Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN

EKSAMINASI
PUTUSAN
PRAPERADILAN
KOMISARIS JENDERAL
BUDI GUNAWAN

Departemen Kajian dan Aksi Strategis


BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
2015
Eksaminasi Putusan Praperadilan Komjen Budi Gunawan

Polemik yang terjadi di antara KPK dan Polri masih terus bergulir.
Penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi atas kasus suap dan gratifikasi ketika masih menjabat
sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes
Polri pada tahun 2003-20061 rupanya tidak berlanjut begitu saja. Komjen Budi
Gunawan yang dijerat pasal 12A atau B, pasal 5 ayat (2), pasal 11, atau pasal
12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pada tanggal 26 Januari 2015 telah mendaftarkan permohonan praperadilan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor Register
Perkara 04/ Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Permohonan praperadilan ini merupakan
bentuk tindak lanjut atas keberatannya Komjen Budi Gunawan terkait dengan
penetapan tersangka terhadap dirinya, sehingga menggunakan haknya untuk
menempuh jalur praperadilan sebagaimana diatur di dalam pasal 1 butir 10
juncto pasal 77 KUHAP.2
Hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan
praperadilan Komjen Budi Gunawan dalam sidang putusan praperadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin
16 Februari 2014, dengan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan praperadilan untuk sebagian.
2. Menyatakan surat perintah penyidikan Sprindik-03/01/01/2015 tanggal
12 Januari 2015 yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh
termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf
a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12b UU No 31 tahun 1999 tentang
1
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150113_tersangka_korupsi
diakses pada 29 Januari 2015 pukul 22.21 WIB.
2
http://www.tempo.co/read/news/2015/02/01/063639053/MA-Gugatan-Praperadilan-Budi-
Gunawan-Sulit, diakses 1 Februari 2015
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak
berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penetapan A quo tidak
mempunyai kekuatan mengikat.
3. Menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon terkait peristiwa
pidana sebagaimana dimaksud dalam penetapan tersangka terhadap diri
pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5
ayat 2, Pasal 11 atau 12b UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo UU 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas
hukum, dan oleh karenanya penyidikan A quo tidak mempunyai hukum
mengikat.
4. Menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan
termohon adalah tidak sah.
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan
penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh termohon.
6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil.3

Akan tetapi, gugatan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan


tidaklah tepat karena penetapan tersangka tidak termasuk objek gugatan
praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP. Sesuai
dengan tujuan dan lingkup kewenangan dari praperadilan yaittu untuk
memberikan perlindungan terhadap hak asasi tersangka dalam tingkat
pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1
butir 10 KUHAP, yang termasuk ke dalam lingkup kewenangan praperadilan
yaitu untuk memeriksa dan memutus: 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan
atau penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,

3
Putusan Praperadilan PN Jakarta Selatan No: 04/ Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
dan 3) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Selain itu. hal yang di atur oleh praperadilan merujuk pada KUHAP
pasal 77 bagian kesatu tentang praperadilan, dimana pada pasal tersebut tertulis
bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan


atau penghentian penuntutan;

b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara


pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.
Merujuk pada huruf a pada pasal tersebut, tidak mengatur tentang penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan sehingga praperadilan yang diajukan oleh
Budi Gunawan dianggap salah alamat dan tidak bisa membuat Budi Gunawan
lepas dari status tersangka.

Setelah gugatan diproses dan disidangkan, berdasarkan Pasal 82 ayat (2)


dan ayat (3) KUHAP, isi putusan praperadilan selain memuat alasan dasar
pertimbangan hukum juga memuat amar (disesuaikan dengan alasan permintaan
pemeriksaan) yang bisa berupa pertanyaan yang berisi: 1) sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan, 3) diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi, 4) perintah pembebasan dari tahanan, 5) perintah melanjutkan
penyidikan atau penuntutan, 6) besarnya ganti kerugian, 7) pernyataan
pemulihan nama baik tersangka, dan 8) memerintahkan segera mengembalikan
sitaan.4

4
M. Yahya Harahap, S.H., M.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP:Pemeriksaan SIdang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 19-20.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki berpendapat bahwa
putusan ini mengkhawatirkan terjadinya keruwetan hukum dan bertentangan
dengan semangat Mahkamah Agung (MA) sebagai salah satu lembaga yang
berwenang dalam menjaga kesatuan dan keteraturan hukum nasional. Pun Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyebutkan, setidaknya
terdapat dua kelemahan putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam sidang
praperadilan terhadap Komjen Budi Gunawan. PSHK menilai hakim Sarpin
telah melampaui kewenangan dan menggunakan penafsiran berbeda dalam
memutuskan perkara tersebut karena telah menggunakan pembuktian hukum
pidana, yang seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara, bukan
praperadilan. Selain itu, PSHK menilai hakim Sarpin menunjukkan sikap
inkonsisten dalam melakukan penafsiran hukum. Progresifitas hukum yang
dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi di bidang hukum acara merupakan bentuk
progresifitas yang tidak tepat karena secara filosofis, hukum acara pidana
sangat rentan dengan pelanggaran HAM. Dan untuk melindungi HAM tersebut,
maka hukum acara pidana tidak mengenal metode penemuan hukum
(rechtvinding) sebagaimana yang dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi.
Akibat yang akan ditimbulkan oleh putusan praperadilan ini adalah
hilangnya kepastian hukum. Gustav Radbruch menyatakan bahwa terdapat tiga
nilai dasar hukum yang harus dapat dipenuhi, yakni keadilan, kebermanfaatan,
dan kepastian hukum5. Adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur di
dalam KUHAP jelas menciptakan celah akan ketidakpastian hukum. Di
samping masalah progresifitas dan inkonsistensi penafsiran tersebut, rentang
waktu jalannya persidangan yang melebihi ketentuan di dalam pasal 82 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan bahwa selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah
menjatuhkan putusannya juga menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini semata-
mata dikarenakan rentang waktu persidangannya adalah 14 hari dan jelas tidak
sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan di dalam KUHAP.

