Anda di halaman 1dari 50

KIMIA AN ORGANIK

(REAKSI ASAM-BASA DAN STANDARISASI)

DI
S
U
S
U
N
OLEH

1. FLAVIANA CLAUDIA ANDAYANI (14640017)


2. NABILAH FAUSTA ROSADI (146400
3. MONICANARIMA NINGTYAS (146400

FAKULTAS BAHASA DAN SAINS

PENDIDIKAN BIOLOGI

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN 2014

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “ REAKSI ASAM-BASA & STANDARISASI “, yang mana makalah ini diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kimia An-Organik.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan-kekurangannya, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan, waktu, serta
sumber yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan untuk perbaikan penyusunan selanjutnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Kimia
An-Organik ibu Pramita Laksitarahmi I., S.Si, M.Si. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Surabaya, 25 November 2014

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG......................................................................................................................4

1.2. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................6

1.3. TUJUAN..........................................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

1.4. JAWABAN PERMASALAHAN....................................................................................................7

BAB III PENUTUP

1.5. KESIMPULAN..............................................................................................................................48

1.6. SARAN...........................................................................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Zat anorganik secara umum dibagi menjadi 3 golongan penting : asam, basa, dan
garam. Walaupun dalam penggolongan asam‐basa terdapat asam‐basa lemah dari golongan
senyawa organik, tetapi dalam pembahasan asam, basa, garam, dan pH lebih difokuskan
pada senyawa‐senyawa (zat) anorganik, karena sifat kerelatifan keasaman zat‐zat organik
cukup besar dan lebih rumit pengukurannya secara eksak.
Asam dan basa merupakan sesuatu yang tidak asing lagi dalam kehidupan kita sehari.
Banyak barang yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari termasuk ke dalam contoh
asam dan basa. Seperti buah-buahan, sayur-sayuran, bahan industri, dan lain sebagainya.

Istilah asam (acid) berasal dari bahasa Latin acetum yang berarti cuka. Seperti
diketahui, zat utama dalam cuka adalah asam asetat. Basa (alkali) berasal dari bahasa Arab
yang berarti abu.

Seperti halnya dengan sabun, basa bersifat kaustik (licin), selain itu basa juga bersifat
alkali (bereaksi dengan protein di dalam kulit sehingga sel-sel kulit akan mengalami
pergantian). Rasa pahit merupakan salah satu sifat zat yang bersifat basa.

Kita dapat mengenali asam dan basa dari rasanya. Namun, kita dilarang mengenali
asam dan basa dengan cara mencicipi karena cara tersebut bukan merupakan cara yang aman.
Untuk mengidentifikasi asam dan basa yang baik dan aman dapat dengan menggunakan
indikator. Indikator yaitu suatu bahan yang dapat bereaksi dengan asam, basa, atau garam
sehingga akan menimbulkan perubahan warna.

Ilmu kimia analitik adalah ilmu kimia yang mendasari pemisahanpemisahan dan analisis
bahan.Analisa bertujuan untuk menentukan susunan bahan, baik secara kualitatif, kuantitatif,
maupun secara struktur.Susunan kualitatif merupakan komponen-komponen bahan,
sedangkan susunan kuantitatif adalah berapa banyaknya atau setiap komponen
tersebut.Dalam ilmu kimia analitik untuk menganalisa suatu komponen kimia terdiri atas
beberapa analisis yaitu analisis volumetri, analisis gravimetri. Analisa volumetri adalah salah
satu cara pemeriksaan jumlah zat kimia yang luas penggunaannya. Cara ini sangat
menguntungkan karena pelaksanaannya yang mudah dan cepat, ketelitian dan kecepatan
cukup tinggi, juga dapat digunakan untuk menetukan kadar berbagai zat yang mempunyai
4
sifat berbeda-beda. Metode volumetri secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam empat
kategori yaitu titrasi asam basa yang meliputi reaksi asam dan basa baik kuat maupun lemah,
titrasi redoks yaitu titrasi yang meliputi hampir semua reaksi oksidasi reduksi, titrasi
pengendapan yaitu titrasi yang meliputi pembentukkan endapan, dan titrasi kompleksometri
seperti titrasi EDTA misalnya titrasi spesifik. Titrasi asam basa melibatkan asam maupun
basa sebagai titer ataupun titrant.Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan.Kadar
larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya.
Titrant ditambahkan titer sedikit demi sedikit sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya
secara stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi). Titrasi asambasa sering disebut
aidimetri-alkalimetri, asidimetri diartikan pengukuran jumlah asam ataupun pengukuran
dengan asam (yang diukur jumlah asam atau garam).Tentu saja ini membingungkan, namun
usaha untuk menetapkan arti mana yang harus dipakai tidak berasil.Maka asidimetri dan
alkalimetri sebaliknya diartikan umum saja, yaitu titrasi yang menyangkut asam dan basa.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas maka perlu dilakukan praktikum mengenai analisis
volumetri (titrasi asam basa), guna mengetahui metode atau cara menitrasi suatu larutan yang
bersifat basa ataupun asam, selain itu dapat menyelaraskan antara praktikum dan teori titrasi
asam basa.

5
1.2.RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang di maksud dengan reaksi Asam-Basa?


2. Apa yang di maksud penetralan asam basa?
3. Apa yang di maksud berat ekivalen dan larutan normal?
4. Apa yang di maksud dengan titrasi Asam-Basa?
5. Apa yang di maksud dengan standarisasi secara Iodometri, Gravimetri, Argentometri
dan Permangarometria?

1.3. TUJUAN
1. Mengetahui apa itu reaksi Asam-Basa.
2. Mengetahui apa itu penetralan Asam-Basa.
3. Mengetahui titrasi Asam-Basa.
4. Mengatahui apa itu standarisasi secara Iodometri, Gravimetri, Argentometri dan
Permangarometria.

6
BAB II
PEMBAHASAN

1.4. JAWABAN PERMASALAHAN

A. REAKSI ASAM-BASA

Reaksi asam-basa adalah reaksi kimia yang terjadi antara asam dan basa. Asam adalah zat
yang, ketika dilarutkan dalam air, memiliki aktivitas ion hidrogen lebih besar daripada yang
dilakukan air murni, sedangkan basa adalah zat yang, ketika dilarutkan dalam air, dapat
menerima ion hidrogen. Keasaman larutan diukur berdasarkan skala pH, zat dengan pH
kurang dari tujuh adalah asam sementara larutan dengan pH lebih dari tujuh adalah basa. Ada
banyak penjelasan yang berbeda dan bentuk-bentuk reaksi asam-basa, karena mereka dapat
terjadi dalam berbagai cara dan telah dipelajari oleh sejumlah ahli kimia yang berbeda.

Ada beberapa sifat yang berbeda yang mendefinisikan asam dan basa selain apakah
mereka dapat memberikan atau menerima ion hidrogen. Asam mengubah kertas lakmus biru
menjadi merah, memiliki rasa asam, dan bereaksi dengan beberapa logam untuk
membebaskan oksigen. Basa, di sisi lain, mengubah kertas lakmus merah menjadi biru,
memiliki rasa pahit, dan sering memiliki perasaan licin. Kedua asam dan basa menghantarkan
listrik.

Biasanya, ketika asam dan basa direaksikan bersama-sama, mereka menghasilkan garam.
Garam adalah produk netral reaksi asam-basa. Misalnya, ketika asam klorida direaksikan
dengan natrium hidroksida, basa kuat, produk dari reaksi adalah NaCl, atau natrium klorida,
yang merupakan garam meja biasa dan tidak asam atau basa, memiliki pH sekitar tujuh.
Ketika garam dilarutkan dalam air, mereka dikenal sebagai elektrolit dan mereka
menghantarkan listrik. Ada beberapa klasifikasi yang berbeda dari garam, karena beberapa
pelepasan ion hidroksida bila dilarutkan, beberapa pelepasan ion hidronium, dan beberapa
tidak ada pelepasan.

Ada berbagai macam reaksi asam-basa karena ada berbagai macam asam dan basa yang
semuanya dapat bereaksi dalam jumlah yang berbeda.

7
Suatu asam kuat bereaksi dengan basa lemah akan memiliki hasil yang berbeda dari asam
lemah bereaksi dengan basa lemah, karena asam kuat melepaskan ion hidronium lebih ke
larutan dari asam lemah dan basa kuat melepaskan ion hidroksida lebih ke dalam larutan dari
basa lemah.

Reaksi asam-basa yang dipelajari di semua tingkat kimia, dimulai di sekolah tinggi,
karena mereka merupakan bagian integral dari banyak karir yang melibatkan kimia. Tubuh
manusia memiliki banyak reaksi asam-basa yang berbeda yang sedang berlangsung yang
disimpan dalam keseimbangan halus sampai sedang berbagai fungsi tubuh. Perusahaan
farmasi, perlu memastikan bahwa obat yang mereka buat tidak mengganggu keseimbangan
rumit tersebut.

Asam
Secara sederhana (klasik) didefinisikan sebagai zat, yang bila dilarutkan
dalam air, mengalami disosiasi dengan pembentukan ion positif hidrogen (H+) – tingkat
kekuatan asam dihubungkan dengan jumlah parsial H+, yang dihasilkan dari disosiasi. Makin
besar jumlah parsial ion positif H yang dihasilkan, maka bisa dikatakan asam juga makin
kuat.Secara umum beberapa disosiasi asam dapat digambarkan sebagai berikut :

Ion positif hidrogen (H+) atau proton secara teoritik tidak pernah ada dalam air. Dalam
disosiasinya setiap proton atau H+ selalu bergabung dengan satu molekul air dengan cara
menjalin ikatan koordinasi melalui sepasang elektron bebas (lone pair electron) pada oksigen
air, dan membentuk ion‐ion hidronium (H3O+).
Asam‐asam seperti di atas, dalam disosiasinya hanya menghasilkan satu proton
(satu ion H+) setiap molekulnya, sehingga dinamakan asam monoprotik, dan merupakan
pasangan reaksi reversibel asam‐basa konjugasi dengan air. Dalam kasus lain, akan dijumpai
asam‐asam yang jika berdisosiasi dengan air, melepaskan lebih dari satu proton, asam
poliprotik.

