Anda di halaman 1dari 25

DAFTAR ISI

Judul .................................................................................................................................. 1

Daftar Isi .......................................................................................................................... 2

Bab I: Pendahuluan .......................................................................................................... 3

Bab II: Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 4

Bab III: Kesimpulan .......................................................................................................... 25

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 26


BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum atau PPS (perdarahan pasca persalinan) merupakan penyebab


terbanyak kematian ibu di dunia, diikuti hipertensi, infeksi, dan penyebab-penyebab indirek
lainnya.1Salah satu target Sustainable Development Goals (SDG) menuju tahun 2030 adalah
“ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages”, dengan poin pertamanya
yang berbunyi “By 2030, reduce the global maternal mortality ratio to less than 70 per
100,000 live births”.2Di Indonesia, angka kematian ibu sempat memuncak pada SDKI 2012
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, namun telah berkurang pada tahun 2015 menjadi
305 per 100.000 kelahiran hidup.3Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih jauh dari
target SDG 2030.Untuk mendukung tercapainya target tersebut, dibutuhkan kerjasama yang
baik antara pihak pemberi pelayanan kesehatan yang berkompeten danfasilitas pelayanan
kesehatan yang mendukung.

Perdarahan postpartum dapat berasal dari tempat implantasi plasenta, atau robekan
pada jalan lahir dan sekitarnya, yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat
menyebabkan kematian ibu. Penyebab PPS yang paling sering menurut urutan insidensinya
adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah
(thrombus).4

Beberapa permasalahan terkait PPPadalah 1) Angka kematian ibu di Indonesia masih


merupakan masalah kesehatan dan merupakan salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara, 2)
Angka kematian ibu di Indonesia masih jauh dari target yang ingin dicapai SDG, 3) PPP
merupakan penyebab utama kematian ibu, dan prevalensi PPP di negara berkembang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, 4) Belum ada keseragaman dalam menangani
PPP, dan 5) PPPbukan hanya masalah medis, namun juga masalah ekonomi yang besar.4

Tujuan pembuatan referat ini adalah membantu penulis dan para pembaca memahami
lebih dalam tentang perdarahan postpartum,dan memahami tindakan yang perlu dilakukan
untuk menanganinya sebagai bagian dari kesatuan pelayanan kesehatan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisidan Klasifikasi

Perdarahan postpartum (PPP) atau Post Partum Haemorrhage (PPH) didefinisikan


sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia > 500 ml setelah melahirkan pervaginam atau
> 1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.4 Jumlah darah yang hilang dihitung
setelah persalinan kala III berakhir.5 Menurut WHO, perdarahan postpartum dibagi menjadi
primer dan sekunder. PPP primer terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan, sementara
PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam
hingga 12 minggu setelah persalinan.6 Parameter lain yang lebih relevan digunakan untuk
menegakkan diagnosis perdarahan postpartum adalah berapapun jumlah perdarahan yang
menimbulkan gangguan hemodinamik pada ibu pasca melahirkan.

B. Epidemiologi

Pendarahan postpartum merupakan penyebab kematian utama maternal baik di negara


berkembang maupun negara maju, diikuti oleh hipertensi dan infeksi.4Di Indonesia, angka
kematian ibu sempat memuncak pada SDKI 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup,
namun telah berkurang pada tahun 2015 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup.3Sekitar
35% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan postpartum.3

C. Etiologi

Penyebab PPP adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Trauma, Tissue dan
Thrombus.4

1. Tone(70% kasus) diakibatkan oleh atonia uterus atau kelemahan tonus uterus untuk
menghentikan perdarahan dari bekas inersi plasenta.
2. Trauma (20% kasus)merupakan robekan jalan lahir, meliputi laserasi serviks, vagina
dan perineum, perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri dan trauma non-
traktus genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar.
3. Tissue (10% kasus)disebabkan oleh retensi produk konsepsi, plasenta (kotiledon)
selaput atau bekuan yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat, dan plasenta
abnormal.
4. Thrombus(<1% kasus) meliputi abnormalitas pembekuan darah.

3
D. Faktor Risiko

PPP dapat terjadi pada perempuan dengan faktor risiko tertentu, maupun yang tidak
teridentifikasi memiliki faktor risiko secara riwayat maupun klinis. Sebagai upaya
pencegahan, manajemen aktif kala III direkomendasikan bagi seluruh perempuan bersalin.
Manajemen aktif kala III meliputi pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir, klem tali
pusat setelah observasi terhadap kontraksi uterus, dan melahirkan plasenta dengan
penegangan tali pusat terkendali diikuti masase uterus.4

Beberapa faktor risiko PPP adalah sebagai berikut:6

 Kelainan implantasi dan pembentukan plasenta: plasenta previa, solutio plasenta,


plasenta akreta/inkreta/perkreta, kehamilan ektopik, mola hidatidosa
 Trauma saat kehamilan dan persalinan: episiotomi, persalinan per vaginam dengan
instrumen (forsep di dasar panggul atau bagian tengah panggul), bekas SC atau
histerektomi
 Volume darah ibu yang minimal, terutama pada ibu berat badan kurang, preeklamsia
berat/eklamsia, sepsis, atau gagal ginjal
 Gangguan koagulasi
 Atonia uteri, yang disebabkan uterus overdistensi (makrosomia, kehamilan kembar,
hidramnion atau bekuan darah), induksi persalinan, penggunaan agen anestetik (agen
halogen atau anastesia dengan hipotensi), persalinan lama, korioamnionitis, partus
presipitatus dan riwayat atonia uteri sebelumnya.

