Menuntut Ilmu
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi robbil alamin assholatuassalam mu’ala asrofil anbiya iwal mursalin wa’ala
alihi ajma’in amabak
Pada kesempatan yg berbahagia ini saya akan menyampaikan ceramah tentang menuntut
ilmu
Artinya:
Hadits diatas menjelaskan bahwa setiap muslim itu diwajibkan menuntut ilmu. Bahkan
dgn menuntut ilmu kita dapat hidup bahagia didunia maupun diakhirat.
Saya akan cerita tentang Ibnu Hajar Al-Askolani, ia dikenal sebagai murid yg sangat bodoh
ketika ia sekolah, saking bodohnya ia dikeluarkan dari sekolah.
Suatu saat ia pergi ke suatu tempat kemudian ia melihat air yg menetesi batu, lama-lama
batu itu terkikis, kemudian ibnu hajar pun berfikir jika batu aja bisa terkikis oleh air,
begitupun dgn otak kita jika kita sering menuntut ilmu. Semenjak kejadian itu ibnu hajar
pun menjadi ulama besar.
Artinya:
Cukup sekian pidato dari saya, jika ada kesalahan mohon dimaafkna yg sebesar-besarnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْال َجن ْةَ لَهْ أَض َمنْ ِرجلَي ِْه بَينَْ َو َما ِلحيَي ِْه َمابَينَْ ِلي يَض َمنْ َمن
“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di
antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”
Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut,
sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik
atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua
perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya.
Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan.
Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang
berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori
perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti
tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang
yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada
kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam
Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia
berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya,
silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka
ditahan (jangan bicara).”
Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para
malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada
berbicara.”
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa
Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada
bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang
menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian
musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak
mau jalan”.
Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak
mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia
diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak
mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena
perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa
penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada
menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila
seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.
Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-
perkataannya.”
Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali
hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya.
Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi
apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya
berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh
lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap
agamanya.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan
lisan dan tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-
orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal
seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini
bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan
berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga
yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan
tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh
yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah
hebatnya dengan pengaruh lisan.”
Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir
maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil
‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang
sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan
Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman
kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap
pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan
segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi
gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,
َٰ
َ َوول َعنهْ كَانَْ أولَئِكَْ كلْ َوالف َؤا َْد َوالب
ْص َْر السم َْع إِن ًْ َمسئ
َعتِيدْ َرقِيبْ لَ َدي ِْه إِلْ قَولْ ِمنْ يَل ِفظْ َما
‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)
Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam
firman-Nya,
ْعلَيكمْ َْوإِن
َ َْتَفعَلونَْ َما يَعلَمونَْ) (كَاتِبِينَْ ِك َرا ًما) (لَ َحافِ ِظين
Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang
menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.”
(Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)
”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang
sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak
berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)
Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai
sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di
dunia.
هريرة أبي عن: ل َرسو َيا فِينَا قَالواالْمف ِلسْ المف ِلسْ َما أَت َدرونَْ قال سلم و عليه هللا صلى هللا رسول أن َْ ِْلَ َمنْ ّللا ْ لَهْ دِره ََْم
َل
ْ ع َو َْ ل َرسو قَا
َْ ل َمتَا َْ ِْعلَي ِْه ّللا َ صلَتِ ِْه ال ِقيَا َم ِْة يَو َْم يَأتِي َمنْ أميِي ِمنْ المف ِلسْ َو
َ سل َْم َ ِام ِْه ب
ِ َصي َ َهذَا
ِ شت ََْم قَدْ َويَأتِي ِوزَ كَاتِ ِْه َو
َْ َلَ َهذَا َوقَذ
ف َْ سفَكَْ َهذَا َما
ْ ل َواَ َك َ ب َهذَا َد َْم َو َ طى َهذَا َو
َْ ض َر َ سنَاتِ ِْه ِمنْ َو َهذَا َحيَنَاتِ ِْه ِمنْ َهذَا فَيع
َ سنَاتهْ فَنِيَتْ فَإِنْ َحَ ل َح َْ أَنْ قَب
ضى َ طايَاهم ِمنْ أ ِحذَْ َعلَي ِْه َما يق َ ح ثمْ َعلَي ِْه فَط ِر َحتْ َخ َْ ار فِي طرِْ الن
Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki
uang dirham maupun harta benda.”
Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang
yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi
ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta,
menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan
diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis
diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah
dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun
dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)
Wallahul Musta’an.
Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat
kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri
Rahmat.
Sumber: https://muslimah.or.id/5118-bicara-baik-atau-diam.html
Puji dan syukur hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menatap,
memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadi insan-insan yang terpelihara
dalam setiap ucapan kita. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada
Rasulullah Saw. Sang penutup para nabi yang tiada lagi nabi setelahnya.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah
dan rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. Al Ahzab [33] : 70-71).
Tidak ada satu katapun yang terlontar dari lisan kita kecuali Allah Swt.
mendengarnya. Dan, tidak ada satu kata pun yang kita ucapkan kecuali pasti akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Oleh karena itu, beruntunglah orang yang senantiasa memelihara lisannya untuk
tidak berkata kecuali yang benar dan baik saja. Sungguh beruntunglah orang yang
memelihara lisannya untuk jauh dari perkataan yang sia-sia dan tiada berguna.
Karena, menghindari ucapan yang sia-sia dan tiada berguna adalah ciri dari
keimanan kepada Allah Swt.
Saudaraku, sesungguhnya ucapan kita bisa menunjukkan bagaimana kualitas diri
kita. Ucapan kita menunjukkan bagaimana isi kita. Seperti moncong teko, ia hanya
mengeluarkan apa yang ada di dalam teko. Maka, ketika kita banyak berkata
kotor, kasar, tidak berguna, maka kita sebenarnya sedang menjatuhkan
kehormatan diri kita sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap ucapan bani Adam itu membahayakan dirinya
sendiri, kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf dan nahyi munkar serta berdzikir
kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Tirmidzi).
Kata-kata itu jika sudah terlontar dari lisan kita, maka ia bagaikan anak panah
yang sudah melesat dari busurnya. Ia tak bisa ditarik lagi. Apalagi jika sudah
tertancap, maka jika dicabut pun ia akan meninggalkan bekas. Kata-kata yang
tidak terjaga, bisa melukai perasaan orang. Dan, jika itu sudah terjadi, meminta
maaf pun tidak bisa menghilangkan bekas lukanya. Bagaikan paku yang tertancap
di tembok, ketika paku itu dicabut maka bekasnya tetap akan tertinggal di sana.
Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan ucapan kita. Hindari celetak-celetuk tak
karuan. Kurangi berbicara yang tidak perlu. Karena terlalu banyak berbicara yang
tidak perlu akan membuat kita melantur, melebih-lebihkan cerita hingga akhirnya
terjebak dalam kubangan dusta.
Lebih mengerikan lagi jika kita terseret pada ghibah. Obrolan-obrolan yang tak
terjaga, dibumbui kebohongan yang didramatisir, membicarakan keburukan orang,
sungguh bukan semakin kotorlah hati kita dengan noda-noda dosa.
Lisan kita sangat ringan. Tidak perlu tenaga yang besar untuk menggerakkannya.
Juga tidak perlu biaya mahal untuk menggunakannya. Namun, dari lisan ini bisa
timbul perkara yang luar biasa. Bisa ada orang yang sakit hati karenanya.
Permusuhan bisa terpicu disebabkannya.
Bicaralah hanya yang benar dan baik saja. Jika tidak bisa, maka lebih baik diam.
Ada sebuah ungkapan, “Diam itu emas”. Benar, ketika dibandingkan dengan
berbicara yang berisi keburukan atau kesia-siaan. Sehingga yang terbaik adalah
berbicara yang mengandung kebaikan dan kebenaran. Perkataan yang seperti ini
menjadi bagian dari kerangka dzikir kepada Allah Swt.
Untuk bisa berkata baik dan benar, kita perlu juga memperhatikan situasi dan
tempat. Karena, “Likulli maqaam maqaal, wa likulli maqaal maqaam”, setiap
perkataan itu ada tempatnya yang terbaik, dan setiap tempat ada perkataannya
yang terbaik.
Artinya, setiap kata yang kita ucapkan perlulah disesuaikan dengan tempat, situasi
dan siapa yang kita hadapi. Karena cara berbicara dengan anak-anak tentu
berbeda dengan cara berbicara dengan orang dewasa. Berbicara dengan teman
kita tentu berbeda dengan berbicara dengan orang tua kita. Jika kita tidak
terampil dalam hal ini, maka niat yang benar bisa-bisa memberikan hasil yang
tidak efektif.
Subhannallah. Sedemikian agungnya agama kita. Bahkan kepada orang kafir
sekalipun, Rasulullah Saw. melarang kita berkata-kata buruk kepada mereka.