8
Contoh asam ini antara lain asam sulfat, H2SO4, yang dalam air akan berionisasi
dalam 2 tahap, yaitu :

Ion hidronium yang dihasilkan pada reaksi tahap kedua tidak sebanyak ion hidronium
yang dihasilkan pada reaksi tahap pertama. Sebab pada tahap pertama, reaksi berlangsung
lengkap, semua asam sulfat bereaksi dengan air menghasilkan ion hidronium. Sedangkan
pada tahap kedua, hanya sebagian HSO4 yang berdisosiasi menghasilkan ion hidronium.
Sehingga secara relatif, HSO4 merupakan asam lemah walaupun H2SO4 merupakan asam
yang kuat. Asam sulfat ini dinamakan asam diprotik.
Ada pula asam yang dalam reaksinyadengan air (berdisosiasi) menghasilkan 3proton
tiap molekulnya, asam triprotik. H3PO4 merupakan salah satu contoh asam triprotik,yang
bereaksi dengan air dengan tiga tahap pelepasan proton. Yang perlu diperhatikan,bahwa
dalam tahapan yang lebih tinggi,pembentukan proton menjadi semakin tidak lengkap dan
semakin lambat.

Basa
Dalam pengertian yang disederhanakan, sifat basa dalam air dipengaruhi
oleh pembentukan ion hidroksida. Di alam, unsur‐nsur golongan I A dan II A, akan
membentuk basa kuat dengan ion hidroksida. Artinya kebanyakan unsur‐unsur ini secara
alamiah telah berikatan dengan hiroksida, sehingga jika melarut dalam air, akan langsung
melepaskan ion‐ion hidroksida (anionnya). Sedangkan basa‐basa lemah (biasanya molekul
kovalen) harus bereaksi dengan air, menangkap H+ dari air, sehingga air menyisakan OH‐.
Unsur golongan I A membentuk basa monohidroksida, dan unsur golongan II A membentuk
basa dihidroksida.

9
Garam.
Suatu asam apa saja jika direaksikan dengan basa apa saja, pasti akan menghasilkan garam,
hasil reaksi anion dari asam dengan kation dari basa. Asam kuat, HCl, jika direaksikan
dengan basa kuat, NaOH, akan menghasilkan garam netral NaCl dan molekul air.

HCl + NaOH→ NaCl + H2O


Basa kuat jika bereaksi dengan asam lemah akan menghasilkan garam yang bersifat basa.
Asam asetat, CH3COOH, bereaksi dengan KOH, menghasilkan garam (sabun) yang bersifat
basa (reaksi semacam ini dinamakan saponifikasi, penyabunan), CH3COONa dan air. Lain
lagi dengan NH4Cl, larutan garam ini bersifat asam (memerahkan kertas lakmus biru). Hal ini
tak lain karena ammonium klorida berasal dari reaksi asam kuat (HCl) dengan basa lemah
(NH3). Untuk itu dapat diambil pedoman sederhana dalam menentukan sifat keasaman suatu
garam, sesuai dengan kekuatan asam atau basa pembentuknya (mana yang lebih dominan).

Reaksi ion garam apa saja jika dilarutkan dalam air, akan tergolong dalam salah satu dari
empat kasus yang pasti terjadi, yaitu :
1. Kation maupun anion tidak bereaksi dengan air, kecuali hanya terionkan saja, dan
tidak bertindak sebagai asam maupun basa. Garam seperti ini berasal dari kation
basa kuat (Li+, Na+, K+, Ba2+, Sr2+) dan anion asam kuat (Cl‐, NO3‐, SO42‐) membentuk
larutan netral. Contoh garam jenis ini adalah NaCl, KCl, BaCl2, SrCl2, NaNO3, Li2SO4,
dan Sr(NO3)2.
2. Kation garam betindak sebagai asam, anion tidak bertindak sebagai basa. Garam
seperti ini terdiri atas kation yang berasal dari basa lemah dan anion dari asam kuat,
dan larutannya bersifat asam. Contohnya adalah NH4Cl, NH4NO3, Fe(H2O)63+, dan
sebagainya.
3. Anion garam bertindak sebagai basa, kation tidak bertindak sebagai asam. Garam
jenis ini adalah hasil dari reaksi kation yang berasal dari basa kuat dengan anion dari
asam lemah. Larutan garam ini dalam air bersifat basa. Contohnya, CH3COOK, NaCN
(dalam kadar yang ekuimolar, Larutan NaCN lebih bersifat basa daripada CH3COOK),
K2CO3 atau Na2CO3. Dalam air larutan kalium atau natrium karbonat, terhidrolisis
dalam dua tahap, yaitu :

10
OH- terbesar dihasilkan dari reaksi pertama, reaksi kedua berjalan jauh lebih lambat.
4. Kation garam bertindak sebagai asam, dan anion bertindak sebagai basa. Hal ini
terjadi karena garam berasal dari reaksi asam lemah dan basa lemah. Kation berasal dari basa
lemah, demikian juga anionnya berasal dari asam lemah, sehingga ketika dilarutkan ke dalam
air, keduanya (kation maupun anion) akan mengalami hidrolisis.
Hidrolisis kation menghasilkan OH‐, dan hidrolisis anion menghasilkan H+, sehingga akan
menghasilkan larutan total yang bersifat netral, asam atau basa, tergantung fraksi ion
hidrogen atau ion hidroksida yang dihasilkan dan juga tergantung pada kekuatan relatif asam‐
basa asalnya. Contoh, larutan CH3COONH4 bersifat netral sebab kekuatan ion NH4+ dan
CH3COO‐ sama kuat dan saling menetralkan (nilai konstanta asam asetat dan konstanta basa
ammonium hidroksida hampir sama).
Namun (NH4)2CO3 merupakan larutan yang bersifat basa, sebab ion karbonat bersifat lebih
kuat kebasaannya daripada sifat keasaman ion ammonium (Konstanta asam H2CO3 lebih kecil
dari kostanta basa NH4OH).

Kekuatan relatif asam dan basa. Seperti dijelaskan sebelumnya, kekuatan suatu asam
merupakan kemampuannya menyumbangkan atau melepaskan proton pada molekul air.
Demikian juga dengan basa, kekuatannya diukur berdasarkan ion hidroksida yang dilepaskan.

Dalam reaksi konjugasi asam basa di atas (dan berlaku untuk semua reaksi konjugasi), air
merupakan basa lemah dibanding dengan HA (asam lebih kuat). Pasangan asam basa
konjugasinya adalah HA dengan A‐ (asam kuat dengan basa lemah), serta H2O dengan H3O+
(basa lemah dengan asam kuat), total produk bersifat asam. Fenomena ini selalu terjadi,
asam/basa lemah berkonjugasi dengan basa/asam kuat, dan sebaliknya. Itulah mengapa anion
garam yang berasal dari asam kuat, kurang bersifat basa.

11
Secara komparatif kekuatan asam basa dapat di lihat pada tabel berikut :

Dalam larutan air empat asam yang disebutkan pertama dalam tabel akan segera membentuk
ion hidronium dengan molekul air, karena hanya ion hidronium yang merupakan asam
terkuat yang bisa berada dalam air. Sehingga dalam larutan berair, keempat asam kuat
tersebut menjadi relatif sama (levelling effect/efek pendataran = reaksi suatu pelarut untuk
menyamakan kekuatan asam/basa reagen yang berlainan). Demikian juga, secara teori hanya
OH‐ yang merupakan basa terkuat yang bisa berada dalam air. Sehingga O2‐ (dalam keadan
murni punya sifat basa lebih besar dari OH‐) akan bereaksi membentuk OH‐ dengan air.
Demikian jugan dengan NaNH2.

Dari tabel nampak NH2 merupakan basa yang lebih kuat daripada OH‐. Namun karena efek
pendataran, maka baik NH2‐ maupun O2‐, akan mempunyai kekuatan basa yang sama dengan
NaOH (basa terkuat di larutan air).

