Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Di wilayah Asia Tenggara nyamuk
ini adalah vektor utama penyebar virus dengue. Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas didaerah
tropis dan sub-tropis dan di Asia Tenggara diketemukan hampir disemua perkotaan (Depkes
RI, 2003). Maka dari itu, pada negara-negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, insidensi
demam berdarah sangat tinggi, termasuk Indonesia.
DBD di Indonesia dari tahun ke tahun memiliki angka kejadian yang cukup tinggi sehingga
masih menjadi masalah di masyarakat. Berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2013, pada
tahun 2012 terdapat 90.245 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 816 kasus. Hal ini
terjadi kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban nisbi,
terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi Dengue ke daerah
endemis virus Dengue atau dari pedesaan ke perkotaan, dan meningkatnya kantong-kantong
jentik nyamuk Ae.aegypti di perkotaan terutama didaerah yang kumuh pada bulan-bulan
tertentu (Soegijanto, 2003).

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. AP
1
Tanggal Lahir : 27 Agustus 1996 (21 tahun)
Alamat : Jakarta Pusat
Agama : Islam
Pendidikan : Akademi
Pekerjaan : Mahasiswa
No. RM : 887444
Masuk RS : 30 Maret 2018
Dilakukan Pemeriksaan : 30 Maret 2018

2.2. ANAMNESA
Keluhan utama: Demam 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto pada tanggal 30 Maret 2018 dengan
keluhan utama demam sejak 4 hari SMRS, Demam dirasakan hilang timbul namun tidak
sampai suhu normal. Keluhan tambahan didapatkan mual (+), muntah (-), nafsu makan
berkurang (+), mimisan (-), gusi berdarah (-), nyeri atau pegal pada otot dan sendi (+), batuk
(-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), sesak napas (-). BAK tidak ada keluhan dan BAB normal
(frekuensi 1-2 kali sehari, konsistensi lunak, warna coklat). Pasien sulit melakukan aktivitas
karena merasa lemas.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat alergi, darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit jantung, penyakit paru-
paru, penyakit ginjal, dan keganasan disangkal oleh pasien.
 Riwayat penyakit demam berdarah, demam tifoid, maupun malaria disangkal oleh
pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga
 Di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit demam berdarah, demam tifoid,
maupun malaria.
 Di keluarga pasien juga tidak ada yang menderita kencing manis, darah tinggi, alergi,
asthma, penyakit jantung, ginjal, dan keganasan.
Riwayat Operasi & Pengunaan Obat
 Paracetamol 3 x 500mg
Riwayat Sosial-Ekonomi

2
Pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol, maupun obat-obatan terlarang dengan cara
oral maupun suntik. Pasien tidak memiliki riwayat pergi ke daerah endemis malaria.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Status Gizi :
BB : 70 kg
TB : 170 cm
BMI : 24.2 (Normoweight)
Tanda vital : TD : 126/88 mmHg
Nadi : 87x/menit
Suhu : 36.5OC
Pernapasan : 20x/menit
Kepala : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya +/+, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/- , deviasi septum (-)
Telinga : Sekret -/- , liang telinga lapang, nyeri tekan tragus (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Mulut : Mukosa lembab, sianosis (-), coated tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax :
Pulmo Depan Belakang
Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang
 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Tidak teraba adanya pembesaran  Perbandingan gerakan nafas dan
kelenjar getah bening stem fremitus sama kuat di kedua
 Stem fremitus sama kuat di kedua lapang paru

3
lapang paru
 Gerakan nafas sama kuat di kedua
paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri terdengar
kedua lapang paru sonor
 Batas paru-hepar pada ICS V  Peranjakan diafragma setinggi 4 cm
linea midclavicularis dekstra pada punggung kanan
Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler
 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -

Cardiovascular
Inspeksi  Tidak terlihat pulsasi pada ictus cordis
Palpasi  Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi  Batas kiri jantung terletak pada ICS V lateral linea midclavicularis sinistra
 Batas pinggang jantung terletak pada ICS III linea parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung terletak pada ICS V linea parasternalis dextra
Auskultasi  Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi  Perut datar, tidak terdapat striae, tidak terdapat tanda-tanda peradangan
Auskultasi  Bising usus (+) normal (5x/menit)
Palpasi  Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-), kedua ginjal tidak
teraba
Perkusi  Bunyi timpani pada keempat kuadran abdomen
Ekstremitas
 Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Ptechiae (-), CRT<2”, motorik 5/5
 Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-), Ptechiae (-), CRT < 2”, motorik 5/5

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


30-03- 31-03- 01-04-2018 Nilai Normal
2018 2018

4
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16.1 13.8 - 13.0-18.0
g/dL
Hematokrit 44 39 - 40-52%
Eritrosit 5.5 4.7 - 4.3-6.0
juta/uL
Leukosit 2440 2830 - 4.800-
10.800 /uL
Trombosit 108.000 86.000 - 150.000-
400.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 1 1 - 0-1%
Eosinofil 0 0 - 1-3%
Neutrofil 31 27 - 50-70%
Limfosit 51 54 - 20-40%
Monosit 17 18 - 2-8%
MCV 81 82 - 80-96 fL
MCH 30 29 - 27-32 pg
MCHC 37 36 - 32-36 g/dl
RDW 12.40 12.50 - 11.5-14.5%
Kimia Klinik
SGOT(AST) 54 <35 U/L
SGPT(ALT) 20 <40 U/L
Ureum 26 20-50 mg/dL
Kreatinin 1.1 05.1.5 mg/dL
Natrium (Na) 138 - - 135-147
mmol/L
Kalium (K) 3.5 - - 3.5-5.0
mmol/L
Klorida (Cl) 101 - - 95-105
mmol/L

2.5. RESUME
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto pada tanggal 30 Maret 2018 dengan
keluhan utama demam sejak 4 hari SMRS, demam bersifat naik turun. Keluhan lain yang
dirasakan pasien adalah mual. Keluhan memberat ketika pasien beraktivitas, dan membaik

5
jika pasien istirahat dan minum obat penurun panas. Pasien sulit melakukan aktivitas karena
merasa lemas.

Pemeriksaan Fisik :
KU : Tampak Sakit Sedan, Kes : Compos Mentis, TD: 126/88 mmHg, N : 87 x/menit, RR: 20
x/menit, S : 36.50C
Pemeriksaan penunjang :
Terdapat Trombositopenia 108.000 /uL, Leukositopenia 2440 /uL,

2.6. DAFTAR MASALAH


1. Febris H+4
2. Trombositopenia
3. Sindrom Dyspepsia
2.7. PENGKAJIAN MASALAH
1. Febris H+4 susp.Dengue Fever
• Anamnesis : Demam hari ke 4
• Pemeriksaan fisik : Suhu dating IGD 37.5 0C
• Pemeriksaan penunjang :
• Planning diagnostik : cek IgM-IgG ANTI-DENV
• Terapi :
• NaCl 0.8% 500cc 20 tetes/m
• Paracetamol 3 x 500mg P.O
- Rencana monitoring:
• Keadaan umum
• Tanda vital
• Darah Lengkap / 24 jam
• Edukasi :
• Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena DBD, habitat nyamuk
Aedes Aegypti.
• Pentingnya menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan pakaian lengan
panjang, menggunakan spray atau lotion anti nyamuk, menutup jendela dan
pintu rapat-rapat atau dengan menggunakan kelambu yang menggunakan
permetrin.

