Anda di halaman 1dari 42

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY


DISEASE DENGAN ACUTE LUNG OEDEMA DI RUANG
HEMODIALISA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Nilam Ganung Permata Mahardita, S. Kep.
NIM 182311101025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
November, 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Chronic Kidney Disease dengan Acute Lung Oedema di Ruang Hemodialisa
RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang telah disetujui dan disahkan pada :

Hari, Tanggal : Jum’at, 23 November 2018

Tempat: Ruang Hemodialisa

Malang, 23 November 2018

Mahasiswa

Nilam Ganung Permata Mahardita, S.Kep.


NIM 182311101025

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Hemodialisa
Universitas Jember RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang

Ns. Jon Hafan, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.MB Giyatno, Amd. Kep


NIP. 19840102 2001504 1 002 NIP 19741114 200701 1 005
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Review Anatomi dan Fisiologi
Sistem urinaria merupakan sistem organ yang memproduksi, menyimpan,
dan mengalirkan urin. Komponen sistem urinaria pada manusia, terdiri dari :
a. Dua ginjal : penghasil urin
b. Dua ureter, membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung
kemih)
c. Kandung kemih : tempat urin dikumpulkan
d. Dua otot sphincter, dan
e. Uretra : tempat dikeluarkannya urin dari vesika urinaria ke luar
tubuh.
Hartono (2008) mengatakan bahwa ginjal merupakan salah satu organ
yang tergabung dalam sistem perkemihan. Sistem perkemihan terdiri dari 2 buah
ginjal, dua ureter, kantong kemih, dan uretra. Ginjal berbentuk seperti biji buah
kacang merah yang jumlahnya ada 2 buah terletak dibagian kiri dan kanan. Berat
ginjal pada orang dewasa ± 200 gram dan ginjal laki-laki lebih panjang dari pada
ginjal perempuan yang berperan homeostasis tubuh dalam mempertahankan
keseimbangan, termasuk keseimbangan fisika dan kimia yang terletak di
retroperitoneal (di belakang selaput peritoneum) melekat pada dinding belakang
(posterior) rongga abdomen (Nuari dan Widayati, 2017). Lokasi ginjal berada
pada bagian dari kavum abdominalis area retropertoneal bagian atas pada kedua
sisi vertebra lumbalis III dan melekat langsung pada dinding abdomen. Menurut
Faiz & Moffat (2010) posisi ginjal kanan lebih rendah 1 cm dari ginjal kiri.
Panjang tiap ginjal sekitar 10-12 cm yang terdiri atas tiga bagian yaitu kulit
(korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).
Korteks terdapat bagian yang bertugas untuk melaksanakan penyaringan darah
yang disebut nefron.

Gambar 1. Letak dan Anatomi Ginjal


Struktur mikroskopik ginjal tersusun atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal yang terdapat ± 1.000.000 nefron dalam setiap ginjal.
Nefron terdiri dari glomerolus, tubulus, dan (duktus kolektifus) yang merupakan
suatu bagian dari nefron. Dalam korteks terdapat jutaan glomerolus, dalam
medulla terdapat tubulus. Glomerolus memiliki fungsi untuk menyaring dan
mempertahankan zat yang masih berguna di dalam darah seperti protein dan
membuang zat sisa berupa ureum, asam urat, dan kreatinin. Dalam glomerolus
terdapat kapsula bowman yang mengelilingi kapiler bersifat permiabel terhadap
zat tertentu. Ada dua macam kapiler yang berada di dalam glomerolus yaitu vasa
aferen (masuk) dan vasa eferen (keluar). Setiap menitnya kurang lebih 1,5 liter
(1/3 dari curah jantung) yang disaring oleh 2 juta glomerolus yang berbeda di
dalam ginjal (Hartono, 2008).
Tubulus ginjal memiliki fungsi untuk mengeksresikan elektrolit serta air
yang berlebih (fungsi ekskresi) dan menyerap kembali zat yang masih berguna
yang turut terbuang seperti natrium serta kalium (fungsi reabsorbsi). Elektrolit
seperti natrium dan kalium bersama dengan ion-ion lain seperti hidrogen sangat
penting sebagai pengaturan asam basa tubuh. Bikarbonat merupakan hasil dari
fungsi ginjal yang penting dalam rangka menetralisir keasaman darah jika terjadi
asidosis metabolik (Hartono, 2008). Ginjal mempunya beberapa fungsi untuk
tubuh yaitu menjalankan fungsi ekskresi cairan dan elektrolit, berfungsi sebagai
filtrasi (menyaring darah), sekresi hormone (ADH), mengatur keseimbangan
elektrolit (tubulus), mengatur keseimbangan asam basa, mengekskresi sisa
metabolik, toksin, dan zat asing serta juga memiliki fungsi yang tidak kalah
pentingnya yaitu mengaktifkan vitamin D3 menjadi kalsitriol (1,25-dihidroksi-
vitamin D3) dan memproduksi eritropoetin yaitu hormon yang merangsang
sumsum tulang membentuk sel darah merah (Hartono, 2008).
Alur aliran darah dari aorta (setinggi L2) masuk ke arteri renalis (1/3 dari
curah jantung ke ginjal) lalu menuju 5 hilus dan berlanjut ke cabang lobaris,
interlobaris, arkuata, dan kortikal radial. Cabang kortikal radial bercabang lagi
menjadi arteriol aferen yang memasok darah ke glomerolus dan melanjutkan
sebagai arteiol eferen dan kembali menuju jantung melalui pembuluh vena.
Ginjal punya dua peranan penting yaitu sebagai organ eskresi dan non
eskresi. Sebagai sistem eskresi ginjal bekerja sebagai filtran senyawa yang sudah
tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh seperti urea, natrium dan lain-lain dalam bentuk
urin, maka ginjal juga berfungsi sebagai pembentuk urin. Selain sebagai sistem
ekresi ginjal juga sebagai sistem non ekresi dan bekerja sebagai penyeimbang
asam basa, cairan dan elektrolit tubuh serta fungsi hormonal. Ginjal mengekresi
hormon renin yang mempunyai peran dalam mengatur tekanan darah (sistem renin
angiotensin aldosteron), pengatur hormon eritropoesis sebagai hormon pengaktif
sumsum tulang untuk menghasilkan eritrosit. Disamping itu ginjal juga
menyalurkan hormon dihidroksi kolekalsi feron (vitamin D aktif), yang
dibutuhkan dalam absorsi ion kalsium dalam usus.
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk ke dalam
ginjal. Darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah merah dan bagian
plasma darah kemudian akan disaring dalam tiga tahap yaitu filtrasi, reabsorbsi,
dan eksresi.

