Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LELAKI DENGAN EPILEPSI FOKAL


SIMPTOMATIK DD IDIOPATIK, GIZI BAIK

Oleh:
Clara Angelica Rotoro G99181016 (G23)
Dhiya Anmar Sari G99181020 (G24)

Pembimbing:
Fadhilah Tia Nur,dr., Sp.A(K), M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018

0
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang anak lelaki dengan epilepsi fokal simptomatik dd idiopatik, gizi baik

Hari, tanggal : , Agustus 2018

Oleh:
Clara Angelica Rotoro G99181016 (G-23)
Dhiya Anmar Sari G99181020 (G-24)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

Fadhilah Tia Nur,dr., Sp.A(K), M.Kes.


NIP. 198208302012122005

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Tanggal lahir : 14 Januari 2018 (6 bulan)
Jenis Kelamin : Lelaki
Alamat :Gerang RT 02/06 Gemantar Jumantoro
Karanganyar
Berat Badan (BB) : 8,2 kg
Tinggi Badan (TB) : 63 cm
Tanggal masuk : 10 Juli 2018
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juli 2018
No. RM : 01424xxx

B. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh melalui alloanamnesis terhadap ibu pasien.
1. Keluhan utama:
Kejang
2. Riwayat penyakit sekarang
12 jam SMRS pasien mengalami kejang. Kejang pada bagian tubuh
sebelah kanan. Kejang berupa kaku pada tangan kanan, kaki kanan, mata
terbuka melihat ke atas, kejang selama ±5 menit. Kejang berhenti sendiri
tanpa obat penghenti kejang. Setelah kejang, pasien tertidur. Sebelum
kejang, pasien demam dan batuk. Demam sejak semalam, batuk
berdahak. Pasien sempat muntah sebanyak 2x berisi susu sebanyak 1
sendok makan setiap kali muntah. Pasien masih dapat makan dan
minum. Oleh keluarga belum diberikan obat. Pagi hari, pasien dibawa
oleh keluarga ke Poli Anak RSUD Dr. Moewardi karena demam dan
batuk yang diderita pasien.

2
Saat di poli, pasien kembali kejang sebanyak 3x, lama kejang ±5
menit. Saat kejang tangan kanan kaku, kaki kanan kaku, mata tampak
terbuka melihat ke atas. Oleh dokter di poli, pasien segera dirujuk ke
IGD RSUD Dr. Moewardi karena kejang.
Saat di IGD, pasien kejang kembali sebanyak 2x selama ±5 menit
dengan interval 15 menit. Saat kejang mata terbuka melihat ke atas,
tangan dan kaki kanan kaku, setelah kejang pasien tertidur. Pasien
muntah sebanyak 1x berisi susu sebanyak 1 sendok. Pasien masih dapat
makan dan minum. Tidak ada keluhan pada BAK dan BAB pasien.

3. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat kejang : (+) sejak usia 2 bulan, pasien sering
mengalami kejang berulang tanpa
adanya demam, kejang berulang
sampai 5x perhari dan setiap minggu
bisa didapatkan 3-4x kejang. Pasien
belum pernah berobat sebelumnya.
Riwayat batuk : batuk berdahak sejak 2 hari SMRS
Riwayat mondok sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit serupa : ibu pasien (kejang 2x saat usia
7 bulan)
Riwayat alergi obat/makanan : ibu pasien (alergi dingin : gatal)
Riwayat asma : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal

5. Riwayat lingkungan sekitar


Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tua, kakek, dan nenek pasien. Keluarga dan tetangga

3
pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien. Rumah
pasien beratap genteng, alasnya berupa keramik, dan kamar mandinya
sudah dilengkapi dengan jamban.

6. Riwayat kehamilan dan kelahiran


Ibu pasien hamil pada usia 19 tahun dan merupakan kehamilan
yang pertama. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun
saat hamil. Antenatal care dilakukan secara rutin di bidan desa. Ibu
pasien mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan. Ibu
pasien tidak mengonsumsi obat-obatan. Riwayat sakit berat atau trauma
saat kehamilan juga disangkal.
Pasien lahir spontan di bidan desa saat usia kehamilan 38 minggu,
dengan berat lahir 3400 gram, panjang badan 50 cm, menangis spontan
(+), kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).
Kesimpulan: tidak ada kelainan pada riwayat kehamilan dan
kelahiran.

7. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


a. Pertumbuhan
Berat badan lahir 3400 gram, panjang badan lahir 50 cm. Sejak kecil
anak selalu dibawa ke Posyandu dan tidak didapatkan penurunan
berat badan. Umur sekarang 6 bulan, berat badan 8,2 kg, dan tinggi
badan 63cm.
b. Perkembangan
Pasien sudah bisa berusaha mencapai mainan, mencari benang,
menoleh ke arah suara, bangkit kepala tegak, dan duduk dengan
pegangan.
Kesimpulan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia

8. Status imunisasi
a. Hep B : 0 bulan

4
b. BCG, Polio 1 : 1 bulan
c. DPT, HB, HiB 1, Polio 2 : 2 bulan
d. DPT, HB, HiB 2, Polio 3 : 3 bulan
e. DPT, HB, HiB 3, Polio 4 : 4 bulan
Kesimpulan : Pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai
pedoman Kementerian Kesehatan 2014.

9. Riwayat nutrisi
Diberikan ASI dan susu formula sejak lahir sampai usia pasien saat
ini yaitu 6 bulan, diberikan setiap kali menangis. Pasien juga diberikan
MP ASI sebanyak 1x sehari sejak usia 5 bulan.
Kesimpulaan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

10. Riwayat sosial


Pasien merupakan anak pertama dari Tn. S (22 tahun) yang bekerja
sebagai buruh tani dan Ny. W (20 tahun) yang bekerja sebagai ibu rumah
tangga. Pasien memeriksakan diri ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta
menggunakan layanan BPJS kelas III.
Kesimpulan: Riwayat sosial ekonomi cukup.

11. Pohon Keluarga

II

Tn. H Ny. TW
(22 tahun) (20 tahun)

III
An. A
(6 bulan)
5
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis
Derajat gizi : baik
2. Tanda vital
BB : 8,2 kg
TB : 63 cm
SiO2 : 98%
Nadi : 132 x/menit, reguler
Pernafasan : 30 x/menit, reguler
Suhu : 37,3 C (per axilla)
3. Perhitungan status gizi
a. Secara klinis
Gizi kesan baik
b. Secara Antropometris
i. BB : 8,2 kg, Umur : 6 bulan, TB : 63 cm
ii. BB/U : 0 SD < Z score < 1 SD (normoweight)
iii. TB/U : -3 SD < Z score < -2 SD (underheight)
iv. BB/TB : 2 SD < Z score < 3 SD (overweight)
Status gizi secara antropometri: overweight, normoweight,
underheight
4. Kepala
Normosefal, lingkar kepala (LK): 44 cm (LK = 0 SD, Nellhaus), UUB
(ubun-ubun besar) cekung (-/-).
5. Mata

6
Edema palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjungtiva pucat (-/-),
cekung (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-), uvula
di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (+), faring hiperemis (+).
8. Telinga
Sekret (-/-)
9. Leher
Trakea di tengah dan kelenjar getah bening tidak membesar
10. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-).
11. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal 11x/menit
Perkusi : timpani

7
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-),
pekak alih (-), undulasi (-), nyeri tekan suprapubik (-),
turgor kulit abdomen kembali cepat.
12. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik.
13. Centor score
Centor Score
Tidak batuk 0
Pembesaran KGB 0
Suhu >38 0
Tonsil membesar/eksudasi 0
Usia 0
Total 0
Interpretasi :
Skor 0 : Risiko infeksi kuman Streptococcus B hemoliticus grup A 1- 2,5%,
sehingga tidak diperlukan pemeriksaan kultur swab tenggorokan/tes cepat
deteksi antigen dan tidak dibutuhkan pemberian antibiotik empiris/sesuai
kultur.

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 10/7/18 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.3 g/dl 9.4 - 13.0
Hematokrit 36 % 32 – 44
Leukosit 5.6 ribu/ul 5 – 19.5
Eritrosit 4.40 juta/ul 3.20 – 5.20
Trombosit 418 ribu/ul 150 – 450
INDEX ERITROSIT
MCV 80.8 /um 80.0 - 100.0
MCH 25.7 Pg 28.0 - 33.0
MCHC 31.7 g/dl 33.0 - 36.0
RDW 11.7 % 11.6 - 14.6
MPV 8.7 Fl 7.2 – 11.1

8
PDW 16 % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.50 % 0.00 – 4.00
Basofil 0.30 % 0.00 – 1.00
Neutrofil 52.90 % 18.00 – 74.00
Limfosit 34.90 % 60.00 – 66.00
Monosit 11.40 % 0.00 – 6.00
Kesimpulan : masih dalam batas normal

