Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik residif


pada kulit dan membran mukosa yang ditandai dengan
timbulnya bula subepidermal. Pada penelitian dilaporkan bahwa
pemfigoid bulosa memiliki tiga karakteristik klinis berupa
pruritus, urtikaria dan bula yang tegang. Penyakit ini sering
diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal
menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki
angka morbiditas yang tinggi.1,2 Pemfigoid bulosa merupakan
salah satu penyakit autoimun yang insidensinya meningkat
mengikuti usia. Sebagian besar pasien dengan pemfigoid bulosa
berusia lebih dari 60 tahun dengan puncak insidensi pada usia 80
tahun dan lebih tua.3
Etiologi pemfigoid bulosa adalah autoimun, tetapi
penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada
pemfigoid bulosa masih belum diketahui. Pada pemfigoid bulosa,
dikenal autoantibodi Bullous Pemphigoid Antigen 180 (BP180)
yang juga dikenal sebagai kolagen tipe XVIIatauantigen BP2,dan
Bullous Pemphigoid Antigen 230 (BP230) yang juga dikenal
sebagai BPAG1-e atau antigen BP1. Protein tersebut merupakan
komponen kompleks junctional adhesion disebut hemidesmosom
yang tampak di epitel kompleks dan berlapis,seperti pada kulit,
membran mukosa,telinga, hidung, dan area tenggorokan.2,4,5,6
Beberapa faktor yang memicu penyakit ini termasuk
trauma, suhu panas,luka bakar, radioterapi dan radiasi sinar
ultraviolet. Selain itu, berbagai kelainan terkait autoimun,
psoriasis, dan kelainan neurologis juga diduga berhubungan
dengan pemfigoid bulosa. Sebagian kecil kasus dapat dipicu oleh
obat seperti furosemid, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril.

1
Suatu studi kasus menyatakan obat anti psikotik dan antagonis
aldosteron termasuk dalam faktor pencetus pemfigoid bulosa.
Belum diketahui apakah obat yang berefek langsung pada sistem
imunjuga berpengaruh pada kasus Pemfigoid Bulosa. Sinar
ultraviolet juga merupakan salah satu faktor pemicu eksaserbasi
pemfigoid bulosa.3,4

2
BAB II
KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki - Laki
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Pahandut Seberang
Tanggal pemeriksaan : 17 Oktober 2018

2.2 Anamnesa
Proses anamnesa dilakukan secara autoanamnesa.
Keluhan utama : Pasien datang ke IGD RS dr. Doris Sylvanus Palangkaraya
tanggal 17 Oktober 2018 dengan keluhan kulit melepuh di kedua tangan, kedua
kaki, bahu, dan bokong.

Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke Pasien datang ke IGD RS dr.


Doris Sylvanus Palangkaraya dengan kulit melepuh disertai dengan gelembung
yang berisi cairan jernih dan tegang pada kulit sejak 3 hari yang lalu SMRS. Kulit
yang melepuh lalu disertai gelembung yang berisi cairan jernih sudah di alami
berulang kali dalam satu tahun sudah 3 kali keluhan yang sama di alami oleh
pasien. Keluhan kulit ini timbul di kedua tangan, kedua kaki, bahu kiri, dan atas
bokong. Sebelum terjadi gelembung yang berisi cairan jernih, pasien mengalami
kemerahan pada area kulit terlebih dahulu lalu timbul gelembung yang berisi

3
cairan, pecah, dan timbul bekas luka mengering berwarna kehitaman pada area
kulit.

Pasien dulu bekerja sebagai wiraswasta, mempunyai usaha warung didepan rumah
saat ini pasien mengalami sakit stroke sudah 3 tahun lamanya sehingga pasien
susah berbicara, dan bergerak. keluhan pada kulit dikeluhkan timbul pada 1 tahun
sesudah serangan stroke terjadi. Dalam 1 tahun terakhir sudah 3 kali mengalami
keluhan kulit yang sama.
Keluarga pasien mengaku sebelum timbul ruam kemerahan pada kulit pasien.
Pasien demam lalu timbul ruam kemerahan, lalu timbul gelembung yang berisi
cairan jernih, pecah, dan meninggalkan bekas kehitaman pada kulit.