Gambar 2. Proses Pembentukan Urin


1) Proses Filtrasi
Proses ini terjadi di glomerolus dan terjadi karena tekanan permukaan aferen
lebih besar daripada permukaan eferen sehingga terjado penyerapan darah.
Sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein.
Cairan yang disaring disimpan dalam simpai bownman yang terdiri dari
glukosa, air, natrium, klorida sulfat, bikarbonat, dan lain-lain yang diteruskan
ke tubulus ginjal.
2) Proses Reabsorbsi
Proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besari dari glukosa, natrium,
klorida, fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan proses obligator. Proses reabsorbsi ini terjado pada tubulus proksimal
sedangkan pada tubulus dista; terjadi penyerapan kembali natrium dan ion
bikarbonat bila diperlukan. Penyarapan ini terjadi secara aktif dengan
reabsorbsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis. Reabsorpsi zat
tertentu dapat terjadi secara transpor aktif dan difusi. Sebagai contoh pada sisi
tubulus yang berdekatan dengan lumen tubulus renalis terjadi difusi ion Na+,
sedangkan pada sisi sel tubulus yang berdekatan dengan kapiler terjadi transpor
aktif ion Na+. Adanya transpor aktif Na+ di sel tubulus ke kapiler
menyebabkan menurunnya kadar ion Na+ di sel tubulus renalis, sehingga difusi
Na+ terjadi dari lumen sel tubulus renalis. Pada umumnya zat yang penting
bagi tubuh direabsorpsi secara transpor aktif. Zat-zat penting bagi tubuh yang
secara aktif direabsorpsi adalah protein, asam amino, glukosa, dan vitamin.
Zat-zat tersebut direabsorpsi secara aktif di tubulus proksimal, sehingga tidak
ada lagi di lengkung Henle.

Gambar 3. Mekanisme reabsorpsi air dalam ginjal

3) Proses ekresi atau augmentasi


Sisa dari penyerapan urin yang terjadi pada tubulus akan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter dan masuk ke fesika urinaria.
Tabel 1. Bagian dan Fungsi Utama Nefron
Bagian dan fungsi utama nefron
Kapsula Bowman Filtrasi: ultrafiltrasi dan plasma masuk ke dalam kapsula Bowman
dan mengalir ke tubulus kontortus proksimal
Tubulus kontortus Obligatory rearbsorption(66% dari filtrat glomeruli): natrium,
proksimal kalium, klorida, bikarbonat, dan elektrolit. Lainnya: glukosa, asam
amino, air, dan urea. Sekresi: ion hidrogen, obat, dan toksin
Ansa Henle Reabsorpsi (25% dari filtrat glomeruli): klorida, natrium, ion kalsium,
air, dan urea
Tubulus kontortus Facilitatory rearbsorption (9% dari filtrat glomeruli): natrium,
distal klorida, bikarbonat, air, dan urea. Sekresi: hidrogen, kalium, dan
amonia
Duktus koligentes Facilitatory rearbsorption: air dan urea

Fungsi dari sistem perkemihan pada manusia yaitu sebagai berikut.


a. Ultrafiltrasi
Filtrasi adalah proses ginjal dalam menghasilkan urine. Filtrasi plasma terjadi
ketika darah melewati kapiler dari glomerulus. Terdapat perbedaan tekanan
antara arteriol aferen dan arteriol eferen yang menghasilkan ultrafiltrasi yang
kemudian melewati dan diubah oleh nefron untuk menghasilkan urin primer
atau filtrate glomerolus. Proses ultrafiltrasi ini menghasilkan filtrat glomerolus
kira-kira 180 liter per hari yang mana 99% volume direabsorpsi oleh ginjal.
Oleh karena kemampuan ginjal yang luar biasa untuk mengabsorpsi, rata-rata
haluaran urine per hari (orang dewasa) hanya 1-2 liter dari volume filtrat
glomerular yang berjumlah 180 liter per hari. Ultrafiltrasi diukur sebagai laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate, GFR). Secara klinis, GFR
diartikan sebagai jumlah filtrat glomerular yang dihasilkan dalam satu menit.
GFR pada orang dewasa kira-kira 125 ml per menit (7,5 liter per jam)
Kemampuan ginjal untuk mempertahankan air dan elektrolit (melalui
reabsorpsi) juga sangat penting dalam kelangsungan hidup seseorang. Tanpa
kemampuan ini, seseorang dapat mengalami kekurangan air dan elektrolit
dalam 3-4 menit. Tubulus kontortus proksimal mereabsorpsi 85-90% air yang
ada dalam ultrafiltrat, 80% dari natrium; sebagian besar kalium, bikarbonat,
klorida, fosfat, glukosa, dan asam amino. Tubulus kontortus distal dan tubulus
koligentes menghasilkan urine. Mekanisme lain yang dapat mencegah
berkurangnya air dan elektrolit adalah endokrin atau respons hormonal.
Hormon antidiuretik (ADH) adalah contoh klasik bagaimana hormon mengatur
keseimbangan air dan elektrolit. ADH adalah hormon yang dihasilkan oleh
hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis sebagai respons
terhadap perubahan dalam osmolalitas plasma. Osmolaritas adalah konsentrasi
ion dalam suatu larutan. Dalam hal ini, larutannya adalah darah. Apabila
asupan air menjadi kurang atau air banyak yang hilang, ADH akan dikeluarkan
sehingga membuat ginjal menahan air. ADH mempengaruhi nefron bagian
distal untuk memperlancar permeabilitas air sehingga lebih banyak air yang
direabsoprsi dan dikembalikan ke dalam sirkulasi darah.
b. Keseimbangan elektrolit
Sebagian besar elektrolit yang dikeluarkan dari kapsula Bowman direabsorpsi
dalam tubulus proksimal. Konsentrasi elektrolit yang telah direabsorpsi diatur
dalam tubulus distal di bawah pengaruh hormon aldosteron dan ADH.
Mekanisme yang membuat elektrolit bergerak menyebrangi membran tubula
adalah mekanisme aktif dan pasif. Gerakan pasif terjadi apabila ada perbedaan
konsentrasi molekul. Molekul bergerak dari area yang berkonsentrasi tinggi ke
area yang berkonsentrasi rendah. Gerakan aktif memerlukan energi dan dapat
membuat molekul bergerak tanpa memperhatikan tingkat konsentrasi molekul.
Dengan gerakan aktif dan pasif ini, ginjal dapat mempertahankan
keseimbangan elektrolit yang optimal sehingga menjamin fungsi normal sel.
c. Pemeliharaan keseimbangan asam-basa
Agar sel dapat berfungsi normal, perlu juga dipertahankan pH plasma 7,35
untuk darah vena dan pH 7,45 untuk darah arteria. Keseimbangan ini dapat
dicapai dengan mempertahankan rasio darah bikarbonat dan karbon dioksida
pada 20:1. Ginjal dan paru-paru bekerja lama untuk mempertahankan rasio ini.
Paru-paru bekerja dengan menyesuaikan jumlah karbon dioksida dalam darah.
Ginjal menyekresi atau menahan bikarbonat dan ion hidrogen sebagai respons
terhadap pH darah.
d. Eritropoiesis
Ginjal mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi eritrosit.
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang
mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin
adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama
sel darah merah. Tanpa eritropoietin, sumsum tulang pasien penyakit hepar
atau ginjal tidak dapat memproduksi sel darah merah.
e. Regulasi kalsium dan fosfor
Salah satu fungsi penting ginjal adalah mengatur kalsium serum dan fosfor.
Kalsium sangat penting untuk pembentukan tulang, pertumbuhan sel,
pembekuan darah, respons hormon, dan aktivitas listrik selular. Ginjal adalah
pengatur utama keseimbangan kalsium-fosfor. Ginjal melakukan hal ini dengan
mengubah vitamin D dalam usus (dari makanan) ke bentuk yang lebih aktif,
yaitu 1,25-dihidrovitamin D3. Ginjal meningkatkan kecepatan konversi
vitamin D jika kadar kalsium atau fosforus serum menurun. Vitamin D molekul
yang aktif (1,25-dihidrovitamin D3), bersama hormon paratiroid dapat
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor oleh usus.
f. Regulasi tekanan darah
Ginjal mempunyai peranan aktif dalam pengaturan tekanan darah, terutama
dengan mengatur volume plasma dipertahankan melalui reabsorpsi air dan
pengendalian komposisi cairan ekstraselular (misalnya terjadi dehidrasi).
Korteks adrenal mengeluarkan aldosteron. Aldosteron membuat ginjal
menahan natrium yang dapat mengakibatkan reabsorpsi air.
g. Ekskresi sisa metabolik dan toksin
Sisa metabolik diekskresikan dalam filtrat glomerular. Kreatinin diekskresikan
ke dalam urine tanpa diubah. Sisa yang lain seperti urea, menagalami
reabsorpsi waktu melewati nefron. Biasanya obat dikeluarkan melalui ginjal
atau diubah dulu di hepar ke dalam bentuk inaktif, kemudian diekskresi oleh
ginjal.
h. Miksi
Miksi (mengeluarkan urine) adalah suatu proses sensori-motorik yang
kompleks. Urine mengalir dari pelvis ginjal, kemudian kedua ureter dengan
gerakan peristalsis. Rasa ingin berkemih akan timbul apabila kandung kemih
berisi urine sebanyak 200-300 ml. Saat dinding kandung kemih mengencang,
baroseptor (saraf sensori yang distimulasi oleh tekanan) akan membuat
kandung kemih berkontraksi. Otot sfingter eksternal berelaksasi dan urine
keluar. Otot sfingter eksternal dapat dikendalikan secara volunter sehingga
urine tetap tidak keluar walaupun dinding kandung kemih sudah berkontraksi
(Baradero, 2008).