12
Tetapan pengionan asam-basa (Ka – Kb)
Tetapan pengionan asam (konstanta keasaman‐kebasaan) adalah merupakan perbandingan
antara ion‐ion yang dihasilkan saat pelarutan dengan jumlah senyawa yang tidak terionkan.
Nilai ini akan tetap pada konsentrasi berapapun pada kondisi tertentu yang sama, kecuali
pada larutan jenuh. Jika asam asetat dicampurkan ke air, maka sebagian kecil molekul asam
asetat terionkan dan sebagian besar tetap dalam bentuk senyawaannya. Dalam percobaan
laboratorium, jika 0,1 M asam asetat dilarutkan ke air maka akan segera terjadi
kesetimbangan sebagai berikut,

maka jika dihitung nilai tetapan pengionannya, di dapatkan:

Kuantitas ion terlarut, ditentukan dengan berbagai macam analisa, salah satunya adalah
dengan mengukur daya hantar listrik larutan. Semakin besar hantaran listriknya, berarti ion
yang terlarut makin banyak.
Nilai tetapan pengionan yang telah diperoleh melalui pengujian‐pengujian, dapat
dipergunakan kembali untuk menentukan besar pengionan untuk larutan yang sama dengan
konsentrasi yang belainan. Jadi dapat diramalkan banyak ion‐ion yang terlarut, jika
dicampurkan 2 mol asam asetat dalam air hingga jumlah volumenya 1 liter.
Perhitungan dapat dimulai dari reaksi pengionannya:

Dengan Ka yang kecil maka hanya sebagian kecil saja asam asetat yang terionkan (1,34% jika
awalnya 0,1 M) sehingga 2‐x nilainya akan tetap mendekati 2 (2 – x ~ 2), maka perhitungan
dapat disederhanakan menjadi,

13
pada larutan yang lebih pekat ini, prosentase pengionannya dapat dihitung,

Bandingkan hasil di atas dengan jika hanya 0,1 mol yang dilarutkan, persen pengionannya
=1,34 %. Nampak dengan jelas bahwa semakin pekat larutan asam lemah, semakin sedikit
persen pengionannya, dan sebaliknya larutan yang makin encer pengionannnya juga semakin
baik.
Pengionan air. Pengukuran daya hantar listrik pada air murni (25 0C) menunjukkan bahwa
air mengion dalam jumlah yang sangat kecil, hanya 1 x 10‐7 mol/L. Dari rumus
kesetimbangannya, dapat ditentukan konstanta pengionan untuk air.

Dengan memasukkan nikai ion‐ion H+ dan OH‐ dari molekul yang terionisasi, maka
didapatkan nilai Kw = [H+][OH‐] = (10‐7)(10‐7) = 10‐14. Kw ini dinamakan hasil kali ion untuk
air. Nilai Kw akan konstan pada berbagai macam larutan air. Jika air ditambahkan asam maka
ion H+ akan meningkat jumlahnya, dan untuk mempertahankan nilai Kw maka dengan
sendirinya ion OH‐ akan berkurang, sehingga hasil perkaliannya sama dengan Kw. Sebaliknya
jika air ditambahkan basa, OH‐ akan meningkat dan proton akan turun.
Sebagai contoh, jika ke dalam air ditambahkan HCl hingga konsentrasinya menjadi 0,01M,
maka ion OH‐ akan tersisa sebesar,
Kw = [H+][OH‐]
10‐14 = (0,01)[OH‐]
[OH‐] = 10‐12

14
Jadi memang demikian yang terjadi, pada larutan yang bersifat asam masih mengandung ion
OH‐, sebaliknya juga pada larutan basa masih ada ion H+. Dengan perhitungan‐perhitungan
asam, basa dan hidrolisa, akan didapatkan hubungan antara Ka, Kb, dan Kw, yaitu :

Eksponen Ion Hidrogen (pH) dan Kekuatan Asam – Basa


Seorang kimiawan, Sorensen (1909), mendefinisikan tingkat keasaman air
berdasarkan kekuatan ion hidrogen yang aktif mempengaruhinya. Nilai keasaman ditentukan
dengan exponen ion hidrogen aktif, yang dilambangkan dengan pH, didapat dari angka
negatif logaritmik berbasis 10 konsentrasi ion hidrogen yang aktif secara kesetimbangan
stoikiometriknya.

pH = ‐ 10Log [H+]

nilai [H+] tidak hanya tergantung pada jumlah zat (asam, garam, basa) yang dimasukkan ke
dalam sistem larutan, tetapi juga bergantung pada kelarutan dan aktifitas ionnya. Nilai skala
pH diberikan mulai dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa), dengan niai pH =7
sebagai pH netral (asam dan basa berimbang). Dengan demikian dengan sederhana dapat
dipahami bahwa zat dapat dibedakan atas asam kuat, asam lemah, garam‐garam, basa
lemah, dan basa kuat.
Asam kuat adalah zat yang jika dilarutkan ke dalam air, semua ion hidrogen larut dan
berdisosiasi membentuk ion hidronium (H3O+), sehingga semua ion hidrogen punya aktifitas
besar terhadap keasaman air. Bisa dihitung dengan mudah pH asam kuat dengan langsung
mengambil nilai eksponen konsentrasi ion H+‐nya. Contoh pH dari HCl 0,1 M adalah 1, (pH
= ‐log[H+] = ‐ log 0,1 = 1). Sedangkan asam lemah, hanya sebagian saja ion hidrogen yang
berdisosiasi dan beraktifitas, sebagian yang lain tetap terikat pada senyawanya (tidak larut).
Nilai pH harus dihitung dengan memperhatikan nilai Ka (konstanta keasaman). Sifat kekuatan
keasaman ini sangat erat hubungannya dengan kesetimbangan kelarutan zatnya.
Basa kuat dan basa lemah, kejadiannya sama dengan asam kuat dan asam lemah, hanya saja
yang beraktifitas adalah ion hidroksida (OH‐). Dari peristiwa hidrolisa air, akan didapatkan

bahwa ; pOH = ‐ 10Log [OH‐] = 14 – pH


jadi jika suatu larutan basa kuat, misal NaOH, sebanyak 0,1 mol dilarutkan kedalam air, maka
nilai pOH adalah –log 0,1 = 1, atau nilai pH = 14‐1 = 13.

15
Asam Lemah. Zat‐zat asam jika dilarutkan kedalam air, akan mengalami disosiasi atau larut
dalam bentuk ionik. Namun demikian, karena nilai kesetimbangan (ionik) yang berbeda‐beda
dalam larutannya, maka ada beberapa zat yang tidak terdisosiasi dengan sempurna. Sebagian
akan terdisosiasi menjadi anion dan kation (H+), dan sebagian yang lain akan larut tetap
dalam bentuk molekul senyawanya. Contohnya, asam asetat (cuka) jika dilarutkan ke dalam
air, maka sebagian molekul akan berdisosiasi menjadi anion CH3COO‐ dan katoin H+ (H3O+),
sebagian yang lain tetap dalam bentuk molekul CH3COOH yang berikatan hidrogen dengan
air. Hasil perkalian ion‐ion senyawa asam yang terdisosiasi dibagi dengan molekul yang tidak
terdisosiasi akan selalu tetap, pada kondisi suhu dan tekanan tertentu, tidak tergantung pada
konsentrasinya, dan dinamakan tetapan pengionan asam atau konstanta keasaman, Ka.

Tetapan kesetimbangan berdasar reaksi pengionan asam di atas, adalah

Bebepa nilai Ka untuk senyawaan asam dicantumkan pada tabel berikut :

16
Untuk asam asetat, Ka = 1,8 . 10‐5. Dengan demikian nilai pH suatu asam lemah tidak
sama dengan nilai eksponen konsentrasi hidrogen dalam molekulnya, melainkan sebesar ion
hidrogen yang mampu terdisosiasi dengan air saja. Dalam aplikasi perhitungan dapat diambil
pendekatan seperti berikut :

Dalam reaksi, secara stoikiometri, setiap y mol CH3COOH akan menghasilkan y mol
CH3COO‐ dan y mol H+. Sehingga pH kesetimbangannya adalah :

karena nilai y jauh lebih kecil dari 0.1 maka nilai pengurngannya bisa diabaikan
(0,1 – y ~0,1), sehingga

karena [H+] = y dalam kesetimbangan, maka jumlah mol H+ = 1,34 x 10‐3 atau nilai [H+] =
1,34 x 10‐3 mol/L (total sistem larutan adalah 1 liter).

17
Maka secara sederhana dapat ditentukan konsentrasi ion H+ atau [H+] dengan rumus, [H+] =
Ka.[As] , dimana Ka = tetapan pengionan asam, dan [As] = konsentrasi asam lemah. Dari
sini nilai pH dengan mudah dapat ditentukan (dengan contoh kasus di atas).
pH = ‐ log [H+]
= ‐log (1,34 x 10‐3)
= 2,87
Bandingkan dengan nilai Ph dari HCl atau asam kuat lain dengan konsentrasi 0,1 M.

Basa lemah. Seperti halnya dengan asam, zat‐zat basapun akan mengalami disosiasi jika
dilarutkan dalam air. Basa kuat, akan terdisosiasi langsung menjadi kation da anion
hidroksida (OH‐), sedangkan basa lemah akan bereaksi dengan air membentuk kation dengan
mengambil proton dari molekul air (OH‐ dihasilkan dari molekul air yang kehilangan proton
atau H+). Secara umum reaksi basa lemah adalah sebagai berikut :

Kb adalah tetapan pengionan basa atau konstanta basa, makin besar nilai Kb maka semakin
kuat sifat kebasaannya dalam air. Sebagai contoh untuk basa ammonia, NH3, reaksi
disosiasinya dalam air adalah

Beberapa nilai konstanta untuk basa lemah dicantumkan pada tabel berikut :

18
Sama seperti perhitungan pH untuk asam lemah, pOH ataupun pH basa lemah juga
ditentukan dengan memasukkan harga Kb. Jadi jika sistem larutan air dimasukkan ammonia
0,5 mol tiap liternya, maka berdasarkan nilai Kb‐nya dapat ditentukan pH sebagai berikut :

bandingkan harga pH denganharga pH larutan KOH atau larutan NaOH dengan konsentrasi
0,5 M, memakai rumus untuk basa kuat. Sama halnya seperti asam kuat (pada bahasan
sebelumnya), secara sederhana menentukan konsentrasi OH‐ dan pH untuk basa lemah dapat
dirumuskan

B. PENETRALAN ASAM BASA


Reaksi penetralan merupakan reaksi antara senyawa asam dengan senyawa basa, atau reaksi
penggaraman yang menghasilkan air. Jika suatu asam kuat dan basa kuat yang ekuimolar,
direaksikan (dicampur) dalam larutan air, maka ion hidronium dari asam dan ion hidroksida
dari basa akan bersenyawa membentuk air. Demikian juga dengan asam lemah maupun basa
lemah.
Reaki penetralan termasuk reaksi pada larutan elektrolit yaitu reaksi antara asam dengan basa
sampai terjadi suasana netral. Bagaimana terjadinya penetralan pada larutan asam dan basa?
Coba perhatikan gambar pada saat larutan asam klorida direaksikan dengan larutan natrium
hidroksida.
HCl(aq) + NaOH(aq) → NaCl(aq) + H2O(l)
Asam basa garam air

19
Pada reaksi antara asam dan basa, ion hidrogen, H+(aq) dan ion hidroksida, OH–(aq)
bergabung membentuk molekul air yang bersifat netral. H+(aq) + OH–(aq) → H2O(l)
Ion Na+(aq) dan ion Cl–(aq) tetap di dalam larutan NaCl. Jika diuapkan akan dihasilkan NaCl
padat atau garam dapur. Jika jumlah mol ion H+ dari asam sama dengan jumlah mol ion OH–
dari basa maka hasil reaksi akan bersifat netral. Reaksi tersebut dinamakan reaksi penetralan.

