Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini banyak ditemukan penyakit yang sifatnya degeneratif. Karena
banyaknya komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada masyarakat luar negeri
dan adanya ketertarikan masyarakat terhadap gaya hidup masyarakat luar negeri sehingga
banyak bermunculan penyakit – penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler dan
diabetes insipidus akibat gaya hidup yang tidak sehat. Penyakit diabetes insipidus ini
kemungkinan besar akan megalami peningkatan jumlah penderitanya di masa datang
akibat adanya gaya hidup yang tidak sehat yang dilakukan oleh masyarakat saat ini.
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan
produksi, sekresi, dan fungsi dari Anti Diuretic Hormone (ADH) serta kelainan ginjal
yang tidak berespon terhadap kerja ADH fisiologis, yang ditandai dengan rasa haus yang
berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang sangat encer
(poliuri). Polidipsia dan poliuria dengan urin encer, hipernatremia, dan dehidrasi adalah
keunggulan dari diabetes insipidus. Pasien yang memiliki diabetes insipidus tidak dapat
menghemat air dan dapat menjadi sangat dehidrasi bila kekurangan air. Poliuria melebihi
5 mL / kg per jam, urin encer. Kondisi ini menimbulkan polidipsia dan poliuria.
Jumlah pasien diabetes insipidus dalam kurun waktu 20 – 30 tahun kedepan akan
mengalami kenaikan jumlah penderita yang sangat signifikan. Dalam rangka
mengantisipasi ledakan jumlah penderita diabetes insipidus, maka upaya yang paling
tepat adalah melakukan pencegahan salah satunya dengan mengatur pola makan dan gaya
hidup dengan yang lebih baik. Dalam hal ini peran profesi dokter, perawat, dan ahli gizi
sangat ditantang untuk menekan jumlah penderita diabetes melitus baik yang sudah
terdiagnosis maupun yang belum. Selain itu dalam hal ini peran perawat sangat penting
yaitu harus selalu mengkaji setiap respon klinis yang ditimbulkan oleh penderita diabetes
insipidus untuk menentukan Asuhan Keperawatan yang tepat untuk penderita Diabetes
Insipidus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi diabetes insipidus?

1
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi diabetes insipidus?
3. Bagaimana klasifikasi diabetes insipidus?
4. Apa saja etiologi diabetes insipidus?
5. Apa saja tanda dan gejala diabetes insipidus?
6. Bagaimana patofisiologi pada diabetes insipidus?
7. Bagaimana pathway diabetes insipidus?
8. Apa saja komplikasi diabetes insipidus?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada penyakit diabetes insipidus?
10. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita diabetes insipidus?
11. Bagaimana asuhan keperawatan keperawatan diabetes insipidus?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian diabetes insipidus.
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi diabetes insipidus.
3. Mengetahui klasifikasi diabetes insipidus.
4. Mengetahui etiologi diabetes insipidus.
5. Mengetahui tanda dan gejala diabetes insipidus.
6. Mengetahui patofisiologi pada diabetes insipidus.
7. Mengetahui pathway diabetes insipidus.
8. Mengetahui komplikasi diabetes insipidus.
9. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada penyakit diabetes insipidus.
10. Mengetahui penatalaksanaan pada penderita diabetes insipidus.
11. Mengetahui asuhan keperawatan keperawatan diabetes insipidus.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Diabetes insipidus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan polidipsi dan poliuri.
Dua mekanisme yang mendasari adalah gangguan pelepasan ADH oleh hipotalamus atau
hipofisis (sentral) dan gangguan respons terhadap ADH oleh ginjal (nefrogenik).
(Kusmana, Felix. 2016)
Diabetes insipidus merupakan gangguan metabolisme air yang disebabkan oleh
defisiensi vasopresin (juga dikenal dengan hormon ADH) yang bersikulasi atau oleh
resistensi ginjal terhadap hormon ini ( William dan Wilkins, 2011).
Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, penyakit ini
diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisme
neurohypophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan kegagalan tubuh dalam
mengkonversi air. Kebanyakan kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus yang
idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai tingkatan umur dan jenis kelamin.
(Khaidir Muhaj, 2009)

2.2 Anatomi dan Fisiologi Hipofisis Posterior

Kelenjar hipofisis adalah suatu kelenjar endokrin yang terletak di dasar tengkorak (sela
tursika) fossa pituitaria os. Sfenoid. Besarnya kira-kira 10 x 13 x 6 mm dan beratnya
sekitar 0,5 gram. Kelenjar ini memegang peranan penting dalam menyekresi hormon yang
lain, dan memengaruhi pekerjaan kelenjar yang lain.

