Anda di halaman 1dari 7

Sebenarnya gagasan untuk melahirkan Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 yang disyahkan

pada tanggal 15 Januari 2014, adalah sebuah proses kegelisahan para pemimpin bangsa ini, walau
sebelum dan sesudah lahirnya UU DESA tersebut banyak menuai perdebatan konstruktif dikalangan
pihak dan elit. Dan itu adalah buah pikir dari kepedulian kita dalam menata dan mengurus tetapi bukan
menguras bangsa ini.

Undang-Undang Desa lahir dengan semangat Demokrasi yang harus dibangun dari masyarakat, dan
komunitas masyarakat itu berada diwilayah Desa. Tujuan UU DESA juga membangun Pola pikir,
mental, menanam benih dan nilai Keadilan bagi warga desa dibangsa ini. UU Desa juga dilahirkan
untuk memperkuat masyarakat secara perspektif komprehensif, UU Desa juga memberikan legitimasi
kewenangan kepada desa dalam mengatur wilayahnya sendiri dengan tetap memegang dasar negara
UU Dasar 1945.

Pembentukan UU DESA dirasa sangat perlu untuk memuat poin-poin penting yang dijelaskan selain
dari dasar pemikirannya saja, tetapi asas pengaturan dan materi muatan tujuan dari UU Desa itu
dibentuk, karena memang sangat penting pengaturan dan tujuan terbentuknya UU Desa ini yang tetap
harus diselaraskan dengan dilandasai UU Dasar 1945 pasal 18 ayat (7) dan pasal 188 ayat (2). Sehingga
UU Desa ini adalah sebuah Reflikasi dari UU DASAR 1945.

Bergulirnya UU DESA dengan memberikan bantuan langsung keuangan negara yang ter-implementasi
melalui Dana Desa, yang mana Dana Desa telah ter-anggarkan melalui skema APBN, yang dileading
oleh Kementerian Desa dan PDTT, tentu dengan seperangkat regulasi yang telah di keluarkan oleh
Kemendes PDTT, ini dinilai sangat tepat dalam memberikan solusi konkrit terkait persoalan
pembangunan, tidak hanya pembangunan dibidang fisik (infrastruktur) saja, tetapi pembangunan
yang menukik pada pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelolanya, dan
bagaimana komunitas ditingkat tapak mampu mengelola sumber daya desanya, mengingat (SDD)
dengan jumlah 74.754 Desa yang tersebar di Indonesia dengan memiliki keberagaman pengetahuan
inovasi dan keunikan tersendiri di tingkat desa.

Sejak tahun 2014-2017 desa telah disugukan dengan Membuminya Undang - Undang Desa No. 6 tahun
2014 tentang Desa. Dan ini memberikan effect positif yang sangat baik bagi pemerintah provinsi,
kabupaten, dan terutama desa. Sahwat membangun bagi desa saat ini sangat tinggi, kenapa
demikian,? Ini karena bantuan Negara yang terkonsentrasi pada DANA DESA memiliki sistem bantuan
Top - Down, sedangkan Undang-Undang Desa nya memberikan kewenangan pembangunan secara
Buttom - Up.

Selanjutnya ide dan gagasan UU DESA cenderung condong kepada penguatan Desa, ini terbukti
melalui hadirnya instrumen hukum undang-undang desa nomor 6 tahun 2014, dan didukung dengan
perangkat turunan regulasi pendukung dari Undang-Undang Desa tersebut, tiga tahun hadirnya UU
DESA adalah bentuk manifestasi kehadiran negara dalam membumikan nilai - nilai demokratisasi,
berkeadilan, dan sebagai bentuk tujuan negara dalam mensejahterakan, serta menghapus
ketimpangan ekonomi, sosial, budaya, politik, kesehatan, pendidikan dan bidang lainnya atas Rakyat
di Republik ini.

Lahirnya Undang - Undang Desa ini juga membuka ruang "konsolidasi universal" dengan bidang
program lain, dengan kata lain, Undang - Undang Desa memberikan akses yang besar dalam
membangun jejaring lintas kementerian dan lembaga negara lainnya, mekanisme saling support
antara program dilintas kementerian sangat membuka ruang gerak desa dalam meng-ekspresikan
arah tujuan pembangunan yang tepat guna dan kemanfaatan sasaran pembangunan itu sendiri.