Contoh reaksi penetralan yang lain yaitu:


HCl(aq) + KOH(aq) → KCl(aq) + H2O(l)
CH3COOH(aq) + NaOH(aq) → CH3COONa(aq) + H2O(l)
Sehingga dalam perhitungan kimiawi, reaksi penetralan akan terjadi dalam beberapa kasus,
dan menghasilkan garam‐garam dengan sifat yang berbeda. Berdasarkan kekuatan asam atau
basa, reaksi penetralan dibedakan atas 4 macam.

Asam kuat dengan basa kuat. Dalam reaksi asam kuat dengan basa kuat, mula‐mula
asam maupun basa terdisosiasi atau mengion dalam pelarut (air). Asam kuat, misalkan HCl,
akan terion menjadi hidronium dan anion (HCl +H2O ↔ H3O+ + Cl‐), sedangkan basa kuat, misal
NaOH, akan terion menjadi ion hidroksida (OH‐) dan kation (Na+). Kemudian ionion akan
melakukan reaksi (penetralan) membentuk garam dan air.
Reaksi lengkap : H3O+ + Cl‐ + Na+ + Cl‐ ↔ 2H2O + Na+ + Cl‐

Dengan persamaan ion netto sederhananya sebagai berikut :


H+ + OH‐ ↔ H2O
Ion Na+ dan Cl‐ ini akan tetap dalam bentuk ion pada larutan air, dikarenakan kelarutannya
sangat besar pada pelarut ini (hampir semua garam dapat larut dengan baik di air). Dengan
melakukan evaporasi pelarutnya (penguapan air), akan diperoleh padatan/kristal NaCl.

20
Asam kuat dengan basa lemah. Reaksi antara asam dengan basa, tak selalu menghasilkan
larutan netto yang bersifat netral, karena larutan netral hanya diperoleh jika asam dan basa
yang bereaksi sama kuatnya. Dapat diperhatikan untuk kasus HCl, asam kuat, dicampurkan
dengan NH3, basa lemah, akan menghasilkan garam yang mempunyai kation bersifat asam
(NH4 +) sehingga larutan bersifat asam. Mula‐mula baik HCl akan terhidrolisis dalam pelarut
air, meghasilkan ion‐ionnya.
HCl + H2O ↔ H3O+ + Cl
Ion ini akan melakukan reaksi dengan NH3 secara cepat, membentuk air dan garam trerlarut,
ammonium klorida (NH4Cl).
Reaksi total H3O+ + Cl‐ + NH3 ↔ NH4+ + Cl‐ + HOH
Larutan ion‐ion ammonium klorida yang diperoleh dalam reaksi di atas bersifat agak
asam,
karena NH4 + bersifat asam dalam air (reaksi hidrolisis) sedangkan Cl‐ tidak bereaksi dengan
air (lihat kasus pelarutan garam dalam air).
Nilai pH yang larutan dari reaksi ini dapat dihitung dengan tiga cara. Pertama, jika
asam kuat tersisa dalam reaksi maka pH dihitung hanya berdasarkan konsentrasi asam kuat
sisa (pH dari [HCl] sisa). Kedua, jika reaksi ekivalen, semua asam kuat maupun basa lemah
tepat habis dalam reaksi, maka pH dihitung dengan rumus konsentrasi ion H+ garam yang
berasal dari basa lemah, yaitu

21
Ketiga, jika setelah reaksi yang tersisa adalah basa lemahnya, maka larutan ini adalah larutan
buffer basa. Asam basa yang bereaksi membentuk garam, dan dengan sisa basa lemah dalam
satu larutan membentuk sistem penyangga (buffer). Nilai pH sistem larutan ini dihitung
dengan rumus buffer,

Asam lemah dengan basa kuat. Contoh sederhana untuk menjelaskan reaksi ini adalah
reaksi asam asetat yang mengalami reaksi saponifikasi (penyabunan) dengan NaOH. Larutan
garam hasil reaksi ini bersifat basa. Sama dengan asam kuat, basa kuat NaOH akan terionisasi
lebih dahulu menjadi Na+ dan OH‐. Ion hidroksida ini akan segera bereaksi dengan asam
asetat membentuk air dan ion asetat.
NaOH + H2O ↔ Na+ + OH‐ + H2O
Na+ + OH‐ + CH3COOH ↔ Na+ + CH3COO‐ + H2O
Larutan garam natrium asetat yang dihasilkan ini bersifat basa, karena ion asetat bertindak
sebagai basa dalam air, sedang ion natrium tidak cukup bertindak sebagai asam (lihat kasus 3
pelarutan garam dalam air).
Nilai pH dari sistem reaksi ini juga dapat didekati dalam 3 cara. Pertama, setelah reaksi
tersisa basa kuat, pH = 14 ‐log [OH‐], konsentrasi OH‐ sama dengan konsentrasi basa sisa.
Kedua, semua asam lemah maupun basa kuat habis dalam reaksi membentuk garam, sifatnya
basa, konsentrasi OH‐ dan pH dihitung dengan

Ketiga, setelah reaksi membentuk garam dalam larutan tersisa asam lemah, maka larutan ini
adalah sistem buffer asam, maka

22
Asam lemah dengan basa lemah. Kejadian yang agak berbeda terjadi pada kasus reaksi
antara asam lemah dan basa lemah. Jika pada reaksi asam kuat dengan basa kuat, garam yang
dihasilkan pasti netral. Pada asam lemah dan basa kuat, garamnya basa. Dan pada asam kuat
dengan basa lemah, garam yang dihasilkan bersifat asam. Lain halnya dengan reaksi asam
lemah dengan basa lemah, nilai konstanta keasaman/kebasaan atau konstanta pengionan
menjadi faktor utama untuk menentukan apakah garam yang dihasilkan bersifat asam, netral,
maupun basa.
Dalam reaksi dapat diambil contoh reaksi asam asetat dengan ammonia (dalam
larutan air membentuk ammonium hidroksida). Asam basa ini akan mengalami reaksi sebagai
berikut :
CH3COOH + NH3 ↔ NH4+ + CH3COO‐ atau
CH3COOH + NH4OH ↔ NH4CH3COO + H2O

Karena nila Ka (asam asetat) = Kb (ammonium hidroksida), maka garam ammonium asetat
praktis bersifat netral. Katoin NH4 + bertidak sebagai asam cukup diimbangi dengan anion
CH3COO‐ yang bertidak sebagai basa, keduanya berkekuatan sama. Jika keduanya (asam
lemah dan basa lemah) mempunyai tingkat kekuatan yang berbeda (Ka ≠ Kb), maka sifat
garam yang dihasilkan mengikuti tingkat keasaman/kebasaan yang lebih besar. Contoh,
garam ammonium flourida (NH4F).
HF + NH3 ↔ NH4+ + F‐
Ka HF = 6,6 x 10‐4 Kb NH3 = 1,8 x 10‐5 (Ka > Kb)
Maka garam ammonium flourida bersifat asam, ion ammonium bertindak sebagai
asam lebih kuat daripada ion flourida yang bertindak sebagai basa (lihat pasangan asam basa
konjugasi).
Secara umum nilai konsentrasi H+ atau OH‐ dari sistem ini dapat dihitung dengan
rumus hidrolisa.

23
C. BERAT EKIVALEN DAN LARUTAN NORMAL

Berat ekivalen dan larutan normal merupakan pengertian dasar yang cukup penting dalam
reaksi asam basa, maupun perhitungan‐perhitungannya. Berat ekivalen (BE) suatu asam
adalah berat dari senyawa asam yang mampu menghasilkan tepat 1 mol proton (H+), yaitu
6,022 x 1023 buah proton, untuk bereaksi dengan basa. Sedang berat ekivalen basa adalah
berat senyawa basa yang mampu menyediakan 1 mol OH‐ untuk bereaksi dengan asam.
Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan dalam reaksi berikut,

terlihat jelas bahwa tiap molekul H2SO4 akan menghasilkan 2 proton (H+) dan bereaksi
dengan OH‐ menghasilkan air. Sehingga, untuk mendapatkan 1 mol proton cukup dari ½ mol
asam sulfat yang dilarutkan/direaksikan, atau mol ekivalen H2SO4 = ½ mol asam sulfat.
Berat ekivalen asam sulfat, asam klorida, asam nitrat dalam reaksi adalah berat 1 mol
ekivalennya yaitu 49,0 g; 36,5 g dan 63,0 g. Berat ekivalen NaOH, KOH dan Ca(OH)2,
masing‐masing 40,0 g; 56,1 g dan 37,0 g.
Asam atau basa tertentu bisa saja mempunyai lebih dari satu nilai berat ekivalen,
tergantung reaksi yang dijalaninya. Sebagai contoh asam sulfat, pada reaksi diatas berat
ekivalennya adalah berat 1 mol ekivalen = berat ½ molnya; pada kondisi tertentu
imungkinkan reaksinya dengan NaOH hanya menghasilkan NaHSO2 bukan Na2SO4,
sehingga mol ekivalennya sama molnya sendiri, dan berat ekivalennya sama dengan berat
1 molnya, 98,0 gram.