Pada hipofisis diatur agar setiap kelenjar endokrin, sendiri-sendiri atau bersama-sama,
dapat melaksanakan fungsi dengan baik dan terkoordinasi. Fungsi hipofisis dapat diatur
oleh susunan saraf pusat melalui hipotalamus yang dilakukan oleh sejumlah hormon yang
dihasilkan hipotalamus. Akibat rangsangan susunan saraf pusat, hormon-hormon yang
mengatur fungsi hipofise disebut hipophysiotropic hormone dihasilkan oleh sel-sel
neorosekretori yang terdapat dalam hipotalamus.

Kelenjar hipofisis mempunyai tiga lobus, yaitu lobus anterior, lobus intermedia, dan lobus
posterior. Lobus posterior mendapat persarafan dari nukleus supraoptik dan paraventrikular

3
di hipotalamus. Lobus anterior mendapat suplai darah dari pembuluh darah hipofisis portal.
Secara embrionik ketiga lobus ini berasal dari jaringan yang berbeda.

Hipofisis posterior

Lobus posterior kelenjar hipofise (neurohipofisis) berasal dari evaginasi atau penonjolan
dasar ventrikel otak ketiga, menghasilkan dua macam hormon:

a. Vasopresin atau arginen vasopresin (APV), hormon anti-diuretik (ADH) yang bekerja
melalui reseptor-reseptor tubulus distal ginjal, menghemat air, mengonsentrasi urine
dengan menambah aliran osmotik dari lumina-lumina ke intestinum medular yang
membuat kontraksi otot polos. Dengan demikian ADH memelihara konstannya
osmolaritas dan volume cairan dalam tubuh. Pengaturan sekresi:
 Perubahan tekanan osmotik efek plasma (osmoreseptor)
 Perubahan volume cairan ekstrasel (stres reseptor)
 Peningkatan osmolalitas plasma dan penurunan volume plasma merangsang sekresi
vasopresin.
 Penurunan osmolalitas dan peningkatan volume plasma menghambat sekresi
vasopresin.
 Osmoreseptor terdapat di hipotalamus dan stres reseptor sistem kardiovaskular
bertekanan rendah dan tinggi.
 Rangsangan angiotensin II, adrenalin, kortisol, estrogen, dan progesteron susunan
saraf pusat dan peningkatan suhu tubuh.

Gangguan sekresi vasopresin:

 Defisiensi vasopresin karena kerusakan hipotalamus atau traktus hipotalamo-


hipofisis menimbulkan diabetes insipidus (poliuria, polidipsia)
 Hiposekresi vasopresin karena obat-obatan pengendalian fisiologis terganggu,
retensi air, osmolalitas urine plasma, hiponatremia (Na plasma kurang dari 110
mmol/L) dapat timbul intoksikasi air.

b. Oksitosin diproduksi oleh anterior hipotalamik nuklei, sel ganglionik dari supraoptik
nuklei, dan sel paraventrikular. Efek oksitoasin:

4
 Kontraksi sel mioepitel kelenjar mamae (galaktokinetik), mengeluarkan air susu.
Rangsangan pada papila mamae dari isapan bayi sekresi oksitosin menimbulkan
ejeksi air susu.
 Kontraksi uterus membantu pengeluaran fetus dan plasenta pada waktu persalinan,
rangsangan serviks dari vagina menyekresi oksitosin yang membantu dalam partus.
Vasopresin dan oksitosin disintesis pada nukleus paraventrikel dan supraoptik
hipotalamus, bersama protein mengikat neurofusin, diangkut melalui akson serat traktus
hipotalamus, dan disimpan di ujung-ujung serat neurohipofisis. Perangsangan tersebut
akan menimbulkan eksositosis hormon dari ujung serat saraf ke pembuluh kapiler di
sekitarnya.

Sumber : ululalbab31n.logspot.com

Kelenjar hipofise posterior (neurohipofisis) bekerja sebagai struktur penunjang bagi


ujung-ujung saraf. Kelenjar ini terletak pada nukleus supraoptik dan para ventrikuler
hipotalamus, di bawah kelenjar hipofise posterior, di dalam aksoplasma, serat-serat
neuron berjalan dari hipotalamus. Hormon yang dihasilkan:

a. Hormon antidiuretik (ADH) dibentuk dalam nukleus supraoptik yang mengandung


asam amino. Mekanisme kerja ADH adalah meningkatkan permeabilitas duktus dan

5
mereabsorpsi sebagian besar air yang disimpan dalam tubuh. Salah satu rangsangan
yang menyebabkan sekresi ADH menjadi kuat adalah penurunan volume darah.
b. Hormon oksitosin dibentuk dalam nukleus paraventrikel, merupakan salah satu zat
yang dapat menimbulkan kontraksi uterus dalam keadaan hamil, rangsangan sangat
kuat pada akhir kehamilan. Efek oksitosin selama persalinan meningkat pada stadium
akhir sehingga menimbulkan sinyal saraf melewati hipotalamus membantu proses
persalinan.
Di samping itu membentuk laktasi sehingga timbulnya pengiriman air susu dari alveoli ke
duktus sehingga diisap bayi.