Pemeriksaan 11/7/18 Satuan Rujukan


URIN LENGKAP
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih

9
KIMIA URIN
Eritrosit Negative mg/dl Negative
Bilirubin Negative mg/dl Negative
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Benda Keton Negative mg/dl Negative
Reduksi Negative Negative
Protein Negative mg/dl Negative
Glukosa Normal mg/dl Normal
Nitrit Negative Negative
Leukosit Negative /ul Negative
pH 6.5 4.5-8.0
Berat Jenis 1.015 1.015-1.025
MIKROSKOPIS
Epitel
Epitel squamous 0-1 /LPB Negatif
Epitel transisiomal - /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyaline 0 /LPK 0–3
Granulated 0–2 /LPK Negatif
Lekosit Negative /LPK Negative
Lain-lain - - -
Kesimpulan : masih dalam batas normal

Pemeriksaan 11/7/18 ( Hasil ) Nilai Normal


PARASITOLOGIS FESES
MAKROSKOPIS
Konsistensi Lunak seperti bubur Lunak berbentuk
Warna Coklat kekuningan Kuning coklat
Darah Negative Negative
Lendir Negative Negative
Lemak Normal Normal
Pus Negative Negative
Makanan tidak Negative Negative/ditemukan
tercerna sedikit
Parasit Negative Negative
MIKROSKOPIS

10
Sel epitel Negative Negative/ditemukan
sedikit
Lekosit Negative Negative/ditemukan
sedikit
Eritrosit Negative Negative
Makanan tidak Negative Negative/ditemukan
tercerna sedikit
Telur cacing Negative Negative
Larva cacing Negative Negative
Proglotid cacing Negative Negative
Protozoa Negative Negative
Yeast/pseudohifa Negative Negative
Lain-lain Negative -
Kesimpulan : baik, tidak ditemukan parasit maupun jamur patogen

E. RESUME
± 12 jam SMRS pasien mengalami kejang pada bagian tubuh sebelah
kanan, berupa kaku pada tangan kanan dan kaki kanan, mata terbuka melihat
ke atas, kejang beberapa kali selama ±5 menit, kejang berhenti sendiri, tidak
diberikan obat penghenti kejang dan setelah kejang pasien tertidur. Pasien
kejang disertai demam dan batuk berdahak. Keesokan harinya pasien dibawa
ke Poli Anak RSUD Dr. Moewardi karena demam dan batuk yang diderita
pasien, namun saat di poli pasien mengalami kejang sebanyak 3x, kejang
dengan tangan dan kaki kanan kaku, mata terbuka melihat ke atas, kejang
beberapa kali selama ±5 menit. Oleh dokter poli, pasien langsung dirujuk ke
IGD RSUD Dr. Moewardi. Saat di IGD pasien mengalami kejang sebanyak
2x selama ±5 menit dengan sifat yang sama, lalu setelah kejang pasien
tertidur dan sempat muntah berisi susu 2x sebanyak 1 sendok makan setiap
kali muntah. Pasien masih demam dan batuk berdahak. Pasien masih dapat
makan dan minum. Tidak ada keluhan pada BAK dan BAB.
Pasien sudah memiliki riwayat kejang sejak usia 2 bulan, pasien sering
mengalami kejang berulang tanpa adanya demam dan faktor pencetus yang

11
jelas, kejang berulang sampai 5x perhari dan setiap minggu bisa didapatkan
3-4x kejang. Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Pasien memiliki ibu yang memiliki riwayat kejang semasa kecil saat
usia 7 bulan sebanyak 2x. Namun saat ini sudah tidak pernah terulang
kembali.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 10/07/2018, pasien
tampak sakit sedang, gizi kesan baik, BB 8,2 kg, TB 63 cm, Si O2 98%, Nadi
132x/ menit, RR 30x/ menit, suhu 37,3 C.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan pada pemeriksaan
darah rutin, pemeriksaan urinalisis, dan pemeriksaan feses rutin
menunjukkan semua hasil dalam batas normal.

F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. Kejang berupa kaku pada tangan dan kaki kanan, mata terbuka
melihat ke atas, kejang selama ±5 menit dan berulang, setelah kejang
pasien tertidur.
b. Demam sejak 12 jam SMRS
c. Batuk berdahak
d. Muntah 2x berisi susu 12 jam SMRS dan muntah 1x berisi suus
sebanyak 1 sendok makan di IGD
e. Riwayat kejang berulang sejak usia 2 bulan.
f. Ibu dengan riwayat kejang.
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6
b. Nadi 132 kali/menit
c. Pernapasan 32 kali/menit
d. Suhu: 37,3o C per axilla
e. CRT < 2 detik
f. ADP kuat
g. Tonsil T1-T1 hiperemis (+), faring hiperemis (+).

12
h. Centor score = 0
i. Gizi baik,
3. Pemeriksaan Penunjang :
Pada pemeriksaan darah rutin, urinalisis, dan feses rutin didapatkan
semua hasil dalam batas normal.