2. Definisi
Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi
urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin
buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana
fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu
gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Warianto 2011).
Chronic kidney disease atau CKD adalah gagal ginjal kronik yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal, dimana ginjal tidak mampu
mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang
menyebabkan terjadinya uremia dan azotemia. Uremia adalah sindrom klinik yang
terjadi pada semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit GGK,
sedangkan azotemia yaitu kelebihan urea atau senyawa nitrogen dalam darah
(Brunner & Suddarth, 2008).
National Kidney Foundation-Kidney Outcome Quality Initiative (NKF-
K/DOQI) menyatakan bahwa padaCKD terjadi kerusakan ginjal selama 3 bulan
atau lebih, ditandai oleh adanya ketidaknormalan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, yang dimanifestasikan oleh
abnormalitas patologis atau tanda kerusakan ginjal, meliputi abnormalitas
komposisi darah atau urin, atau abnormalitas hasil tes. Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) < 60 ml/mnt/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan/tanpa kerusakan
ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

3. Epidemiologi
Hasil Systematic review dan meta-analysis yang dilakukan oleh Hill et al,
2016, mendapatkan prevalensi global CKD sebesar 13,4%. Menurut Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013 prevalensi CKD di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah 0,2 %. Sedangkan
provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5% diikuti
oleh Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara yaitu masing-masing adalah 0,4%.
Angka ini meningkat seiring bertambahnya umur, yaitu tertinggi pada kelompok
umur ≥75 tahun sebesar 0,6 %. Prevalensi pada laki-laki (0,3 %) lebih tinggi
daripada perempuan (0,2 %), prevalensi tertinggi adalah pada masyarakat
pedesaan (0,3 %), tidak bersekolah (0,4%), memiliki pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%).
4. Etiologi
Price & Wilson (2005) membagi penyebab CKD menjadi delapan kelas
seperti yang tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi CKD atas dasar etiologi
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
- Glomerulonefritis adalah penyakit yang mengenai
glomeruli kedua ginjal. Faktor penyebabnya antara
lain reaksi imunologis (lupus eritematosus sistemik,
infeksi streptokokus, cedera vaskular [hipertensi],
dan penyakit metabolik [diabetes melitus]).
Penyakit vaskular Nefrosklerosis benigna
hipertensif - Pada nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri
ginjal tampak tebal, lumen menyempit, dan ada
kapiler glomerular yang sklerotik dan kempis.
Perubahan vaskular ini dapat menyebabkan suplai
darah ke ginjal berkurang. Tubulus ginjal juga
mengalami atrofi. Tanda dan gejala juga ringan
seperti proteinuria ringan. Nokturia dapat terjadi
karena kemampuan tubula untuk mengonsentrasi
urine juga berkurang. Walaupun insufisiensi ginjal
yang terjadi ringan, pasien memiliki risiko tinggi
untuk mengalami gagal ginjal akut.
Nefrosklerosis maligna
- Pada nefrosklerosis maligna, perubahan besarnya
adalah nekrosis dan penebalan arteriola, kapiler
glomerular, serta atrofi tubula yang tersebar. Selain
itu, terjadi hematuria makroskopik proteinuria berat
dan peningkatan kreatinin plasma. Nefrosklerosis
maligna adalah kondisi kedaruratan medis. Tekanan
darah yang tinggi harus diturunkan untuk
menghindari kerusakan ginjal yang permanen dan
kerusakan organ tubuh yang vital, misalnya otak dan
jantung. Tanda dan gejala sama dengan gagal ginjal
kronik.
Stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan - Lupus eriternatosus sistemik
ikat - Poliarteritis nodosa
- Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital - Penyakit ginjal polikistik
dan herediter - Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolic - Diabetes melitus
- Gout
- Hiperparatiroidisme
- Amiloidosis
Nefropati toksik - Penyalahgunaan analgesic
- Nefropati timah
Nefropati obstruktif - Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal
- Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital leher vesika
urinaria dan uretra
Sumber: Price & Wilson (2005)
Selain penyakit tersebut, beberapa makanan dan minuman juga dapat
memicu terjadinya CKD.
1) Makanan mengandung potassium (kalium) tinggi
Kandungan potassium yang tinggi memperberat kerja ginjal sehingga dapat
menyebabkan kerusakan ginjal. Jika ginjal telah rusak, potassium tidak akan
dapat tersaring lagi dan membuat penderita terserang hiperkalemia. Baradero
(2008) menyatakan bahwa hiperkalemia terjadi karena sel tubular pada tubulus
kontortus distal sudah banyak rusak dan tidak berfungsi sehingga tidak mampu
mengekskresikan kalium dari tubuh. Beberapa makanan tinggi potassium yang
perlu dihindari di antaranya seperti paprika dan cabai merah, alpukat, coklat,
aprikot kering, dan sayuran kering.
2) Makanan yang berbasis protein hewani mengandung purine
Purine di dalam ginjal akan berubah menjadi asam urat, dan pada akhirnya
akan dapat menjadi sebuah batu ginjal yang juga merusak sendi karena
mengkristal. Selain itu, metabolisme protein hewani di dalam daging dapat
memberatkan fungsi ginjal, sehingga ginjal kesulitan menyaring limbah
tubuh.Studi yang dilakukan European Journal of Nutrition tahun 2003
mengatakan bahwa makanan yang kaya protein hewani dapat meningkatkan
resiko batu ginjal dan asam urat.
3) Makanan tinggi fosfor
Fosfor yang tinggi karena mengganggu keseimbangan level elektrolit di dalam
tubuh. Berbagai makanan dengan kandungan fosfor yang tinggi seperti yogurt,
dan susu.