6
• Membersihkan daerah-daerah yang memungkinkan untuk menjadi sarang
nyamuk.
• Edukasi pada keluarga pentingnya pengawasan minum obat.

2. Sindrom Dispepsia
• Anamnesis : Pasien mual-mual
• Pemeriksaan fisik : Nyeri tekan epigaster
• Pemeriksaan penunjang : -
• Planning diagnostik: -
• Rencana terapi :
- Ranitidine 1 x 50mg IV
- Ondansetron 1 x 8mg IV
• Rencana monitoring:
- Keadaan umum
- Tanda vital
- Hemodinamik
• Edukasi :
- Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai intake makanan dan minuman,
kurangi jumlah porsi dan perbanyak frekuensi

2.8 PROGNOSIS
• Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
• Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
• Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.9. FOLLOW UP HARIAN

30-03-2018 S: Demam (+), badan lemas (+) P:


Hari 1 O: • NaCl 0.8% 20 tetes/m
Ks: CM, Ku: TSS TD: 126/88mmHg, • Paracetamol 3 x
N:87x/mnt, RR:20x/mnt, T: 37.5C 500mg P.O

7
Hasil Lab: Trombositopenia 108.000 • Cek Darah Lengkap /
A: 24jam
-Febris H+4 susp.DHF • Cek IgG – IgM
ANTI-DENV
31-03-2018 S: Demam (-), badan lemas (+) P:
Hari 2 O: • NaCl 0.8% 20 tetes/m
Ks: CM, Ku: TSS TD: 120/80mmHg, • Cek Darah Lengkap /
N:87x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5 C 24jam
Hasil Lab: Trombositopenia 86.000
A:
-Febris H+5 susp.DHF
01-03-2018 S: P:
Hari 3 Demam (-), badan lemas (+) • NaCl 0.8% 20 tetes/m
O: • Cek Darah Lengkap /
Ks: CM, Ku: TSS TD: 118/78mmHg, 24jam
N:87x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36,5 C • Rencana Rawat Jalan
Hasil Lab: Trombositopenia 111.000
A:
-Febris H+6 susp.DHF

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus, ditandai
dengan demam 2–7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, penurunan jumlah
trombosit <100.000/mm3, adanya kebocoran plasma ditandai peningkatan hematokrit ≥
20% dari nilai normal (Kemenkes RI, 2013). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue
yang termasuk dalam family virus Flaviviridae dan terdiri dari 4 serotipe. Virus ini
ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Nyamuk ini merupakan vektor utama dari virus dengue. Setelah inkubasi virus selama 4-
10 hari, nyamuk yang terinfeksi mampu mentransmisikan virus sepanjang hidupnya
(WHO, 2014).

8
Berdasarkan kamus kedokteran Dorland (2012), DBD adalah demam dengue
dengan kondisi hemoragik seperti trombositopenia, hemokonsentrasi dan dalam beberapa
kasus-kasus yang parah, protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome).
Kondisi ini dipercaya memiliki hubungan basis imunopatologis.

DBD merupakan penyakit infeksi yang endemis di daerah tropis seperti


Indonesia. Penyakit infeksi ini berlangsung sepanjang tahun dan mencapai puncaknya
pada saat musim hujan. Hal ini disebabkan karena banyaknya tempat yang menjadi
sumber genangan air yang merupakan sarana perkembangbiakan jentik-jentik nyamuk
Aedes Aegypti (Nasronudin, 2007).

B. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali masuk Indonesia pada tahun 1968
di Surabaya dan Jakarta. Dilaporkan pada saat itu terdapat 58 kasus dengan jumlah
kematian 24 kasus. Sejak itu, kasus DBD di Indonesia terus meningkat dan
penyebarannya juga sangat cepat. Pada tahun 1994 dilaporkan DBD sudah tersebar ke
seluruh Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kejadian luar biasa (KLB)/wabah besar di
Indonesia, tercatat terdapat 72.133 kasus dengan 1.411 kematian. Sedangkan untuk data
terakhir pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 90.245 kasus dengan 816 kasus dengan
setiap 100.000 penduduk terdapat 37 kasus. Dibandingkan dengan tahun 2011 terdapat
peningkatan jumlah kasus sebesar 65.725 (Kemenkes RI, 2013).

Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, jumlah rata-rata penderita 5 tahun


terakhir (2008-2012) adalah 2.203 penderita (Dinkes DIY, 2013). Pada 4 kabupaten di
DIY pada tahun 2010 tercatat jumlah kasus DBD untuk Kota Yogya, Bantul, Sleman,
Kulon Progo dan Gunung Kidul masing-masing 759, 628, 551, 292 dan 290 kasus
(Kesetyaningsih, 2013).

C. ETIOLOGI

Virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dan famili Flaviridae
adalah virus penyebab DBD. Virus dengue membentuk susunan yang kompleks dalam
genus Flavivirus berdasarkan pada karakteristik biologis dan antigen. Terdapat empat
serotipe virus, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Infeksi oleh salah satu
serotipe tersebut menimbulkan imunitas seumur hidup terhadap serotipe tersebut.
Walaupun keempat serotipe tersebut secara antigen hampir sama, tetapi serotipe-serotipe
tersebut cukup berbeda untuk mendapatkan cross-protection untuk beberapa bulan
setelah terinfeksi oleh salah satu dari serotipe tersebut (WHO, 2011).

Terdapat kemungkinan variasi genetik dalam masing-masing serotipe dalam


bentuk filogenetis sub-tipe atau genotipe yang berbeda. Saat ini, tiga sub-tipe dapat
diidentifikasi untuk DENV-1, enam untuk DENV-2, empat untuk DENV-3 dan empat
untuk DENV-4. 12 virus dengue dari empat serotipe telah diakitkan dengan epidemi
demam dengue (dengan atau tanpa DBD) dengan tingkat keparahan yang beragam
(WHO, 2011).

9
Virus dengue adalah anggota dari genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus
kecil (50nm) ini mengandung satu untai RNA sebagai genome. Virionnya terdiri dari
nukleokapsid dengan kubik simetrisnya tertutup didalam envelope lipoprotein. Genome
virus dengue sepanjang 11.644 nekleotid dan tersusun dari tiga gen protein struktural
yang mengkode nukleokaptid atau protein inti (C), protein membrane-associated (M),
protein envelope (E), dan tujuh protein gen non struktural (NS) (WHO, 2011).