DANA DESA Antara Tantangan Dan Harapan


Semasa Orde Baru, Reformasi, sampai ke masa millenia global. Banyak yang telah dilalui oleh negara
dan tentu bagi komunitas desa itu sendiri. Sekarang masa nya negara hadir dalam memberikan rasa
aman, tenang, damai, dan sejalan dengan mengurangnya ketimpangan dan kemiskinan sosial yang
saat ini menjadi polemik dan buah bibir dinegeri maritim ini.

Tantangan yang mendasar adalah, bagaimana negara, dan sistem pemerintahan saat ini, mampu
untuk memastikan peran serta masyarakat/ rakyat dalam melihat konstalasi pembangunan dan
pembelajaran untuk politik secara konstruktif. Dalam iklim demokrasi saat ini sering kali program-
program yang lahir hanya sebatas kepentingan golongan untuk elektabilitas dan pencitraan semu.

Tiga Tahun Implementasi Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa telah mengawali perjalanan yang
banyak menemui "tantangan" yang direlasikan dengan "harapan" bagi seluruh rakyat pelosok negeri.
Implementasi Dana Desa memberikan sebuah tumpuan harapan dalam menjawab intervensi negara
kepada Desa dan rakyatnya. Walau sebenarnya UU Desa ini masih membutuhkan input cerdas dari
berbagai kalangan, terutama dalam penyatuan perspektif dan argumentasi yang sepaham atas
Undang-Undang Desa dan produk regulasi turunannya.

"Desa Membangun Indonesia" adalah sebuah Mainstream yang telah menjadi brand ditingkat
nasional dan lokal. Ini bukti nyata bahwa Implementasi program bantuan Dana Desa memberikan arti
kemanfaatan yang besar bagi desa.

Sentuhan dingin Kementerian Desa dan PDTT telah menunjukan hasil yang cukup positif, desa saat ini
terus membangun dan berbenah dalam persiapan menyambut perubahan zaman menuju Masyarakat
Ekonomi Asean dan Global. Dimana UU Desa memasuki tahun ketiga. Tentu masih terdapat hal-hal
yang harus dibenahi, terutama dilapisan bawah (desa) yang notabene sebagai pengelola langsung
untuk dana desa, serta penerima manfaat yang obyektif dari Undang-Undang Desa.

Tantangan Dalam Membumikan Undang-Undang Desa

Tantangan Negara adalah bagaimana memikirkan tindak lanjut dari program Dana Desa ini yang tidak
bersumber dari "Pinjaman atau Hutang". Sehingga dari modal pinjaman kepada asing memberikan
dampak untuk tidak melahirkan beban baru, baik secara sosial, politik, ekonomi dan beban APBN.

Dibalik tantangan yang harus dipikir secara kolektif sosial, bahwa masih ada harapan dengan ide
program yang realistis, salah satu contoh dengan program yang tercantum pada Peemendes No. 4
tahun 2017 tentang 4 Prioritas program Kemendes PDTT; diantaranya;

PRUKADES

BUMDES

EMBUNG DESA

SORGA DESA

Selain program prioritas andalan dalam amanah Undang-Undang Desa, ada hal yang menjadi prinsip
dalam implementasi undang-undang desa sejak digulirkannya ke masyarakat pada tahun 2014-2017.
Dan dengan digelontorkannya APBN untuk Dana Desa sebesar Rp. 60 Triliun yang tersebar di 74.754
Desa, tentu haruslah memberikan dampak positif bagi desa-desa penerima dana desa.

Hal prinsip tersebut adalah bagaimana dengan bantuan langsung Dana Desa yang masuk ke Rekening
Desa dapat mengakomodir semua kepentingan masyarakat desa itu sendiri, dan peran aktif
masyarakatnya dalam melakukan pengawasan atas penggunaannya. Sehingga "MARWAH Undang-
Undang Desa" masih terus menjadi salah satu kekuatan dalam membangun ekonomi di negeri ini.
Dengan jumlah 74.754 wilayah desa yang ada di Indonesia, dengan keberagaman sosial budaya, dan
kepentingannya, dan di sokong dengan keunikan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda, tapi itulah
indahnya Indonesia. Sehingga ini menambah nilai lebih kekayaan Indonesia. Apalagi jika desanya
produktif dalam mengembangkan inovasi, maka akan ada banyak karakter ke unikan inovasi yang
menambah modal bangsa dalam meningkatkan martabat bangsa dimata dunia.