4) Makanan dan minuman berkarbonasi


Minuman dan makanan berkarbonasi mengandung kadar gula yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan obesitas, sindrom metabolik, diabetes, penyakit
kardiovaskular, dan gagal ginjal. Salah satu penyebab penyakit pada ginjal
adalah tingginya tekanan darah pada seseorang. National Kidney and Urologic
Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC) menyatakan bahwa tekanan
darah yang tinggi biasanya disebabkan oleh tingginya kandungan sodium di
dalam darah seseorang. Untuk itu kurangi jumlah asupan sodium yang masuk
ke dalam tubuh. Salah satu sumber sodium yang banyak dikonsumsi sehari-
hari adalah berbagai makanan yang telah dibekukan dan diawetkan.

5. Patofisiologi
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat, sehingga menyebakan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling
sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid..Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal
tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering
tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung
kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Kejadian muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik. Asidosis metabolik
terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal
pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi
disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi
normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan seldarah merah.
Abnormalitas utamalain pada CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan
LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan
kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu
metabolik aktif vitamin D yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering
disebut Osteodistrofienal.

6. Manifestasi Klinis
Penyakit CKD akan menimbulkan gangguan pada berbagai sistem atau
organ tubuh.
a. Gangguan secara umum
Fatigue, malaise, gagal tumbuh.
b. Gangguan sistem pernapasan
Hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura.
c. Gangguan pada sistem kardiovaskuler
Smeltzer & Bare (2001) menyatakan bahwa gangguan kardiovaskuler pada
GGK mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema
pulmoner (akibat cairan berlebih), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan
perikardial oleh toksin uremik).
d. Gangguan pada sistem gastrointestinal
1) Anoreksia dan nause yang berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein dalam usus dan terbentuknya zat–zat toksik akibat metabolisme
bakteri usus seperti ammonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa
usus.
2) Ureum yang berlebihan pada air liur yang diubah oleh bakteri dimulut
menjadi amonia oleh bakteri sehingga nafas berbau amonia. Akibat yang
lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
3) Cegukan yang belum diketahui penyebabnya.
e. Gangguan pada sistem hematologi
1) Anemia, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor lain.
2) Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoiesis pada
sumsum tulang menurun.
3) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik.
4) Defisiensi besi dan asam folat akibat nafsu makan yang berkurang
5) Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
6) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisma sekunder.
7) Gangguan fungsi trombosit dan trombosotopenia yang mengakibatkan
perdarahan.
8) Gangguan fungsi leukosit, di mana fagositosis dan kemotaksis berkurang,
fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun.
f. Gangguan pada meuromuskular
1) Restless leg syndrome, di mana pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan.
2) Feet syndrome, yaitu rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak
kaki.
3) Ensefalopati metabolic, yang menyebabkan lemah, tidak bisa tidur,
gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
4) Miopati, yaitu kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
g. Gangguan pada sistem endokrin
1) Gangguan seksual: libido, fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki,
pada wanita muncul gangguan menstruasi.
2) Gangguan metabolisme glukosa: resistensi insulin yang menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel dan gangguan sekresi insulin.GGK disertai
dengan timbulnya intoleransi glukosa.
3) Gangguan metabolisme lemak: biasanya timbul hiperlipidemia yang
bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, peninggian VLDL (Very Low
Density Lipoprotein) dan penurunan LDL (Low Density Lipoprotein). Hal
ini terjadi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akibat
menurunnya fungsi ginjal.
4) Gangguan metabolisme vitamin Dmenyebabkan gangguan penyerapan usus
terhadap kalsium dan hipokalsemia. Kalsium plasma yang rendah
menyebabkan kompensasi hiperplasia paratiroid dan peningkatan sekresi
hormon paratiroid (Chandrasoma, 2005).
h. Gangguan dermatologi
1) Rasa gatal yang parah (pruritus). Butiran uremik merupakan suatu
penumpukan kristal urea dikulit (Smeltzer & Bare, 2001).
2) Kulit berwarna pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksin uremik dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
i. Gangguan pada tulang
Metabolisme kalsium dan fosfat yang abnormal menyebabkan perubahan
tulang (osteodistrofi ginjal) dan kalsifikasi metastatik. Osteodistrofi ginjal
adalah suatu kombinasi kompleks osteomalasia dengan efek hiperparatiroid
(osteitis fibrosa kistik). Kalsifikasi metastasik pada dinding pembuluh darah
kecil dapat menyebabkan perubahan iskemik pada jaringan yang terkena
(Chandrasoma, 2005).
j. Gangguan metabolik
Kegagalan ekskresi ion hidrogen menyebabkan pengumpulan asam di dalam
darah (tubuh menghasilkan asam berlebihan selama metabolisme sel)
menyebabkan asidosis metabolik (Chandrasoma, 2005).
k. Gangguan cairan-elektrolit
Gangguan asam-basa mengakibatkan kehilangan natrium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, dan hipokalsemia.
l. Ketidakmampuan pemekatan urine
Ketidakmampuan ini merupakan suatu manfestasi klinis awal GGK. Keadaan
ini menyebabkan poliuria (peningkatan jumlah keluaran urine), nokturia (urine
berlebihan pada malam hari), dan isotenuria (keluaran urine hanya bervariasi
sedikit dari berat jenis 1,010). Poliuria sering menyebabkan dehidrasi
(Chandrasoma, 2005).
m. Gangguan fungsi psikososial
Perubahan kepribadian dan perilaku serta perubahan proses kognitif.