Peran Anti-Diuretik Hormon pada Mekanisme Perkemihan

Pengaturan final urine diatur oleh 3 jenis hormon. Osmoreseptor pada hipotalamus sangat
sensitif terhadap osmolaritas serum. Selama dehidrasi osmolaritas serum meningkat.
Osmoreseptor pada hipotalamus merangsang sekresi, meningkatkan permeabilitas sel
tubulus koligentes terhadap air ADH.

Oleh karena penting untuk mempertahankan suatu keseimbangan yang tepat antara
reabsorpsi tubulus dan filtrasi glomerulus, mekanisme saraf, faktor hormonal, dan kontrol
setempat meregulasi reabsorpsi dari beberapa zat terlarut dapat diatur secara bebas
terpisah dari yang lain terutama melalui mekanisme pengontrolan hormonal.

Hormon antidiuretik (ADH) meningkatkan permeabilitas sel tubulus kolegentes terhadap


air, memungkinkan resorpsi air sehingga cairan ekstraselular (CES) kembali normal.
Hormon lain yang memengaruhi konsentrasi urine adalah renin. Bila laju filtrasi
glomerulus (LFG) turun karena dehidrasi atau kehilangan darah, kadar natrium di bawah
normal pada filtrasi, yang merangsang sekresi renin. Renin mengubah angiotensin yang
disekresi hati menjadi angiotensin I.

Sel kapiler paru selanjutnya mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin
II mengonsentrasi otot polos sekeliling arteriola. Hal ini meningkatkan tekanan darah,
selanjutnya meningkatkan laju filtrasi glomerulus (LFG). Angiotensin II juga mendorong
sekresi aldosteron, hormon ketiga yang memengaruhi.

6
Korteks adrenal jika dirangsang oleh angiotensin II menyekresi aldosteron dengan
meningkatkan resorpsi air di ginjal, meningkatkan tekanan darah dan menurunkan
osmolitas serum. Aldosteron juga berespons terhadap kadar abnormal natrium darah.
Permeabilitas duktus koligentes bagian medula di kontrol oleh ADH, bersifat permeabel
terhadap ureum dan membantu meningkatkan osmolitas daerah ginjal untuk membentuk
urine yang pekat.

2.3 Klasifikasi
Ada tiga bentuk diabetes insipidus, yaitu: neurogenik, nefrogenik, dan psikogenik.
1. Diabetes insipidus neurogenik.
Diabetes insipidus neurogenik atau sentral merupakan respons ADH yang tidak
adekuat terhadap osmolaritas plasma dan terjadi ketika terdapat lesi organik pada
hipotalamus, pedikulus infundibularis, atau hipofisis posterior yang secara parsial
atau total menyekat sintesis, transportasi, atau pelepasan ADH.
2. Diabetes insipidus nefrogenik.
Diabetes inispidus nefrogenik disebabkan oleh respons renal yang tidak adekuat
terhadap ADH. Permeabilitas duktus pengumpulan terhadap air sebagai respons
terhadap ADH tidak meningkat. Diabetes insipidus nefrogenik umumnya
berhubungan dengan gangguan obat-obatan yang merusak tubulus renal atau yang
menghambat pembentukan cAMP (cyclic adenosine monophosphate) dalam tubulus
tersebut sehingga aktivasi second messenger tidak terjadi.
3. Diabetes insipidus psikogenik.
Diabetes insipidus psikogenik disebabkan asupan cairan yang ekstrem dan mungkin
bersifat idiopatik atau berhubungan dengan psikosis ataupun sarkoidosis. Polidipsia
dan poliuria yang diakibatkan akan mengeluarkan ADH lebih cepat dari pada ADH
yang dapat digantikan.