24
Normalitas. Sejumlah berat ekivalen (1 mol ekivalen) zat terlarut (asam/basa) dalam
tiap satu liter larutan dinamakan kenormalan atau normalitas larutan, disingkat dengan
lambang N. Suatu larutan asam 1 N artinya bahwa tiap 1 liter larutan mengandung asam
sejumlah berat ekivalen 1 mol proton.

Contoh soal.
Tentukan normalitas larutan yang dibuat dengan melarutkan 98,0 gram H3PO4 dalam air
yang cukup untuk membuat larutan 2 liter. Dianggap bahwa jika asam ini direaksikan dengan
basa semua protonnya mampu bereaksi.
Jawaban:
Berat 1 mol H3PO4 adalah 98,0 gram dan akan menghasilkan 3 mol proton (H+), maka berat
ekivalennya adalah

25
Penentuan pH secara Eksperimen

Secara teknis, seringkali tidak bisa ditentukan dengan pasti berapa besar konsentrasi
ion H+ maupun ion OH‐ dalam larutan. Beberapa sampel di lapangan bahkan belum diketahui
secara persis apakah bersifat asam, basa, atau netral. Oleh karena itu sangat penting artinya
mempelajari penentuan pH secara eksperimen. Beberapa metode telah dikembangkan, baik
secara klasik yaitu titrasi atau dengan kertas indikator (kertas lakmus, atau indikator
universal), maupun dengan cara yang lebih modern, potensiometri, elektroda
konduktivitimetri dan pH‐meter, atau dengan sensor‐sensor asam‐basa manipulasi gelombang
laser dan komputerisasi. Dalam bahasan ini dicukupkan pada beberapa metode yang aplikatif
dan mudah dilapangan.
Penentuan pH dengan kertas Lakmus. Universal Paper Indicator atau kertas Lakmus
selama ini cukup memudahkan dalam penentuan pH secara kasar. Dalam larutan yang asam
kertas indikator akan menunjukkan warna kuning sampai merah, dan pada larutan basa akan
menunjukkan warna kuning sampai biru. Kertas indikator yang baik akan memberikan
degradasi warna yang cukup kelihatan dengan berubahnya pH, misal untuk pH 1 akan
berwarna merah tua, 2 agak lebih muda dan seterusnya 7 kuning, 8 agak biru sampai 13 biru
tua kehitaman. Dengan mencocokkannya dengan standar warna, akan didapat nilai pH
pendekatannya.
Penentuan dengan pH‐meter atau potensiometer. Elektroda hidrogen adalah
standar absolut untuk pengukuran pH, namun ini cukup tidak adaptif dalam pemakaian yang
beragam dan cukup menyulitkan. Sehingga diupayakan membuat elektroda atau indikator
lain yang lebih praktis dalam pemakaian, dengan melalui kalibrasi terhadap elektroda
hidrogen. Elektroda gelas adalah salah satu contoh probe yang dipakai untuk mengukur pH.
Prinsip pengukurannya adalah menghubungkan tegangan listrik dan daya hantar ion dengan
aktifitas ion hidrogen.
Menggunakan pH‐meter adalah cara yang paling mudah dalam menentukan pH sustu sistem
larutan. Namun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengoperasikan pH meter atau
potensiometer, antara lain :
1. Elektroda gelas, harus selalu dalam keadaan baik, tersimpan dengan larutan KCl jenuh atau
air murni yang selalu merendam membran elektrodenya.
2. Larutan pengisi elektrode (elektrolit) KCl atau Ag‐AgCl jenuh harus selalu penuh sesuai
dengan batas pengisian, dan bila terjadi perubahan fisik‐kimiawi harus segera diganti.

26
3. Membran elektrode harus selalu dalam keadaan baik, terutama kinerja difusinya. Ini bisa
diuji dengan kecepatan mendapat angka konstan dalam pengukuran atau kalibrasi. Membran
yang baik akan dapat mencapai kesetimbangan ion larutan di luar dan larutan di dalam
elektroda. Jika membran kurang berfungsi baik, maka harus dicuci dengan asam sangat kuat
(pH = 0 atau 1), asam kuat (pH>2), serta air murni, atau dengan basa sangat kuat dan air
murni, dan disimpan selalu dalam keadaan terendam pelarut yang sesuai atau air.
4. Sebelum pengukuran, pH‐meter harus selalu dikalibrasi dengan larutan buffer yang sesuai,
biasanya pH=4, pH=7, pH=9, pH=10, Harus selalu digunakan larutan untuk kalibrasi yang
standar dan akurat.
5. Cuci kembali elektroda setelah dipakai, dan disimpan dalam larutan yang sesuai atau air.

Penentuan pH dengan titrasi. Menitrasi suatu sistem larutan dengan larutan asam
atau basa standar, akan memberikan informasi berapa banyak asam/basa yang digunakan
untuk menetralkan larutan. Konsentrasi H+ atau OH‐ larutan sama setara dengan asam atau
basa standar yang dibutuhkan dalam titrasi sampai end poin (titik akhir titrasi). Dari H+ atau
OH‐ yang diketahiu, dapat dihitung nilai pH dari larutan awal. Titrasi asam‐basa ini
keberhasilannya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain, kualitas larutan standar yang
dipakai, ketelitian alat yang digunakan, dan pemilihan indikator atau pembacaan potensial
yang tepat. Salah dalam penentuan trayek indikator mengakibatkan kesalahan dalam
menentukan titik akhir titrasi.

Indikator Asam Basa

Suatu indikator asam basa adalah senyawa organik yang mengalami perubahan
warna dengan berubahnya pH. Senyawaan ini digunakan sebagai indikator/penunjuk dalam
penentuan titik akhir titrasi. Kertas uji, seperti kertas lakmus, dibasahi dengan satu senyawa
ini, dapat pula dipakai sebagai indikator keasaman atau kebasaan larutan. Dua indikator yang
khas adalah metil jingga dan fenolftalein. Metil jingga berwarna merah dalam larutan asam
dengan pH kurang dari 3,1. Dalam larutan dengan pH di atas 4,4 zat ini berwarna kuning.
Sebaliknya, fenolftalein berubah warna pada pH di atas 7. Sampai pH = 8,3, fenolftalein tak
berwarna. Pada pH = 10 zat ini berwarna merah. Dalam larutan basa kuat, zat ini kembali tak
berwarna.

27
Indikator berubah warna karena sistem kromofornya diubah oleh reaksi asam basa. Dalam
larutan asam, metil jingga terdapat sebagai hibrida resonansi dari suatu struktur azo
terprotonkan; hibrida resonansi ini berwarna merah. Nitrogen azo tidak bersifat basa kuat,
dan gugus azo terprotonkan melepaskan ion hidrogen pada pH sekitar 4,4. Kehilangan proton
ini mengubah struktur elektronik senyawa itu, yang mengakibatkan perubahan warna dari
merah ke kuning. Demikian pula fenomena yang mirip terjadi pada indikator‐indikator yang
lain. Terjadinya reaksi tertentu pada kondisi konsentrasi ion‐ion tertentu, menyerbabkan
indikator tidak boleh secara sembarang dipakai. Sebagai contoh, idikator amilum, tidak akan
memberikan perubahan warna apapun jika pH berubah, tetapi hanya akan berubah oleh
perubahan konsentrasi iodium. Secara umum indikator merupakan senyawa asam atau basa
organik lemah yang dipakai dalam larutan encer. Perubahan warna terjadi karena reaksi
disosiasi, asam atau basa indikator mempunyai warna berbeda saat terdisosiasi dengan
keadaan tidak terdisosiasi. Dapat diambil penggambaran reaksi kesetimbangan indikator
sebagai berikut (HInd = indikator asam).
HInd↔ H+ + Ind‐
Ind‐ (anion indikator) mempunyai warna yang berbeda dengan indikator asamnya sendiri
(HInd). Sehingga akan kelihatan, jika suatu larutan sangat asam dengan keberadaaan
indikator ini (indikator asam), berarti ion H+ cukup melimpah, maka kesetimbangan reaksi
disosiasi indikator akan bergeser ke kiri (ke arah asam indikator) sehingga warna indikator
asam menjadi kelihatan (warna tak terdisosiasi). Sebaliknya jika larutan basa, hilangnya ion
hidrogen menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, pembentukan anion indikator,
sehingga warna terdisosiasi menjadi nampak. Demikianlah reaksi yang bisa digambarkan
sekaligus menjadi analog untuk indikator asam basa yang lain, hanya saja indikator basa
disosiasinya menghasilkan anion hidroksida dan kation indikator.
Lebih spesifik indikator asam‐basa yang dipakai dalam titrasi asam basa. Dengan perhitungan
teoritik dapat ditentukan, pH ekivalen antara titrat dengan titran. Jika diketahui jenis asam‐
basa untuk titrasi maka dengan sifat‐sifat reaksi asam basa, dapat ditentukan nilai pH pada
akhir titrasi, yaitu pada saat asam ekivalen dengan basa (dihitung dengan rumus garam hasil
reaksi). Dengan diperkirakannya pH akhir titrasi, maka dapat dipilih indikator titrasi yang
sesuai untuk mendeteksi ekivalen titrasi tercapai atau tidak. Indikator harus dipilih yang
trayek perubahan warnanya paling mendekati dengan titik akhir titrasi yang sedang
dilangsungkan.