7. Klasifikasi
CKD dapat diklasifikasikan atas dasar derajat (stage) penyakit. Klasifikasi
atas dasar penyakit dibuat berdasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault (Suwitra, 2006). KDIGO (2012)
mengklasifikasikan CKD berdasar derajat penyakit yang ditunjukkan pada tabel 2
(KDIGO, 2012).
LFG (ml/mnt/1.73 m2) = (140-umur) x berat badan *)
72 kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2. Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit


Klasifikasi CKD atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG
(ml/mnt/1.73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan-sedang 45-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-44
5 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
6 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber: KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management
.
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemerikasaan laboratorium yang dapat dilakukan, seperti: kadar serum
sodium/natrium dan potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb,
hematokrit, kadar urea nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi
kreatinin urin, urinalisis. Pada stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal,
analisa urine dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat kelainan
fungsi ginjal. Batas kreatinin urin rata-rata dari urine tampung selama 24 jam.
Analisa urine rutin dilakukan pada stadium gagal ginjal yang mana dijumpai
produksi urin yang tidak normal. Dengan urin analisa juga dapat menunjukkan
kadar protein, glukosa, RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan
osmolaritas urin. Pada gagal ginjal yang progresif dapat terjadi output urin
yang kurang dan frekuensi urin menurun. Monitor kadar BUN dan kadar
creatinin sangat penting bagi pasien dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah
produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus dikeluarkan oleh
ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan
BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein.
2) Pemeriksaan Radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk
mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:
a) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
c) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi
saluran kencing.
d) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
e) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal. Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann
ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi
dilakukan pada kasus golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal
bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.
9. Penatalaksanaan
Berikut adalah penatalaksanaan pada pasien CKD berdasarkan derajat
dari penyakit (Rustamaji, 2011):

a. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.Gejala-gejala seperti mual,
muntah, dan letih mungkin dapat membaik. Pembatasan asupan protein telah
terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal
ginjal. Kemungkinan mekanisme yang berkaitan dengan fakta bahwa asupan
rendah protein mengurangi beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi
glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron intake.
2) Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obat-obatan
atau makanan yang tinggi kandungan kalium. Makanan atau obat-obatan ini
mengandung tambahan garam (yang mengandung amonium klorida dan kalium
klorida), ekspektoran, kalium sitrat, dan makanan seperti sup, pisang, dan jus
buah murni.Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal
ginjal. Jumlah natrium yang biasanya diperbolehkan adalah 40 hingga 90
mEq/hari (1 hingga 2 gr natrium), tetapi asupan natrium yang optimal harus
ditentukan secara individual pada setiap pasien untuk mempertahankan hidrasi
yang baik (Price & Wilson, 2005).
3) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
4) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
5) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

d. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien CKD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).

e. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah;
2) kualitas hidup normal kembali;
3) masa hidup (survival rate) lebih lama;
4) komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan; biaya lebih murah dan
dapat dibatasi.
a. Clinical Pathway Etiologi GGK:

Tahap 3 Infeksi saluran kemih, penyakit peradangan (glomerulonefritis), penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis
(benigna dan maligna), stenosis arteri renalis), Gangguan jaringan ikat (Lupus Eritematosus Sistemik, poliarteritis
Kerusakan pembuluh darah Tahap I nodusa, sklerosis sistemik progresif), Penyakit metabolik (Diabetes Mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
halus di ginjal, albuminuria ↑ Tahap 2: Silent stage Amiloidosis).
setelah latihan jasmani GFR ↑
Mikroalbuminuria menetap Tahap 4: Proteinuria, ↓GFR
Protein dapat melewati lubang – lubang glomerulus
Kerusakan glomerulus sebagai penyaring darah Tahap 5: ↑BUN, Kreatinin, ↓GFR
Imun:
yang cepat Resiko
penurunan
GAGAL GINJAL KRONIS Eliminasi urin Oliguri+anuria infeksi
produksi
antibodi
Kelebihan volume cairan
muskuloskeletal integumen Neuro +sensori
eritopoitin
Urea asam uric terganggu respirasi kardiovaskuler
hipokalsemia Uremik Gastrointestinal
menumpuk pada encepalopati Hb rendah:
kulit anemia Urea Edema Asidosis Diafragma hiperkalemia Pelepasan renin
Nyeri otot dan neuropati
menump dalam metabolik terdesak cairan
tulang Pruritus: Perubahan
uk GI hipertensi
gatal kesadaran
Kebas kaki Halitosis Anoreksia, disritmia
Nyeri kronis
Bubuk Koma kejang mual , hiperventilasi
uremik muntah
Risiko kerusakan integritas Pola napas tidak efektif
kulit
kulit Resiko cedera Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Gangguan citra tubuh


HEMODIALISIS
Pra-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis
Pra-Hemodialisis
Proses Ultrafiltrasi
Kecemasan menghadapi terapi Pemberian terapi heparin Tindakan invasif saat Penggunaan cairan dialisat
hemodialisa pemasangan fistula & AV asetat
Shunt Penarikan cairan berlebih ↑penyaringa
Terapi antikoagulan & cepat ke dalam dializer n&
Ansietas Bersifat asam asetat pemasukan
Adanya jalur masuk
Menghambat faktor – faktor mikroorganisme
pembekuan darah ↓volume cairan tubuh Depolarisasi Ca
Gangguan hemodinamik

Resiko infeksi (hipovolemi)


Mudah terjadi pendarahan
Menimbulkan suasana Kontraksi otot terus
asam dalam darah Resiko syok menerus
Meningkatkan produksi
Resiko pendarahan asam lambung
Penumpukan asam laktat pada
Kram otot
otot
Merangsang pusat mual di
medula
Nyeri pada otot
Nyeri

Mual Nyeri akut


Nyeri akut
b. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal
ginjal kronik menurut Le Mone & Burke (2000) dan Smeltzer dan Bare (2001)
ada berbagai macam, meliputi :
a) Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, status marital, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat,
nomor rekam medis, diagnosa medis dan alamat.
b) Keluhan Utama
Keluhan utama berupa keluhan yang dirasakan klien pada saat dilakukan
pengkajian. Klien dengan gagal ginjal kronik biasanya datang dengan
keluhan nyeri pada pinggang, buang air kecil sedikit, bengkak/edema pada
ekstremitas, perut kembung, sesak.
c) Riwayat penyakit sekarang
Informasi sejak timbulnya keluhan sampai dirawat dirumah sakit.
Berkaitan dengan keluhan utama yang dijabarkan dengan PQRST yang
meliputi hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Kualitas dan
kuantitas dari keluhan, penyebaran serta tingkat kegawatan atau skala dan
waktu.
d) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif,
gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan herediter,
penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
e) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.