2.4 Etiologi
Diabetes insipidus dapat terjadi sekunder akibat trauma kepala, tumor otak, atau ablasi
pembedahan atau iradiasi kelenjar hipofisis. Dapat pula terjadi akibat infeksi sistem
saraf pusat (meningitis, ensefalitis, limfoma payudara atau paru). Penyebab lain diabetes
insipidus yaitu kegagalan tubulus renalis dalam merespons ADH; bentuk nefrogenik ini

7
dapat terkait dengan hipokalemia, hiperkalsemia dan obat-obatan (seperti litium,
demeklosiklin/declomycin). (Brunner & Suddarth: 2009)
Jennifer P. Kowalak, dkk menyebutkan dalam buku alih bahasa yang berjudul, “Buku
Ajar Patofisiologi” (2011) bahwa penyebab diabetes insipidus meliputi:
1. Gangguan yang didapat (akuisita), familial, idiopatik, neurogenik, atau
nefrogenik.
2. Berkaitan dengan stroke, tumor hipotalamus atau hipofisis, dan trauma atau
pembedahan kranial (diabetes inispidus neurogenik)
3. Galur terkait-X resesif atau gagal ginjal stadium terminal (end-stage renal failure)
(diabetes insipidus nefrogenik yang lebih jarang terjadi)
4. Obat-obat tertentu, seperti litium (Duralith), fenitoin (Dilantin), atau alkohol
(diabetes insipidus transien).

2.5 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang dapat timbul pada penyakit diabetes insipidus, yakni:
1. Poliuria: Pengeluaran urine encer yang banyak setiap harinya (berat jenis 1,001
sampai 1,005). Awitan diabetes insipidus primer dapat terjadi secara mendadak atau
bertahap pada orang dewasa.
2. Polidipsia: pasien terus menerus merasa haus, minum 2 sampai 20 liter cairan
sehari, disertai keinginan untuk minum air yang dingin.
3. Poliuria terus berlanjut walaupun tanpa penggantian cairan.
4. Jika diabetes insipidus yang dialami merupakan keturunan, gejala primernya dapat
muncul saat kelahiran; pada dewasa, awitan dapat terjadi secara bertahap atau
mendadak. (Brunner & Suddarth: 2009)
Jennifer P. Kowalak, dkk menyebutkan dalam buku alih bahasa yang berjudul, “Buku
Ajar Patofisiologi” (2011) bahwa tanda dan gejala diabetes insipidus meliputi:
1. Polidipsia (tanda utama) – asupan cairan 5 hingga 20 L/hari
2. Poliuria (tanda utama) – haluran urine yang encer sebanyak 2 hingga 20 L dalam
periode 24 jam.
3. Nokturia yang menimbulkan gangguan tidur dan rasa lelah
4. Berat jenis urine yang rendah – kurang dari 1,006

8
5. Demam
6. Perubahan tingkat kesadaran
7. Hipotensi
8. Takikardia
9. Sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat gangguan elektrolit dan dehidrasi
10. Rasa penuh pada abdomen, anoreksia, dan penurunan berat badan akibat konsumsi
cairan yang hampir terus-menerus.

2.6 Patofisiologi
Diabetes insipidus berhubungan dengan insufisiensi ADH yang menimbulkan poliuria
dan polidipsia. Ada tiga bentuk daibetes insipidus, yaitu: neurogenik, nefrogenik, dan
psikogenik
Diabetes insipidus neurogenik atau sentral merupakan respons ADH yang tidak adekuat
terhadap osmolaritas plasma dan terjadi ketika terdapat lesi organik pada hipotalamus,
pedikulus infundibularis, atau hipofisis posterior yang secara parsial atau total menyekat
sintesis, transportasi atau pelepasan ADH. Ada banyak lesi organik yang dapat
menyebabkan diabetes insipidus dan lesi tersebut meliputi tumor otak, hifofisektomi,
aneurisma, trombosisi, fraktur kranium, infeksi, serta gangguan imunologi. Diabetes
insipidus neurogenik memiliki awitan yang akut. Pada keadaan ini dapat terjadi sindrom
tiga-fase, yang meliputi:
1. kehilangan progresif jaringan saraf dan peningkatan dieresis
2. diurenis normal
3. poliuria dan polidipsia yang merupakan manifestasi gangguan permanen pada
kemampuan menyekresi ADH dengan jumlah yang memadai.

