Anda di halaman 1dari 7

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN LAPAS DENGAN KEJADIAN


TUBERKULOSIS DI LAPAS DI KECAMATAN SAIL

Disusun Oleh:

Futri Rahayu

Kelas: A 2016 1

FAKULTAS
TP. 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Tubercolosis (TB) merupakan salah satu dari tiga faktor yang menjadi

masalah utama dalam dunia kesehatan setelah stanting dan cakupan mutu imun. TB

merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebar dari satu individu keindividu

yang lain melalui droplet yang menyebar melalui perantara udara sehingga berdampak

pada tingginya angka kejadian TB.

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 kasus insiden TB (CI 8,8-12 juta)

yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan kasus TB

tertinggi, yaitu India, Indonesia, China, Philipina dan Pakistan. Sebagian besar

estimasi insiden TBC pada tahun 216 lebih banyak terjadi di Asia Tenggara (45%)

dimana Indonesia termasuk di dalamnya, 25% terjadi di Kawasan Afrika, 17% di

Pasifik Barat, 7% di Mediterania Timur, 3% di Eropa dan 3% di Amerika.

Menurut WHO (2017), jumlah kematian TB menurun 27% dari tahun 2000

sampai 2015, namun masih menempati peringkat ke sepuluh penyebab kematian

tertinggi di dunia pada tahun 2016. Oleh karena itu TBC masih menjadi perioritas

utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainable

Development Goals).

Sedangkan menurut Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang

penanggulangan TB menetapkan target program penanggulangan TBC nasional yaitu

eliminasi TBC terdapat jumlah kasus sebesar 1 per 1 juta penduduk. Adapun tahun

2017 kasus TBC terjadi sebanyak 254 per 100.000 atau 25,40 per 1 juta penduduk

(Kemenkes RI, 2018).

Sasaran Nasional Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang tertuang dalam

peraturan presiden nomor 5 tahun 2017 tentang SDGs menetapkan target menurunkan
prevalensi TBC, dari 297 per 100.000 penduduk pada tahun 2014 menjadi 245 per

100.000 pada tahun 2019 (kemenkes RI, 2018). Survei prevalensi TB berdasakan

jenis kelamin, laki-laki 3 kali lebih tinggi mengalami TB dari pada wanita sebanyak

245.298 berbanding 175,696 orang.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hal ini di sebabkan karena merokok,

melakukan penggunaan narkoba menggunakan spuit bersama dan ketidak patuhan

mengonsumsi obat. Berdasarkan data yang ada bahwa 68,5% laki-laki merokok dan

3,7% perempuan merokok (KemenkeRI, 2018).

Menurut Profil Kesehatan tahun 2016 didapatkan data bahwa di Provinsi Riau

dari tahun 2012-2016 TB BTa+ berkisar diantara 5-15% penderita. Pada tahun 2016

sendiri didapatkan data bahwa penderita TB sebesar 58, 15 per 100.000 penduduk.

Hal ini mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 68,88

per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk seluruh kasus TB pada tahun 2016 sebesar

86, 42 pe 100.000 penduduk dan mengalami menurunan dari tahun 2015 sebesar

93,00 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan provinsi sendiri, didapatkan data bahwa yang tertinggi

mengalami kasus TB yaitu kota dumai (100%) diikuti kota Pekanbaru (91%) dan yang

terendah yaitu Indargiri Hilir (42,1%). Menurut Profil kesehatan kota pekanbaru pada

tahun 2015, di Pekanbaru didapatkan data jumlah keseluruhan kasus TB semua tipe

berjumlah 1.723 kasus. Sementara jumlah kasus baru TB paru BTA+ berjumlah 1.180

kasus. TB sendiri terjadi di berbagai tempat salah satunya yaitu di lapas.

Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya kasus TB disebabkan

terstimulusnya suatu individu oleh infeksi mycobakterium tuberculosis di saat sistem

imun seseorang mengalami penurunan. Status gizi yang buruk juga sebagai pencetus

terjadinya penyakit TB, karena lebih mudah terinfeksi dan terjangkit TBC (Kemenkes
RI, 2018). Sedangkan menurut Thuffi (2012) menyatakan bahwa factor yang

mempengaruhi yaitu factor resiko (umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, jenis

pekerjaan, riwayat ditahan), factor pajanan (lama tahanan dan keberadaan orang TB

dalam satu kamar), factor lingkungan dan factor pelayanan kesehatan.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB di lapas salah satunya

kondisi lingkungan antara lain kepadatan hunia, tingkat pencahayaan yang kurang,

dan ventilasi yang kecil (Putri, dkk 2018) tingkat pencahayaan di lapas kelas I

Semarang memiliki resiko tertinggi sebesar 34% kasus. Faktor lingkungan di lapas

yang seperti yang mampu meningkatkan angka kejadian TB di lapas. Hal ini di

dukung dari data hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai faktor penyebab

penyakit TB yang terjadi di lapas.

Penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan yang tinggi di lapas dengan

penemuan kasus yang intensif terutama pada kelompok resiko tinggi TBC. Di

dapatkan data bahwa setiap tahunnya terdapat 1 juta kasus TB baru atau 399 kasus TB

baru 100.000 populasi . Pada tahun 2012 CDR 61%, turun di sebabkan sebagian besar

situasi lapas yang melebihi kapasitas hunian untuk warga binaan permasyarakatan

(WBP), sehingga meningkatkan resiko WBS tertular penyakit, salah satunya penyakit

TB.

Berdasarkan data dari poli klinik lapas kelas I Semarang tahun 2017 penyakit

saluran pernapasan yang merupakan kasus urutan ke dua dari sepuluh besar yang di

alami oleh WBP di lapas, salah satunya tuberkulosis. Kota pekanbaru saat ini

diketahui sebagai wilayah terbanyak ditemukannya kasus TBC (Tuberkulosis), hal ini

dikarenakan prevalensi TBC terbesar di duduki oleh kota Pekanbaru. Salah satu

penyumbang kasus tuberkulosis pada daerah kota Pekanbaru adalah Penularan TBC di

lembaga permasyarakatan (lapas). Hal ini dikarenakan kondisi lapas yang melebihi
kapasitas hunian. Menurut data base permasyarakatan pada Kanwil Riau tahun 2018

di dapatkan data di Lapas Kelas II A Kota Pekanbaru adanya over kapasitas sebesar

104 % dibulan Oktober (Sistem Data Base Pemasyarakatan, 2018). Tingginya angka

prevalensi TB dilapas di dukung dengan adanya faktor-faktor pendukung lainnya.

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Adapun

tindak lanjut dari kejadian TB pada penderita stadium lanjut adalah hemoptisis berat

(perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena

syok, kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ

lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya (Zulkoni, 2010).

Dalam penelitian Thuffi 2013 menyatakan bahwa kejadian TB dilapas terdapat

28,9% pada kelompok umur kurang dari 28 tahun, dan umur 34-38 tahun sebesar

28%. Kejadian TB dilapas kelas II A Pekanbaru didapat sekitar 60 persen yang

terkena TB dan HIV. Sekitar 40 persen yang memiliki penyakit diabetes militus yang

terdeteksi TB (riau.go.id, 2018).

Hasil studi pendahuluan dari Kanwil RIAU didapatkan data di lapas

Pekanbaru kelas II A jumlah tahanan sebanyak 378 orang dan narapidana sebanyak

393 orang seharusnya jumlah narapidana dan tahanan hanya untuk 98 orang. Dan

lapas perempuan kelas II A Pekanbaru berjumlah 38 orang tahanan dan 245 orang

narapidana, sementara kapasitas hanya untuk 107 orang.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan antara kondisi lingkungan lapas dengan kejadian tuberkolosis (TBC).

B. Rumusan Masalah

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi granulomatosa kronik yang

disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang mempu menyerang 85% paru-


paru dan 15% mampu menyerang organ tubuh lainnya (Icksan dan Reny, 2008).

Adapun faktor yang menyebabkan sebagian besar warga binaan pemasyarakatan

(WBP) di lembaga pemasyarakatan (lapas) antara lain karena faktor lingkungan

seperti terlalu padatnya hunian dalam suatu lapas, ventilasi yang kurang baik (ukuran

yang terlalu. Sekitar 60 persen penderita terkena TB dan HIV dilapas pekanbaru kelas

II A.

Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan masalah penelitian “Apakah

ada hubungan antara kondisi lingkungan lapas dengan kejadian Tuberkulosis di lapas

di kecamatan sail ?”

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengidentifikasi hubungan antara kondisi lingkungan lapas dengan kejadian

tuberkulosis di lapas kecamatan sail.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengidentifikasi gambaran tentang padatnya hunian, pencahayaan,

kelembaban dan ventilasi di lapas

b. Untuk mengidentifikasi gambaran tentang kejadian TB

c. Untuk mengidentifikasi gambaran tentang hubungan kondisi lingkungsn

(padatnya hunian, pencahayaan, kelembaban dan ventilasi) dengan kejadian

TB

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber dalam memberikan informasi

dalam proses belajar mengajar terutama dalam keperawatan medikal bedah

mengenai TBC yang terjadi di lapas.


2. Bagi Fakultas Keperawatan Universitas Riau

Agar dapat menciptakan lulusan yang kompeten dalam menangani masalah pada

kejadian TB yang terjadi di lapas.

3. Bagi Lembaga Pemasyarakatan

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai acuan bagi Lembaga Pemasyarakatan

dalam memberikan pembinaan bagi penderita TBC di lapas.

4. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya mengenai

masalah kejadian di lapas.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti ini dapat dijadikan evidence based untuk penelitian selanjutnya terkait

kejadianTBC dalam Lapas.

Anda mungkin juga menyukai