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang dd Epilepsi simptomatik dd idiopatik
2. Tonsilo faringitis akut ec bakerial dd viral
3. Gizi baik
H. DIAGNOSIS KERJA
1. Epilepsi fokal simptomatik dd idiopatik
2. Tonsilo faringitis akut
3. Gizi baik

I. PENATALAKSANAAN
1. Diet ASB 8 x 120 ml/ hari
2. Inf. D5 ¼ NS 35 ml/jam
3. Fenitoin loading 150 mg IV pelan selanjutnya 25 mg/12 jam.
4. Paracetamol syr 3x cth I (120 mg)
5. Asam valproat (20mg/kgBB/hari)  1,2 ml/12 jam po

J. PLAN
1. Rawat inap bangsal neurologi anak
2. EEG

K. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital, balance cairan, dan diuresis tiap 8 jam.

L. EDUKASI

13
1. Edukasi keluarga mengenai penyakit yang diderita pasien serta
bagaimana pengobatannya
2. Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk mengetahui
tanda-tanda awal kejang (aura), pencetus, dan mengetahui bentuk dan
durasi kejang.
3. Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien kejang
(Lapor bila ada kejang berulang).
4. Edukasi keluarga mengenai penetalaksanaan kejang pada anak apabila
terjadi kejang di rumah.
5. Edukasi keluarga untuk membawa pasien kontrol rutin dan melakukan
pemeriksaan penunjang sesuai anjuran dokter.
6. Edukasi untuk minum banyak cairan untuk membantu mengencerkan
dahak selain itu minum air akan mencegah dehidrasi dan menjaga
tenggorokan lembab.

M. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

N. FOLLOW UP
Follow up status pasien
Follow up status pasien
Follow 10/7/2018 11/7/2018 12/7/2018 13/7/2018 14/7/2018
up
S 1 hari SMRS Kejang (-), Kejang (-), Kejang (-), Kejang (-),
: demam (+), bibir biru (-), demam (-), demam (-), demam (-)
batuk demam (-), muntah (-) mual (-),
berdahak, muntah (-)
muntah (+)
dua kali

14
berisi susu,
mau makan
dan minum
Kejang (+),
mata
terbuka (+),
tangan dan
kaki kanan
kaku
Saat di IGD:
Kejang (+),
mata
terbuka (+),
tangan dan
kaki kanan
kaku,
demam (+),
batuk
berdahak,
muntah (+)
satu kali
berisi susu,
BAB dan
BAK tidak
ada keluhan
O KU: tampak KU: tampak KU: tampak KU: tampak KU: tampak
sakit sedang, sakit sedang, sakit sedang, sakit sedang, sakit sedang,
GCS GCS compos GCS compos GCS compos GCS compos
E4V5M6 mentis mentis mentis mentis
(E4V5M6) (E4V5M6) (E4V5M6) (E4V5M6)
Tanda SiO2: 98%, SiO2: 100%, SiO2: 98%, SiO2: 98%, SiO2: 97%,

15
Vital RR 30 RR 30 x/menit, RR 32 x/menit, RR 32 x/menit, RR 28 x/menit,
x/menit, t t 36.6 oC, HR t 36.7oC, HR t 36.7oC, HR t 37.1oC, HR
37.3oC, HR 116 x/menit 104 x/menit 102 x/menit 124 x/menit
132 x/menit
Kepala Mesosefal, Mesosefal, Mesosefal, Mesosefal, Mesosefal,
UUB UUB UUB UUB UUB
cembung, cembung, cembung, cembung, cembung,
lingkar lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala lingkar kepala
kepala (LK): (LK): 44 cm (LK): 44 cm (LK): 44 cm (LK): 44 cm
44 cm
Mata Conjungtiva Conjungtiva Conjungtiva Conjungtiva Conjungtiva
anemis (-/-), anemis (-/-), anemis anemis (-/-), anemis (-/-),
pupil isokor pupil isokor (-/-),pupil sklera ikterik pupil isokor
(+/+ ) (2mm/2mm ), isokor (5 (2mm/2mm ),
reflek cahaya mm/5mm ), reflek cahaya
(+) reflek cahaya (+)
(+)
Hidun Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping
g hidung (-), hidung (-), hidung (-), hidung (-), hidung (-),
sekret (-/-) sekret (-/-) sekret (-/-) sekret (-/-) sekret (-/-)
Mulut Mukosa Siaonis (-), Mukosa basah Mukosa basah Siaonis (-),
basah (+) mukosa basah (+) (+) mukosa basah
(+) (+)
Leher KGB tidak KGB tidak KGB tidak KGB tidak KGB tidak
membesar membesar membesar membesar membesar
Thora Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
x
Cor I: ictus cordis I: ictus cordis I: ictus cordis I: ictus cordis I: ictus cordis
tak tampak tak tampak tak tampak tak tampak tak tampak
P: ictus P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis
cordis tidak tidak kuat tidak kuat tidak kuat tidak kuat
kuat angkat angkat angkat angkat angkat
P: batas P: batas P: batas P: batas P: batas