b. Pola kesehatan fungsional


1) Pemeliharaan kesehatan
Penggunaan obat laksatif, diamox, vitamin D, antacid, aspirin dosis tinggi,
personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan tinggi
kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum suplemen,
control tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada penderita tekanan
darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Pola nutrisi dan metabolik
Perlu dikaji adanya mual, muntah, anoreksia, intake cairan inadekuat,
peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan
(malnutrisi), nyeri ulu hati, rasa metalik tidak sedap pada mulut
(pernafasan amonia), penggunanan diuretik, demam karena sepsis dan
dehidrasi.
3) Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen
kembung, diare konstipasi, perubahan warna urin.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6) Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot,
perubahan tingkat kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki
(memburuk pada malam hari), perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah,
penglihatan kabur, kejang, sindrom “kaki gelisah”, rasa kebas pada telapak
kaki, kelemahan khusussnya ekstremitas bawah (neuropati perifer),
gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau.
7) Persepsi diri dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian,
kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran.
8) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas, impotensi dan atropi testikuler.
c. Pengkajian fisik
1) Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2) Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3) Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas
(LILA) menurun.
4) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
5) Kepala
1. Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
edema periorbital.
2. Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3. Hidung : pernapasan cuping hidung
4. Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah
serta cegukan, peradangan gusi.
6) Leher : pembesaran vena jugularis
7) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal
dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner,
friction rub perikardial.
8) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
9) Genital : atropi testikuler, amenore.
10) Ekstremitas : capitally revil > 3 detik, kuku rapuh dan kusam serta tipis,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop, kekuatan
otot.
11) Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau
hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),
edema.

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik adalah :
1) Urine
a. Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak
ada.
b. Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
c. Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
d. Klirens kreatinin, mungkin menurun
e. Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
f. Protein, derajat tinggi proteinuria (3 - 4) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerolus.
2) Darah
a. Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb biasanya
kurang dari 7-8 gr.
b. Sel darah merah menurun pada defisien eritropoetin seperti azotemia.
c. GDA, PH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hidrogen dan
amoniak atau hasil akhir katabolisme protein, bikarbonat menurun,
PaCO2 menurun.
d. Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan.
e. Magnesium fosfat meningkat.
f. Kalsium menurun.
g. Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
h. Osmolaritas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urin.
3) Pada CKD dengan ALO perlu mendapatkan pemeriksaan penunjang
berupa fototoraks
4) Pemeriksaan EKG, dapat menerangkan secara akurat adanya takikardia
supra ventrikular atau arterial. Selain itu, EKG dapat memprediksi
adanya iskemia, infark miokard dan LVH yang berhubungan dengan
ALO kardiogenik.
5) Pemeriksaan ekokardiografi

e. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut,
Smeltzer dan Bare (2001) adalah sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan luaran urine dan
retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat sekunder terhadap mual, muntah, anoreksia.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder terhadap penurunan COP.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit (uremia).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, kelelahan otot,
anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisis.
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman status terkini (cemas dengan
prognosis penyakit dan tindakan HD).
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi
tentang proses HD.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasif akses
Vaskular tindakan fistula Arteri dan vena.
9. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka akibat prosedur
invasif akses Vaskular tindakan fistula Arteri dan vena) dan agen cedera
biologi (metabolisme an aerob menyebabkan penumpukan asam laktat).
10. Hipertermi berhubungan dengan reaksi pirogen endogen akibat pemakaian
cairan dialisat terlalu panas dan terdapat bakteri masuk ke dalam darah.
11. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan Penarikan cairan berlebih
dan cepat ke dalam dialiser akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan
volume tinggi.
f. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA NOC NIC
Kelebihan volume cairan berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien Manajemen elektrolit/cairan (2080)
dengan penurunan luaran urine dan dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Jaga pencatatan intake/asupan dan output
retensi cairan dan natrium. Keseimbangan cairan (0601) yang akurat
Skor yang ingin 2. pantau adanya tanda dan gejala retensi cairan
Skor
No Indikator dicapai 3. batasi cairan yang sesuai
Awal 1 2 3 4 5 4. siapkan pasien untuk dialisis
060101 Tekanan darah √ Monitor cairan ( 4130)
060107 Keseimangan input √ 1. tentukan jumlah dan jenis intake dan output
outpur dalam 24 jam serta kebiasaan eliminasi
060109 Berat badan stabil √ 2. periksa turgor kulit
060116 Turgor kulit √ 3. monitor berat badan
060117 Kelembapan membran √ 4. monitor nilai kadar serum dan elektrolit urin
mukosa
060118 Serum elektrolit √
060119 Hematokrit √
1: sangat terganggu
2: banyak terganggu
3: cukup terganggu
4: sedikit terganggu
5: tidak terganggu

Skor yang ingin


Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5
060115 Kehausan √
060123 Kram otot √
060124 Pusing √
1: berat
2: cukup berat
3: sedang
4: ringan
5: tidak ada
Tanda-tanda vital (0802)
Skor yang ingin
Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5

08020
Suhu tubuh
080203 Denyut nadi radial √
080204 Tingkat pernafasan √
Tekanan darah √
080205
sistolik
Tekanan darah √
080206
diastolik
1:deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Ketidakefektifan perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien Manajemen sensasi perifer (2260)
perifer berhubungan dengan penurunan dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan Perfusi jaringan: perifer (0407) peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
sekunder terhadap penurunan COP. Skor yang ingin 2. Monitor adanya paretese
Skor
No Indikator dicapai 3. lnstruksikan keluarga untuk mengobservasi
Awal 1 2 3 4 5 kulit jika ada isi atau laserasi
040715 Pengisian kapiler jari √ 4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
Tekanan darah √ 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
040727 punggung
sistolik
Tekanan darah √ 6. Monitor kemampuan BAB
040728 7. Kolaborasi pemberian analgetik
diastolik
040712 Edema perifer √ 8. Monitor adanya tromboplebitis
040745 Kram otot √ 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan
1:deviasi berat dari kisaran normal sensasi
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Tanda tanda vital (0802)
Skor yang ingin
Skor
No Indikator dicapai
Awal 1 2 3 4 5
080201 Suhu tubuh √
080203 Denyut nadi radial √
080204 Tingkat pernafasan √
Tekanan darah √
080205
sistolik
Tekanan darah √
080206
diastolik
1:deviasi berat dari kisaran normal
2: deviasi yang cukup berat dari kisaran normal
3: deviasi sedang dari kisaran normal
4: deviasi ringan dari kisaran normal
5: tidak ada deviasi dari kisaran normal
Perubahan nutrisi: kurang dari Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x... jam klien Terapi nutrisi (1120)
kebutuhan tubuh berhubungan dengan dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai
intake inadekuat sekunder terhadap Status nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan (1009) kebutuhan
mual, muntah, anoreksia. Skor yang ingin 2. Monitor asupan makanan harian
Skor
No Indikator dicapai 3. Motivasi klien untuk mengkonsumsi
Awal 1 2 3 4 5 makanan dan minuman yang bernutrisi,
Asupan makanan √ tinggi protein, kalori dan mudah dikonsumsi
100801 serta sesuai kebutuhan
secara oral
Asupan cairan √ Monitor nutrisi (1160)
100803 1. Timbang berat badan pasien
secara oral
Asupan cairan √ 2. Identifikasi penurunan berat badan terakhir
100804 3. Tentukan pola makan
intravena
Keterangan: Terapi menelan (1860)
1: Tidak Adekuat 1. ediakan/gunakan alat bantu sesuai
2: Sedikit Adekuat kebutuhan.
3: Cukup Adekuat 2. Hindari penggunaan sedotan untuk minum.
4: Sebagian Besar Adekuat 3. Bantu pasien untuk berada pada posisi duduk
5: Sepenuhnya Adekuat selama 30 menit setelah makan.
Status Menelan (1010) 4. Instruksikan klien untuk tidak berbicara
Skor yang ingin selama makan.
Skor
No Indikator dicapai 5. Sedikan perawatan mulut sesuai kebutuhan.
Awal 1 2 3 4 5
101001 Mempertahankan √
makanan di mulut
101003 Produksi ludah √
101004 Kemampuan √
mengunyah
101008 Jumlah menelan √
sesuai dengan
ukuran atau tekstur
bolus
101009 Durasi makan √
sesuai dengan
jumlah yang
dikonsumsi
Keterangan:
1: Tidak Adekuat
2: Sedikit Adekuat
3: Cukup Adekuat
4: Sebagian Besar Adekuat
5: Sepenuhnya Adekuat
g. Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatam evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi
keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. Perawatan
mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
a) Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan
c) Belum tercapai: pasien tidak mampu sama asekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan

h. Discharge Planning
Pemberian informasi pada klien dan keluarga tentang:
1. Obat: beritahu klien dan kelurga tentang daftar nama obat dosis, waktu
pemberian obat. Jangan mengonsumsi obat-obatan tradisional dan
vitamin tanpa instruksi dokter. Konsumsi obat secara teratur. Jika
merasakan ada efek samping dari obat segera cek ke rumah sakit.
Perhatikan aktivitas ketika selesai meminum obat yang memiliki efek
samping mengantuk.
2. Diet: pertahankan diet seperti yang dianjurkan petugas kesehatan seperti
mengkonsusmsi makanan tinggi kalori dan rendah protein. Hal ini
daikarenakan protein dipecah oleh asam amino dengan bantuan enzim
kemudian diproses oleh ginjal. Semakin banyak protein yang dicerna
maka semakin banyak asam amino yng disaring oleh ginjal sehingga
membuat ginjal bekerja lebih berat. Kebutuhan kalori harus dipenuhi
guna mencegah terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang
pengeluaran insulin. Banyak mengonsumsi makanan rendah natrium dan
kalium. Hal ini disebabkan karena natrium berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah. Rendah kalium guna mencegah timbulnya
kegawatan jantung karena hiperkalemia.
3. Latihan: Melatih membuat jantung lebih kuat, menurunkan tekanan
darah, dan membantu membuat klien tetap sehat. Cara terbaik untuk
mulai berolahraga perlahan-lahan dan lakukan lebih berat untuk
membuat klien lebih kuat.
10. ALO (Acute Lung Oedema)
a. Definisi
Natrium mempunyai peranan penting dalam penimbunan cairan akut.
Urine pada orang sehat biasanya mengandung natrium dengan jumlah milli-
ekuivalen yang tepat sama dengan milli ekuivalen natrium di dalam makanan,
sehingga orang tersebut mempunyai balance natrium yang seimbang. Pada
glomerulonefritis akut (gagal ginjal kronis yang lama), natrium tidak lagi dapat
dieksresikan oleh ginjal yang sakit. Jika penderita tetap makan garam dalam
jumlah yang sama seperti saat sehat, maka jumlah natrium di dalam tubuh akan
meningkat dan tetap tinggal di ruang ekstraseluler. Hal inilah yang akan
menarik air dengan tenaga osmotiknya, sehingga di dalam tubuh terjadi dua
peningkatan volume cairan yaitu ekstraseluler dan darah yang bersirkulasi.
Cairan berlebih inilah yang kemudian menuju ke paru-parubdan dapat
menyebabkan ALO juga dapat menyebabkan gagal jantung.

b. Tanda dan Gejala


Gejala yang paling umum CKD dengan ALO adalah sesak napas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya
berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-
tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin
termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada
normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat
(tachypnea), kepeningan, atau kelemahan, dapat pula terjadi perikarditis yang
disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat
gangguan elektrolit
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada
pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-
paru dengan stethoscope, mungkin akan terdengar suara-suara paru yang
abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang
terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli
selama bernapas).

c. Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Edema paru kardiogenik
Edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau
sistem kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika
terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah
serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut.
Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu
memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati
dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis),
penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti
kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel
kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu
keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada
keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi
beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah
yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi
untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat
(stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi).
Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju
paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan
pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri
koronaria.
2) Edema paru non kardiogenik
Edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi
paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ards)
f. Neurogenik
g. Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
a) Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya
sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan
kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
b) Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa
interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di
jarngan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil,
terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal
ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga
membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial
diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
c) Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan
batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun
dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin
hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 2006).
11. KONSEP DASAR HEMODIALISA
a. Pengertian
Nursalam (2006) mengatakan bahwa hemodialisa adalah proses
pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa digunakan
bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang
membutuhkan dialisis waktu singkat. Bagi penderita gagal ginjal kronis,
hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup
pasien (Brunner & Suddarth, 2002). Tujuan hemodialisa adalah untuk
mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan
air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009)

Prinsip yang mendasari hemodialisa adalah pada hemodialysis aliran


darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh
pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian
dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus
selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah
akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di
sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan
terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu difusi,
osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki
konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.
Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi
ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan
gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient
ini dapat di tingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal
sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat
ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran
air (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Akses pada sirkulasi darah pasien adalah sebagai berikut (Suharayanto
dan Madjid, 2009):
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat
dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara.
Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis
untuk pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to
side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar
fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga
dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum
ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang
akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk
memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis,
sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri
atau vena, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari
pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien
sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.

b. Tujuan
Tujuan dari hemodialisis yaitu untuk mengeluarkan zat nitrogen yang
toksik di dalam darah dan mengurangi cairan yang berlebihan dari dalam
tubuh. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus
segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen dan menghindari
kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan
(Smeltzer dan Bare, 2005).

