Definisi
Epilepsi merupakan kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak lebih dari 24 jam. Pada
tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi baru, dan pada tahun 2014 definisi baru
tersebut telah disetujui yaitu: bahwa epilepsy adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1)
Paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu bangkitan
kejang spontan (FUS) disertai kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10
tahun berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi (IDAI
2015).
Secara umum epilepsi hanya terjadi pada kurang dari sepertiga kasus kejang pada anak,
sisanya merupakan kejang yang dipicu
Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,
yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-
kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-
1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan
diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik,
tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, serebral palsi, dan
sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula
beberapa sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil (Sindrom
West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic epilepsy,dan juvenile myoclonic epilepsy
(Made, 2011).
Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis
besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang epilepsi :
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah penting dalam melakukan diagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-
obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum,
selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.
Untuk melakukan anamnesis harus ditentukan terlebih dahulu apakah serangan yang
terjadi kejang atau bukan.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Diagnosis
Setelah menegakkan diagnosis epilepsi dan mengetahui tipe kejang, perlu ditentukan
apakah epilepsi pada pasien termasuk dalam sindrom klinis tertentu. Sindrom epilepsi
dapat berhuungan dengan etiologi epilepsi. Beberapa sindrom epilepsi yang sering
dijumpai adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Rekam EEG dilakukan selama 30 menit yang terdiri dari
rekaman tidur dan bangun tanpa obat premedikasi. Terdapat dua bentuk kelaianan
pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang
sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan.
Penatalaksanaan
Pertolongan Pertama
Tahap-tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor api, dan lain-
lain).
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak menimbulkan
cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di lehernya agar pernapasan
penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir
keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita. Biarkan
gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi minum,
penahan lidah.
Faktor risiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat terjadi
saat :