Berikut penggolongan penilaian risiko PPP antepartum, intrapartum, dan postpartum.

Tabel 2.1 Faktor Risiko PPP Antepartum4

Faktor Risiko Etiologi Perdarahan


Meningkatnya usia maternal: >35 tahun Tone
Etnis Asia Tone/trauma
Obesitas (BMI >35) Tone
Grande multipara Tone/tissue
Abnormalitas uterus Tone
Kelainan darah maternal Thrombus
Riwayat PPS atau retensio plasenta Tone/tissue
Anemia dengan Hb <9 gr/dL -
Pendarahan antepartum (plasenta previa atau solusio plasenta) Tissue/tone/thrombus
Overdistensi uterus (gemelli, polihidramnion, makrosomia) Tone
Intrauterine fetal death (IUFD) Thrombus

4
Tabel 2.2 Faktor Risiko PPP Intrapartum4

Faktor Risiko Etiologi


Partus presipitatus Trauma/tone
Persalinan memanjang Tone/tissue
Korioamnionitis, pireksia intrapartum Tone/thrombus
Penggunaan oksitosin (induksi, augmentasi) Tone
Emboli cairan amnion Thrombus
Inversio uterus Trauma/tone
Trauma saluran genital Trauma
Persalinan pervaginam dibantu Trauma/tone
Seksio sesarea (terutama yang emergensi) Trauma/tone

Penilaian risiko PPP postpartum meliputi:4

1. Sisa konsepsi (plasenta, kotiledon, selaput atau bekuan darah)


2. AFE/DIC
3. Hipotonia yang diinduksi oleh obat
4. Distensi kandung kemih yang mencegah kontraksi uterus.

E. Diagnosisdan Manifestasi Klinis

Penegakan diagnosis dari perdarahan postpartum adalah ditemukannya perdarahan


yang aktif, banyak dan bergumpal setelah bayi dan plasenta lahiryang mempengaruhi
hemodinamika ibu, serta fundus uteri yang terpalpasi masih setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lembek.7 Perlu diperhatikan apakah perdarahan menimbulkan hipotensi dan
anemia karena dapat berlanjut hingga keadaan syok. Perdarahan dapat mengalir deras atau
merembes. Perdarahan dapat tidak keluar, tetapi menumpuk di vagina atau dalam uterus yang
menimbulkan tinggi fundus uteri tidak mengecil setelah plasenta keluar.5Tenaga medis
membutuhkan pelatihan khusus untuk memperkirakan jumlah darah yang hilang dengan lebih
akurat, karena perkiraan satu orang dapat sangat berbeda dengan orang lainnya.

Syok akibat perdarahan postpartum tergolong dalam syok hipovolemik/hemoragik.


Manifestasi klinis PPP bergantung pada jumlah darah yang hilang, dan dapat diperkirakan
dari gejala klinis yang muncul, sebagai berikut:

5
Tabel 2.3Gejala Klinis Sesuai Darah yang Hilang6

Jumlah Darah yang Tekanan Darah Tanda dan Gejala Derajat Syok
Hilang (Sistolik)
500-1000 mL Normal Palpitasi, takikardi, Terkompensasi
(10-15%) pusing
1000-1500 mL Sedikit menurun Kelemahan, berkeringat, Ringan
(15-25%) (80-1000 mmHg) takikardi
1500-2000 mL Menurun Gelisah, pucat, oligouria Sedang
(25-35%) (70-80 mmHg)
2000-3000 mL Sangat menurun Kolaps, air hunger, Berat
(35-45%) (50-70 mmHg) anuria

F. Pencegahan

Perdarahan postpartum tidak dapat sepenuhnya dihindari, namun dapat dicegah


dengan melakukan tindakan komprehensif saatantepartum, intrapartum, dan postpartum.

Tabel 2.4 Manajemen Risiko Antepartum4

Aspek Klinis Penurunan Risiko


Perawatan rutin Optimalisasi Hb sebelum persalinan(skrining dan terapi anemia,
periksa ulang Hb saat usia gestasi 36 minggu, dan nilai faktor
risiko PPS)
Gangguan darah Libatkan spesialis untuk optimalisasi profil koagulasi sebelum
maternal partus dan memilih cara partus
Risiko plasentasi Pemeriksaan USG dan/atau MRI (jika ada riwayat seksio
abnormal sesaria).
Jika plasentasi abnormal, konsultasikan kepada ahli obstetri.Jika
plasenta akreta, lakukan asuhan sebelum pembedahan:edukasi
kemungkinan intervensi (seperti histerektomi), rencanakan
kehadiran konsultan obstetri dan anestesi, pastikan ketersediaan
darah dan produk darah (FFP, trombosit, sel darah merah),
keterlibatan multidisiplin dalam perencanaan praoperatif dan
katersediaan fasilitas perawatan intensif pascabedah)
Seksio sesarea elektif Diskusikan risiko PPS sebagai bagian dari informed consent
atau induksi persalinan
Menolak produk darah Diskusikan rencana perawatan dengan identifikasi letak plasenta,
optimalisasi Hb sebelum partus, manajemen aktif kala III, serta
identifikasi terapi pengganti cairan yang dapat diterima.
Pada tahap awal, pertimbangkan farmakologi, prosedur mekanik

6
dan pembedahan untuk mencegah penggunaan darah dan
komponen darah. Optimalisasi eritropoiesis menggunakan asam
folat dan/atau B12 dan/atau terapi eritropoietin.
Jika tersedia, dapat diberikan terapi alternatif, seperti asam
traneksamat, intraoperative cell salvaging, atau reinfusi drain.