Harapan Dengan Adanya Undang-Undang Desa

Mari kita lihat secara realita dan konstruktif, adanya produk regulasi Undang-Undang Desa No. 6/2014
yang telah berjalan selama tiga (3) tahun, memberikan harapan bagi banyak pihak, terutama ditingkat
komunitas desa.

Selain bidang pembangunan (infrastruktur), UU Desa selama tiga tahun ini juga memberikan titik
tumpu pada pembangunan manusianya, walau terkadang masih minim, tetapi dengan pembelajaran
dari proses refleksi tiga tahun dana desa, banyak hal-hal baru yang lahir dan dapat bertumbuh
kembang, sehingga eksistensi UU DESA sangat membuahkan hasil yang cukup signifikan dan output
pembangunan yang nyata bagi masyarakat indonesia.

Kita sebagai warga negara Indonesia sekitar (40 % - 50 %) pasti tahu dengan program Dana Desa.
Karena dana desa melalui REGULASI UU DESA menyentuh sampai keseluruh desa nusantara. Sebanyak
74.754 Desa. Ini sangatlah luar biasa, secara output pembangunan memang sudah mencapai target.
Catatan pentingnya, bagaimana proses pembangunan yang di amanahkan UU DESA, adalah
keberlanjutan hasil pembangunan dengan mengutamakan "swakelola", "swakarya", dan
"swadaya".Meningkatnya pembangunan harus seiring sejalan dengan kwalitas hasil pembangunannya
(bukan asal bangun). Pembangunan infrastruktur harus sejalan dan seimbang dengan jumlah
kebutuhan prioritas kucuran dana yang masuk dan dikelola.

Jika pada masa era kepemimpinan jokowi ini, daerah dan wilayah NKRI hampir semua tersentuh
dengan peningkatan dan pembangunan-pembangunan yang bermuara untuk memberikan eksistensi
kepada bangsa lain, bahwa kita NKRI dengan jumlah negeri kepulauan terbesar dan terbanyak masih
bisa mampu untuk membangun dengan seperangkat kekuatan SDA, dan Finansial yang terukur,
berkeadilan dan masih memegang nilai kegotong royongan ditengah badai global yang menghantam
pada negara-negara ketiga, terutama wilayah asia tenggara.

Pengawasan DANA DESA Terintegrasi Dengan Nilai Revolusi Mental

Saat ini dana desa menjadi program yang seksi di negeri ini. Mengingat kerawanan yang bisa saja
terjadi dalam penggunaan dan implementasi dana negara tersebut, kita tahu pihak Kementerian Desa
dan PDTT telah membangun kerjasama lintas stakeholders, baik dengan lembaga anti rasua (KPK),
lembaga Penegak Hukum (Polri), kejaksaan, dan sampai kepada seluruh elemen masyarakat, secara
moral hukum ini sangat baik, tetapi secara mental para kepala desa sangat merasa tertekan, karena
apa? Karena budaya paradigma masa lalu belum bisa digeser, sedangkan essensi dari DANA DESA
secara alamiah juga mampu membentuk karakter dan mental pemimpin dalam mengelola keuangan
yang taat adminitrasi keuangan, transfaran, partisipatif, akuntable, berkeadilan tentu dengan
materinya melalui dana desa.

Sesuai apa yang diharapkan Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir Jokowidodo yang berkeinginan
melakukan perubahan yang masif ditingkat lokal, dana desa juga dapat dikategorikan sebagai ujian
atau keberkahan bagi para pemimpin di desa, dimana sejak berdirinya dan diakuinya Wilayah
Administratif terkecil yaitu "Desa" pada tahun 1979. Desa hampir kurang mendapatkan perhatian,
baik secara sentuhan pembangunan, dan sentuhan sosial kemasyarakatan. Negera pada waktu itu
cenderung membangun dengan sistem yang sentralistik. Sehingga desa adalah sebuah mesin negara
yang memberikan dan menciptakan ketersediaan hasil bahan baku untuk negara.

Berbeda dengan kondisi sistem pemerintahan saat ini, walau desa diberikan amanah untuk mengelola
dana desa yang bersumber dari berbagai pendapatan untuk desa itu sendiri. Namun pengawasan yang
ketat harus tetap dilakukan, sehingga program pusat yang disalurkan sampai ketingkat tapak
cenderung berbeda dengan program terdahulunya. Selain pengawasan di internalisasi, tak kala
penting pengawasan fisik secara pembangunan juga harus masuk dalam kategori pemantauan dan
pengawasan, karena penting kwalitas bangunan yang dihasilkan dari dana desa menunjukkan kwalitas
yang memenuhi standar nasional (SNI).