Diabetes insipidus nefrogenik disebabkan oleh respons renal yang tidak adekuat
terhadap ADH. Permeabilitas duktus pengumpulan terhadap air sebagai respons
terhadap ADH tidak meningkat. Diabetes insipidus nefrogenik umumnya berhubungan
dengan gangguan dan obat-obatan yang merusak tubulus renal atau yang menghambat
pem bentukan cAMP (cyclic adenoxine monophospiate) dalam tubalus tersebut
sehingga aktivasi second messenger tidak terjadi. Gangguan yang menyebabkan

9
diabetes insipidus nefrogenik meliputi pielonefritis, amiloidosis, uropati destruktif,
penyakit polikistik, dan penyakit ginjal intrinsic. Obat-obat yang menyebabkan kondisi
ini meliputi litium (Eskalith), obat anestesi umum, seperti metoksifluran dan
demeklosiklin (Declomycin). Di samping itu, hipokalemia atan hiperkalsemia akan
mengganggu respons ginjal terhadap ADH. Bentuk genetik diabetes insipidus
nefrogenik adalah galur resesif yang berhubungan dengan kromosom x (x-linked
recessive trait).

Diabetes insipidus psikogenik disebabkan oleh asupan cairan yang ekstrem dan
mungkin bersifat idiopatik atau berhubungan dengan psikosis ataupun sarkoidosis.
Polidipsia dan poliuria yang diakibatkan akan mengeluarkan ADH lebih cepat daripada
ADH yang dapat digantika. Poliuria kronis dapat memengaruhi gradien konsentrasi
medula renal sehingga pasien kchilangan kemampuan secara total atau parsial untuk
memekatkan urine.

Terlepas penyebabnya, jumlah ADH yang tidak mencukupi akan segera


menimbulkaneksresi urine yang encer dengan jumlah besar dan akibatnya terjadi
hiperosmolaritas plasma. Padapasien yang sadar, akan terjadi stimulasi mekanisma rasa
haus biasanya terhadap air yang dingin.Pada defisiensi ADH yang berat, haluaran urine
dapat melebihi 12 L/hari dengan berat jenis yang rendah. Dehidrasi terjadi dengan cepat
jika cairan yang hilang tidak diganti

10
2.7 Pathway

Diabetes insipidus

Kelainan organis(lesi yang merusak kelainan ginjal ( diabetes insipidus

Unit neurohipofisis & hipotalamus) nefrogenik)

Primer, sekunder ( ginjal kronik

Operasi penyakit infeksi Gangguan elektronik, obat-obatan

Tumor / kista Sickle cell, gangguan diet, amiloidosis

Peningkatan ADH/AVP tidak bekerja tubulus tidak peka terhadap ADH

Dengan baik, sintesis ADH terganggu kerusakan

Pada nukleus supraoptik preventicular gagalnya air kemih tidak tertahan dan tidak

Pengeluaran vasoperin pekat

Permeabilitas dan pengumpulan air pada duktus

osmolaritas plasma pengumpul ginjal

POLIURIA

POLIDIPSI gangguan

Nocturia keseimbangan

cairan

Tidur terganggu perubahan eliminasi

urine

11
Gangguan pola tidur

dehidrasi (badan lemas, lesu

kerusakan intregitas Turgor kulit buruk) Gangguan eliminasi urine

kulit

kerusakan volume cairan

2.8 Komplikasi
Komplikasi diabetes insipidus yang mungkin terjadi meliputi:
1. Pelebaran traktus urinarius
2. Dehidrasi berat
3. Syok dan gagal ginjal jika dehidrasi berat.

Selain itu, diabetes insipidus juga akan mengarah pada:

1. Hipovolemia
2. Hiperosmolalitas
3. Kolaps sirkulasi
4. Penurunan kesadaran
5. Gangguan SSP
6. Distensi kandung kemih
7. Hidroureter
8. Hidronefrosis

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengindikasi adanya penyakit diabetes
insipidus, yakni:

1. Uji deprivasi cairan: Cairan tidak diberikan selama 2 sampai 12 jam sampai pasien
kehilangan 3% sampai 5% berat badannya. Ketidakmampuan meningkatkan berat jenis
dan osmolalitas urine selama uji dilakukan merupakan tanda diabetes insipidus. Uji

12
dehidrasi atau deprivasi air menunjukkan peningkatan osmolalitas urine setelah
pemberian vasopressin melebihi 9%.
2. Prosedur diagnostik lainnya berupa pengukuran kadar ADH dan osmolalitas urine serta
plasma secara bersamaan dan juga terapi uji coba desmopresin (vasopresin sintetis)
dan infuse intravena (IV) larutan salin hipertonik.
3. MRI dapat menunjukkan tumor hipofisis atau tumor otak.
4. CT scan dapat menunjukkan trauma kepala, tumor hipofisis, atau tumor otak.
5. Urinalisis menunjukkan urine berwarna pucat dengan berat jenis sebesar 1,005 atau
kurang dan osmolalitas kurang dari 200 mOsm/kg.
6. Sampel urine 24 jam menunjukkan penurunan berat jenis dan peningkatan volume.
7. Kimia serum menunjukkan peningkatan kadar natrium, BUN, dan kreatinin.
8. Osmolalitas serum meningkat.
9. Kadar vasopressin serum menurun