16
jantung sulit jantung sulit jantung sulit jantung sulit jantung sulit
dievaluasi dievaluasi dievaluasi dievaluasi dievaluasi
A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II
intensitas intensitas intensitas intensitas intensitas
normal, normal, normal, normal, normal,
reguler, reguler, bising reguler, bising reguler, bising reguler, bising
bising (-) (-) (-) (-) (-)
Pulmo I: I: I: I: I:
pengembanga pengembangan pengembangan pengembangan pengembangan
n dada kanan dada kanan = dada kanan = dada kanan = dada kanan =
= kiri kiri kiri kiri kiri
P: fremitus P: fremitus P: fremitus P: fremitus P: fremitus
raba raba raba raba raba
kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri
P: P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor
sonor/sonor A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar:
A: suara vesikuler (+/ vesikuler (+/ vesikuler (+/ vesikuler (+/
dasar: +), suara +), suara +), suara +), suara
vesikuler (+/ tambahan (-/-) tambahan (-/-) tambahan (-/-) tambahan (-/-)
+), suara
tambahan
(-/-)
Abdo I: dinding I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada I: dinding dada
men dada sejajar sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan sejajar dengan
dengan dinding perut dinding perut dinding perut dinding perut
dinding perut A: bising usus A: bising usus A: bising usus A: bising usus
A: bising (+) (+) (+) (+)
usus (+) P: timpani P: timpani P: timpani P: timpani
P: timpani P: supel, hepar P: supel, hepar P: supel, hepar P: supel, hepar
P: supel, tidak teraba, tidak teraba, tidak teraba, tidak teraba,
hepar tidak ascites (-) dan ascites (-) dan ascites (-) dan ascites (-) dan

17
teraba, lien tidak lien tidak lien tidak lien tidak
ascites (-) teraba teraba teraba teraba
dan lien tidak
teraba
Ekstrem Akral dingin Akral dingin Akral dingin Akral dingin Akral dingin
itas
(-), CRT < (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”, (-), CRT < 2”,
2”, ADP kuat ADP kuat ADP kuat ADP kuat ADP kuat
R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis: R. fisiologis:
- biceps +2/+2 - biceps +2/+2 - biceps +2/+2 - biceps +2/+2
- triceps +2/+2 - triceps +2/+2 - triceps +2/+2 - triceps +2/+2
- patela +2/+2 - patela +2/+2 - patela +2/+2 - patela +2/+2
- achiles +2/+2 - achiles +2/+2 - achiles +2/+2 - achiles +2/+2
R. patologis: R. patologis: R. patologis: R. patologis:
- babinski (-) - babinski (-) - babinski (-) - babinski (-)
- gordon (-) - gordon (-) - gordon (-) - gordon (-)
- oppenheim - oppenheim - oppenheim - oppenheim
(-) (-) (-) (-)
Meningeal Meningeal Meningeal Meningeal sign
sign : sign : sign : :
b. Kaku e. Kaku h. Kaku k. Kaku
kuduk (-) kuduk (-) kuduk (+) kuduk (-)
c. Brudzi f.Brudzinsky 1 i.Brudzinsky 1 l.Brudzinsky 1
nsky 1 (-) (-) (-) (-)
d. Brudzi g. Brudzi j.Brudzinsky 2 m. Brudzin
nsky 2 (-) nsky 2 (-) (-) sky 2 (-)
Spastik -/- Spastik -/- Spastik -/- Spastik -/-
Asessm - Epilepsi fokal - Epilepsi - Epilepsi - Epilepsi - Epilepsi
ent - TFA fokal fokal fokal umum
simptomatik simptomatik simptomatik simptomatik
dd idiopatik dd idiopatik dd idiopatik dd idiopatik
- Gizi baik - Gizi baik - Gizi baik - Gizi baik
Terapi - Fenitoin - Diet nasi - Diet bubur - Diet ASB - Diet ASB