Riwayat penyakit dahulu: Keluarga pasien mengaku pernah mengalami keluhan


seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit stroke, hipertensi, alergi obat ataupun
makanan disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit keluarga : Alergi terhadap makanan laut dan udara dingin (-)

2.3 Status Generalis


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis

Vital sign
TD : 150/100 mmHg
Nadi : 62 x/m
RR : 19 x/m
Suhu : 36,40C
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
KGB : dalam batas normal

4
2.4 Status Dermatologis
Lokasi : Regio Manus Dekstra-Sinistra, Regio Pedis Dekstra-Sinistra,
Regio Scapularis, Regio Gluteus.
UKK : Bula multipel berisi cairan jernih berdinding tebal dan tegang.
yang disertai Krusta.

Gambar 1. Regio Pedis Dekstra

Gambar 2. Regio Pedis Sinistra

5
Gambar 3. Regio Manus Dekstra

Gambar 4. Regio Scapularis

6
Gambar 5. Regio Gluteus

2.5 Resume
Pasien laki-laki berumur 54 tahun, datang ke Pasien datang ke Pasien datang ke
IGD RS dr. Doris Sylvanus Palangkaraya dengan kulit melepuh disertai dengan
gelembung yang berisi air pada kulit sejak 3 hari yang lalu SMRS. Kulit yang
melepuh lalu disertai gelembung yang berisi air sudah di alami berulang kali
dalam satu tahun sudah 3 kali keluhan yang sama di alami oleh pasien. Keluhan
kulit melepuh dan gelembung yang berisi air timbul di kedua tangan, kedua kaki,
bahu kiri, dan atas bokong. Sebelum terjadi gelembung yang berisi air, pasien
mengalami kemerahan pada area kulit lalu timbul gelembung yang berisi air,
pecah, lalu timbul bekas luka mengering berwarna kehitaman pada area kulit.
Berdasarkan status dermatologis, didapatkan bula dan krusta, tersebar
sebagian diregio manus, pedis, gluteus, dan scapularis.

2.6 Diagnosis Banding


 Dermatitis herpetiformis
 Pempigus Vulgaris

2.7 Pemeriksaan Penunjang

7
Tidak dilakukan

2.8 Diagnosis
Pemphigoid Bulosa

2.9 Penatalaksanaan
Farmakologi
Injeksi : Injeksi Ceftriaxon 2x1gr
Injeksi Metilprednisolon 125mg 2x 62,5 mg
Kompres Nacl 0,9 %

Topikal:
1. Fuson cream dioleskan pada luka bila kering.

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pemphigoid Bulosa


3.1.1 Definisi
Pemfigoid Bulosa (P.B.) ialah penyakit autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada
pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada
epidermal basement membrane zone.5
Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai
rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka
morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi
kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit atau di varian atipikal, di
mana bula biasanya tidak ada. Dalam kasus ini, penegakan diagnosis P.B.
memerlukan tingkat pemeriksaan yang tinggi untuk kepentingan pemberian
pengobatan awal yang tepat. Antigen target pada antibodi pasien yang
menunjukkan dua komponen dari jungsional adhesi kompleks-hemidesmosom
ditemukan pada kulit dan mukosa. 3

3.1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9-10% dari anak-anak yang datang ke
klinik menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang
terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak berusia
kurang dari 2 tahun. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun
sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70%
merupakan impetigo krustosa. 6

3.1.3 Etiologi

9
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S aureus sebagai pathogen
terbanyak yang menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa pada
Amerika dan Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara
berkembang. Kebanyakan infeksi bermula sebagai infeksi Streptococcus tetapi
kemudian Staphylococcus menggantikan Streptococcus.6
Selain dapat menyebabkan manifest pyoderm primer dari kulit yang utuh,
dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari penyakit kulit yang ada
sebelumnya atau pada kulit yang terkena trauma, yang disebut dengan dermatitis
impetigenisata. Impetigo jarang berkembang menjadi infeksi sistemik, walaupun
post streptococcal glomerulonepritis yang merupakan komplikasi pada infeksi
Streptococcus β hemoliticus grup A dapat terjadi walaupun jarang.6