Tabel 2.5 Manajemen Risiko Intrapartum4

Aspek Klinis Penurunan Risiko


Episiotomi Implementasi kebijakan pembatasan episiotomi.
Manajemen aktif kala Dilakukan pada setiap pasien dan berikan oksitosin IM
III persalinan (uterotonika pilihan).
Ergometrin dikontraindikasikan pada penderita hipertensi, dan
memiliki efek samping seperti nausea, vomitus, nyeri.
Pastikan keamanan manajemen aktif melalui aplikasi
counterpressure suprapubic sebelum penegangan tali pusat
terkendali.
Hindari traksi tali pusat yang tidak semestinya.
Satu atau lebih faktor Menilai faktor risiko antepartum dan intrapartum serta
risiko PPS mendiskusikan rencana penanganan yang mencakup akses
intravena pada persalinan fase aktif, sampel darah dan manajemen
aktif kala III.
Risiko korioamnionitis Jika temperatur meningkat selama persalinan, tingkatkan
frekuensi monitoring.Jika temperatur >38.5oC, pertimbangkan
pemeriksaan darah lengkap dan kultur darah serta kebutuhan
cairan IV dan antibiotik IV.
Seksio sesarea Pastikan akses IV baik, kirim sampel darah segera untuk
emergensi pemeriksaan dan cross match.
Peningkatan risiko laserasi dapat timbul bila terdapat engagement
kepala yang kuat di dasar panggul (kala I atau II memanjang,
gagal persalinan dengan alat) dan malpresentasi.
Jika membutuhkan SC atau berisiko tinggi PPS, diskusikan risiko
dan keuntungan. Diskusikan juga risiko atonia uteri berhubungan
dengan terhambatnya kala I dan II persalinan dan terapi koreksi
seperti infus oksitosin intrapartum dan bantuan persalinan.
Persalinan dengan alat Nilai secara individual kebutuhan untuk episiotomi dan hindari
episiotomi rutin.
Persalinan pervaginam Monitor ketat adanya tanda-tanda awal ruptur uteri.
setelah seksio sesarea

7
Tabel 2.6 Penurunan Risiko Pascapersalinan4

Aspek Klinis Penurunan Risiko


Perawatan rutin Pastikan plasenta lahir lengkap. Lakukan penjahitan robekan
perineum dan vagina, monitor semua perempuan pascapersalinan
dengan menilai tonus uterus tiap ¼ - ½ jam, dan masase jika tonus
kurang adekuat, serta ajarkan pasien. Mendukung secara aktif untuk
berkemih segera setelah melahirkan dan mendukung pelepasan
oksitosin alamiah dengan menjaga pasien tetap hangat dan tenang,
membantu pemberian ASI segera, serta memfasilitasi kontak kulit-
kulit ibu dengan bayi (periksa kondisi bayi, risiko jatuh, dsb).
Dengan risiko PPP Pertimbangkan profilaksis infus oksitosin pascapersalinan. Inisiasi
antepartum atau Menyusui Dini membatasi penggunaan profilaksis misoprostol per
intrapartum rektal sebagai lini kedua terapi PPP. Lalu observasi tiap ¼ - 1 jam
pascapersalinan, waspadai tanda-tanda awal syok hipovolemik dan
pertahankan akses IV sampai 24 jam pascapersalinan.
Seksio sesarea elektif Berikan infus oksitosin 10 IU dalam 500 cc kristaloid.
Pengenalan awal Kenali tanda khas nyeri yang berlebihan atau persisten (tergantung
hematom dari lokasi, volume dan berat hematom), syok hipovolemik yang
pascapersalinan tidak sesuai dengan perdarahan yang terlihat, rasa tekanan pada
pelvis atau retensio urin.
 Resusitasi sesuai keperluan, lakukan pemeriksaan vaginal/rektal
untuk menentukan lokasi dan perluasan, dan pertimbangkan transfer
ke ruang operasi untuk evakuasi bekuan, repair primer dan/atau
hemostasis pembuluh darah.

Tabel 2.7 Rekomendasi Observasi Pascapersalinan4

Persalinan Normal Risiko Rendah 2 Jam Risiko Intrapartum PPS Perempuan Risiko
Pertama Pascapersalinan Tinggi 1 Jam Pertama Pascapersalinan
Temperatur – dalam 1 jam pertama Temperatur tiap ½ jam
Nadi, respirasi, tekanan darah – 1x Nadi, respirasi, tekanan darah tiap ¼ jam atau
sesuai indikasi
Penilaian fundus/lokia tiap ¼ - ½ jam Penilaian fundus/lokia tiap ¼ - ½ jam
Nyeri – penilaian awal, review jika perlu Nyeri – penilaian awal, review jika perlu
Output urin – dalam 2 jam pertama Output urin – dalam 2 jam pertama
Jika ada indikasi: lanjutkan monitor nadi, Setelah jam pertama: lanjutkan sesuai indikasi
respirasi, dan tekanan darah klinis
Setelah seksio sesarea: gabungkan dengan
observasi rutin paskaoperatif