Diantara protein non struktural, glikoprotein envelope, NS1, digunakan untuk


kepentingan diagnostik dan patologik. Ukurannya 45kDa dan terkait dengan aktivitas
viral hemaglutinasi dan netralisasi. Infeksi kedua oleh serotipe yang lain atau infeksi
multiple oleh serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk dengue yang parah
(DHF/DSS) (WHO, 2011).

D. PATOFISIOLOGI

DBD terjadi pada sebagian kecil dari pasien dengue. Walaupun DBD dapat terjadi
pada pasien yang baru pertama kali mengalami infeksi virus dengue, kebanyakan kasus
DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara kejadian DBD/DSS
dan infeksi sekunder dengue melibatkan sistem imun dalam patogenesis dari DBD.
Imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK dan juga imunitas adaptif
termasuk imunitas humoral dan cell-mediated terlibat dalam proses ini. Peningkatan
aktivasi sistem imun, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon sitokin
yang berlebihan menghasilkan perubahan pada permeabilitas vaskuler. Sebagai
tambahan, produk-produk viral seperti NS1 dapat memainkan peran dalam meregulasi
aktivasi komplemen dan permeabilitas vaskuler (WHO, 2011).

Tanda dari DBD adalah meningkatnya permeabilitas vaskuler menyebabkan


kebocoran plasma, volume intravaskuler menyusut, dan syok pada kasus yang berat.
Kebocorannya unik, yaitu kebocoran plasmanya selektif pada pleura dan rongga
peritoneal dan periode dari kebocorannya singkat. Ciri dari DBD adalah menghasilkan
peningkatan permeabilitas vaskuler (24-48jam). Perbaikan syok yang cepat tanpa sekuel
dan tidak ada inflamasi pada pleura dan peritoneum mengindikasikan lebih kepada
perubahan fungsional pada integritas vaskuler daripada kerusakkan struktural endotelium
sebagai mekanisme yang mendasar (WHO, 2011).

Berbagai sitokin dengan efek meningkatkan permeabilitas telah terlibat dalam


patogenesis DBD. Namun, kepentingan relatif sitokin-sitokin ini pada DBD masih belum
diketahui. Penelitian telah menunjukkan bahwa pola respon sitokin mungkin
berhubungan dengan pola cross-recognition dari sel T dengue-spesifik. Cross-reactive T-
cells tampak defisit fungsional pada aktivitas sitolitiknya tetapi muncul peningkatan
produksi sitokin termasuk TNF-a, IFN-g, dan kemokin. TNF-a terlibat dalam beberapa
manifestasi berat termasuk perdarahan dalam beberapa hewan percobaan. Peningkatan

10
permeabilitas pembuluh darah juga dapat dimediasi oleh aktivasi sistem komplemen.
Peningkatan kadar fragmen komplemen telah dicatat dalam DBD. Beberapa fragmen
komplemen seperti C3a dan C5a diketahui memiliki efek meningkatkan permeabilitas.
Pada penelitian terbaru, antigen NS1 dari virus dengue ditunjukkan untuk meregulasi
aktivasi komplemen dan memainkan peran dalam patogenesis DBD. Tingginya level
virus pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien demam dengue telah ditunjukkan
pada banyak penelitian. Level dari protein virus, NS1, juga tinggi pada pasien DHF
(WHO, 2011).

Derajat viral load berhubungan dengan pengukuran dari keparahan penyakit


seperti efusi pleura dan trombositopenia, menunjukkan bahwa banyaknya virus yang
menginfeksi dapat dijadikan penentu keparahan penyakit (WHO, 2011).

E. PERJALANAN PENYAKIT

Perjalanan penyakit DBD menurut WHO (2012) dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase febril, fase kritis, dan fase penyembuhan.

 Fase Febril

Pasien biasanya mengalami demam tinggi tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah,
eritema kulit, badan sakit-sakit, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbital, fotofobia,
rubeliform eksantema dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin mengalami
sakit tenggorokan, injected faring, dan konjungtiva injeksi. Anoreksia, mual dan
muntah umum ditemukan (WHO, 2012).

Sulit untuk membedakan DBD secara klinis dari penyakit demam non-
dengue diawal fase demam. Tes tourniquet positif dalam fase ini menunjukkan
peningkatan probabilitas dengue (3, 4). Namun, fitur klinis ini tidak memprediksi
tingkat keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memantau
tanda-tanda peringatan (warning sign) dan parameter klinis lain untuk mengenali
perkembangan ke tahap kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae
dan perdarahan membran mukosa (misalnya dari hidung dan gusi). Mudah
memar dan pendarahan di area venepuncture hadir dalam beberapa kasus.
Perdarahan hebat dari vagina (pada wanita usia subur) dan perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini meskipun hal ini tidak umum. Hati
dapat membesar dan nyeri setelah beberapa hari demam. Kelainan paling awal
dalam hitung darah lengkap adalah penurunan progresif pada angka leukosit,
yang harus dokter waspadai dokter sebagai probabilitas tinggi dengue. Sebagai
tambahan selain gejala somatik diatas, dengan onset demam pasien mungkin
hilangnya progresif dalam kemampuan mereka untuk melakukan fungsi sehari-
hari (WHO, 2012).

11
 Fase Kritis

Selama transisi dari demam ke fase afebril, pasien tanpa peningkatan


permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melalui fase kritis. Dibandingkan
membaik dengan penurunan demam tinggi; pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler dapat bermanifestasi dengan warning sign, sebagian besar
sebagai akibat dari kebocoran plasma. Warning sign menandai awal dari fase
kritis. Pasien-pasien ini menjadi lebih buruk sekitar waktu penurunan suhu badan
sampai ke normal, ketika suhu turun ke 37,5-38 ° C atau kurang dan tetap di
bawah tingkat ini, biasanya pada hari ke 3-8. Progresif leukopenia diikuti dengan
penurunan angka trombosit yang cepat biasanya mendahului kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit dibanding awal mungkin salah satu tanda-tanda
tambahan yang paling awal. Periode kebocoran plasma klinis yang signifikan
biasanya berlangsung 24-48 jam. Tingkat kebocoran plasma bervariasi.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah (BP) dan volume
denyut (WHO, 2012).

Tingkat hemokonsentrasi diatas hematokrit awal mencerminkan


keparahan kebocoran plasma; Namun, hal ini dapat dikurangi dengan terapi
cairan intravena awal. Oleh karena itu, penentuan hematokrit adalah penting
karena mereka merupakan sinyal perlunya penyesuaian terapi cairan intravena.
Efusi pleura dan ascites biasanya hanya secara klinis terdeteksi setelah terapi
cairan intravena, kecuali kebocoran plasma signifikan. Rontgen dada posisi right
lateral decubitus (RLD), USG untuk deteksi cairan bebas dalam dada atau perut,
atau edem dinding kandung empedu bisa mendahului deteksi klinis. Sebagai
tambahan dari kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar
dan perdarahan di area venepuncture sering terjadi (WHO, 2012).