3.1.4 Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada pemphigoid bulosa dimana antigen
P.B. merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi
oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z. (basal membrane zone) epitel
gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.5 Terdapat 2 jenis
antigen P.B. ialah yang de-jhgan berat molekul 230 kD disebut PBAgl (P.B.
/Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih
banyak ditemukan daripada PB180. 5
Terbentuknya bula akibat komplemen yang teraktivasi melalui jalur klasik
dan alternatif kemudian akan dikeluarkan enzim yang merusak jaringan sehingga
terjadi pemisahan epidermis dan dermis. 5 Autoantibodi pada P.B. terutama IgG1,
kadang-kadang IgA yang menyertai IgG. Isotipe IgG yang utama ialah IgG1 dan
IgG4, yang melekat pada kompelemen hanya IgG1. Hamper 70% penderita
mempunyai autoantibodi terhadap B.M.Z dalam serum dengan kadar yang sesuai
dengan keaktivasi penyakit, dan berbeda dengan pemfigus. 5

3.1.5 Gejala Klinis

10
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit pemphigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal
penyakit non-bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal
ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau
urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan.
Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.7
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari pemphigoid bulosa. ditandai oleh perkembangan vesikel
dan bula pada kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama
dengan urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk
pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan
dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi
seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur
anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi
memberi gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih jarang, miliar.
Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung
mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh. Pada
sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer.7

Gambar 2. Pemphigoid Bulosa2

11
Gambar 3. Bulla yang telah pecah sehingga terbentuk krusta.2
Histopatologi
Kelainan yang dini ialah terbentuknya celah di perbatasan
dermalepidermal. Bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama ialah
eosinofil. 6
Imunologi
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun
seperti pita di B.M.Z. (Basement Membrane Zone). 4

3.1.6 Diagnosis Banding


Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis
herpetiformis. Pada pemfigus keadaan umumnya buruk, dinding bula kendur,
generalisata, letak bula intraepidermal, dan terdapat IgG di stratum spinosum.
Pada dermatitis herpetiformis, sangat gatal, iruam yang utama ialah vesikel
berkelompok, terdapat IgA tersusun granular.6

3.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan Topikal1,5,
- Lesi sedikit dan dini dengan hanya obat topikal cukup menolong : salep
natrium fusidat
- Drainage: bula dan pustula ditusuk dengan jarum steril untuk mencegah
penyebaran lokal
- Mencuci lesinya pelan-pelan dan melepas krustanya. Bila krusta melekat
kuat dikompres lebih dulu dengan larutan sodium chloride 0,9%. Krusta
perlu dilepas agar obat topikalnya dapat efektif bekerja
Pengobatan Sistemik1,5,7
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus-kasus berat, lama pengobatan paling
sedikit 7-10 hari. Beberapa antibiotik yang direkomendasikan antara lain:
1. Golongan Penicilin G dan semisintetiknya
a. Penicilin G procain injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta I.U.m, sehari 1-2 kali
2. Ampiciline

12
a. Dosis 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c
3. Amoxicilin
a. Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 3 kali
Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, sehari 3 kali a.c
4. Cloxacilin (untuk staphylococci yang kebal peniciline)
a. Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali a.c
Anak-anak: 10-25 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c
5. Dicloxacilin
a. Dosis: 125-250 mg/dosis , sehari 3-4 kali a.c
Anak-anak: 5-15 mg/kg/dosis, sehari 3-4 kali a.c
6. Phenoxymetil penicilin (penicilin V)
a. Dosis: 250-500 mg, sehari 4 kali a.c
Anak-anak: 7,5 -12,5 mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c

7. Erytthromycine
a. Dosis: 250-500 mg /dosis sehari 4 kali p.c
Anak-anak: 12,5-50 mg/kg/dosis, sehari 4 kali p.c bila alergi penicilin
8. Clindamycine
a. Dosis: 150-300 mg/dosis, sehari 3-4 kali
Anak-anak lebih 1 bulan: 8-20 mg/kg/hari, sehari 3-4 kali. Bila alergi penicilin
dan yang menderita gangguan saluran cerna.