8
G. Tatalaksana Umum

Tatalaksana umum perdarahan postpartum dapat disingkat dengan istilah


“HAEMOSTASIS”, yaitu:4

 H = Ask for HELP


 A = Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Untuk semua kasus perdarahan, wajib dipasangkan dua jalur intravena dengan ukuran
kanul 16 atau 18, sebagai jalur masuk cairan, obat, atau produk darah jika diperlukan.
 E = Establish aetiology, Ensure availability of blood, ecbolics (oxytocin, ergometrin
or syntometrine bolus IV/IM)
Pemberian oksitosin sebagai uterotonika pilihan atau ergometrin/metilergometrin
mengikuti kaidah pemberian yang berlaku. Ergometrin dan metilergometrin tidak
boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
 M= Massage the uterus
 O= Oxytocin infusion or prostaglandins IV/per rectal/IM/intramyometrial
 S = Shift to theatre – exclude retained products and trauma/bimanual compression
 T = Tamponade balloon/uterine packing
POGI menyarakankan tampon uterus dengan menggunakan kondom berisi cairan
fisiologis, karena kondom mengembang mengikuti setiap lekukan bentuk uterus dan
dapat mengompresi perdarahan, dan dapat diisi air hingga 250-500 cc.
 A = Apply compression sutures – B-lynch/modified
 S = Systematic pelvic devascularization – uterine/ovarian/quadruple/internal iliac
 I= Interventional radiologic, if appropriate, uterine artery embolization.
 S = Subtotal/total abdominal hysterectomy

Intervensi non-medikamentosa untuk PPP:

 Masase uterus
 Kompresi bimanual
 Balon intrauterus atau tamponade kondom
 Kompresi eksternal aorta abdominalis

Tatalaksana lanjutan PPP bergantung pada etiologi spesifik yang menyebabkan


perdarahan, sehingga akan dibahas dalam subbab terkait. Algoritma penanganan PPP
dicantumkan pada bagan berikut.

9
Tabel 2.8 Penggunaan Oksitosin dan Ergometrin4

Tabel 2.9 Tatalaksana Cairan Kristaloid pada Perdarahan6

Penilaian klinis Volume Perkiraan Jumlah


TD Nadi Perfusi Perdarahan Kehilangan Cairan Infus
sistolik (x/mnt) Akral (% dari volume Darah (mL) Kristaloid
(mmHg) total darah) Asumsi BB (mL)
60 kg
120 80 Hangat <10% <600 -
100 100 Pucat ±15% 900 ml 2000-3000
<90 >120 Dingin ±30% 1800 ml 3500-5500
<60-70 >140 – tak Basah ±50% 3000 ml 6000-9000
teraba

Tabel 2.10 Tatalaksana Umum Pemberian Transfusi Darah5

10
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Postpartum4

11
H. Penyebab Spesifik

Beberapa penyebab spesifik perdarahan postpartum adalah sebagai berikut:6

Tabel 2.11 Penyebab Perdarahan Postpartum6

Kemungkinan
Tanda dan Gejala
Penyebab
Atonia uteri Perdarahan segera setelah bayi lahir
Uterus tidak berkontraksi atau lembek
Retensio plasenta Plasenta belum dilahirkan dalam 30 menit setelah bayi lahir
Sisa plasenta Plasenta atau sebagian selaput yang mengandung pembuluh
darah tidak lengkap
Perdarahan dapat muncul 6-10 hari postpartum disertai
subinvolusi uterus
Laserasi jalan lahir Perdarahan segera
Darah segar mengalir setelah bayi lahir
Ruptura uteri Perdarahan segera (intraabdominal atau pervaginam)
Nyeri perut hebat
Kontraksi hilang
Inversio uteri Fundus uteri tidak teraba pada palpasi abdomen
Lumen vagina terisi massa
Nyeri ringan atau berat
Gangguan Perdarahan tidak berhenti, encer, tanpa gumpalan
pembekuan darah Hasil uji pembekuan darah sederhana tidak terbentuk
gumpalan
Terdapat faktor predisposisi: solusio plasenta, kematian janin
dalam uterus, eklampsia, emboli air ketuban
Perdarahan dapat ringan bila bekuan darah menutupi serviks atau ibu
berbaring terlentang
Inversi uterus komplit dapat terjadi tanpa perdarahan

1. Atonia Uteri

Kegagalan uterus untuk berkontraksi secara adekuat setelah pelahiran merupakan


penyebab tersering perdarahan obstetri. Beberapa faktor risiko terjadinya atonia uteria adalah
sebagai berikut:

a. Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan


b. Kehamilan janin besar, kehamilan multipel atau polihidramnion

12
c. Persalinan dengan aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau malah tidak efektif
(lemah)
d. Riwayat perdarahan pascapartum
e. Berbagai upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta
f. Pemijatan dan peremasan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi.5

Sejumlah senyawa yang digunakan untuk menginduksi kontraksi uterus pascapartum adalah
sebagai berikut:5

a. Oksitosin
Setelah plasenta lahir, diberikan oksitosin intravena dan intramuskular. Hal ini dapat
mencegah sebagian besar kasus atonia uterus.
b. Turunan ergot
Jika oksitosin tidak efektif, diberikan 0,2 mg methylergonovine IM. Obat ini dapat
merangsang uterus untuk berkontraksi adekuat untuk mengendalikan perdarahan. Jika
diberikan secara IV, salah satu efek sampingnya adalah hipertensi yang berbahaya,
khususnya pada preeklamsi.
c. Analog prostaglandin
Misoprostol telah diteliti sebagai profilaksis perdarahan pascapartum. Namun,
pemberian oksitosin dan ergot yang diberikan saat persalinan kala tiga lebih efektif
dibandingkan misoprostol.