Jika terjadi syok ketika volume plasma hilang melalui kebocoran, sering
didahului dengan warning sign. Suhu tubuh mungkin subnormal saat syok terjadi.
Dengan syok dalam dan/atau berkepanjangan, hipoperfusi mengakibatkan
asidosis metabolik, gangguan organ progresif, dan DIC. Hal ini pada saatnya
dapat menyebabkan perdarahan parah menyebabkan hematokrit menurun pada
shock berat. Sebagai gantinya dari leukopenia biasanya terlihat selama fase
demam, total jumlah sel putih mungkin
meningkatkan sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain
itu, keterlibatan organ yang parah dapat berkembang menjadi hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan berat, tanpa kebocoran plasma yang
jelas atau syok (WHO, 2012).

Beberapa pasien masuk ke fase kritis dari kebocoran plasma dan syok
sebelum terjadi penurunan suhu badan sampai yg normal; pada pasien ini
hematokrit meningkat dan onset trombositopenia yang cepat atau adanya warning
sign, menunjukkan terjadinya kebocoran plasma. Kasus demam berdarah dengan

12
warning sign biasanya akan sembuh dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus
akan memburuk ke dengue yang parah (WHO, 2012).

 Fase Penyembuhan

Saat pasien bertahan melewati fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap
cairan kompartemen ekstravaskuler berlangsung di 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum meningkat, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil, dan kemudian diuresis terjadi. Beberapa pasien
memiliki eritematosa konfluen atau ruam petekie dengan daerah kecil kulit
normal, digambarkan sebagai "pulau putih di laut merah". Beberapa mungkin
mengalami pruritus. Perubahan bradikardia dan elektrokardiografi adalah umum
selama tahap ini. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi
dari reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai naik segera setelah
penurunan suhu badan sampai yg normal tapi pemulihan jumlah trombosit
biasanya kemudian dibandingkan dengan jumlah sel darah putih. Gangguan
pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung
kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika pemberian
cairan intravena yang berlebihan (WHO, 2012).

F. MANIFESTASI DAN GEJALA KLINIS


Infeksi virus dengue mungkin asimtomatik atau dapat menyebabkan
undifferentiated febrile illness (sindrom viral), demam dengue (DD), atau demam
berdarah dengue (DBD), termasuk dengue syok sindrom (DSS). Manifestasi klinis
tergantung pada strain virusnya dan faktor host seperti, usia, status imun, dan lain-lain
(WHO, 2011).

Undifferentiated fever

Bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang telah terinfeksi oleh virus dengue,
terutama untuk yang pertama kalinya, dapat mengaalami demam sederhana yang tidak
dapat dibedakan dengan infeksi virus yang lain. Ruam makulopapular dapat mengikuti
demam atau dapat muncul selama penurunan suhu tubuh sampai normal. Gejala saluran
nafas atas dan gastrointestinal adalah umum (WHO, 2011).

Dengue fever

Dengue fever (DF) atau demam dengue sering terjadi pada anak-anak, remaja,
dan orang dewasa. Secara umum demam dengue adalah sebuah demam akut, dan
terkadang demam bifasik dengan sakit kepala hebat, myalgia, asthralgia, ruam,
leukopenia, dan trombositopenia juga dapat ditemukan. Walaupun demam dengue
mungkin ringan, tetapi dapat menjadi sebuah penyakit yang mengganggu dengan sakit
kepala hebat, nyeri otot, sendi, dan tulang, terutama pada dewasa (WHO, 2011).

13
Kadang-kadang perdarahan yang tidak biasa seperti perdarahan gastrointestinal,
hipermenorhea dan epistaksis yang masif bisa terjadi. Di daerah endemik, wabah demam
dengue jarang terjadi diantara orang-orang lokal (WHO, 2011).

Dengue haemorrhagic fever

Demam Berdarah Dengue (DBD) lebih sering pada anak-anak usia dibawah 15
tahun di daerah hiperendemik, digabungkan dengan infeksi dengue berulang. Namun,
insidensi DBD pada orang dewasa meningkat. DBD dikarakteristikkan dengan onset
akut demam tinggi dan dihubungkan dengan tanda dan gejala yang mirip dengan demam
dengue pada awal fase febril. Ada beberapa diatesis perdarahan yang umum seperti tes
torniquet(TT) positif, petechiae, mudah memar, dan/atau perdarahan GI pada kasus yang
parah. Pada akhir fase febril, ada kecenderungan terjadi hipovolemik syok (dengue syok
sindrom) karena kebocoran plasma (WHO, 2011).

Adanya tanda-tanda bahaya (warnig signs) awal seperti muntah persistent, nyeri
abdominal, letargi atau kelelahan, atau iritabel dan oliguria adalah penting untuk
intervensi pencegahan syok. Kebocoran plasma dan haemostasis yang abnormal adalah
patofisiologi utama dari DHF (WHO, 2011).

Trombositopenia dan kenaikan hematokrit/hemokonsentrasi merupakan


penemuan yang pasti sebelum penurunan demam/onset syok (WHO, 2011).

Expanded dengue syndrome

Manifestasi yang tidak biasa dari pasien dengan keterlibatan organ yang parah
seperti liver, ginjal, otak atau jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue
dilaporkan telah meningkat pada kasus DBD dan juga pada pasien dengue yang tidak
memiliki bukti adanya kebocoran plasma. Manifestasi yang tidak biasa ini dapat
dihubungkan dengan koinfeksi, komorbiditi atau komplikasi dari syok yang
berkepanjangan (WHO, 2011).

GEJALA KLINIS

Demam dengue

Setelah rata-rata masa inkubasi intrinsik 4-6 hari (range 3-14 hari), bermacam-
macam gejala non-spesifik, konstitusional dan sakit kepala, nyeri punggung dan malaise
dapat terjadi. Secara khusus, onset dari demam dengue adalah tiba-tiba dengan kenaikan
temperatur yang tajam dan seringkali berhubungan dengan wajah memerah dan sakit
kepala (WHO, 2011).

Kadang-kadang, menggigil muncul bersama dengan kenaikan suhu yang tiba-


tiba. Setelah itu, mungkin ada nyeri retro-orbital, fotofobia, nyeri punggung, dan nyeri

14
pada otot dan sendi-sendi/tulang. Gejala-gejala lain yang umum termasuk anorexia dan
perubahan sensai perasa, konstipasi, nyeri kolik, dan nyeri abdomen, nyeri tenggorokan
dan depersi umum (WHO, 2011).