Seiring dengan masifnya "Nusantara Membangun" , baik yang bersumber dari APBN, APBDP dan
APBD, tak luput ketinggalan "Desa Membangun Indonesia". Sinergi dan sistematis antara pusat - desa,
inilah yang dinamakan konsep pembangunan (Bottum - Up), sehingga tujuan pengawasan dana
pembangunan juga harus ber-orientasi pada "pembinaan". Mengingat bangsa ini harus bangkit dari
keterpurukan dan hegemoni negara maju, sedangkan paradigma dan pola pikir kita masih pada
konteks negara berkembang.

Keberlanjutan Program Melalui UU DESA

Menurut World Bank (2015), Indonesia adalah negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan
Thailand. Gini rasio mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. 1% orang terkaya
menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1% pemilik rekening menguasai 55,7% simpanan uang di
bank. Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya
dikuasai 25 perusahaan sawit.

Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang
terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak
punya lahan. Meningkatnya ketimpangan secara nyata mengancam sendi-sendi kebangsaan karena
selain faktor paham keagamaan, ketimpangan ekonomi adalah lahan subur berseminya ekstremisme
dan radikalisme.

Sebagai negeri dengan populasi terbesar keempat setelah China, India, dan Amerika, Indonesia
diramalkan akan mengalami bonus demografi dengan penduduk usia produktif yang menggerakkan
ekonomi dari sisi konsumsi dan produksi. Namun, gejala gizi buruk kronis (stunting) dapat
membuyarkan bonus demografi menjadi bencana demografi. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan kasus stunting tertinggi di Asia dan menduduki posisi ke-17 dari 117 negara di dunia dengan
27,5% bayi di Indonesia mengalaminya (Data Kementerian Kesehatan 2016). Kasus stunting lebih
banyak ditemukan pada masyarakat desa (42,1%) dengan status pendidikan rendah (41,8%).

(data; world bank)

Selain oleh rendahnya kemampuan daya beli terhadap makanan bergizi, stunting juga disebabkan
karena rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya 1000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunnya
produktivitas, yang pada gilirannya mengerem laju pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan,
dan ketimpangan sosial.

Pemberdayaan harus dimulai dari pendidikan yang memartabatkan manusia. Pendidikan harus
difasilitasi negara yang diperoleh sebagai hak dasar warga negara, bukan komoditas atau sektor jasa
yang diperjualbelikan. Alokasi wajib 20% APBN untuk pendidikan patut diapresiasi, tetapi pemenuhan
hak dasar warga dalam bidang pendidikan masih jauh panggang dari api.
Kesenjangan mutu pendidikan dan kesenjangan mutu layanan bukan hanya terjadi antara sekolah
negeri dengan swasta, sekolah umum dengan sekolah madrasah, tetapi juga kesenjanagan antara kota
dan desa, Jawa dan luar Jawa. Kendatipun dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan sudah
cukup besar, tetapi belum teralokasikan secara efektif sehingga belum menghasilkan pendidikan
berkualitas. Menurut Bank Dunia (Oktober 2017), Indonesia masih butuh waktu 45 tahun untuk
menyamai tingkat literasi negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organisation for
Economic Cooperation and Development) dan 75 tahun mengejar prestasi ilmu pengetahuan dan
sains. (Data hasil munas NU dan diolah dari berbagai sumber)

Dari catatan umum bisa ditarik hal yang sangat positif, bahwa negara kita juga masih banyak Pekerjaan
yang harus dituntaskan dan diselesaikan dengan berbagai masalahnya. Banyak catatan pemikiran dari
hasil Refleksi tiga tahun UU DESA ini, sehingga jika kita tarik pada konteks nya "Dana Desa", ada banyak
hal yang perlu diperhatikan dan bisa dikombinasikan dengan apa yang menjadi wacana dan hasil
refleksi dan replikasi diteritori lapangan, ternyata kesefahaman dan untuk keberlanjutan kegiatan
menjaga eksistensi negara yang melahirkan jiwa dan moral nasionalisme sangat penting di garis
depan.

Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), yang di orbitkan oleh
Kementerian Desa PDTT pusat sangatlah bermanfaat bagi banyak kalangan, terutama program
pendampingan didesa oleh Tenaga Propesional Pendamping (TPP), dimana ada lebih dari 23.000 orang
pendamping yang tersebar di 74.754 Desa di Nusantara raya. Bayangkan jika keberlanjutan program
pendampingan yang di amanahkan dalam UU DESA Nomor 6/2014 ini terhenti, maka tak kurang dari
23.000 orang pula yang akan siap kembali menyandang gelar "Pengangguran".