28
Contoh aplikasi :
Tentukan trayek pH indikator untuk menentukan titik akhir titrasi, sistem larutan Ammonium
hidroksida (NH4OH) yang dititrasi dengan HCl.
Penyelesaian :
Saat dilangsungkan titrasi, setiap tetes HCl akan langsung bereaksi dengan NH4OH
menghasilkan NH4Cl dan H2O. Reaksi ini akan terus demikian sampai semua ammonium
hidroksida habis bereaksi. Titik ekivalen dicapai saat semua ammonium tepat membentuk
ammonium klorida seluruhnya, artinya NH4OH dan HCl tepat ekimolar dan habis bereaksi.
Nilai pH saat titik ekivalen titrasi ini adalah sama dengan pH dari larutan NH4Cl yaitu sekitar
4, tergantung jumlah garam yang terbentuk. Jadi bisa dipilih indikator yang digunakan untuk
mendekati titik akhir titrasi adalah indikator dengan trayek perubahan pH sekitar 4, misalkan
metil jingga (trayek perubahan warna 3,5 – 4,5).

Beberapa senyawaan indikator ditampilkan pada tabel di bawah, termasuk perubahan


warna yang terjadi, dan trayek pH pada saat perubahan. Untuk tujuan tertentu, beberapa
indikator bisa dicampurkan untuk mendapatkan indikator universal dengan tujuan
menyederhanakan langkah‐langkah analisis pH / asam‐basa. Indikator semacam ini, bisa
disusun salah satunya menurut cara Brogen, dengan melarutkan 0,2 gram fenolftalein; 0,4
gram metil merah; 0,6 gram dimetil azobenzena; 0,8 gram biru bromotimol; dan 1 gram biru
timol, semua senyawaan indikator tersebut dilarutkan dalam 1 L etanol absolut. Larutan ini
sebelum dipakai harus dinetralkan dengan menambahkan beberapa tetes natrium hidroksida
encer sampai warna berubah menjadi kuning. Indikator yang dibuat ini akan memberikan
warna yang berbeda pada trayek pH yang berbeda.

29
30
C. TITRASI ASAM BASA
Reaksi penetralan asam atau basa dapat dilakukan dengan tepat melalui cara titrasi. Titrasi
asam basa adalah penambahan larutan standar atau larutan yang telah diketahui
konsentrasinya. Larutan standar ditambahkan ke dalam larutan asam atau basa sampai
suasana netral. Keadaan netral pada titrasi ditunjukkan oleh indikator yang digunakan yaitu
indikator yang berubah warna pada suasana netral yaitu pH 7. Misalnya indikator
fenolftalein. Sebenarnya indikator ini memiliki trayek pH 8,2–10 tetapi biasa digunakan
karena perubahan warnanya mudah diamati yaitu dari tidak berwarna menjadi merah. Titrasi
asam basa dapat pula dilakukan untuk menentukan konsentrasi larutan asam atau basa yang
konsentrasinya belum diketahui, sehingga kita dapat menghitung jumlah zat pereaksi atau
hasil reaksi pada suatu reaksi. Bagaimana cara melakukan titrasi? Lakukan Kegiatan 8.1.

31
32
Cara menghitung konsentrasi HCl dari data titrasi adalah sebagai berikut. Pada saat titik akhir
titrasi atau saat indikator fenolftalein berubah warna yaitu pH = 7, akan dicapai titik ekivalen.
Mol H+ = mol OH–. Oleh karena mol zat = volum larutan x molaritas maka

Contoh :

33
GRAFIK TITRASI ASAM BASA

Grafik titrasi menggambarkan alur pH terhadap volum asam atau basa yang ditambahkan
pada saat titrasi. Pada grafik ini dapat dilihat titik ekivalen dari reaksi asam-basa pada titrasi.
Berikut ini contoh pembuatan grafik titrasi asam kuat dengan basa kuat dan asam lemah
dengan basa kuat pada percobaan titrasi 25 mL HCl 0,1 M dengan larutan NaOH 0,1 M dan
25 mL CH3COOH 0,1 M dengan larutan NaOH 0,1 M. Setiap perubahan pH dicatat volum
NaOH yang ditambahkannya. Data yang diperoleh tertera pada Tabel 8.1.

Tabel 8.1 Harga pH pada titrasi asam kuat dengan basa kuat dan asam lemah dengan basa
kuat

34
Data tersebut dibuat grafik sebagai berikut.

Pada titrasi HCl dengan NaOH, mula-mula pH naik sangat lambat kemudian terjadi lonjakan
pH dan selanjutnya kenaikan pH lambat lagi. Titik tengah bagian vertikal grafik adalah titik
ekivalen titrasi. Pada titrasi asam kuat dan basa kuat titik ekivalen terjadi pada pH 7. Larutan
dengan pH 7 bersifat netral karena jumlah ion H+ sama dengan ion OH–. Titrasi asam lemah
dengan basa kuat prinsipnya sama tetapi ada sedikit perbedaan. Pada titrasi CH3COOH
dengan NaOH, pH dimulai dari pH 3 dan titik ekivalen terjadi pada pH yang lebih tinggi
pula. Hal ini disebabkan CH3COOH adalah asam lemah dan menghasilkan ion H+ dalam
jumlah yang sedikit. Titik ekivalen terjadi pada pH 8,72. Pada campuran terdapat pula
natrium asetat yang bersifat basa lemah dan meningkatkan pH. Setelah titik ekivalen, kedua
grafik sama kembali karena pH hanya bergantung pada ion hidroksida yang ditambahkan.
Grafik titrasi membantu untuk menentukan indikator apa yang cocok untuk suatu titrasi. Pada
titrasi asam kuat dengan basa kuat, dapat digunakan indikator fenolftalein walaupun trayek
pH mulai pH 8,72. Pada pH 8,72 atau titik akhir penambahan NaOH hanya 0,01 mL, jadi
dapat diabaikan. Untuk titrasi asam lemah dengan basa kuat indikator fenolftalein sudah tepat
digunakan karena titik ekivalen berada pada awal trayek pH (8,3).

35
PERHITUNGAN JUMLAH PEREAKSI ATAU HASIL REAKSI MELALUI REAKSI
PENETRALAN ATAU TITRASI

Pada reaksi penetralan jumlah mol ion H+ sama dengan jumlah ion OH–. Atas dasar itu
jumlah pereaksi atau hasil reaksi dapat diperhitungkan. Perhatikan cara perhitungannya pada
contoh soal berikut.

1. 50 mL larutan NaOH dinetralkan melalui titrasi oleh 25 mL larutan HCl 0,2 M .Berapa
massa NaOH yang terdapat pada larutan tersebut?

2. Sebanyak 250 mL H2SO4 0,1 M dapat dinetralkan melalui titrasi oleh larutan KOH 0,3
M. Berapa mL volum KOH yang diperlukan?

36
3. 40 mL larutan NH4OH 0,2 M dicampurkan dengan 100 mL larutan HCl 0,02 M. Hitung
berapa gram garam yang terbentuk! (Ar N = 14, H = 1, Cl = 35,5).

PENERAPAN TITRASI ASAM-BASA

Cara titrasi asam basa dapat digunakan untuk mengetahui kadar zat, misalnya kadar
asam di dalam produk cuka, minuman, atau di dalam buah-buahan. Bagaimana cara
menentukan kadar asam asetat dalam cuka dapur? Lakukan titrasi larutan cuka dapur oleh
larutan NaOH, encerkan dulu larutan cuka tersebut pada saat titrasi.
Contoh perhitungan:
Misalkan titrasi 2 mL larutan asam cuka memerlukan 35 mL larutan NaOH 0,1 M. Massa
jenis larutan 950 g L–1.
a. Tentukan molaritas asam cuka!
b. Berapa % kadar asam cuka tersebut?

37
D. STANDARISASI SECARA IODOMETRI, GRAVIMETRI, ARGENTOMETRI DAN
PERMANGAROMETRIA.

1. STANDARISASI SECARA IODOMETRI


Merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau
natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku
berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.Iodimetri merupakan
titrasi redoks yang melibatkan titrasi langsung I2 dengan suatu agen pereduksi.
I2 merupakan oksidator yang bersifat moderat, maka jumlah zat yang dapat ditentukan secara
iodimetri sangat terbatas, beberapa contoh zat yang sering ditentukan secara iodimetri adalah
H2S, ion sulfite, Sn2+, As3+ atau N2H4. Akan tetapi karena sifatnya yang moderat ini maka
titrasi dengan I2 bersifat lebih selektif dibandingkan dengan titrasi yang menggunakan titrant
oksidator kuat.

Iodimetri adalah oksidasi kuantitatif dari senyawa pereduksi dengan menggunakan iodium.
Iodimetri ini terdiri dari 2, yaitu ;
a. Iodimetri metode langsung, bahan pereduksi langsung dioksidasi dengan larutan baku
Iodium. Contohnya pada penetapan kadar Asam Askorbat.
b. Iodimetri metode residual ( titrasi balik), bahan pereduksi dioksidasi dengan larutan baku
iodium dalam jumlah berlebih, dan kelebihan iod akan dititrasi dengan larutan baku natrium
tiosulfat. Contohnya pada penetapan kadar Natrium Bisulfit.