Gejala-gejala tersebut biasanya bertahan dari beberapa hari sampai beberapa


minggu. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala dan tanda dari demam denguesangat
bervariasi dari frekuensi dan keparahan (WHO, 2011).

Demam : suhu tubuh biasanya antara 390C dan 400C dan demam dapat bifasik,
berlangsung selama 5-7 hari pada mayoritas kasus.

Ruam : Kemerahan yang difus dapat diamati pada wajah, leher dan dada selama dua
sampai tiga hari pertama, dan ruam mencolok yang mungkin makulopapular atau
rubelliform muncul pada sekitar hari ketiga atau keempat. Menjelang akhir periode
demam atau segera setelah penurunan suhu badan sampai yg normal, ruam di seluruh
tubuh mulai memudar dan petekie yang berkelompok mungkin muncul pada dorsum
kaki, pada kaki, dan di tangan dan lengan. Kulit gatal dapat diamati.

Manifestasi pendarahan : pendarahan pada kulit dapat muncul sebagai torniquet test
positif dan/atau petechiae. Pendarahan lain seperti epistaksis, hipermenorhe dan
pemdarahan gastrointestinal jarang terjadi pada demam dengue, komplikasi dengan
trombositopenia.

Perjalanan : keparahan dan durasi relatif dari demam dengue bervariasi antar individu.
Waktu sembuh dari sakit mungkin singkat dan lancar tapi dapat juga berkepanjangan.
Pada orang dewasa, kadang berlangsung sampai beberapa minggu dan dapat diikuti
dengan kelemahan yang jelas dan dpresi. Bradikardi adalah umum terjadi selama
penyembuhan. Komplikasi pendarahan seperti epistaksis, pendarahan gingiva,
pendarahan gastrointestinal, hematuria dan hipermenorrhea adalah hal yang tidak biasa
pada demam dengue. Walaupun jarang, pendarahan berat adalah penyebab penting
kematian pada demam dengue.

Penemuan Laboratorium

Pada daerah endemik, torniquet tes positif dan leukopenia (Leukosit


<5000sel/mm3) membantu untuk membuat diagnosis dini dari infeksi dengue. Penemuan
hasil laboratorium selama episod akut demam dengue menurut WHO (2011) adalah
sebagai berikut :

 Angka leukosit biasanya normal pada onset demam, kemudian leukopenia


muncul dengan penurunan netrofil dan bertahan periode febril.

 Angka trombosit biasanya normal, seperti komponen-komponen lain dari


mekanisme pembekuan darah. Trombositopenia ringan (100.000 sampai 150.000
sel/mm3) adalah umum dan sekitar setengah dari semua pasien dengan demam

15
dengue memiliki angka trombosit dibawah 100.000sel/mm3, tetapi
trombositopenia berat (<50.000 sel/mm3) jarang.

 Peningkatan hematokrit ringan dapat ditemukan sebagai konsekuensi dari


dehidrasi yang berkaitan dengan demam tinggi, muntah, anorexia dan intake oral
yang kurang.

 Biokemistri serum biasanya normal tetapi enzim-enzim liver dan aspartat


aminotransferase dapat meningkat.

 Harus dicatat bahwa penggunaan analgesik, antipiretik, anti-emetik, dan


antibiotik dapat mengganggu fungsi liver dan pembekuan darah.

Demam Berdarah Dengue dan Dengue Syok Sindrom

Kekhasan kasus DBD dikarakteristikkan dengan demam tinggi, fenomena


pendarahan, hepatomegali, dan gangguan sirkulasi dan syok. Trombositopenia sedang sampai
berat dengan hemokonsentrasi/kenaikan hematokrit yang terjadi bersamaan adalah penemuan
laboratorium yang pasti dan khusus. Perubahan patofisiologi yang paling terlihat yang
menentukan keparahan DBD dan membedakannya dari demam dengue dan demam berdarah
yang disebabkan virus lain adalah hemostasis abnormal dan kebocoran plasma selektif di
pleura dan rongga abdomen (WHO, 2011).

Perjalanan klinis dari DBD dimulai dengan peningkatan suhu yang mendadak diikuti
dengan wajah kemerahan dan gejala lain yang menyerupai demam dengue, seperti anorexia,
muntah, sakit kepala, dan nyeri sendi atau otot. Beberapa pasien DBD mengeluhkan nyeri
tenggorokkan dan injected faring dapat ditemukan pada pemeriksaan. Rasa tidak nyaman
pada daerah epigastrik, nyeri di tepi sub-kosta kanan, dan nyeri seluruh abdomen adalah hal
yang umum. Suhu tubuh khususnya tinggi dan pada kebanyakan kasus berlanjut hingga 2-7
hari sebelum turun ke suhu normal atau subnormal. Terkadang suhu tubuh bisa mencapai
400C dan kejang demam mungkin akan muncul. Pola demam bifasik dapat ditemukan (WHO,
2011).

Torniquet tes positif (>10bintik/kotak), fenomena pendarahan yang sering terjadi,


dapat dilihat pada awal fase febril. Mudah memar dan pendarahan dibagian venipuncture
terlihat dibanyak kasus. petekiae tersebar pada ekstrimitas, axila, dan wajah dan palatum
lunak mungkin terlihat pada awal fase febril. Ruam petekie konfluen yang kecil, area
melingkar terlihat pada fase penyembuhan, seperti pada demam dengue. Ruam
makulopapular atau rubelliform dapat terlihat pada awal atau akhir penyakit (WHO, 2011).

Epistaksis dan gusi berdarah lebih jarang. Pendarahan gastrointestinal ringan kadang
terlihat, namun, hal ini dapat memberat jika sebelumnya memiliki penyakit peptik ulcer.
Hematuria jarang terjadi (WHO, 2011).

16
Liver biasanya terpalpasi pada awal fase febril, bervariasi dari hanya teraba sampai 2-
4 cm dibawah tepi kosta kanan. Ukuran liver tidak berhubungan dengan keparahan penyakit,
tetapi hepatomegali lebih sering pada kasus syok. Splenomegali ditemukan pada bayi umur
dibawah 12 bulan dan dengan pemeriksaan radiologi (WHO, 2011).

Rontgen thorax posisi right lateral decubitus menunjukkan efusi pleura adalah
penemuan yang pasti. Luasnya efusi pleura berhubungan dengan keparahan penyakit.
Ultrasound dapat dignakan untuk mendeteksi efusi pleura dan asites (WHO, 2011).

Fase kritis DBD, adalah periode kebocoran plasma, dimulai sekitar pergantian dari
fase febril ke fase afebril. Bukti adanya kebocoran plasma, efusi pleura dan asites, namun,
tidak terdeteksi dengan pemeriksaan fisik pada fase awal dari kebocoran plasma atau kasus
DBD yang ringan. Peningkatan hematokrit 10% sampai 15% diatas batas adalah bukti paling
awal. Kehilangan plasma yang signifikan menyebabkan syok hipovolemik. Meskipun pada
kasus syok, dengan diawali terapi cairan intravenus, efusi pleura dan asites mungkin tidak
terdeteksi secara klinis. Kebocoran plasma akan terdeteksi selama perjalanan penyakit atau
setelah terapi cairan (WHO, 2011).

