperawatan
14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES INSIPIDUS
3.1 Pengkajian
Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur: tidak dapat
ditentukan, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
15
Kaji frekuensi eliminasi urine klien
Kaji karakteristik urine klien
Klien mengalami poliuria (sering kencing)
Klien mengeluh sering kencing pada malam hari (nokturia).
4. Pola aktivitas dan latihan
Kaji rasa nyeri/nafas pendek saat aktivitas/latihan
Kaji keterbatasan aktivitas sehari-hari (keluhan lemah, letih sulit bergerak)
Kaji penurunan kekuatan otot
5. Pola tidur dan istirahat
Kaji pola tidur klien. Klien dengan diabetes insipidus mengalami kencing terus menerus
saat malam hari sehingga mengganggu pola tidur/istirahat klien.
6. Pola kognitif/perceptual
Kaji fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan
ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
7. Pola persepsi diri/konsep diri
Kaji/tanyakan perasaan klien tentang dirinya saat sedang mengalami sakit.
Kaji dampak sakit terhadap klien
Kaji keinginan klien untuk berubah (mis : melakukan diet sehat dan latihan).
8. Pola peran/hubungan
Kaji peengaruh sakit yang diderita klien terhadap pekerjaannya
Kaji keefektifan hubungan klien dengan orang terdekatnya.
9. Pola seksualitas/reproduksi
Kaji dampak sakit terhadap seksualitas.
Kaji perubahan perhatian terhadap aktivitas seksualitas.
10. Pola koping/toleransi stress
Kaji metode kopping yang digunakan klien untuk menghidari stress
System pendukung dalam mengatasi stress
11. Pola nilai/kepercayaan
Klien tetap melaksanakan keagamaan dengan tetap sembahyang tiap ada kesempatan.
16
Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Klien tampak banyak minum, banyak buang air kecil, kulit kering dan pucat, bayi sering
menangis, tampak kurus karena penurunan berat badan yang cepat, muntah, kegagalan
pertumbuhan, membran mukosa dan kulit kering.
2) Palpasi
Turgor kulit tidak elastis, membrane mukosa dan kulit kering, takikardia, takipnea.
3) Auskultasi
Tekanan darah turun (hipotensi).
3.2 Diagnosa
1. Ketidakseimbangan volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan keluaran
cairan aktif haluaran urine yang berlebihan sekunder akibat diabetes insipidus
(ketidakadekuatan hormone diuretic) ditandai dengan haluaran urin berlebih (4-30
liter/hari), klien sering berkemih, haus, kulit/membrane mukosa kering, penurunan berat
badan.
2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan permeabilitas tubulus ginjal,
ditandai dengan poliuri dan nokturia.
3. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi ditandai dengan
pengungkapan masalah.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun akibat poliuri, nokturia, dan
polidipsi, ditandai dengan klien sering terbangun waktu malam akibat ingin berkemih
dan ingin minum.
17
compromised (skala 5). klien. Hipovolemia
(Nadi: 80-110 x/mnt, RR: 16- dapat
24 x/mnt; TD: 120/80
dimanifestasikan
mmHg; suhu : 36-37,5°C)
– Intake dan output dalam 24 oleh hipotensi dan
jam seimbang / not takikardia. Perkiraan
compromised (skala 5). berat ringannya
– Kulit/membran mukosa klien hipovolemia dapat
lembab / not compromised dibuat ketika
(skala 5). tekanan darah
– BB klien tetap/tidak terjadi sistolik pasien turun
penurunan berat badan lebih dari 10 mmHg
(mencapai skala 5) dari posisi berbaring
ke posisi
duduk/berdiri.
– Memenuhi
kebutuhan cairan dalam
tubuh.
2. Berikan cairan – Memberikan hasil
sesuai kebutuhan. pengkajian yang terbaik
dari status cairan yang
3. Catat intake dan sedang berlangsung dan
output cairan selanjutnya dalam
memberikan cairan
pengganti
4. Monitor dan – Mengetahui berapa
Timbang berat cairan yang hilang
badan setiap hari. dalam tubuh
5. Monitor status – Mengetahui tingkat
hidrasi (suhu dehidrasi.
tubuh,
kelembaban
membran mukosa,
warna kulit).
18
warna, berat jenis, jumlah, bau warna. normal atau
normal/ not compromised (skala 2. Batasi pemberian tidaknya urine klien.
5). cairan sesuai - Mengurangi
pengeluaran cairan
- Tidak terjadi nocturia/ not kebutuhan.
berupa urine
compromised (skala 5).
terutama saat malam
- Pola eliminasi normal/ not hari.
compromised (skala 5). 3. Catat waktu - Mengidentifikasikan
terakhir klien fungsi kandung
eliminasi urin. kemih, fungsi ginjal,
dan keseimbangan
4. Instruksikan cairan.
- Mengevaluasi
klien/keluarga
untuk mencatat kebutuhan input
output urine klien. klien
19
5. Diskusikan penyakit tersebut.
perubahan gaya - Mencegah terjadinya
hidup yang komplikasi dari
dilakukan untuk penyakit tersebut.
mencegah
terjadinya
komplikasi dan
atau mengontrol
proses penyakit
tersebut.
3.4 Evaluasi
1. Kebutuhan akan volume cairan terpenuhi
2. Kebutuhan tubuh akan nutrisi terpenuhi
3. Pola tidur sesuai dengan waktu tidur normal
4. Pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatannya terpenuhi
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
21
Daftar Pustaka
William dan Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta : PT
Indeks.
Bilotta, Kimberly A. J, Dwi Widiarti [et al.]. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi
Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Susan C. 2013. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 12. Jakarta:
EGC.
Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan
Kebidanan Ed. 4. Jakarta: EGC.
Baradero, Mary, Mary, dan Yakobus Siswadi. 2005. Klien Gangguan Endokrin:Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
Kowalak, Jenifer F (alih bahasa dr. Andry Hartono).2013. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC
22