Setelah perang Badar, Rasulullah Saw. sempat bersabda, “Janganlah kamu
memaki mereka dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang
yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran hati itu tercela.” (HR. Nasai).
Mari kita bersungguh-sungguh menjaga lisan kita dari perkataan yang kotor dan
tiada berguna. Jauhkan diri kita dari celetukan-celetukan. Tahan lisan kita dari
komentar-komentar yang tidak perlu, ungkapan yang mengutuki keadaan.
Berkata baik dan benar adalah ciri dari orang beriman, semoga kita termasuk di
dalamnya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamin.[]
KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN PAHALANYA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Pertama.
Bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama. Dengan dasar
diantaranya yaitu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari
dan Muslim, dari sahabat Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia
berkata :
ْ سأَل
ت َ لَْ صلى ّللاِْ َرسو َ ل أَيْ َو
َ ْسل َْم َعلَي ِْه ّللا َ ل أَف
ِْ ضل؟ العَ َم َْ قَا: ْل أَي؟ ثمْ قلت
َْ قَا: ْل َوقتِ َها َعلَى اَلصلَة َْ قَا: ْن بِر
ِْ ال َوا ِل َدي
َْ قَا: ْ قلت: ْل أي؟ ثم
ل َ َْ قَا: ْل فِي اَل ِج َهاد َ ِّْللا
ِْ سبِي
“Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling
utama dan dicintai Allah ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Pertama shalat
pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya), kedua berbakti
kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah” [Hadits Riwayat Bukhari I/134,
Muslim No.85, Fathul Baari 2/9]
Dengan demikian jika ingin kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama di
antaranya adalah birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).
Kedua.
Bahwa ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu HIbban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari
sahabat Abdillah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma dikatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ضا
َ ب ِر
ِْ الر
َ ضا فِى
َ الوا ِل ِْد ِر
َ ب سخطْ و
ِْ الر
َ ط فِى
ِْ الوا ِل ِْد سخ
َ
“Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada
kemurkaan orang tua” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban
(2026-Mawarid-), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152)]
Ketiga.
Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang
dialami yaitu dengan cara bertawasul dengan amal shahih tersebut. Dengan dasar hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar, dia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada suatu hari tiga orang berjalan,
lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka
ada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi pintu gua. Sebagian
mereka berkata pada yang lain, ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan’.
Kemudian mereka memohon kepada Allah dan bertawassul melalui amal tersebut,
dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu diantara mereka
berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia
sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku mengembala
kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada
kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk mencari
kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang telah larut malam dan aku dapati kedua
orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu
tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi keduanya namun keduanya masih
tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku
tidak memberikannya. Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang
aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai
keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada
keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anaku. Ya Allah,
seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau ya Allah,
bukakanlah. “Maka batu yang menutupi pintu gua itupun bergeser” [Hadits Riwayat
Bukhari (Fathul Baari 4/449 No. 2272), Muslim (2473) (100) Bab Qishshah Ashabil Ghaar
Ats Tsalatsah Wat-Tawasul bi Shalihil A’mal]
Ini menunjukkan bahwa perbuatan berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita
lakukan, dapat digunakan untuk bertawassul kepada Allah ketika kita mengalami
kesulitan, Insya Allah kesulitan tersebut akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami
seseorang saat ini diantaranya karena perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya.
Kalau kita mengetahui, bagaimana beratnya orang tua kita telah bersusah payah untuk
kita, maka perbuatan ‘Si Anak’ yang ‘bergadang’ untuk memerah susu tersebut belum
sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya sewaktu kecil.
‘Si Anak’ melakukan pekerjaan tersebut tiap hari dengan tidak ada perasaan bosan dan
lelah atau yang lainnya. Bahkan ketika kedua orang tuanya sudah tidur, dia rela
menunggu keduanya bangun di pagi hari meskipun anaknya menangis. Ini menunjukkan
bahwa kebutuhan kedua orang tua harus didahulukan daripada kebutuhan anak kita
sendiri dalam rangka berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam riwayat yang lain
disebutkan berbakti kepada orang tua harus didahulukan dari pada berbuat baik kepada
istri sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma ketika
diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin Khaththab) untuk menceraikan istrinya, ia
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, “Ceraikan istrimuu” [Hadits Riwayat Abu Dawud No. 5138, Tirimidzi
No. 1189 beliau berkata, “Hadits Hasan Shahih”]
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud yang disampaikan sebelumnya disebutkan bahwa
berbakti kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada jihad di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Begitu besarnya jasa kedua orang tua kita, sehingga apapun yang kita lakukan untuk
berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas jasa keduanya. Di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat Abdullah
bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di
Ka’bah dan ke mana saja ‘Si Ibu’ menginginkan, orang tersebut bertanya kepada, “Wahai
Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?”
Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, “Belum, setetespun engkau belum
dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” [Shahih Al Adabul Mufrad No.9]
Orang tua kita telah megurusi kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya
sangat berat dan susah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu kita
mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita lahir, ibu lah yang menyusui
kita kemudian membersihkan kotoran kita. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh
orang lain. Ibu kita selalu menemani ketika kita terjaga dan menangis baik di pagi, siang
atau malam hari. Apabila kita sakit tidak ada yang bisa menangis kecuali ibu kita.
Sementara bapak kita juga berusaha agar kita segera sembuh dengan membawa ke
dokter atau yang lain. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu kita akan
memilih mati agar kita tetap hidup. Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya.
Keempat.
Dengan berbakti kepada kedua orang tua akan diluaskan rizki dan dipanjangkan umur.
Sebagaimana dalam hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, dari sahabat Anas
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia
menyambung tali silaturahmi” [Hadits Riwayat Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu Dawud
1693]
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dianjurkan
untuk menyambung tali silaturahmi. Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan
silaturahmi kepada kedua orang tua sebelum kepada yang lain. Banyak diantara saudara-
saudara kita yang sering ziarah kepada teman-temannya tetapi kepada orang tuanya
sendiri jarang bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil dia selalu bersama ibu dan
bapaknya. Tapi setelah dewasa, seakan-akan dia tidak pernah berkumpul bahkan tidak
kenal dengan kedua orang tuanya. Sesulit apapun harus tetap diusahakan untuk
bersilaturahmi kepada kedua orang tua. Karena dengan dekat kepada keduanya insya
Allah akan dimudahkan rizki dan dipanjangkan umur. Sebagaimana dikatakan oleh Imam
Nawawi bahwa dengan silaturahmi akan diakhirkannya ajal dan umur seseorang.[1]
walaupun masih terdapat perbedaan dikalangan para ulama tentang masalah ini, namun
pendapat yang lebih kuat berdasarkan nash dan zhahir hadits ini bahwa umurnya
memang benar-benar akan dipanjangkan.
Kelima.
Manfaat dari berbakti kepada kedua orang tua yaitu akan dimasukkan ke jannah (surga)
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
disebutkan bahwa anak yang durhaka tidak akan masuk surga. Maka kebalikan dari hadits
tersebut yaitu anak yang berbuat baik kepada kedua orang tua akan dimasukkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala ke jannah (surga).
Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablun minallah) namun
juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia (hablun minannas). Hablun
minannas yang pertama dan paling utama bagi setiap muslim adalah berbakti kepada
orang tua.
Berikut ini 10 keutamaan berbakti kepada orang tua berdasarkan hadits-hadits shahih :
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan salah satu amal yang paling utama.
ْ سأَل
ت َ ْل أَىْ – وسلم عليه هللا صلى – الن ِبى ِْ ل ّللاِْ إِلَى أ َ َحبْ ال َع َم َْ ل أَىْ ثمْ قَا
َْ َوقتِ َها َعلَى الصلَةْ قَا. ل َْ ن ِبرْ ثمْ قَا
ِْ ال َوا ِل َدي.
َْ ل أَىْ ثمْ قَا
ل َْ ل ِفى ال ِج َهادْ قَا َ ِّْللا
ِْ س ِبي
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amalan apa yang
paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku melanjutkan,
“Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Lalu aku
bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim)
2. Bernilai jihad
Berbakti kepada orang tua senilai dengan jihad fi sabilillah. Sehingga pada beberapa
hadits, beliau menganjurkan orang yang akan berjihad untuk berbakti kepada kedua
orang tua.