3.1.9 Prognosis
Prognosis umumnya baik. Beberapa kasus akan sembuh sendiri tanpa
terapi dalam 2 sampai 3 minggu. Di luar periode neonatal, pasien yang
mendapatkan terapi lebih dini dan baik akan memiliki kesempatan untuk sembuh
tanpa bekas luka atau komplikasi. Dengan terapi yang tepat, lesi dapat sembuh
sempurna dalam 7-10 hari.1,7

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang


timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.1 Diagnosis
Dermatitis Kontak Alergi (DKA) pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh
muncul ruam kemerahan dan gatal di area tungkai bawah, perut, dada, leher dan
telinga hilang timbul sejak 1 tahun SMRS. Keluhan-keluhan tersebut muncul
sehari setelah pasien menyemprot rumput liar dengan roundup.
Pada dermatitis kontak alergi yang kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.1,2 Kelainan ini
sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis. Pada pasien kulit terlihat
kering, berskuama, terdapat papul dengan batas yang kurang jelas Hal ini
menunjukkan dermatitis yang dialami sudah kronis.
Diagnosis banding pada kasus ini adalah dermatitis atopik dan dermatitis
kontak iritan. Diagnosis banding dermatitis atopik didasari karena ujud kelainan
kulit pada kasus mirip dengan dermatitis kontak alergi, namun untuk memastikan
dilakukan penentuan yang didasarkan kriteria Hanifin dan Rajka, meliputi criteria
Mayor yaitu:
-
Pruritus
-
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
-
Dermatitis di fleksura pada dewasa
-
Dermatitis kronis atau residif
-
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

Kriteria minor

14
-
Xerosis
-
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
-
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
-
lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
-
Pitiriasis alba
-
Dermatitis di papila mame
-
White dermographism dan delayed blanch response
-
Keilitis
-
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
-
Konjungtivitis berulang
-
Keratokonus
-
Katarak subkapsular anterior
-
Orbita menjadi gelap
-
Muka pucat atau eritem
-
Gatal bila berkeringat
-
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
-
Aksentuasi perifolikular
-
Hipersensitif terhadap makanan
-
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
-
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
-
Kadar IgE di dalam serum meningkat
-
Awitan pada usia dini1
Pada pasien dapat dikatakan diagnosisnya dermatitis atopik jika memenuhi
persyaratan 3 mayor + 3 minor. Namun jika disesuaikan dengan keadaan pasien
hanya ditemukan 3 mayor dan satu minor. Pruritus, dermatitis di muka atau
ekstensor pada bayi dan anak, riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
unntuk mayor. Untuk minor Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki. Karena
tidak sesuai krietria tersbut maka diagnosis untuk dermatitis atopik disingkirkan
Diagnosis banding yang kedua adalah dermatitis kontak iritan
Diagnosis banding dermatitis kontak iritan didasari karena ujud kelainan
kulit pada kasus mirip dengan dermatitis kontak alergi dan bahkan sulit
dilbedakan.

15
Perbedaan antara dermatitis alergika dan dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut.1

Dermatitis kontak alergika Dermatitis kontak iritan


Cenderung kronik Cenderung akut
Hanya orang ternttu (tiwayat Semua orang bisa terkena
alergi/sensisitasi)
Lesi awal berupa: makula, eritema, Lesi awal berupa: makula, eritema,
vesikel, bula dan erosi papula melebar dari tempat awal
Penyebab alergen Penyebab iritan primer
Tidak bergantung dengan konsentrasi, Bahan iritan melewati ambang batas
rendah sekali dapat memicu DKA.
Bergantung tingkat sensitisasi
Onset pada kontak berulang Onset pada kontak pertama
24-72 jam Terjadi cepat dengan iritan kuat dan
(menit-jam), lambat dengan iritan
lemah
Jika dilihat pada tabel diatas, gejala klinis cenderung pada dermatitis kontak
alergika. Sehingga diagnosis dermatitis kontak iritan dapat disingkirkan.
Perbedaan dermatitis kontak alergika dan dermatitis kontak iritan juga
terdapat pada gejala klinis. Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam,
bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah
memberikan gejala kronis. Selain itu banyak faktor yang mempengaruhi
sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu faktor individu (misalnya ras, usia,
lokasi, atopi, penyakit lain), faktor lingkungan (misalnya, suhu dan kelembaban
udara, oklusi). Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut DKI
diklasifikasikan menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat, akut (acute
delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif, traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular,
dan akneformis, noneritematosa, dan subyektif.1
Ada pula yang membaginya menjadi dua kategori yaitu kategori mayor
terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori
lain terdiri atas: DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa,
dan DKI subyektif.1
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat,
biasanya terjadi karena kecelekaan. Intensitas reaksi sebanding dengan