2. STANDARISASI SECARA GRAVIMETRI

Analisis gravimetri adalah suatu teknik analitis yang didasarkan pada pengukuran massa.
Salah satu jenis percobaan analisis gravimetrik melibatkan pembentukan,isolasi,dan
penentuan massa suatu endapan.Prosedur ini umumnya diterapkan pada senyawa ionik. Suatu
sampel zat yang tidak diketahui komposisinya dilarutkan didalam air dan dibiarkan bereaksi
dengan zat lain sehingga membentuk endapan.Endapan tersebut disaring,dikeringkan, dan
ditimbang. Dengan mengetahui massa dan rumus kimia endapan yang terbentuk ,kita dapat
menghitung massa komponen kimia tertentu (yaitu anion atau kation) dari sampel awal .

38
Dari massa komponen dan sampel awal,didapat menentukan persen komposisi massa
komponen dalam senyawa awal. Dalam menentukan keberhasilan metode gravimetri ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Proses pemisahan hendaknya cukup empurna sehingga kuantitas analit yang tak
terendapkan secara analitis tak dapat dideteksi (biasanya 0,1 mg atau kurang dalam
menentukan penyusunan utama dalam suatu makro)
b. Zat yang ditimbang hendaknya mempunyai susunan yang pasti dan hendaknya murni,atau
sangat hampir murni. (Day dan Underwood, 2002)
Hasil reaksi ini didapatkan berupa sisa bahan suatu gas yang dibentuk dari bahan yang
dianalisa.Dalam cara pengendapan , zat direaksikan dengan menjadi endapan dan ditimbang.
Atas dasar membentuk endapan, maka gravimetri dibedakan menjadi 2 (dua) macam , yaitu :
endapan dibentuk dengan reaksi antara zat dengan suatu pereaksi dan endapan yang dibentuk
dengan elektrokimia.

Analisis gravimetri dapat dilakukan dengan cara pengendapan, penguapan dan


elektrolisis.

1. Metode Pengendapan

Suatu sampel yang akan ditentukan seara gravimetri mula-mula ditimbang secara
kuantitatif, dilarutkan dalam pelarut tertentu kemudian diendapkan kembali dengan reagen
tertentu. Senyawa yang dihasilkan harus memenuhi sarat yaitu memiliki kelarutan sangat
kecil sehingga bisa mengendap kembali dan dapat dianalisis dengan cara menimbang.

Endapan yang terbentuk harus berukuran lebih besar dari pada pori-pori alat
penyaring (kertas saring), kemudian endapan tersebut dicuci dengan larutan elektrolit yang
mengandung ion sejenis dengan ion endapan.
Hal ini dilakukan untuk melarutkan pengotor yang terdapat dipermukaan endapan dan
memaksimalkan endapan. Endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu 100-130 derajat
celcius atau dipijarkan sampai suhu 800 derajat celcius tergantung suhu dekomposisi dari
analit.
Pengendapan kation misalnya, pengendapan sebagai garam sulfida, pengendapan nikel
dengan DMG, pengendapan perak dengan klorida atau logam hidroksida dengan mengetur
pH larutan. Penambahan reagen dilakukan secara berlebihan untuk memperkecil kelarutan
produk yang diinginkan.

39
aA +rR ———-> AaRr(s)
Penambahan reagen R secara berlebihan akan memaksimalkan produk AaRr yang terbentuk.

2. Metode Penguapan

Metode penguapan dalam analisis gravimetri digunakan untuk menetapkan


komponen-komponen dari suatu senyawa yang relatif mudah menguap. Cara yang dilakukan
dalam metode ini dapat dilakukan dengan cara pemanasan dalam gas tertentu atau
penambahan suatu pereaksi tertentu sehingga komponen yang tidak diinginkan mudah
menguap atau penambahan suatu pereaksi tertentu sehingga komponen yang diinginkan tidak
mudah menguap.
Metode penguapan ini dapat digunakan untuk menentukan kadar air(hidrat) dalam suatu
senyawa atau kadar air dalam suatu sampel basah. Berat sampel sebelum dipanaskan
merupakan berat senyawa dan berat air kristal yang menguap. Pemanasan untuk menguapkan
air kristal adalah 110-130 derajat celcius, garam-garam anorganik banyak yang bersifat
higroskopis sehingga dapat ditentukan kadar hidrat/air yang terikat sebagai air kristal.

3. Metode Elektrolisis

Metode elektrolisis dilakukan dengan cara mereduksi ion-ion logam terlarut menjadi
endapan logam. Ion-ion logam berada dalam bentuk kation apabila dialiri dengan arus
listrikndengan besar tertentu dalam waktu tertentu maka akan terjadi reaksi reduksi menjadi
logam dengan bilangan oksidasi 0.
Endapan yang terbentuk selanjutnya dapat ditentukan berdasarkan beratnya, misalnya
mengendapkan tembaga terlarut dalam suatu sampel cair dengan cara mereduksi. Cara
elektrolisis ini dapat diberlakukan pada sampel yang diduga mengandung kadar logam
terlarut cukup besar seperti air limbah.
Suatu analisis gravimetri dilakukan apabila kadar analit yang terdapat dalam sampel relatif
besar sehingga dapat diendapkan dan ditimbang. Apabila kadar analit dalam sampel hanya
berupa unsurpelarut, maka metode gravimetri tidak mendapat hasil yang teliti. Sampel yang
dapat dianalisis dengan metode gravimetri dapat berupa sampel padat maupun sampel cair.1

40
3. STANDARISASI SECARA ARGENTOMETRI

Argentometri merupakan titrasi pengendapan sample yang dianalisis dengan menggunakan


ion perak. Biasanya, ion-ion yang ditentukan dalam titrasi ini adalah ion halida (Cl-, Br-, I-).
(Khopkar,1990) Hasil kali konsentrasi ion-ion yang terkandung suatu larutan jenuh dari
garam yang sukar larut pada suhu tertentu adalah konstan. Misalnya suatu garam yang sukar
larut AmBn dalam larutan akan terdisosiasi menjadi m kation dan n anion.
AmBn → mA++ nB
- Hasil kali kelarutan = (CA+)M × (CB-)Ntitrasi argentometri adalah titrasi dengan
menggunakan perak nitrat sebagai titran dimana akan terbentuk garam perak yang sukar larut.
Jika larutan perak nitrat ditambahkan pada larutan kalium sianida maka mula-mula akan
terbentuk endapan putih yang pada pengadukan akan larut membentuk larutan kompleks
yang stabil .
AgNO3 + 2 KCN → K(Ag(CN)2) +KNO3
Ag+ + 2 nn- → Ag(CN)2
Jika reaksi telah sempurna maka reaksi akan berlangsung lebih lanjut membentuk senyawa
kompleks yang tak larut . Ag+ (Ag(CN)2)- → Ag(Ag(CN)2).
Titik akhir ditandai dengan terbentuknya endapan putih yang permanent. salah satu kesulitan
dalam menentukan titik akhir ini terletak pada fakta dimana perak sianida yang diendapkan
oleh adanya kelebihan ion perak yang agak lebih awal dari titik ekuivalen, sangat lambat larut
kembali dan titrasi ini makan waktu yang lama.

4. STANDARISASI SECARA PERMANGAROMETRIA.

Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium


permanganat (KMnO4). proses titrasi dimana garam kalium permanganat (KMnO4)
digunakan sebagai zat standar karena kalium permanganat (KMnO4) tidak murni, banyak
mengandung oksida (MnO dan Mn2O3), maka zat tersebut bukan merupakan standar primer.
Standarisasi dapat dilakukan dengan beberapa reduktor, seperti : As2O3, Fe, Na2C2O4,
H2C2O4.2H2O, KHC2O4, K4{Fe(CN)6}, Fe(NH4)2(SO4)2.

Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi antara KMnO4 dengan
bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal lebih dari seratus tahun.

41
Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi seperti
Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang
tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri seperti:

(1) ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah
endapan disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam
oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat
dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan.

(2) ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci,
dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+
dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan
menitrasinya dengan KMnO4.

Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan
pentiter KMnO4¬ pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan
KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir
titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna
merah rosa.

Pada proses titrasi permanganometri tidak perlu ditambahkan indikator untuk mengatahui
terjadinya titik ekivalen, karena MnO4 - yang berwarna ungu dapat berfungsi sebagai
indikator sendiri ( auto indikator ).

Reaksi reduksi ion permanganat (MnO4 - ) tergantung pada suasana larutan. Dalam suasana
asam ion permanganat (MnO4 - ) yang berwarna ungu mengalami reduksi menjadi Mn2+
yang tidak berwarna menurut reaksi :

MnO4 - + 8H+ + 5e- → Mn2+ + 4H2O

Dengan demikian, 1 ekivalen MnO4 - = 1/5 mol, atau berat ekivalen (BE) = 158/5 = 31,6.

42
Dalam suasana asam ini dapat digunakan untuk menentukan secara langsung berbagai macam
kation maupun anion, antara lain :

Sedangkan secara tidak langsung, melalui penambahan reduktor berlebih dapat digunakan
untuk menentukan : MnO4 - , Cr2O7 2- , Ce4+ , MnO2, Mn3O4, PbO2, Pb2O3, dan Pb3O4.