ْى إِلَى َرجلْ َجا َء َْ َوا ِل َداكَْ أ َ َحىْ فَقَا. ل
ِْ ِل ال ِج َها ِْد فِى فَاست َأذَنَهْ – وسلم عليه هللا صلى – النب َْ نَعَمْ قَا. ل
َْ فَ َجاهِدْ فَ ِفي ِه َما قَا
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu meminta kepada
beliau untuk berjihad. Maka beliau bersabda, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
ia menjawab, “Ya.” Beliau pun bersabda, “Maka bersungguh-sungguhlah dalam berbakti
kepada keduanya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
3. Berpahala hijrah
Berbakti kepada orang tua juga bernilai hijrah. Ada seseorang yang berniat berhijrah ke
Madinah, lalu Rasulullah memerintahkannya untuk tetap di negerinya dalam rangka
berbakti kepada kedua orang tua.
ْى ِإلَى َرجلْ أَقبَ َل ِْ ّللاِْ نَ ِب-وسلم عليه هللا صلى- ل َْ ّللاِْ ِمنَْ األَج َْر أَبت َ ِغى َوال ِج َها ِْد ال ِهج َرةِْ َعلَى أبَا ِيعكَْ فَقَا. ل
َْ َوا ِل َديكَْ ِمنْ فَ َهلْ قَا
ْ َحىْ أَ َحد. ل َْ ّللاِْ ِمنَْ األَج َْر فَت َبتَ ِغى قَا. ل
َْ ِكلَه َما بَلْ نَعَمْ قَا. ل َْ صحبَت َه َما فَأَح ِسنْ َوا ِل َديكَْ إِلَى فَار ِجعْ قَا
َْ نَعَمْ قَا. ل
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata “Saya
berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.”
Beliau bertanya, “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya,
bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah bertanya lagi, “Maka apakah kamu masih akan
mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Pulanglah
kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli mereka.” (HR.
Muslim)
Ungkapan surga berada di bawah kaki ibu merupakan ungkapan yang bersumber dari
hadits dan menunjukkan betapa luar biasa keutamaan berbakti kepada ibu.
Jahimah pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Ya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku ingin berperang dan sungguh aku datang
untuk meminta pendapatmu.” Beliau bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu?”Ia
menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Tetaplah bersamanya karena sesungguhnya
surga ada di kakinya.” (HR. Ibnu Majah dan An Nasa’i)
5. Dipanjangkan umur, ditambah rezeki
Di antara keutamaan berbakti kepada kedua orang tua adalah sama dengan keutamaan
silaturahim yakni dipanjangkan umur dan ditambah rezekinya.
َ ْصلْ َوا ِل َدي ِْه فَليَبَرْ ِرزقِ ِْه فِى لَهْ َويزَ ا َْد عم ِرِْه فِى لَهْ ي َمدْ أَن
ْسرهْ َمن ِ ََر ِح َمهْ َولي
“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambah rezekinya, maka hendaklah ia
berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturahim” (HR. Ahmad)
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan salah satu amal yang dengannya Allah
mengampuni dosa-dosa seorang hamba.
َ ب أَو
ْسطْ ال َوا ِلد ِْ ضعْ ِشئتَْ فَإِنْ ال َجن ِْة أَب َوا
ِ َ اب ذَ ِلكَْ فَأ
َْ َاحفَظهْ أ َ ِْو الب
“Siapa yang mendapati salah satu dari kedua orang tuanya kemudian ia tidak diampuni,
maka Allah telah menjauhkannya (dari rahmat)” (HR. Ahmad)
“Taat kepada Allah (salah satu bentuknya) adalah taat kepada orang tua. Durhaka
terhadap Allah (salah satu bentuknya) adalah durhaka kepada orang tua” (HR. Thabrani)
ضا
َ ب ِر
ِْ ضا ِفى الر
َ سخَطْ ال َوا ِل ِْد ِر
َ ب َو
ِْ َط ِفى الر
ِْ سخ
َ ال َوا ِل ِْد
“Keridhaan Tuhan ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Tuhan ada pada
kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi)
النبِىْ أَتَى-وسلم عليه هللا صلى- ل َْ ل يَا فَقَا َ َ ل ت َوبَةْ ِمنْ ِلى فَ َهلْ َع ِظي ًما ذَنبًا أ
َْ صبتْ إِنِى ّللاِْ َرسو َْ أمْ ِمنْ لَكَْ هَلْ قَا. ل
َْ لَ قَا
ْ.
َْ خَالَةْ ِمنْ لَكَْ هَلْ قَا. ل
ل َْ نَ َعمْ قَا. ل
َْ فَ ِبرهَا قَا
Seorang laki-laki datang menghadap Nabi lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah
melakukan satu dosa yang sangat besar. Apakah aku bisa bertaubat?” Beliau balik
bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu?” ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya
lagi, “Apakah engkau masih memiliki bibi (saudari ibu)?”ia menjawab, “Ya.” Maka beliau
bersabda, “Maka berbaktilah kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan tiket menuju surga. Dalam hadits
diistilahkan orang tua adalah “ausathu abwaabil jannah” pintu surga yang tengah-tengah.