Gambar 4.
Proses Hemodialisa
c. Indikasi
1) Indikasi absolute
a) Keadaan umum buruk dan gejala klinisnya nyata seperti mual, dan
muntah, diare
b) Perikarditis uremik
c) Ensefalopati atau neuropati uremik
d) Edema paru akut dengan overhydration refrakter terhadap diuretika
(tidak bisa ditanggulangi dengan obat diuretika)
e) Kreatinin >10mg %
f) Ureum darah lebih > 200 mg/dl atau kenaikan ureum darah lebih dari
100 mg/dl per hari (hiperkatanolisme)
g) Hiperkalemia (K serum > 6mEq/L)
h) Asidosis dengan bikarbonat serum kurang dari 10 mEq/L atau pH < 1,75
i) Anuria berkepanjangan (>5 hari)
2) Indikasi elektif
a) LFG < 15 ml/menit/1,73
b) Mual, anoreksia, muntah dan atau asthenia
c) Asupan protein menurun spontan < 0,7 gr/kg/hari

d. Kontraindikasi
Kontraindikasi proses hemodialisa diantaranya hipotensi yang tidak
responsive terhadap presor, penyakit terminal, sindroma otak organik, sindrom
hepatorenal, sirosis hati dengan ensepalopati, instabilitas hemodinamik dan
koagulasi, akses vaskular yang sulit, serta Alzheimer

e. Prinsip Hemodialisa
Prinsip yang mendasari kerja hemodialisa menurut Smeltzer dan Bare
(2002) yaitu:
1) Difusi
Toksin dan limbah dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi yaitu
dengan cara mengalirkan darah yang memiliki konsentrasi tinggi menuju
cairan dialisat yang berkonsentrasi rendah. Cairan dialisat berisi cairan
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar
elektrolit darah dapat dikendalikan dengan rendaman dialisat (dialysate
bath) secara tepat. Pori-pori kecil dalam membran semipermeabel tidak
memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein.
2) Osmosis
Air yang berlebih dari dalam tubuh dikeluarkan melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan
pengaturan gradient tekanan (yaitu dengan mengalirkan air dari yang
bertekanan tinggi atau dari tubuh pasien ke tekanan yang rendah atau cairan
dialisat).
3) Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialisis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga
tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:
a) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membran. Pada dialisis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser
dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan
positif mendorong cairan menyeberangi membran.
b) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membran
oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan negatif yang menarik
cairan keluar darah.
c) Tekanan osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut.
Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari
larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan
membran permeabel terhadap air. Pada proses ultrafiltrasi tekanan yang
digunakan adalah tekanan negatif yang diterapkan pada alat sebagai
kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
karena pasien tidak dapat mengeluarkan cairan sehingga tercapai
isovolemi atau keseimbangan cairan.

f. Proses Hemodialisa
Sebelum dilakukan hemodialisa harus dilakukan pengkajian pradialisis,
dilanjutkan dengan menghubungkan klien dengan mesin hemodialisa dengan
memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler pasien yaitu akses jalan
keluar darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous
(AV) fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena cenderung
lebih aman dan nyaman bagi pasien (Thomas dalam Farida, 2010).
Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang proses hemodialisa
dimulai. Saat dialisis darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam
dialiser. Darah mulai mengalir dibantu pompa darah. Cairan normal salin
diletakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi
intradialisis. Infus heparin diletakkan sebelum atau sesudah pompa tergantung
peralatan yang digunakan. Darah mengalir dari tubuh ke akses arterial menuju
ke dialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan zat sisa. Darah masuk dan
keluar tubuh pasien dengan kecepatan 200/400 ml/menit (Price & Wilson,
2005).
Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang
meninggalkan dialiser akan melewati detektor udara. Darah yang sudah
disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh pasien melalui akses
venosa. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka
selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien.
Pada akhir dialisis, sisa akhir metabolisme dikeluarkan, keseimbangan
elektrolit tercapai dan buffer sistem telah diperbaharui (Lemis, Smeltzer,
Hudak dalam Farida, 2010).

g. Perangkat Hemodialisa
1) Perangkat Khusus
a) Mesin hemodialisa
Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan
sisa metabolisme atau zat toksin lain dari dalam tubuh. Didalamnya
terdapat 2 ruangan atau kompartemen yang meliputi kompartemen
darah dan kompartemen dialisat.
b) Blood lines: selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan
kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi yakni untuk mengeluarkan dan
menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme serta untuk mencegah
kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.

c) Alat-alat kesehatan
1. Tempat tidur fungsional
2. Timbangan BB
3. Pengukur TB
4. Stetoskop
5. Termometer
6. Peralatan EKG
7. Set O2 lengkap
8. Suction set
9. Meja tindakan.
d) Obat-obatan dan cairan
1) Obat-obatan hemodialisa: heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
2) Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
3) Dialisat
4) Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
5) Obat-obatan emergency.

h. Pedoman Pelaksanaan Hemodialisa


1) Perawatan sebelum hemodialisa
a) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
b) Kran air dibuka.
c) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk
keluar atau saluran pembuangan.
d) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
e) Hidupkan mesin.
f) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
g) Matikan mesin hemodialysis.
h) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
i) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
j) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
2) Menyiapkan sirkulasi darah
a) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
b) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’ (tanda
merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
c) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari dialiser
d) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser
dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
e) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
f) Hubungkan set infuse ke slang arteri.
g) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu
klem.
h) Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan ‘ouset’
diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara
i) Tutup klem dari selang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
j) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
k) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
l) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
m) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas
udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
n) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak
500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas
ukur.
o) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
p) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.
q) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-
20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
r) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas
dan ‘outset’ dibawah.
s) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10
menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
3) Persiapan pasien
a) Menimbang BB.
b) Mengatur posisi pasien.
c) Observasi KU.
d) Observasi TTV.
e) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah
ini:
1. Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
2. Dengan eksternal A-V Shunt/schungula
3. Tanpa 1-2 (vena pulmonalis)

i. Komplikasi
Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialysis cairan dikeluarkan karena
terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan, obat-obatan
anti hipertensi.
1) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
2) Mual dan muntah dapat muncul akibat gangguan saluran gastrointestinal,
ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
3) Demam disertai menggigil, akibat dari reaksi fibrogen, reaksi transfuse,
kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah.
4) Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah dari luar tubuh.
5) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
6) Gangguan keseimbangan dialysis, terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan
terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
7) Kram otot yang nyeri, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. 2016.


Nursing Intervention Classification (NIC), 6th Indonesian Edition. United
Kingdom: Elseiver Global Rights.
Herdman, T. H. 2018. NANDA-1 Diagnosa Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020, Ed. 11. Jakarta: EGC
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Cegah Dan Kendalikan
Penyakit Ginjal Dengan Cerdik Dan Patuh.
http://www.depkes.go.id/article/print/18030700007/cegah-dan-kendalikan-
penyakit-ginjal-dengan-cerdik-dan-patuh.html
LeMone, Priscilla dan Burke, Karen M. 2000. Surgical Nursing: Critical
Thinking in Client Care (ed.2nd). New Jersey: Prentice Hall Health.
Lukman. Nabila et al. 2013. Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat
Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik di BLU RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. E-Journal Keperawatan (e-Kp). Vol 1. No.1.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th Edition Indonesian Edition. United Kingdom:
Elseiver Global Rights
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba medika
Nuari, N.A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: Deepublish.
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Rahadjo dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Hemodialisis. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.
Smeltzer, Suzannce C., & Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Anda mungkin juga menyukai