Untuk kasus perdarahan yang tidak berespon terhadap oksitosin, lakukan langkah-
langkah berikut:5

1. Mulai kompresi bimanual uterus


2. Panggil bantuan
3. Pasang dua kanul IV berdiameter besar sehingga kristaloid dan oksitosin dapat
dilanjutkan bersama-sama dengan pemberian darah
4. Mulai transfusi darah
5. Eksplorasi kavitas uteri secara manual untuk mencari fragmen plasenta yang
tertinggal atau laserasi
6. Inspeksi serviks dan vagina secara menyeluruh untuk mencari laserasi
7. Pasang kateter foley untuk memantau keluaran urin
8. Mulai resusitasi volume.

Bila atonia tidak terkendali, intervensi bedah dapat menyelamatkan jiwa, berupa
penjahitan kompresi uterus atau packing uterus.

d. Laserasi Jalan Lahir


Pada ibu postpartum, perdarahan yang tetap terjadi meskipun plasenta lahir lengkap
dan kontraksi uterus baik biasanya berasal dari laserasi jalan lahir. Perlukaan ini dapat terjadi

13
secara sengaja seperti pada tindakan episiotomi untuk mencegah laserasi perineum yang luas,
dalam, dan tidak rata. Di sisi lain, dapat juga terjadi laserasi akibat kesalahan sewaktu
memimpin persalinan, saat persalinan operatif pervaginam seperti ekstraksi cunam atau
vakum, atau trauma akibat alat-alat yang dipakai.5,8
Perlukaan jalan lahir dapat terjadi pada:
e. Dasar panggul: episiotomi atau laserasi perineum spontan
f. Vulva dan vagina
g. Serviks uteri
h. Uterus.

a. Laserasi Perineum

Laserasi perineum umumnya terjadi pada persalinan yang kepala janin lahir terlalu
cepat, persalinan tidak dipimpin dengan baik, adanya jaringan parut pada perineum, atau
persalinan dengan distosia bahu. Laserasi perineum dapat dibagi menjadi 4 tingkat:5,8

 Tingkat I: laserasi pada mukosa vagina, frenulum labiorum pudendi, dengan atau
tanpa kulit perineum, tanpa fasia dan otot. Termasuk di dalamnya laserasi periuretral
yang dapat menyebabkan perdarahan banyak
 Tingkat II: laserasi pada mukosa vagina, muskulus perinei transversalis, namun belum
mengenai sfingter ani
 Tingkat III: laserasi mengenai seluruh perineum hingga otot sfingter ani
 Tingkat IV: laserasi meluas hingga mukosa rektum serta otot sfingter ani interna dan
eksterna.

Laserasi perineum tingkat I dapat dijahit dengan catgut secara jelujur (continuous
suture) atau cara angka delapan (figure of eight). Pada laserasi tingkat II dan III seringkali
ditemukan tepi yang tidak rata yang harus dirapikan terlebih dahulu dengan klem dan
gunting, baru dilakukan penjahitan. Otot dijahit dengan catgut, diikuti mukosa vagina dimulai
dari puncak robekan, dan terakhir kulit perineum dijahit interrupted dengan benang sutera.
Laserasi tingkat III diperbaiki mulai dari dinding depan rektum, kemudian fascia perirektal
dan fasia septum rektovaginal, ujung-ujung otot sfingter ani (klem dengan klem Pean lurus),
dan dilanjutkan seperti menjahit pada laserasi tingkat II.5,8

b. Laserasi dan Hematoma Vulva

Laserasi vulva sering dijumpai pada persalinan, biasanya ditemukan robekan kecil
pada labium minus, vestibulum atau bagian belakang vulva. Laserasi atau lecet kecil yang
tidak menyebabkan perdarahan banyak tidak perlu dilakukan tindakan. Laserasi yang besar

14
dan banyak berdarah, terutama bila terjadi pada pembuluh darah di daerah klitoris, harus
dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan.5,8

Apabila terjadi robekan pembuluh darah, terutama vena yang terletak di bawah kulit
dan mukosa, misalnya varises yang pecah atau penjahitan luka episiotomi yang tidak
sempurna, dapat terjadi hematoma yang termanifestasi sebagai bagian kulit yang lembek,
bengkak, berubah warna, dan nyeri tekan. Hematoma berukuran kecil cukup dikompres lokal,
namun bila terjadi hematoma yang semakin besar, terlebih lagi bila disertai tanda-tanda
anemia dan pre-syok maka harus dilakukan pengosongan hematoma. Rongga yang kosong
diisi dengan kasa steril dengan ujungnya di luar, kemudian lukanya dijahit terputus atau
jelujur. Penderita kemudian diberi koagulansia, antibiotika, dan roboransia.5,8