Dalam suasana netral dan basa, MnO4 - mengalami reduksi menjadi endapan MnO2 yang
berwarna hitam, menurut reaksi : MnO4 - + 2H2O + 3e- → MnO2 + 4OH- Dalam reaksi
tersebut, 1 ekivalen MnO4 - = 1/3 mol, atau berat ekivalen (BE) = 158/3 = 52,7. Zat-zat yang
dapat ditentukan secara permanganometri dalam suasana netral dan basa ini antara lain
garam-garam Mn(II), asam format, dan garam format.

Permanganat adalah oksidator, dalam titrasi bereaksi dengan cepat, namun beberapa pereaksi
membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi, seperti
pada proses penetapan kadar asam oksalat. Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir
pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan terjadinya pengendapan sejumlah
MnO2 . Hal yang perlu dilakukan untuk menghilangkan endapan tersebut adalah pemanasan
yang berguna untuk menghancurkan substansi yang dapat direduksi dan penyaringan melalui
asbestos atau gelas yang disinter untuk menghilangkan MnO2. Larutan tersebut kemudian
distandarisasi dan jika disimpan dalam gelap dan tidak diasamkan konsentrasinya tidak akan
banyak berubah selama beberapa bulan

Dalam suasana asam atau [H+] ≥ 0,1 N, ion permanganat mengalami reduksi
menjadi ion mangan (II) sesuai reaksi :

MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O Eo = 1,51 Volt

43
Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi mangan dioksida
seperti reaksi berikut :

MnO4- + 4H+ + 3e- MnO2 + 2H2O Eo = 1,70 Volt

Dan dalam suasana basa atau [OH-] ≥ 0,1 N, ion permanganat akan mengalami reduksi
sebagai berikut:

MnO4- + e- MnO42- Eo = 0,56 Volt

Asam sulfat adalah asam yang paling sesuai, karena tidak bereaksi terhadap
permanganat dalam larutan encer. Dengan asam klorida, ada kemungkinan terjadi reaksi
:

2MnO4- + 10Cl- + 16H+ 2Mn2+ + 5Cl2 + 8H2O

dan sedikit permanganat dapat terpakai dalam pembentukan klor. Reaksi ini terutama
berkemungkinan akan terjadi dengan garam-garam besi, kecuali jika tindakan-tindakan
pencegahan yang khusus diambil. Dengan asam bebas yang sedikit berlebih, larutan
yang sangat encer, temperatur yang rendah, dan titrasi yang lambat sambil mengocok
terus-menerus, bahaya dari penyebab ini telah dikurangi sampai minimal. Pereaksi
kalium permanganat bukan merupakan larutan baku primer dan karenanya perlu
dibakukan terlebih dahulu. Pada percobaan ini untuk membakukan kalium permanganat
ini dapat digunakan natrium oksalat yang merupakan standar primer yang baik untuk
permanganat dalam larutan asam (Basset, 1994).

Untuk pengasaman sebaiknya dipakai asam sulfat, karena asam ini tidak
menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai asam klorida dapat terjadi
kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi gas klor dan reaksi ini mengakibatkan
dipakainya larutan permanganat dalam jumlah berlebih. Meskipun untuk beberapa
reaksi dengan arsen (II) oksida, antimoni (II) dan hidrogen peroksida, karena pemakaian
asam sulfat justru akan menghasilkan beberapa tambahan kesulitan.

44
Kalium pemanganat adalah oksidator kuat, oleh karena itu jika berada dalam HCl
akan mengoksidasi ion Cl- yang menyebabkan terbentuknya gas klor dan kestabilan ion
ini juga terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1 N. Namun, beberapa zat
memerlukan pemanasan atau katalis untuk mempercepat reaksi. Seandainya banyak
reaksi itu tidak lambat, akan dijumpai lebih banyak kesulitan dalam menggunakan
reagensia ini (Svehla, 1995).

MnO4- + 8H+ + 5e Mn2+ + 4H2O E0 = 1,51V

LARUTAN BUFFER

BUFFER ialah suatu larutan encer yang mengandung asam lemah dan basa konjugatnya atau
basa lemah dan asam konjugatnya. Perubahan pH-nya sangat kecil ketika sedikit asam atau
basa kuat ditambahkan kepadanya dan dengan demikian digunakan untuk mencegah per-
ubahan pH dalam larutan. Larutan buffer digunakan untuk mempertahankan pH pada nilai
yang hampir konstan dalam berbagai aplikasi kimia. Banyak bentuk kehidupan berkembang
hanya dalam rentang pH yang relatif kecil sehingga mereka memanfaatkan larutan buffer
untuk mempertahankan pH konstan. Salah satu contoh larutan buffer ditemukan di alam
adalah darah.

Dasar Pembufferan

Larutan buffer mencapai ketahanannya terhadap perubahan pH karena adanya kesetimbangan


antara asam HA dan basa konjugasinya A-.

HA ═ H+ + A−

Bila sejumlah asam kuat ditambahkan ke kesetimbangan campuaran asam lemah dan basa
konjugatnya, kesetimbangannya bergeser ke kiiri, sesuai dengan azas Le Chatelier. Karena
itu, konsentrasi ion hidrogen meningkat sebesar kurang dari jumlah yang diharapkan untuk
jumlah asam kuat yang ditambahkan.

45
Demikian pula, jika kuat alkali ditambahkan ke campuran konsentrasi ion hidrogen berkurang
dengan kurang dari jumlah yang diharapkan untuk jumlah alkali yang ditambahkan. Efek ini
diilustrasikan oleh titrasi simulasi dari asam lemah dengan pKa = 4,7.

Konsentrasi relatif asam tak terdisosiasi ditunjukkan dengan warna biru dan basa
konjugasinya merah. Perubahan pH relatif lambat di daerah penyangga, pH = pKa ± 1,
berpusat pada pH = 4,7 dimana [HA] = [A−]. Konsentrasi ion hidrogen berkurang kurang dari
jumlah yang diharapkan karena sebagian besar ion hidroksida yang ditambahkan dikonsumsi
dalam reaksi.

OH─ + HA → H2O + A─

Dan hanya sedikit yang dikonsumsi dalam reaksi netralisasi yang yang dihasilkan dalam
peningkatan pH.

OH- + H+ → H2O

Sekali asam terdeprotonasi lebih dari 95% pH naik dengan cepat karena kebanyakan dari
alkali (basa) yang ditambahkan dihabis-kan dalam reaksi netralisasi.

Aplikasi

Larutan buffer diperlukan untuk menjaga pH yang tepat untuk enzim dalam banyak
organisme untuk bekerja. Banyak enzim bekerja hanya pada kondisi sangat tepat; bila pH
bergerak ke luar dari rentang yang sempit, maka kerja enzim melambat atau bahkan berhenti
dan dapat mengalami denaturasi atau kehilangan sifat alaminya. Dalam banyak kasus
denaturasi dapat melumpuh-kan aktivitas katalitiknya secara permanen. Buffer asam karbonat
(H2CO3) dan bikarbonat (HCO3−) terdapat dalam plasma darah, untuk mempertahankan pH
antara 7,35 dan 7,45.

Secara industri, larutan buffer digunakan dalam proses fermentasi dan dalam pengaturan
kondisi yang tepat untuk bahan pewarna yang digunakan di pabrik pewarnaan. Larutan buffer
juga digunakan dalam analisis kimia dan kalibrasi pH meter.

46
Zat Pembuffer Sederhana

Untuk buffer dalam daerah asam, pH dapat diatur pada nilai yang diinginkan dengan
menambahkan asam kuat seperti HCl untuk zat pembuffer. Untuk buffer basa, basa kuat
seperti NaOH dapat ditambahkan. Sebagai alternatif, buffer campuran dari asam dan basa
konjugatnya dapat dibuat. Misalnya, suatu buffer asetat dapat dibuat dari campuran asam
asetat dan natrium asetat. Demikian pula dengan buffer basa dapat dibuat dari campuran basa
dan asam konjugatnya.

Mayoritas sampel biologi yang digunakan dalam riset dibuat dengan buffer, terutama air asin
yang dibufferkan dengan fosfat (PBS) pada pH 7,4.

47
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara umum zat akan terbagi menjadi tiga golongan yaitu asam, garam, dan basa.
Berdasarkan derajat disosiasinya atau pengionannya dalam air, zat asam dan basa
digolongkan dalam asam kuat, asam lemah, basa kuat dan basa lemah. Asam juga akan
terbagi menjadi asam monoprotik (hanya mampu menyumbangkan satu proton tiap
molekulnya untuk bereaksi dengan basa), asam diprotik (dua proton dihasilkan tiap
molekulnya), dan poliprotik (lebih dari dua proton).

Aktifitas proton (ion H+) dan OH‐ dalam larutan dinyatakan dengan pH yang dapat dihitung
dengan rumus‐rumus yang berbeda berdasarkan kekuatan asam/basa pembentuknya. Secara
garis besar rumus‐rumus terpakai tersebut adalah :
1. Nilai pH, pH = ‐log [H+] ; pOH = ‐log [OH‐] = 14 – pH
2. Asam kuat monopritik [H+] = [Asam]
3. Basa kuat [OH‐] = [Basa]

4. Asam lemah [H+] = √ K .[Asam]

48
11. standariasasi terdiri atas iodometri, gravimetri, argentometri dan permangarometria.

12. Berlangsungnya titrasi.

B. SARAN

Dalam penyusunan makalah ini masih banyak di temukan kekurangan. Jadi kami dari
kelompok II dalam pembahasan mengenai Reaksi Asam Basa meminta saran dan kritik dari
padanya.

49
DAFTAR PUSTAKA

VOGEL
6 Reaksi-reaksi Asam Basa.pdf- Adobe Reader
Kelas11_kimia2_siti_poppy.pdf-Adobe Reader

50

Anda mungkin juga menyukai