18
loading 800 kkal + susu 500 8x120 ml 8x120 ml
150 mg IV ASD 3x100 kkal + susu - Asam - Asam
pelan ml 3x200ml valproat (15 valproat (20
selanjutnya - Injeksi - Injeksi mg/kgBB/hr mg/kgBB/hr)
25 mg/12 fenitoin 25 fenitoin (5 = 1,2 ml/12
jam mg/12 jam mg/kgB/12 jam p. 20
- Dexametas (5 jam) 25 mg/kgBB/hr
on 1,5 mg/kg/hr) mg/12 jam = )
mg/8 jam - Injeksi stop
IV dexametason - Asam
- Parasetamo 1,5 mg/8 valproat (15
l syrup jam IV= usul mg/kgBB/hr
3xcth I stop = 1,2 ml/12
(120 mg) - Parasetamol jam p.)
- IVFD D5 syrup 3xcth I - Parasetamol
¼ S. 35 (120 mg) syrup 3xcth I
ml/jam - Asam
- Rawat valproat (15
bangsal mg/kgBB/hr
neurologi = 1,2 ml/12
anak jam p.)
Planni - DL2 - EEG pada - EEG pada - EEG pada - EEG pada
ng - EEG tanggal tanggal tanggal tanggal
18/7/2018 18/7/2018 18/7/2018 18/7/2018
- Boleh
pulang jika
tidak kejang
Monitor KUVS dan KUVS dan KUVS dan KUVS dan -
ing
BCD 8 jam BCD 8 jam BCD 8 jam BCD 8 jam

19
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini diagnosis epilepsi fokal simptomatik dd idiopatik ditegakkan


berdasarkan:
A. Anamnesis
Pasien An. A usia 6 bulan datang dengan kejang. 12 jam SMRS
pasien kejang pada bagian tubuh sebelah kanan berupa kaku pada tangan
dan kaki kanan, mata terbuka melihat ke atas, kejang selama ± 5 menit,
kejang berhenti sendiri tanpa obat penghenti kejang. Pasien demam sejak
semalam dan batuk berdahak. Pasien sempat muntah 2x berisi susu
sebanyak 1 sendok makan setiap kali muntah. Keesokan harinya pasien
dibawa ke Poli Anak RSUD Dr. Moewardi karena demam dan batuk yang
diderita pasien, namun saat di poli pasien kejang sebanyak 3x berupa kaku
pada tangan dan kaki kanan, mata terbuka melihat ke atas, kejang selama ±
5 menit. Oleh dokter, pasien segera dirujuk ke IGD RSUD Dr. Moewardi.
Saat di IGD, pasien kejang lagi sebanyak 2x dengan tangan dan kaki
kanan kaku, mata terbuka melihat ke atas, kejang selama ±5 menit dengan
interval 15 menit, setelah kejang pasien tertidur. Pasien muntah 1x berisi
susu sebanyak 1 sendok makan. Pasien masih demam dan batuk berdahak.
Pasien masih dapat makan dan minum. Tidak ada keluhan pada BAK dan
BAB pasien. Pasien sudah mengalami kejang yang berulang sejak usia 2
bulan, namun belum diobati. Kejang berulang tanpa demam hingga 5x
setiap hari, dan dalam seminggu bisa didapatkan 3-4x kejang. Ibu pasien
memilki riwayat kejang saat usia 7 bulan sebanyak 2x kejang, namun
sekarang sudah tidak pernah terulang kembali.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik
dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa adanya
provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
Kejang tanpa provokasi adalah kejang yang tidak dicetuskan oleh demam,
gangguan elektolit, atau metabolik akut, trauma, atau kelainan intrakranial
akut lainnya. Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama
ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis neurologis. Pasien
juga mengeluhkan adanya demam, namun demam bukanlah penyebab dari
kejang karena riwayat pasien yang sudah sering mengalami kejang
berulang tanpa adanya demam dan faktor pencetus lainnya sejak usia 2
bulan. Sehingga diagnosis kejang demam dapat disingkirkan dan diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan.

B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang perlu diperiksa pada pasien dengan tersangka epilepsi antara
lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, dan kanker. Pada
pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motoris dan
mental, tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium, penglihatan,
pendengaran, saraf otak lain, system motorik (kelumpuhan, trofik, tonus,
gerakan tidak terkendali, koordinasi, ataksia), sistem sensorik (parastesia,
hipestesia, anastesia), refleks fisiologis dan patologis.

Pada pasien ini keadaan umum, tanda-tanda vital dan status generalis
secara sistematis adalah dalam batas normal. Diagnosis banding kejang
demam dapat disingkirkan karena pasien sudah sering mengalami kejang
sejak berusia 2 bulan dan tanpa adanya demam ataupun faktor pencetus
lain. Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang tanpa
provokasi denan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
Kejang berdasarkan tanda klinik dan data EEG dibagi menjadi kejang
umum dan kejang parsial/ fokal. Kejang umum terjadi jika aktivasi terjadi
pada kedua hemisfer otak secara bersamaan, sehingga menghasilkan
kejang pada seluruh bagian tubuh, sedangkan kejang parsial/ fokal terjadi
jika dimulai dari daerah tertentu dari otak sehingga menghasilkan kejang
pada sebagian tubuh. Pasien mengalami epilepsi fokal ditandai dengan
kejang pada sebagian tubuh pasien dengan tangan dan kaki kanan kaku.