c. Laserasi Vagina

Laserasi pada vagina dapat terjadi pada persalinan dengan cunam, ekstraksi bokong,
ekstrasi vakum, reposisi presentasi kepala janin, dan akibat dari simfiolisis. Bentuknya dapat
melintang atau memanjang. Laserasi yang kecil dan superfisial umumnya tidak menyebabkan
perdarahan banyak sehingga tidak diperlukan penanganan khusus. Namun pada robekan lebar
dan dalam yang mengenai pembuluh darah dapat menimbulkan perdarahan hebat dan
memerlukan penjahitan dengan cara terputus-putus atau jelujur. Laserasi vagina sering
disertai laserasi vulva maupun perineum dan bila mengenai puncak vagina dapat meluas
kearah rongga panggul hingga kavum Douglas terbuka dan sebagian serviks uteri dan uterus
terlepas dari vagina (kolporeksis). Bila tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi infeksi
melalui luka dan dapat menimbulkan septikemi.8

d. Laserasi Serviks

Pada partus presipitatus, persalinan operatif, melahirkan kepala janin letak sungsang
secara paksa sebelum bukaan serviks uteri lengkap, atau partus lama hingga terjadi edema
serviks sering ditemukan laserasi serviks. Perdarahan yang sangat banyak akibat laserasi ini
dapat menimbulkan syok dan kematian. Inkompetensi serviks dan infertilitas sekunder juga
dapat terjadi.8 Laserasi sebesar 1-2 cm tidak perlu dijahit kecuali berdarah.5 Penjahitan pada
laserasi serviks dimulai dari puncak robekan dan dilakukan lapis demi lapis untuk
menghindari hematoma bila terdapat rongga di bawah jahitan.8

15
i. Ruptur Uteri

Ruptur uteri atau robeknya dinding rahim terjadi akibat terlampauinya daya regang
miometrium. Risiko terjadinya ruptura uteri lebih tinggi pada bekas seksio sesarea.

Penyebab terjadinya ruptur uteri adalah:5

Gambar 2.2 Penyebab Ruptur Uteri

Penegakan diagnosis pada kasus ini antara lain:6

 Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan pervaginam


 Nyeri perut hebat (dapat berkurang setelah ruptur terjadi)
 Syok atau takikardia
 Adanya cairan bebas intraabdominal
 Hilangnya gerak dan denyut jantung janin
 Bentuk uterus abnormal atau konturnya tidak jelas
 Dapat didahului oleh lingkaran konstriksi (Bandl’s ring)
 Nyeri raba atau tekan dinding perut
 Bagian-bagian janin mudah dipalpasi

Tata laksana yang dapat dilakukan:6

 Umum
- Berikan oksigen.
- Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan intravena (NaCl
0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan.

16
- Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan plasenta.
 Khusus
- Jika uterus dapat diperbaiki dengan risiko operasi lebih rendah daripada histerektomi
dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus (histerorafi). Tindakan
ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang
lebih sedikit dibanding histerektomi.
- Jika uterus tidak dapat perbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika robekan
memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin diperlukan.

j. Retensio Plasenta (shei)

Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam setelah bayi
lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan tertinggalnya bagian plasenta dalam rongga rahim
yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan post partum lambat
yang biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan. Menurut Sarwono Prawirohardjo,
retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu
30 menit setelah bayi lahir.5,8

Penyebab dari retensio plasenta ini adalah:5,8

1. Plasenta sudah lepas tapi belum dilahirkan akibat ada yang menghalangi keluarnya
plasenta, tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau karena salah penanganan kala III
sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah uterus (inkarserasi plasenta)
2. Plasenta belum lepas dari dinding uterus, akibat:
a. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva):
implantasi yang kuat dari villi korialis plasenta sehingga menyebabkan kegagalan
mekanisme separasi fisiologis.
b. Plasenta akreta: implantasi villi korialis plasenta hingga mencapai sebagian lapisan
miometrium, perlekatan plasenta sebagian atau total pada dinding uterus. Pada
plasenta akreta villi chorialis menanamkan diri lebih dalam kedalam dinding rahim
daripada biasa adalah sampai kebatas atas lapisan otot rahim. Plasenta akreta ada yang
kompleta, yaitu jika seluruh permukannya melekat dengan erat pada dinding rahim.
Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari permukaannya
lebih erat berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang
kompleta, inkreta, dan prekreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah
kelainan desidua, misalnya desisua yang terlalu tipis.
c. Plasenta inkreta: implantasi villi korialis plasenta hingga mencapai / melewati lapisan
miometrium.
d. Plasenta perkreta: implantasi villi korialis yang menembus lapisan miometrium
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Plasenta inkarserata: tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan oleh
kontriksi ostium uteri.

17
Beberapa predisposisi terjadinya retensio plasenta yaitu: grandemultipara, kehamilan
ganda sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas, kasus infertilitas karena
lapisan endometrium tipis, plasenta previa karena pembuluh darah yang sedikit pada bagian
istmus uterus sehingga perlu masuk jauh kedalam, dan bekas operasi pada uterus.5,8