2.10 Penatalaksanaan

Terapi bertujuan untuk mengganti ADH (biasanya diberikan sebagai program terapi jangka
panjang), memastikan penggantian cairan yang adekuat, mengidentifikasi dan mengatasi
penyebab patologi intrakranial. Nefrogenik memerlukan pendekatan penatalaksanaan yang
berbeda. (Brunner & Suddarth: 210)

1. Umum

a. Identifikasi dan terapi penyebab yang mendasari


b. Kontrol keseimbangan cairan; pemberian cairan IV untuk menyesuaikan dengan
haluaran urine
c. Pencegahan dehidrasi
d. Akses bebas terhadap cairan oral
e. Pada DI nefrogenik, diet rendah natrium.

2. Terapi Farmakologis

a. Desmopresin (DDAVP), diberikan intranasal, satu atau dua kali pemberian tiap hari
untuk mengontrol gejala.

13
b. Pemberian ADH intramuskular (vasopresin tanat dalam minyak) tiap 24 sampai 96
jam untuk menurunkan volume urine (kocok dengan kuat atau hangatkan; diberikan
pada malam hari; rotasikan sisi injeksi untuk mencegah lipodistrofi).
c. Klofibrat (Atromid-S), suatu agens hipolipidemik, diketahui memiliki efek anti-
diuretik pada pasien yang mengalami vasopresin hipotalamikresidual; klorpropamida
(Diabinese) dan diuretik tiazid juga dapat digunakan pada tahap ringan penyakit
karena obat-obat ini menguatkan efek vasopresin.
d. Diuretik tiazid, deplesi garam ringan, dan inhibitor prostaglandin (ibuprofen [Advil,
Motrin], indometasin [Indocin], dan aspirin) digunakan untuk mengatasi bentuk
nefrogenik dari diabetes insipidus.
e. Hormon hipofisis posterior, seperti vasopressin dan desmopresin
f. Diuretik tiazid, seperti hidroklorotiazid, pada DI nefrogenik
g. Cairan IV:
ü Jika natrium serum >150 mEq/L: 5% dekstrosa dalam air.
ü Jika natrium serum <150 mEq/L: larutan normal saline.

3. Pembedahan

Tidak diindikasikan, kecuali untuk mengatasi penyebab yang mendasari seperti tumor.

4. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Instruksikan pasien dan anggota keluarga untuk menjalani pengobatan dan


perawatan tindak lanjut dan tindakan kegawatdaruratan.
b. Berikan instruksi khusus dalam bentuk lisan dan tertulis, yang meliputi efek terapi
dan efek samping obat-obatan; peragakan cara pemberian obat yang benar dan
observasi pasien ketika melakukan peragaan ulang.
c. Anjurkan pasien untuk menggunakan gelang identifikasi medis dan membawa
informasi medikasi tentang gangguan ini setiap saat. (Brunner & Suddarth: 210)

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES INSIPIDUS

3.1 Pengkajian
Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur: tidak dapat
ditentukan, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.

Riwayat Sakit dan Kesehatan


1. Keluhan utama
Biasanya pasien merasa haus, pengeluaran air kemih yang berlebihan, sering keram dan
lemas jika minum tidak banyak.
2. Riwayat penyakit saat ini
Pasien mengalami poliuria, polidipsia, nocturia, kelelahan, konstipasi
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami Cidera otak, tumor, tuberculosis, aneurisma/penghambatan arteri
menuju otak, hipotalamus mengalami kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu sedikit
hormone antidiuretik, kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik kedalam
aliran darah, kerusakan hipotalamus/kelenjar hipofisa akibat pembedahan dan beberapa
bentuk ensefalitis, meningitis.
4. Riwayat penyakit keluarga
penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan
penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan diabetes insipidus.