5
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006,
Cetakan keenam, hlm. 19
Oleh karena itu, berdasarkan tinjauan kejanggalan putusan dan juga
rentang waktu persidangan praperadilan yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang diatur di dalam pasal 1 butir 10, pasal 77, pasal 82 KUHAP , maka perlu
ditilik juga mengenai adanya kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh
terhadap putusan praperadilan tersebut.
Upaya hukum pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab
XVII KUHAP dalam Pasal 233-258. Dari pengaturan di dalam konfigurasi
pasal-pasal tersebut, upaya hukum biasa dibagi menjadi dua, yakni banding dan
kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri atas kasasi demi kepentingan
hukum dan peninjauan kembali.
Terkait dengan putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan, maka kita
harus melihat pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 83 juncto Pasal 79, 80,
dan 81 KUHAP, dimana dinyatakan bahwa putusan praperadilan yang dapat
diajukan banding hanyalah outusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka putusan praperadilan Komjen Budi
Gunawan tidak dapat diajukan banding dikarenakan putusannya bukanlah
putusan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan.
Sedangkan kasasi merupakan upaya hukum yang terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada MA, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada MA kecuali terhadap putusan bebas. Pengaturan
lebih lanjut mengenai kasasi juga terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung. Di dalam Pasal 45A ayat (2) UU MA tersebut,
dinyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi berhak mengadili perkara, kecuali
putusan praperadilan, perkara yang ancaman pidana maksimal satu tahun, dan
perkara tata usaha negara dengan objek gugatan berupa putusan pejabat daerah
yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan. Secara
sederhana, konsekuensi logis dari pengaturan yang seperti ini adalah
tertutupnya kemungkinan untuk melakukan upaya hukum kasasi terkait dengan
putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Akan tetapi, Bagir Manan
menyatakan bahwa MA tidak akan menutup pintu untuk upaya kasasi putusan
praperadilan. Menurut beliau, aturan hukum yang ada sekarang terkadang
berpotensi untuk menghambat upaya dalam mencari keadilan yang sebenarnya.
Hal ini dikarenakan para perumus undang-undang begitu teoritis dalam
merumuskan pasal-pasal sehingga abai akan kondisi faktual di lapangan. Jika
dilihat sejarahnya, maka MA pada dasarnya pernah memutus kasasi
praperadilan ini sebelumnya, dimana terdapat kasasi atas putusan praperadilan
kasus penyelewengan bantuan teknis antara Pertamina dan PT. Ustraindo Petro
Gas pada tahun 2002. Pun juga pada tahun 2004, tersangka kasus PT. Newmont
Minahasa Raya (NMR) sempat mengajukan kasasi kepada MA terkait dengan
putusan praperadilan atas tidak sahnya penetapan status tahanan kota dan wajib
lapor terhadap enam orang petinggi PT. NMR. Pun MA yang saat itu dipimpin
oleh Bagir Manan mengabulkan kasasinya. Oleh karena itu, sejatinya hal ini
dapat menjadi dasar mengapa upaya hukum kasasi terhadap putusan
praperadilan Komjen Budi Gunawan dapat dilakukan.
Sedangkan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan
hukum juga tidak dapat dilakukan mengingat ketentuan dalam Pasal 259 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan hal ini
hanyalah dimiliki oleh jaksa agung. Benar memang terdapat kemungkinan
untuk bisa menempuh upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum ini jika
saja terdapat jaksa agung yang bersedia melakukannya. Upaya hukum luar
biasa yang terakhir yang tersedia adalah peninjauan kembali (PK) yang diatur
di dalam pasal 263 KUHAP. Pada dasarnya, terdapat beberapa alasan yang bisa
menjadi dasar dimintakannya peninjauan kembali sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dimana salah satunya ialah apabila putusan
itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata. Jika kita kembali merujuk pada putusan praperadilan tersebut, jelas
hakim Sarpin telah keliru dalam menafsirkan Pasal 77 KUHAP. Dan oleh
karena itu, upaya hukum luar biasa berupa PK juga dapat dilakukan oleh KPK.
Sebagai negara hukum, jelas Indonesia hendaknya berjalan di dalam koridor
hukum. Dalam kaitannya dengan putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan,
telah terdapat beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh demi tercapainya
rasa keadilan, yang dalam hal ini yakni kasasi atau PK.

Anda mungkin juga menyukai