Pada kasus DBD ringan, semua tanda dan gejala berkurang setelah demam turun.
Lisis demam mungkin diikuti dengan berkeringat dan sedikit perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah. Perubahan tersebut menunjukkan gangguang sirkulasi ringan dan sementara
sebagai hasil dari kebocoran plasma derajat ringan. Pasien biasanya membaik baik secara
spontan atau setelah terapi cairan dan elektrolit (WHO, 2011).

Pada kasus sedang hingga berat, kondisi pasien memburuk beberapa hari setelah onset
demam. Terdapat tanda-tanda bahaya seperti muntah persisten, nyeri perut, menolak intake
oral, letargi atau kelelahan, hipotensi postural, dan oliguria (WHO, 2011).

Mendekati akhir dari fase febril, segera setelah suhu tubuh turun atau sekitar 3-7 hari
setelah demam muncul, terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi, yaitu kulit menjadi dingin,
denyut menjadi cepat dan lemah (WHO, 2011).

Walaupun beberapa pasien menunjukkan letargi, biasanya mereka menjadi kelelahan


dan secara cepat masuk menjadi tahap kritis dari syok. Nyeri abdomen akut sering menjadi
keluhan sebelum syok terjadi (WHO, 2011).

Syok dikarakteristikkan dengan denyut yang cepat dan lemah dengan tekanan denyut
yang melemah dengan peningkatan tekanan diastolik atau hipotensi. Tanda-tanda penurnan
perfusi jaringan anatara lain, kapilaari refill yang melambat (>3detik), kulit menjadi dingin
dan tampak lemah. Pasien dengan syok berada dalam bahaya jika tidak diberikan treatment
yang cepat dan tepat. Pasien akan masuk kedalam tahap syok dalam dengan tekanan darah
dan/atau denyut menjadi tidak teraba (DBD grade 4). Syok reversibel dan durasinya pendek
jika treatment dengan penggantian volume diberikan dan tepat waktu (WHO, 2011).

Tanpa treatment, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam. Pasien dengan syok
berkepanjngan atau tidak terkoreksi dapat menimbulkan hal yang lebih rumit dengan asidosis
metabolik dan imbalans elektrolit, kegagalan multiorgan dan pendarahan berat dari berbagai

17
organ. Kegagalan hepatik dan ginjal secara umum terlihat pada syok yang berkepanjangan.
Ensefalopati dapat terjadi dalam kaitannya dengan kegagalan multiorgan, gangguan
metabolik dan elektrolit. Pendarahan intracranial jarang terjadi. Pasien dengan syok
berkepanjangan atau tidak terkoreksi memiliki prognosis yang buruk dan tingkat kematian
tinggi (WHO, 2011).

Convalescence pada DBD

Diuresis dan kembalinya nafsu makan adalah tanda dari perbaikan dan indikasi untuk
menghentikan penggantian cairan. Penemuan yang umum pada penyembuhan termasuk sinus
bradikardi atau aritmia dan karakteristik dari ruam petekie konfluen seperti yang
dideskripsikan untuk demam dengue. Penyembuhan pada pasien dengan atau tanpa syok
biaasanya cepat. Bahkan pada kasus syok dalam, setelah syok tertangani dengan treatment
yang sesuai pasien yang bertahan membaik dalam 2-3 hari. Namun, pasien dengan syok
dalam dan kegagalan multiorgan akan membutuhkan treatment yang spesifik dan
penyembuhan yang lama (WHO, 2011).

G. KRITERIA DIAGNOSIS DBD


Kriteria diagnosis untuk DBD menurut World Health Organisation (WHO)
(2011) adalah berdasarkan manifestasi klinis dan penemuan laboratorium sebagai berikut
:

Manifestasi Klinis

 Demam : onset akut, tinggi dan terus menerus. Berlangsung 2-7 hari pada kebanyakn
kasus.

 Salah satu manifestasi pendarahan berikut termasuk tes torniquet positif, petekie,
purpura (pada lokasi venipuncture), ekimosis, epistaksis, gusi berdarah, dan
hematemesis dan/atau melena.

 Pembesaran hepar (hepatomegali) ditemukan pada beberapa tahap dari penyakit pada
90-98% anak-anak. Frekuensinya bervariasi tergantung waktu dan/ata pemeriksa.

 Syok, dimanifestasikan dengan takikardi, perfusi jaringan yang buruk dengan denyut
yang lemah dan tekanan denyut nadi yang kecil atau hipotensi, kulit lembab dan
dingin dan/atau kelelahan.
Penemuan laboratorium

 Trombositopenia (100 000 cells per mm3 atau kurang)

 Hemokonsentrasi; peningkatan hematokrit pasien >20% dari hematokrit awal atau


populasi berumur sama.

18
Dua kriteria klinis pertama, ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
hematokrit yang meningkat, cukup untuk menetapkan diagnosis klinis DBD. Adanya
pembesaran hepar di samping dua kriteria klinis pertama adalah sugestif dari DBD
sebelum timbulnya kebocoran plasma. Adanya efusi pleura (rontgen dada atau USG)
adalah bukti yang paling obyektif adanya kebocoran plasma sementara hipoalbuminemia
memberikan bukti yang mendukung. Hal ini sangat berguna untuk diagnosis DBD pada
pasien berikut:

 Anemia

 Pendarahan berat

 Ketika tidak ada batas hematokrit

 Peningkatan hematokrit sampai <20% karena terapi intravena awal.


Pada kasus dengan syok, hematokrit tinggi dan trombositopenia yang jelas mendukung
diagnosis DSS.

H. KLASIFIKASI
World Heakth Organization (2011) membuat klasifikasi/derajat pada DBD
menjadi 4, yaitu mulai dari grade I-IV. Grade III dan IV adalah DBD yang sudah masuk
ke syok. Di bawah ini adalah pembagian derajat dan gejala klinis serta hasil laboratorium
yang ditemukan.