Pengkajian Pola Gordon


1. Persepsi kesehatan-penatalaksanaan kesehatan :
Mengkaji pengetahuan klien mengenai penyakitnya. Kaji upaya klien untuk mengatasi
penyakitnya.
2. Pola nutrisi metabolic :
Nafsu makan klien menurun. Penurunan berat badan 20% dari berat badan ideal.
3. Pola eliminasi:

15
 Kaji frekuensi eliminasi urine klien
 Kaji karakteristik urine klien
 Klien mengalami poliuria (sering kencing)
 Klien mengeluh sering kencing pada malam hari (nokturia).
4. Pola aktivitas dan latihan
 Kaji rasa nyeri/nafas pendek saat aktivitas/latihan
 Kaji keterbatasan aktivitas sehari-hari (keluhan lemah, letih sulit bergerak)
 Kaji penurunan kekuatan otot
5. Pola tidur dan istirahat
Kaji pola tidur klien. Klien dengan diabetes insipidus mengalami kencing terus menerus
saat malam hari sehingga mengganggu pola tidur/istirahat klien.
6. Pola kognitif/perceptual
Kaji fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan
ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
7. Pola persepsi diri/konsep diri
 Kaji/tanyakan perasaan klien tentang dirinya saat sedang mengalami sakit.
 Kaji dampak sakit terhadap klien
 Kaji keinginan klien untuk berubah (mis : melakukan diet sehat dan latihan).
8. Pola peran/hubungan
 Kaji peengaruh sakit yang diderita klien terhadap pekerjaannya
 Kaji keefektifan hubungan klien dengan orang terdekatnya.
9. Pola seksualitas/reproduksi
 Kaji dampak sakit terhadap seksualitas.
 Kaji perubahan perhatian terhadap aktivitas seksualitas.
10. Pola koping/toleransi stress
 Kaji metode kopping yang digunakan klien untuk menghidari stress
 System pendukung dalam mengatasi stress
11. Pola nilai/kepercayaan
Klien tetap melaksanakan keagamaan dengan tetap sembahyang tiap ada kesempatan.

16
Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Klien tampak banyak minum, banyak buang air kecil, kulit kering dan pucat, bayi sering
menangis, tampak kurus karena penurunan berat badan yang cepat, muntah, kegagalan
pertumbuhan, membran mukosa dan kulit kering.
2) Palpasi
Turgor kulit tidak elastis, membrane mukosa dan kulit kering, takikardia, takipnea.
3) Auskultasi
Tekanan darah turun (hipotensi).

3.2 Diagnosa
1. Ketidakseimbangan volume cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan keluaran
cairan aktif haluaran urine yang berlebihan sekunder akibat diabetes insipidus
(ketidakadekuatan hormone diuretic) ditandai dengan haluaran urin berlebih (4-30
liter/hari), klien sering berkemih, haus, kulit/membrane mukosa kering, penurunan berat
badan.
2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan permeabilitas tubulus ginjal,
ditandai dengan poliuri dan nokturia.
3. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi ditandai dengan
pengungkapan masalah.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering terbangun akibat poliuri, nokturia, dan
polidipsi, ditandai dengan klien sering terbangun waktu malam akibat ingin berkemih
dan ingin minum.

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


dx
1. Setelah diberikan asuhan 1. Kaji dan Pantau - Adanya perubahan
keperawatan,diharapkan TTV dan catat TTV
kekurangan volume cairan teratasi. adanya jika ada menggambarkan
Kriteria hasil: perubahan status dehidrasi
- TTV dalam batas normal/ not

17
compromised (skala 5). klien. Hipovolemia
(Nadi: 80-110 x/mnt, RR: 16- dapat
24 x/mnt; TD: 120/80
dimanifestasikan
mmHg; suhu : 36-37,5°C)
– Intake dan output dalam 24 oleh hipotensi dan
jam seimbang / not takikardia. Perkiraan
compromised (skala 5). berat ringannya
– Kulit/membran mukosa klien hipovolemia dapat
lembab / not compromised dibuat ketika
(skala 5). tekanan darah
– BB klien tetap/tidak terjadi sistolik pasien turun
penurunan berat badan lebih dari 10 mmHg
(mencapai skala 5) dari posisi berbaring
ke posisi
duduk/berdiri.
– Memenuhi
kebutuhan cairan dalam
tubuh.
2. Berikan cairan – Memberikan hasil
sesuai kebutuhan. pengkajian yang terbaik
dari status cairan yang
3. Catat intake dan sedang berlangsung dan
output cairan selanjutnya dalam
memberikan cairan
pengganti
4. Monitor dan – Mengetahui berapa
Timbang berat cairan yang hilang
badan setiap hari. dalam tubuh
5. Monitor status – Mengetahui tingkat
hidrasi (suhu dehidrasi.
tubuh,
kelembaban
membran mukosa,
warna kulit).