َ ب أَو
ْسطْ ال َوا ِلد ِْ ضعْ ِشئتَْ فَإِنْ ال َجن ِْة أَب َوا
ِ َ اب ذَ ِلكَْ فَأ
َْ احفَظهْ أ َ ِْو ال َب
“Orang tua adalah paling pertengahan dari pintu-pintu surga. Jika kamu mau, sia-
siakanlah pintu itu (kau tidak mendapat surga) atau jagalah ia (untuk mendapatkan pintu
surga itu).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Assalam Wr Wb
Yang terhormat Bapak / ibu hadirin semua
Dan yang saya banggakan anak – anak penerus bangsa
Pengawal kata marilah kita mengucapkan syukur berkat rahmat berupa
keselamatan, kesehatan dan yang teroenting adalah keimanan.
Sehingga dari itu kita bisa berkumpul bersama – sama di tempat yang
kita cintai ini.
Setelah itu tidak lupa pula shalawat berangkaikan salam kita hadiahkan
kepad roh nabi sepanjang masa yak ni nabi Muhammad SAW. Semoga
dengan semakin banyaknya kita bershalawat kepada beliau kita akan
medapatkan syafaatnya di hari pembalasan kelak. Amin
Nah seperti yang saya jelaskan diatas, saya berharap kita semua
menjadi anak yang soleh / shlaheh seperti yang sudah saya jelaskan
tersebut. Mungkin sampai disini dulu penyampaian saya hari ini. Terima
kasih dan mohon maaf atas segala kekurangan dan juga kesalahan.
Wassalam Wr Wb
ANAK SHOLEH DAMBAAN ORANG TUA
Biqauli alhamdulillah marilah kita ucapkan rasa syukur kita kehadirat Allah SWT yang
mana telah memberikan nikmat kepada kita yaitu nikmat iman dan kesehatan sehingga
kita hari ini dapat berkumpul di majlis ini dalam keadaan sehat walafiat...alhamdulillah.
Shalawat beserta salam marilah kita haturkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW yang mana telah membawa umat manusia dari jaman abu bakar sidik
menuju jamannya teman-teman yang cantik-cantik, dari jaman umar bin khotob
menuju jamannya dewan juri yang paling ngetob, dari jaman sayidina ali menuju
jamannya (putry) yang membuat orang pada Iri. Dan yang kita nanti-nantikan
syafaatnya di yaumil qiyamah Amiin Allahuma...aamiin.
Baiklah, pada kesempatan kali ini saya akan berpidato dengan judul ''Anak Shaleh
Dambaan Orang tua''.
Pertama : Perbuatannya harus selalu menyenangkan hati kedua orang tua, yaitu
dengan cara apa? Rajin belajar, membantu orang tua dan jangan lupa beribadah
kepada Allah swt.
Kedua : Menuruti perintah kedua orang tua dan guru, bertutur kata yang lemah lembut,
sopan santun dan yang terakhir hadirin, jangan lupa mendoakan kedua orang tua.
Yang artinya: Ya Allah ampunilah dosa - dosaku dan dosa kedua orang tuaku, dan
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.
Itulah do'a yang harus selalu kita baca setiap waktu.
Mudah - mudahan dengan selalu mendo'akannya kita menjadi anak yang sholehdan
shalehah.
Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa kita harus berbakti dan menjadi
anak shaleh dambaan orang tua. Mudah-mudahan yang hadir di sini mendapatkan ilmu
yang bermanfaat aamiin, ilmu yang barokah, ilmu yang maslahah, mudah-mudahan
yang rezekinya sulit menjadi mudah. Aamiin sehingga hidupnya tentram tidak
kebanyakan polah. Aamiin. dengan tetangganya rukun tidak ada yang congkah, sesama
keluarga tidak ada yang serakah, mudah-mudahan kita menjadi anak yang sholeh dan
sholehah yaitu anak yang berbakti kepada ibu dan ayah, yang hormat kepada simbah,
dan yang ta’at kepada Lillah....aamiin Allahuma...aamiin.
Mungkin hanya inilah yang dapat saya sampaikan mudah-mudahan bermanfaat bagi
kita semua.