21
Adanya keluhan demam, batuk berdahak, dan muntah pada pasien ini
mungkin dikarenakan adanya diagnosis lain yaitu tonsilo faringitis akut
yang ditandai dengan adanya demam, nyeri menelan, pembesaran tonsil
yang disertai eksudat, faring hiperemis, dan pembesaran kelenjar getah
bening. Dimana penengakkan tata laksana tonsilo faringitis akut dapat
ditegakan dengan menggunakan Centor Score. Pada pasien ini juga tidak
dipatkan kelainan-kelainan neurologis sehingga diagnosis banding
meningitis, ensefalitis, dan abses otak dapat disingkirkan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa didapatkan kesesuaian pemeriksaan fisik pada kasus
dengan pemeriksaan fisik pada teori yang dijelaskan.

C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil secara umum
dalam batas normal. Pada teori dijelaskan bahwa pada kasus epilepsi
dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui faktor etiologi. Perlu
diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubinm ureum
dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang adalah keadaan
hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia,
hiperbilirubinemia dan uremia. Pada pasien ini tidak ditemukan
peningkatan atau penurunan kadar diatas, maka dapat disingkirkan
gangguan elektrolit dan hipoglikemia sebagai etiologi dari epiepsi pada
pasien ini.

Seharusnya pasien ini dilakukan pemeriksaan EEG. Pemeriksaan


EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang
diagnosis klinis tepapi tidak dapat menegagkkan diagnosis secara pasti.
EEG normal dijumpai pada anak yang menderita kelainan otak.
Berdasarkan teori yang dijelaskan pemeriksaan EEG dapat memberikan
hasil normal, karena sensitivitas interiktal EEG pada beberapa jenis kejang
adalah bervariasi. Beratnya EEG tidak selalu berhubungan dengan gejala
klinis.

22
Perlu juga pada pasien ini dilakukan pemeriksaan pencitraan antara
lain foto polos kepala, angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos
kepala dilihat adanya tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,
asimetris tengkorak, perkapuran abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah
banyak ditinggalkan. Angiogarafi dilakukan pada pasien yang akan
dioperasi karena adanya fokus epilepsi berupa tumor. CT-scan dan MRI
digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi otak kongenital. Indikasi
CT-scan dan MRI antara lain kesulitan dalam mengontrol kejang,
ditemukannya kelainan neurologis yang progresif dalam pemeriksaan
fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap peningkatan tekanan
intrakranial dan pada kasus-kasus dimana dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan. Pada pasien ini CT-Scan kepala dalam batas
normal, tidak ditemukan adanya kelainan pada otak, namun pemeriksaan
EEG belum dilakukan.

D. Tatalaksana
Pada pasien ini telah diberikan tata laksana antara lain rawat inap
bangsal anak untuk mengobservasi kejang, mengingat serangan kejang
yang dapat berulang. Pasien mendapat diet ASB 8 x 120 ml/hari untuk
memenuhi kebutuhan kalorinya sesuai dengan kebutuhan kalori anak
tersebut. Pada pasien ini diberikan Infus D51/4NS 35ml/jam untuk
memenuhi kebutuhan cairan dan glukosa yang menurun akibat kejang.
Pasien juga diinjeksikan fenitoin loading 150 mg iv pelan dan selanjutnya
25 mg/ 12 jam sebagai tatalaksana kejang awal saat masuk IGD RSUD Dr.
Moewardi. Obat-obatan yang diberikan pada pasien antara lain. Asam
valproat syrup (15 mg/kg/hari) ~ 120 mg/hari ~ 1,2 cc/ 12 jam po untuk
antikonvulsan. Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi
kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi
nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi
terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan

23
membran serta mempengaruhi kanal kalium. Dosis penggunaan asam
valproat 10-15 mg/kg/hari.