DF/DH Grad
Tanda dan gejala Laboratorium
F e
Demam dengan dua gejala
dibawah ini :
 Sakit kepala

 Nyeri retro orbital  Leukopenia


(AL<5000sel/mm3)
 Myalgia
 Trombositopenia (AT
 Arthralgia/nyeri pada <150.000 sel/mm3)
DF
tulang
 Peningkatan
 Ruam hematokrit (5%-10%)

 Manifestasi  Tidak ada tanda


Pendarahan kebocoran plasma

 Tidak ada tanda


kebocoran plasma

DHF I Demam dan manifestasi Trombositopenia


pendarahan (torniquet test <100.000sel/mm3;
positif) dan adanya bukti peningkatan hematokrit

19
kebocoran plasma >20%
Trombositopenia
Seperti grade I ditambah <100.000sel/mm3;
DHF II
dengan pendarahan spontan peningkatan hematokrit
>20%
Seperti grade I atau II
ditambah dengan kegagalan Trombositopenia
sirkulasi (denyut yang <100.000sel/mm3;
DHF III
lemah, tekanan denyut nadi peningkatan hematokrit
yang kecil (<20mmHg), >20%
hipotensi, kelelahan)
Seperti grade III ditambah Trombositopenia
syok dalam dengan tidak <100.000sel/mm3;
DHF IV
terdeteksinya tekanan darah peningkatan hematokrit
dan denyut >20%

I. DIAGNOSIS LABORATORIUM
Dibawah ini adalah uji laboratorium yang tersedia untuk mendiagnosis demam
dengue dan DBD menurut WHO (2011) :

 Isolasi virus
Isolasi virus dengue dari spesimen klinis adalah mungkin pastikan sampel diambil
selama enam hari pertama dan diproses tanpa penundaan. Spesimen yang cocok
untuk isolasi virus meliputi: serum fase akut, plasma, jaringan otopsi dari kasus
yang fatal (terutama hati, limpa, kelenjar getah bening dan timus), dan nyamuk
yang dikumpulkan dari daerah endemik. Isolasi virus ini digunakan untuk
menentukan karakteristik serotipik/genotipik dari virus dengue.

 Deteksi asam nukleid virus


Genom virus dengue, yang terdiri dari asam ribonukleat (RNA), dapat dideteksi
dengan uji Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). RNA
adalah heat-labil dan, karena itu, spesimen untuk deteksi asam nukleat harus
ditangani dan disimpan sesuai dengan prosedur yang dijelaskan untuk isolasi
virus.

 Deteksi antigen virus


Produk gen NS1 adalah glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus dan
sangat penting untuk replikasi dan kelangsungan hidup virus. Protein ini
disekresikan oleh sel-sel mamalia tetapi tidak oleh sel serangga. NS1 antigen
muncul pada hari pertama setelah timbulnya demam dan menurun ke tingkat yang
tidak terdeteksi setelah 5-6 hari. Oleh karena itu, tes berdasarkan antigen ini dapat
digunakan untuk diagnosis dini. ELISA dan tes blot dot ditujukan terhadap antigen
envelop/ membran (EM) dan nonstruktural protein 1 (NS1) menunjukkan bahwa
antigen ini hadir dalam konsentrasi tinggi dalam serum pasien yang terinfeksi

20
virus dengue selama fase klinis awal penyakit dan dapat dideteksi pada pasien
dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai enam hari setelah onset
penyakit.

 Tes berdasarkan respon imunologi


- Uji kadar antibodi IgM dan IgG
IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat cepat sampai dengan minggu ke-
2, menghilang setelah 60-90 hari. Antibodi IgG terdeteksi dalam jumlah yang
kecil pada akhir minggu pertama selanjutnya meningkat dan bertahan dalam
waktu yang lama.
Pada infeksi sekunder, titer antibodi meningkat secara cepat. Antibodi IgG
terdeteksi pada level yang tinggi, walaupun pada fase initial dan bertahan
dalam beberapa bulan hingga seumur hidup. Antibodi IgG mulai terdeteksi
pada hari ke-14 pada infeksi primer dan pada hari ke-2 pada infeksi sekunder.
Dibawah ini adalah timeline infeksi primer dan sekunder virus dengue dan
metode diagnostik yang digunakan.

Sumber : WHO. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and


Control, New edition, 2009. WHO Geneva

 Analisis parameter hematologi


Standar parameter hematologis seperti trombosit dan hematokrit penting dan
merupakan bagian dari diagnosis biologis infeksi dengue. Oleh karena itu harus
dimonitor secara seksama.
Trombositopenia, penurunan jumlah trombosit di bawah 100 000 per ml, mungkin
kadang-kadang ditemukan pada demam dengue tetapi adalah fitur konstan dalam
DBD. Trombositopenia biasanya ditemukan antara hari ketiga dan kedelapan
penyakit sering sebelum atau bersamaan dengan perubahan hematokrit.

21
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih (untuk pasien
yang sama atau untuk pasien pada usia yang sama dan jenis kelamin) dianggap
menjadi bukti definitif peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan kebocoran
plasma.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi-komplikasi ini terjadi biasanya berkaitan dengan syok
dalam/berkepanjangan menyebabkan asidosis metabolik dan pendarahan berat akibat
DIC dan kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal. Lebih penting,
penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma menyebabkan
efusi masif menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti paru akut dan/atau gagal
jantung. Terapi cairan yang dilanjutkan setelah periode kebocoran plasma akan
menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung, terutama ketika ada reabsorpsi
cairan di ekstravasasi. Selain itu, syok dalam/berkepanjangan dan terapi cairan yang
tidak tepat dapat menyebabkan gangguan metabolik / elektrolit. Kelainan metabolik
sering ditemukan sebagai hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-
kadang, hiperglikemia. Gangguan-ganggan ini dapat menyebabkan berbagai
manifestasi yang tidak biasa, misalnya encephalopathy (WHO, 2011).

K. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama adalah terapi
suportif, pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD (Suhendro & Nainggolan, 2014).
Monitor pasien dengue/DBD selama periode kritis (trombositopeni awkitar
100.000 sel/mm3)
Masa kritis DBD mengacu pada periode kebocoran plasma yang dimulai
sekitar waktu penurunan suhu badan sampai yg normal atau transisi dari demam ke
fase tidak demam. Trombositopenia merupakan indikator yang sensitif dari kebocoran
plasma tetapi juga dapat diamati pada pasien dengan DF. Peningkatan hematokrit
lebih dari 10% dari normal merupakan indikator awal kebocoran plasma. Terapi
cairan intravena harus dimulai pada pasien dengan asupan oral yang buruk atau
peningkatan lebih lanjut dalam hematokrit dan mereka dengan tanda-tanda bahaya
(warning sign) (WHO, 2011).
Parameter berikut harus dipantau:

 Kondisi umum, nafsu makan, muntah, pendarahan dan tanda-tanda dan gejala
lainnya

 Perfusi perifer dapat dilakukan sesering diindikasikan karena perfusi merupakan


indikator awal syok dan mudah dan cepat untuk dilakukan.

22
 Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2 jam
pada pasien syok.

 Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai enam jam
dalamkasus stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau
mereka yang dicurigai perdarahan. Perlu dicatat bahwa hematokrit harus
dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak mungkin, maka harus
dilakukan setelah bolus cairan tetapi tidak selama infus bolus.