16
konsentrasi dan lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit
terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan kulit berbatas tegas dan pada
umumnya asimetris. DKI akut lambat, memberikan gambaran klinis dan gejala
sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai 24 jam atau lebih setelah
kontak. Bahan yang menyebabkan DKI akut lambat podofilin, antralin, tretinoin.
DKI kumulatif, jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi, nama lain ialah
DKI kronis. Penyebab DKI kronis adalah kontak berulang-ulang dengan iritan
lemah, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin,
deterjen, sabun, pelarut, tanah, air. Gejala klasik yang timbul adalah kulit kering,
eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus.
Bila kontak berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur).1
Reaksi Iritan dapat menimbulkan ujud kelainan kulit berupa skuama,
eritema, vesikel, pustul, dan erosi. DKI traumatik, kelainan kulit berkembang
lambat setelah trauma panas atau laserasi. DKI noneritematosa merupakan bentuk
subklinis DKI tanpa disertai kelainan klinis. DKI subyektif, juga disebut DKI
sensori, kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa panas atau terbakar
setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.1
Standar emas untuk menegakkan diagnosis DKA, termasuk yang dicurigai
akibat kerja adalah uji tempel. Pada pasien tidak dilakukan uji tempel.
Secara umum, penanganan DKA meliputi11:
1. Perlindungan terhadap kulit dari bahan alergen, seperti penggunaan sarung
tangan dan perubahan gaya hidup, termasuk edukasi adalah hal yang sangat
penting untuk dilakukan.
2. Pengobatan topical [emollient, cream/ointment corticosteroid, dan irradiasi
dengan sinar ultraviolet (UV) atau X-rays].
3. Pengobatan sistemik [kortikosteroid].
Faktor yang berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi,
misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, lama pajanan, suhu, dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari)1. Dalam kasus ini faktor yang berpengaruh dalam timbulnya dermatitis

17
pasien ialah potensi sensitisasi alergen (cairan roundup) yang digunakan untuk
menyemprot tanaman liar. Untuk mengatasi dermatitis alergi perlu dihindari
faktor-faktor pencetusnya, Dalam kesehariannya pasien bekerja sebagai petani
yang menjadi faktor pencetus tentu saja tidak dapat dihindari. Sehingga solusi
yang perlu dicoba yaitu saat menyemprot pasien diminta untuk memakai sarung
tangan, pakaian lengan panjang dan celana panjang untuk menutupi hampir
seluruh tubuh.
Pengobatan pada pasien ini diberikan antihistamin yaitu mebhydroline
2x50 mg, serta kortikosteroid metilprednisolon 8 mg untuk oral serta
desoximetason cream untuk topikal. Penatalaksanaan pada penyakit ini bertujuan
untuk mengurangi pruritus dan meminimalkan lesinya dengan menggunakan obat-
obatan yaitu :
a. Antihistamin untuk mengurangi rasa gatal
b. Kortikosteroiduntuk mengatasi peradangan dan gatal serta perlahan-lahan
menghaluskan kulit.1,4
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis
numularis, atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin
dihindari.1,2

18
KESIMPULAN

Telah dilaporakan suatu kasus Dermatitis Kontak Alergik pada seorang


perempuan, Ny. N, 49 tahun yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
dr. Doris Sylvanus dengan keluhan utama bercak kemerahan pada kulit yang
disertai gatal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.
Terapi yang diberikan pada pasien diberikan dalam bentuk oral dan topikal berupa
kortikosteroid dan antihistamin oral dan kortikosteroid topikal. Edukasi untuk
pasien berupa nasihat untuk menghindari alergen atau saat menyemprot tanaman,
pasien diminta untuk memakai sarung tangan, pakaian lengan panjang dan celana
panjang untuk menutupi hampir seluruh tubuh saat menyemprot tanaman.

19

Anda mungkin juga menyukai