2 Setelah diberikan asuhan 1. monitor dan kaji - Mengetahui sejauh


keperawatan diharapkan gangguan karakteristik urine mana
eliminasi urin teratasi, dengan meliputi frekuensi, perkembangan
fungsi ginjal dan
kriteria hasil: konsistensi, bau,
untuk mengetahui
- Karakteristik urine meliputi volume dan

18
warna, berat jenis, jumlah, bau warna. normal atau
normal/ not compromised (skala 2. Batasi pemberian tidaknya urine klien.
5). cairan sesuai - Mengurangi
pengeluaran cairan
- Tidak terjadi nocturia/ not kebutuhan.
berupa urine
compromised (skala 5).
terutama saat malam
- Pola eliminasi normal/ not hari.
compromised (skala 5). 3. Catat waktu - Mengidentifikasikan
terakhir klien fungsi kandung
eliminasi urin. kemih, fungsi ginjal,
dan keseimbangan
4. Instruksikan cairan.
- Mengevaluasi
klien/keluarga
untuk mencatat kebutuhan input
output urine klien. klien

3. Setelah diberikan asuhan 1. kaji pengetahuan - Mengetahui sejauh


kepeerawatan diharapkan awal klien mana pengetahuan
pengetahuan klien bertambah mengenai klien tentang
dengan kriteria hasil: penyakitnya. penyakitnya.
- Klien dan keluarga mengetahui 2. Jelaskan - Klien dan keluarga
definisi diabetes insipidus. patofisologi dapat mengetahui
- Klien dan keluarga mengetahui penyakitnya dan tanda dan gejala
factor penyebab diabetes bagaimana itu penyakitnya
insipidus. bisa berpengaruh sehingga dapat
- Klien dan keluarga mengetahui terhadap bentuk mengetahui jikalau
tanda dan gejala awal diabetes dan fungsi tubuh. salah satu keluarga
insipidus. klien mengalami
- Klien dan keluarga mengetahui salah satu gejala dari
terapi pengobatan yang penyakit tersebut.
diberikan pada klien dengan
penyakit diabetes insipidus. 3. Deskripsikan -
Klien atau keluarga
tanda dan gejala mengetahui tindakan
penyakit yang yang dilakukan saat
diderita klien. tanda dan gejala
muncul
4. Diskusikan terapi - Klien dan kelurga
pengobatan yang mengetahui terapi
diberikan kepada yang dijalani untuk
klien. penyembuhan

19
5. Diskusikan penyakit tersebut.
perubahan gaya - Mencegah terjadinya
hidup yang komplikasi dari
dilakukan untuk penyakit tersebut.
mencegah
terjadinya
komplikasi dan
atau mengontrol
proses penyakit
tersebut.

4 Setelah diberikan asuhan 1. Kaji dan Pantau - Terganggunya pola


keperawatan diharapkan pola tidur TTV dan catat tidur klien dapat
klien terkontrol, dengan kriteria adanya jika ada mangakibatkan
hasil: perubahan meningkatnya risiko
- TTV klien dalam batas normal hipotensi atau TTV
(Nadi: 80-110 x/mnt, RR: 16-24 dalam batas yang
x/mnt; TD: 120/80 mmHg; suhu tidak normal.
: 36-37,5°C) 2. Jika berkemih - Meningkatkan
- klien tidak sering terbangun di malam kenyamanan tidur
malam hari akibat ingin mengganggu, pasien dan mencegah
berkemih dan ingin minum. batasi asupan terbangun di malam
- klien tidak mengalami kesulitan cairan waktu hari akibat ingin
untuk tertidur/tetap tidur. malam dan berkemih.
berkemih sebelum
tidur.
3. Anjurkan keluarga - Dapat membantu
klien untuk klien untuk cepat
memberi klien tertidur dan membuat
rutinitas relaksasi tidur lebih nyenyak
untuk persiapan sehingga
tidur. meminimalkan risiko
terbangun di

3.4 Evaluasi
1. Kebutuhan akan volume cairan terpenuhi
2. Kebutuhan tubuh akan nutrisi terpenuhi
3. Pola tidur sesuai dengan waktu tidur normal
4. Pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatannya terpenuhi

20
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

21
Daftar Pustaka

William dan Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta : PT
Indeks.

Bilotta, Kimberly A. J, Dwi Widiarti [et al.]. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi
Keperawatan, Edisi 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Susan C. 2013. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 12. Jakarta:
EGC.

Syaifuddin. 2014. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan
Kebidanan Ed. 4. Jakarta: EGC.

Baradero, Mary, Mary, dan Yakobus Siswadi. 2005. Klien Gangguan Endokrin:Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC

Kowalak, Jenifer F (alih bahasa dr. Andry Hartono).2013. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC

22

Anda mungkin juga menyukai