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi dan miometrium tidak
berelaksasi, melainkan terus menjadi lebih pendek dan tebal. Kavum uteri kemudian
mengecil, disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Saat jaringan penyokong
plasenta berkontraksi, maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari
dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa
yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah
yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan,
sehingga kontraksi serat-serat otot akan menekan pembuluh darah dan mengakibatkan
pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. Bila serabut ketuban belum terlepas,
plasenta belum terlepas seluruhnya dan bekuan darah dalam rongga rahim akan menghalangi
proses retraksi yang normal,sehingga menyebabkan banyak darah hilang. Pengamatan
terhadap persalinan kala III dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis
telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala III persalinan.5,8
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain:
 Akreta Parsial: Konsistensi uterus kenyal, tinggi fundus uteri (TFU) setinggi pusat,
bentuk uterus diskoid, perdarahan sedang–banyak, tali pusat terjulur sebagian, ostium
uteri terbuka, separasi plasenta lepas sebagian, syok sering terjadi.
 Plasenta Inkarserata: Konsistensi uterus keras, TFU 2 jari bawah pusat, bentuk uterus
globular, perdarahan sedang, tali pusat terjulur, ostium uteri terbuka, separasi plasenta
sudah lepas, syok jarang terjadi.
 Plasenta Akreta: Konsistensi uterus cukup, TFU setinggi pusat, bentuk uterus diskoid,
perdarahan sedikit/tidak ada, tali pusat tidak terjulur, ostium uteri terbuka, separasi
plasenta melekat seluruhnya, syok jarang kecuali akibat inversio oleh tarikan kuat
pada tali pusat.

Diagnosis dari retensio plasenta ditegakkan dengan palpasi uterus untuk menlai
kontraksi dan TFU, memeriksa kelengkapan plasenta dan kulit ketuban, melakukan
eksplorasi kavum uteri untuk mencari ada tidaknya sisa plasenta dan ketuban, robekan uterus,
atau plasenta suksenturiata, pemeriksaan inspekulo untuk menyingkirkan kemungkinan
laserasi jalan lahir, serta pemeriksaan laboratorium berubah darah rutin dan clot observation
test (COT).5,8

18
Tatalaksana pada pasien dengan retensio plasenta meliputi:6

1. Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCL 0,9% RL dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam
1000 ml larutan NaCL 0,9% RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti.
2. Lakukan tarikan tali pusat terkendali
3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan manual plasenta.
4. Untuk sisa plasenta, lakukan eksplorasi digital bila serviks terbuka atau aspirasi
vakum manual atau dilatasi kuretase bila serviks kuncup untuk mengeluarkan bekuan
darah dan jaringan.
5. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampicillin 2 gr IV dan Metronidazol 500
mg IV)
6. Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi.

Komplikasi dari retensio plasenta adalahperdarahan, serta infeksi karena sebagai


benda mati yang tertinggal didalam rahim meingkatkan pertumbuhan bakteri dan tempat
perlekatan sebagaiport d’entree.

Gambar 2.3 Manual Plasenta

k. Inversio Uteri

Inversio uteri adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan
keluar lewat ostium uteri eksternum.7 Faktor resiko terjadinya inversio uteri adalah adanya
atonia uteri, serviks masih terbuka lebar, adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah,
tekanan fundus uteri dari atas, dan tekanan intraabdominal yang keras dan kuat (batuk).

19
Inversio uteri pada derajat yang berbeda-bedadan disebut inversio komplit bila uterus
keluar dari serviks.5Berdasarkan derajatnya inversio uteri dibagi menjadi:5

 Derajat 1: Pendataran fundus uteri


 Derajat 2: Fundus uteri terputar balik menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum
keluar dari kavum uteri.
 Derajat 3: Fundus uteri terbalik masuk dan terlihat pada introitus vagina
 Derajat 4: Semua bagian fundus uteri bahkan terbalik dan sebagian sudah menonjol
keluar vagina atau vulva, dan tidak dapat direposisi secara manual.

Gambar 2.4Derajat Inversio Uteri5

Tanda terjadinya inversio uteri antara lain:6

 Syok karena kesakitan


 Perdarahan banyak bergumpal
 Pada vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih
melekat
 Iskemia, nekrosis, dan infeksi
 Fundus uteri tidak teraba pada palpasi abdomen
 Lumen vagina terisi massa

Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani hal ini adalah:

 Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan, darah pengganti, dan
pemberian obat
 Pemberian tokolitik atau MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum
dilakukan reposisi manual
 Plasenta dilepaskan secara manual dan diberikan uterotonika lewat infus atau IM
dengan tangan tetap dipertahankan
 Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM
atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM6

20
 Pemberian antibiotik dan transfusi darah sesuai keperluan
 Intervensi bedah; laparotomi untuk reposisi dan histerektomi bila uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis

Reposisi yang dapat dilakukan antara lain:6

 Reposisi manual
- Pasang sarung tangan DTT
- Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan kembali melalui serviks,
dimulai dari bagian fundus. Gunakan tangan lain untuk membantu menahan uterus
dari dinding abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta manual
setelah tindakan reposisi.
- Jika reposisi manual tidak berhasil, lakukan reposisi hidrostatik.

 Reposisi hidrostatik
- Pasien dalam posisi Trendelenburg – dengan kepala lebih rendah sekitar 50 cm dari
perineum.
- Siapkan sistem douche yang sudah didisinfeksi, berupa selang 2 m berujung
penyemprot berlubang lebar. Selang disambung dengan tabung berisi air hangat 3-5 L
(atau NaCl atau infus lain) dan dipasang setinggi 2 m.
- Identifikasi forniks posterior.
- Pasang ujung selang douche pada forniks posterior sambil menutup labia sekitar
ujung selang dengan tangan.
- Guyur air dengan leluasa agar menekan uterus ke posisi semula.

 Reposisi manual dengan anestesia umum


- Jika reposisi hidrostatik gagal, upayakan reposisi dalam anestesia umum. Halotan
merupakan pilihan untuk relaksasi uterus.