Nah, ini sangat besar harapan untuk kita semua sama-sama berpikir dan merekonstruksi ulang
bagaiman terkait dengan hal "Keberlanjutan program P3MD dan PID". Karena apabila kita runut secara
kekuatan yang telah terbabgun dalan program ini sangatlah hebat, karena UU DESA ini menyentuh
dan mengetuk semua lini dan sendi kehidupan yang menjadi prioritas target dalam program tersebut.

Jika di Nasional ada BUMN, di Daerah ada BUMD dan di Desa ada BUMDES, maka ini sebuah peluang
baru kekuatan ekonomi yang disinergikan dengan peluang inovasi ekonomi yang harus di genjot dan
didorong secara massif, dengan kata lain Negara dengan melalui kewenangannya juga wajib
mendukung "MEMBANGUN PELUANG EKONOMI BERBASIS KOMODITAS LOKAL" yang terintegrasi
pada 4 Program Prioritas Kemendes PDTT yang tercantum pada PERMENDES No.4 tahun 2017.

Produktifitas BUMN dan BUMD juga turut untuk didorong agar lebih pro aktif lagi dalam melihat
peluang usaha dan inovasi ekonomi, sehingga ketika program P3MD ini sudah dan atau tidak lagi
berkelanjutan, maka ada baik desa dan pendamping propesionalnya siap untuk Mandiri dan
menciptakan lapangan usaha-usaha yang sporadis, sehingga bangsa ini siap berkompetisi dengan
dunia lain dalam menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dan Masyarakat Ekonomi Global
(MEG).

UNDANG - UNDANG DESA Melahirkan Reflikasi Program Unggulan

Lahirnya UU DESA memberikan kemanfaatan bagi masyarakat di desa, sebuah gerakan yang bertujuan
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat itu sendiri, terutama di komunitas pedesaan. Dari
amanah UU DESA yang mengamanatkan untuk berbagai bidang pembangunan, penyelenggara
pemerintahan, pembinaan dan pemberdayaan.

Hampir semua yang termaktub dalam UU DESA telah banyak memasukan instrumen yang ada
ditingkat komunitas desa, hampir tidak ada yang terlewatkan, hanya saja terkait implementasi dari
apa-apa yang masuk kedalam UU Desa tersebut harus dipastikan sesuai dengan proses yang
diharapkan.

Banyak sudah produk program yang diamanahkan dalam UU Desa melalui skema Peraturan
Kementerian Desa, muali dari bidang produk unggulan desa, usaha ekonomi desa, embung desa, dan
yang berhubungan dengan olah raga yang ada didesa, sampai saat ini ada kurang lebih puluhan
program kementerian desa yang masuk didesa, dengan tujuan untuk inovasi pengetahuan, dan
kegiatan program ini juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di desa. UU DESA
juga dapat memberikan motivasi dalam pengembangan usaha dan kegiatan program yang teriflikasi
dari program-program yang telah berjalan.

Selain dibidang program pembangunan, program unggulan dari amanat UU DESA juga telah banyak
lahir, karena UU Desa secara obyektif telah memasukan kepentingan-kepentingan dan potensi yang
ada didesa. Sehingga akses kewenangan desa menjadi lebih besar untuk melakukan improvisasi dan
menumbuhkan ide gagasan pengetahuan berskala lokal yang berdampak untuk nasional.

Program Inovasi Desa juga telah dilahirkan dari proses perjalanan panjang program pembangunan dan
permberdayaan masyarakat desa (P3MD), dan ini juga bagian dari pelaksanaan UU DESA, bayangkan
jika UU Desa terus bertahan dengan eksistensi dan membumi di desa, mimpi dan cita-cita bangsa ini
akan semakin bisa terwujud, berdikari, kuat, dan sejahtera secara ekonomi.

Catatan Perjalanan Tiga Tahun UNDANG - UNDANG DESA Nomor: 6/2014

Ada beberapa hal catatan perjalanan Tiga Tahun UU DESA, yang sejak di gulirkan oleh Negara melalui
KEMENDES PDTT yang mencakup semua bidang program kegiatan tiga tahun UU DESA Nomor 6 tahun
2014, diantaranya ;

Masih terdapat penempatan pengelolaan DANA DESA yang belum


mengedepankan "TRANSFARANSI" di tingkat Desa. Walau terkadang dengan bahasa transfaransi
orang mudah menyebutnya, tetapi meng implementasinya terkadang sangat sulit.