 Urine output (jumlah urine) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jamdalam
kasus rumit dan pada setiap jam pada pasien dengan syok dalam/ berkepanjangan
atau mereka dengan kelebihan cairan. Selama periode ini jumlah urine output
harus sekitar 0,5 ml / kg / jam (ini harus didasarkan pada berat badan ideal).
Terapi Cairan Intravena pada DBD Selama Masa Kritis

Indikasi untuk cairan IV:

 Ketika pasien tidak mendapat asupan cairan oral yang memadai atau muntah.

 Ketika hematokrit terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral.

 Syok Impending
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:

 Larutan isotonik kristaloid harus digunakan selama periode kritis kecuali pada
bayi usia <6 bulan yang mana natrium klorida 0,45% dapat digunakan.

 Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritaskoloid > 300 mOsm / l) seperti


dekstran 40 dapat digunakan pada pasien dengan kebocoran plasma berat, dan
mereka yang tidak merespon volume minimum kristaloid. Larutan koloid iso-
onkotik seperti plasma dan hemaccel mungkin tidak efektif.

 Durasi terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 sampai 48 jam bagi mereka
dengan shock. Namun, bagi pasien yang tidak memiliki shock, durasi terapi cairan
intravena mungkin harus lebih lama tetapi tidak lebih dari 60 sampai 72 jam. Hal
ini karena kedua kelompok pasien baru saja memasuki masa kebocoran plasma
sementara pasien syok telah mengalami durasi yang lebih lama dari kebocoran
plasma sebelum terapi intravena dimulai.

23
 Pada pasien obesitas, berat badan yang ideal harus digunakan sebagai panduan
untuk menghitung volume cairan.

 Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan situasi klinis. Tingkat cairan
IV berbeda pada orang dewasa dan anak-anak.

 Transfusi trombosit tidak dianjurkan untuk trombositopenia (tidak ada transfusi


trombosit profilaksis). Hal ini dapat dipertimbangkan pada orang dewasa dengan
hipertensi yang mendasari dan trombositopenia sangat parah (kurang dari 10 000
sel / mm3)

BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan
demam sejak 4 hari sebelum masuk RS. Pada saat datang pasien dalam keadaan tidak demam
(suhu 36,50C) hal ini sesuai dengan perjalanan penyakit DBD yaitu suhu tubuh mulai turun
ke suhu normal pada hari ke-4 sampai ke-6.

Vital sign pasien menunjukan tekanan darah 126/88, denyut nadi 76x/menit, suhu
0
36,5 C, respirasi 20x/menit. Dari vital sign tersebut pasien masih dalam range normal, tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda syok.

Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda-tanda syok, seperti kulit dingin
dan lembab, akral dingin, nadi cepat dan lemah, dan waktu pengisian kapiler tidak lebih dari
2 detik.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan angka leukosit 2400, dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa pasien mngealami infeksi virus. Pada leukosit kurang dari empat ribu
maka dapat disimpulkan bahwa penyebabnya adalah virus. Angka trombosit pada psien ini
adalah 108.000, hal ini menunjukkan bahwa sudah terjadi trombositopenia.

Pemeriksaan sero-imunologi IgM dan IgG anti dengue pasien menunjukkan negatif
pada IgM anti dengue dan positif pada IgG anti dengue. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pasien tersebut mengalami infeksi sekunder virus dengue.

Diagnosis DBD pada pasien ini ditegakkan dengan melihat gejala klinis dan hasil
laboratoriumnya, yaitu dari gejala klinis didapatkan demam dan pada hari ke-4 suhu mulai
turun, nyeri kepala, mual, dan muntah. Pada hasil laboratorium didapatkan leukopenia,

24
trombositopenia, dan peningkatan hematokrit. Kemudian lebih didukung lagi dengan
pemeriksaan sero-imunologi IgM dan IgG anti dengue.

Pasien mendapatan terapi cairan intavena Ringer laktat dan Fimahes. Ringer laktat
adalah larutan kristaloid yang digunakan untuk pengembalian cairan dan elektrolit. Ini
mengembalikan cairan dan elektrolit, menghasilkan diuresis, dan bertindak sebagai agen
alkalizing (mengurangi keasaman). Fimahes adalah larutan koloid yang digunakan untuk
resusutasi cairan yang mengandung hidroksietilstarch yang masuk dalam kelas pengganti
darah dan fraksi plasma protein (Hease, NR, 2014).

Pasien diberikan injeksi ranitidine karena obat ranitidine adalah obat antagonist
receptor H2/ARH2. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokir efek histamin pada sel
parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.
Pemberian obat ini adalah karena keluhan pasien yang memiki nyeri perut.

Untuk penurun panasnya, pasien diberikan sistenol. Sistenol adalah analgesik dan
antipiretik yang mengandung paracetamol dan n-acetylsistein. Parasetamol memberikan efek
analgesik dan antipiretik dengan mekanisme kerja yang meniru salisilat. Parasetamol bekerja
pada daerah hipotalamus yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh. Acetylcysteine memiliki efek mukolitik yang
dapat mengurangi viskositas sekresi paru sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan oleh
batuk dan jalur postural.

BAB V

KESIMPULAN

1. Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.

2. DBD dikarakteristikkan dengan demam tinggi, fenomena pendarahan, hepatomegali,


dan gangguan sirkulasi dan syok. Trombositopenia sedang sampai berat dengan
hemokonsentrasi/kenaikan hematokrit.

3. Penegakkan diagnosis DBD terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


laboratorium.

4. Terapi DBD yang terpenting adalah pemeliharaan volume cairan sirkulasi dan
monitoring AT dan Hmt.

25
Daftar Pustaka.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan


Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta.
Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2013. Buku Saku Data & Informasi
Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013. Buku
Saku Pengendalian Demam Berdarah Dengue untuk Pengelola Program DBD
Puskesmas. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Dorlan, 2012. Dorlan's Illustrated Medical Dictionary. 32nd ed. Elsevier Saunders.
Hease, NR. 2014. Hydroxyethyl starch in Sepsis. Dan Med J. 2014 Jan;61(1):B4764.
Kesetyaningsih, T.W. dan Suryani, L., 2013. Faktor Iklim sebagai Prediksi Kejadian
Demam Berdarah di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Laporan Penelitian.
Unpublished. FKIK Universitas MuhammadiyahYogyakarta.
Nasronudin, (2007). Aspek Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue. Dalam
Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang. Cetakan Pertama,
Surabaya: Airlangga University Press.
Soegijanto S. 2003. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era
2003. Airlangga University Press, Surabaya.
Suhendro, Nainggolan L, Khie Chen, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF, penyunting.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Pub. 2014.

26
World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. Geneva.
World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Geneva.
World Health Organization. 2012. Handbook for Clinical Management of Dengue.
Geneva.
World Health Organization. Dengue & Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses pada
tanggal 10 Oktober 2015, dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en

27

Anda mungkin juga menyukai