 Reposisi kombinasi abdominal-vaginal


- Kaji ulang indikasi.
- Kaji ulang prinsip dasar perawatan operatif.
- Lakukan insisi dinding abdomen sampai peritoneum dan singkirkan usus dengan
kassa. Tampak uterus berupa lekukan.
- Dengan jari tangan, lakukan dilatasi cincin kontraksi serviks.
- Pasang tenakulum melalui cincin serviks pada fundus.
- Lakukan tarikan/traksi ringan pada fundus sementara asisten melakukan reposisi
manual melalui vagina.
- Jika tindakan traksi gagal, lakukan insisi cincin konstriksi serviks di bagian belakang
untuk menghindari risiko cedera kandung kemih, ulang tindakan dilatasi, pemasangan
tenakulum dan traksi fundus.
- Jika reposisi berhasil, tutup dinding abdomen setelah melakukan penjahitan
hemostasis dan dipastikan tidak ada perdarahan.

21
- Jika ada infeksi, pasang drain karet.
- Jika inversi sudah diperbaiki, berikan infus oksitosin 20 unit dalam 200 ml cairan
NaCl/Ringer Laktat IV dengan kecepatan 10 tetes/menit.
- Jika dicurigai perdarahan, berikan infus sampai dengan 60 tetes/menit.
- Jika kontraksi uterus kurang baik, berikan ergometrin 0,2 mg atau prostaglandin.
- Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal:
o Ampisilin 2 g IV DAN metronidazol 500 mg IV
o Sefazolin 1 g IV DAN metrodinazol 500 mg IV
- Lakukan perawatan pascabedah jika dilakukan koreksi kombinasi abdominal- vaginal.
- Jika ada tanda infeksi berikan antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam
selama 48 jam
o Ampisilin 2 g IV tiap 6 jam
o DAN gentamisin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
o DAN metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

l. Gangguan Pembekuan Darah

Penyebab HPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai apabila penyebab
lain dapat disingkirkan dan adanya riwayat pernah mengalami hal serupa pada persalinan
sebelumnya. Tanda terjadinya HPP akibat gangguan koagulasi adalah perdarahan tidak
berhenti, encer, tidak terlihat darah gumpalan darah dan kegagalan terbentuknya gumpalan
pada uji pembekuan darah sederhana.6

Gambar 2.5 Mekanisme Koagulasi dan Fibrinolisis5

22
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal, waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
hipofibrinogenemia, adanya FDP (Fibrin Degradation Product), dan pemanjangan tes
protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time). Hal ini dapat terjadi pada solusio
plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis.

Tata laksana yang dapat dilakukan antara lain:6

 Pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid)


 Plasma beku segar untuk menggantikan faktor pembekuan (15 ml/ kg berat badan)
jika APTT dan PT melebihi 1,5 kali kontrol pada perdarahan lanjut atau pada keadaan
perdarahan berat walaupun hasil dari pembekuan belum ada.
 Sel darah merah (packed red cells) untuk penggantian sel darah merah.
 Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen
 Konsentrasi trombosit (perdarahan berlanjut dan trombosit < 20.000).
 Apabila kesulitan mendapatkan darah yang sesuai, berikan darah golongan O untuk
penyelamatan jiwa.

23
BAB III

KESIMPULAN

Perdarahan postpartum adalah hilangnya 500 mL atau lebih darah setelah kala III persalinan
usai, atau perdarahan dalam jumlah berapapun, yang dapat menyebabkan perubahan tanda vital.
Perdarahan postpartum dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis persalinan, waktu terjadinya, serta
jumlah darah yang hilang.

Penyebab perdarahan postpartum dapat disebabkan oleh atonia uteri, laserasi jalan lahir,
retensio plasenta dan sisa plasenta, inversio uteri, serta gangguan pembekuan darah (koagulopati).
Gejala klinis yang dapat ditemui pada perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam yang
terus menerus, pucat, tekanan darah menurun, denyut nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin,
gelisah, mual, dan tanda-tanda syok lainnya.

Diagnosa perdarahan postpartum ditegakkan dengan menilai gejala klinis, palpasi uterus,
inspekulo, serta pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan laboratorium.

Cara terbaik untuk mencegah perdarahan postpartum adalah memimpin kala II dan kala III
persalinan secara lege artis, serta melaksanakan tatalaksana aktif kala III yang terdiri dari pemberian
uterotonik (oksitosin) segera setelah bayi lahir, pengikatan dan pemotongan tali pusat dini, dan
peregangan tali pusat terkendali dengan dorongan pada uterus saat uterus berkontraksi dengan baik.

Prinsip penanganannya adalah mencegah dan mengatasi syok, mengganti volume darah yang
hilang dan menghentikan perdarahan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2015: estimates by


WHO, UNICEF, UNFPA, World Bank Group and The United Nations Population
Division. Switzerland: WHO Document Production Services; 2015. 78.
2. United Nations General Assembly. Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development. Switzerland: UN; 2015. 35.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015.
Indonesia: Kementerian Kesehatan RI; 2016. 403.
4. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia: Himpunan Kedokteran Feto
Maternal 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Perdarahan Pasca-
Salin.Indonesia: 2016. 44.
5. Cunningham, Leveno, Bloom, Spong, Dashe, Hoffman, et al. Williams Obstetrics.
Edisi 24 (eBook). New York: McGraw-Hill Education; 2014. Hal. 781.
6. WHO, Kemenkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Edisi Pertama. 2013.
7. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi 4.Indonesia: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2014.
8. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010.

25

Anda mungkin juga menyukai