Penjelasan Masalah ;

Ini dikarenakan paradigma dan pola pikir pelaksana bidang pemerintahan masih mengedepankan pola
penguasaan atas anggaran masih terfokus pada Kepemimpinan di Desa, yang dalam hal ini Kepala
Desa. Sehingga internalisasi untuk fungsi pengawasan ditingkat desa sebagai pengelola tunggal dana
desa menjadi rawan untuk tidak Transfaransi atas penggunaan DANA DESA. Walaupun sosialisasi atas
Regulasi UU DESA selalu ditransformasikan kepihak jajaran masyarakat dan perangkat desa.

Prinsip "Keterbukaan", terkadang hanya dijadikan pencitraan secara sosial ditingkat desa, walau
Baliho dan Berner sudah dipampang di Desa, tetapi yang tatkala penting bagaimana prinsip
keterbukaan oleh pelaksana dan pengelola kegiatan DANA DESA di Desa bisa secara universal
terealisasi kepada semua masyarakat di desa.

Hal selanjutnya terkait refleksi tiga tahun UU DESA adalah pelanggaran atas norma "PARTISIPATIF",
contoh temuan fakta dilapangan banyak memberikan pembelajaran penting, seperti ;

Penjelasan Masalah ;

Pola Partisipatif memang terkadang diartikan dengan pola transformasi informasi, dimana
sesungguhnya Dana Desa seharusnya memberikan kewenangan pelibatan secara kolektif bukan
beberapa orang saja, walau terkadang dalam forum diskusi pembahasan Dokumen RPJMDes, RKPDes,
dan APBDes ini sering terjadi, seolah sudah didesign/ setting menjadi hal yang kerap terjadi ditingkat
komunitas, sehingga ruang diskusi musyawarah mufakat sebagai panglima di UU DESA menjadi
terabaikan.

Partisipatif sering juga hanya dijadikan alat untuk memperkuat atau pengesahan dokumen-dokumen
di desa, sifatnya dengan mobilisasi berdasarkan perintah, bukan berbasiskan kemauan dan kesadaran
yang lahir secara sosial dan kondisi lingkungan yang membentuk partisipafif itu muncul (cenderung
dimobilisasi),

Pengingkaran hasil dari proses partisipasi musyawarah mufakat dilevel komunitas masih sering
terkhianati dengan kepentingan-kepentingan segelintir penguasa dan pemegang amanah di desa.

Selanjutnya hal-hal yang sering dijumpai dilokasi lapangan adalah terkait Persoalan Peningkatan
Kapasitas "SUMBER DAYA MANUSIA" (Perangkat Desa)

Penjelasan Masalah ;

Kita tahu Dalam kondisi mengelola Dana Desa perlu juga untuk meng upgrade para pelaksana dan
satuan perangkat desanya, ini di indikasikan dengan adanya perangkat desa yang terekrut masih
minim pengalaman, tetapi ini menjadi tuntutan dengan latar belakang bidang pendidikannya.
Sehingga butuh waktu dan dukungan semua pihak dalam mendorong perangkat desa sadar dengan
tugas dan fungsi pokonya untuk menjalankan Amanah Di Desa.

Masih lemahnya jaring komunikasi dan koordinasi di internal perangkat desa. Baik antara perangkat
desa dengan kepala desa. Atau sebaliknya, sehingga bidang pengelolaan pembangunan cenderung di
dominasi kepala desa secara perseorangan tanpa melibatkan Sekdes, Kaur Perencanaan, Bendahara,
dan TPK. Ini yang terkadang menjadi hal ekstrim temuan dalam pengelolaan keuangan desa bidang
fisik, oleh lembaga inspektorat, BPKP, dan lembaga-lembaga yang intens melakukan audit dan
pengawasan atas Dana Desa.

Butuh kesepahaman bersama dalam membumikan dan menanam prinsip Undang - Undang Desa
ditingkat Desa. Karena tingkat pengetahuan dan Daya tangkap yang beragam, baik bagi pemerintah
provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa, sehingga perspektif dalam melihat Arah tujuan program
yang termaktub dalam amanah UU DESA sejalan dengan pihak Tenaga Propesional Pendamping (TPP).

Anda mungkin juga menyukai