Pada pasien ini diberikan pula antipiretik berupa paracetamol syrup


3x1 sendok teh (120 mg) pada hari pertama, karena pasien mengeluhkan
demam, walaupun saat pengecekkan suhu pasien normal. Pasien tidak
diberikan terapi untuk tonsilo faringitis akut, karena centor score
menunjukkan score 0 dengan interpretasi tidak membutuhkan terapi
antibiotik

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi merupakan kejang spontan dua kali atau lebih dengan
jarak lebih dari 24 jam. Menurut ILAE, definisi epilepsi adalah penyakit
otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak dua bangkitan kejang spontan
dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu bangkitan kejang spontan disertai
kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun
berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom
epilepsi (IDAI, 2016; Gunawan, 2015; Lilihata dan Handryastuti, 2014).
2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang
saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan
belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak.
Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi
yang luas, sekitar 5 sampai 74 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi (Andreas et al., 2017). Di Amerika
Serikat, sebanyak 3 juta orang mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru
didiagnosis setiap tahunnya (Lilihata dan Handryastuti, 2014). Di
Indonesia, kasus epilepsi pada anak diperkirakan 35-150 per 100.000
penduduk per tahun (40%-50% ) (Andreas et al., 2017). Sebagian besar
epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi
seperti retardasi mental, serebral palsi, dan sebagainya yang disebabkan
kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa
sindrom epilepsi pada anak antara lain Sindrom Ohtahara, spasme infantil
(Sindrom West), Sindrom Lenox-Gestaut, benign rolandic epilepsy,dan
juvenile myoclonic epilepsy (Suwarba, 2011).

25
3. Etiologi
Klasifikasi berdasarkan ILAE 2010 mengganti terminologi dari idiopatik,
simptomatik, kriptogenik menjadi genetik, stuktural-metabolik, dan tidak
diketahui.
Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang disebabkan oleh kelainan
genetik dengan kejang sebagai manifestasi utama. Struktural-metabolic
epilepsy syndrome adalah karena adanya kelainan struktural/metabolik
yang menyebabkan sesesorang berisiko mengalami epilepsi. Epilepsi
sebagai unknown cause apabila penyebabnya tidak diketahui (IDAI, 2016).
Tabel 1. Struktural-metabolic epilepsy syndrome (Lilihata dan
Handryastuti, 2014)
Neonatus Bayi dan anak-anak
Malaformasi otak Infeksi sistem saraf pusat
Hipoksia sebelum, sesaat, atau Tumor otak
sesudah kelahiran
Inborn error of metabolism Malaformasi otak
perdarahan intrakranial Trauma kepala
Penggunaan obat-obatan oleh ibu Kelainan kongenital seperti sindrom
Down, tuberous sklerosis dan
neurofibromatosis

4. Klasifikasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk
kejang epilepsi (IDAI, 2016) :

26
5. Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi
(IDAI, 2016) :
1) Kejang parsial atau fokal

Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari struktur kortikal atau
subkortikal dari satu hemisfer serebrum, namun dapat menyebar ke area
lain, baik ipsilateral maupun kontralateral. Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana

Gejala yang timbul berupa kejang fokal tanpa disertai gangguan


kesadaran.gambaran EEG iktal akan menunjukkan gelombang
epileptiform fokal kontralateral dimulai dari area korteks yang
terpengaruh. Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks
b. Kejang parsial kompleks

27
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum

Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans

Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak.


Kejang absans terdiri dari absans tipikal, atipikal dan absans
dengan gambaran khusus. Absans tipikal ditandai oleh 2
manifestasi yaitu hilang kesadaran transien dan gambaran EEG
khas berupa gelombang paku-ombak. Beberapa penderita dapat
memperlihatkan manifestasi motorik yaitu komponan klonik,
atonik, tonik, atau otomatisasi. Absans atipikal memiliki gambaran
motorik sama dengan tipikal namun lebih berat.
b. Kejang Atonik

Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota


badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama (≥ 1-2 detik).
c. Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot tunggal atau multipel yang terjadi


secara cepat dan singkat (< 100 milidetik)
d. Kejang Tonik-Klonik

Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan


cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20
detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30
detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang

28
terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
e. Kejang Klonik

Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi


kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2
menit.
f. Kejang Tonik

Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering


mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
6. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah penting dalam melakukan
diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara
cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah
menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan
metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat penting dan merupakan kunci diagnosis (IDAI, 2016).
Untuk melakukan anamnesis harus ditentukan terlebih dahulu
apakah serangan yang terjadi kejang atau bukan (IDAI, 2016).

29
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

7. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab terjadinya serangan epilepsi harus
dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

30
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan
awal gangguan pertumbuhan otak unilateral (IDAI, 2016).
8. Diagnosis
Setelah menegakkan diagnosis epilepsi dan mengetahui tipe kejang, perlu
ditentukan apakah epilepsi pada pasien termasuk dalam sindrom klinis
tertentu. Sindrom epilepsi dapat berhubungan dengan etiologi epilepsi.
(IDAI, 2016). Beberapa sindrom epilepsi yang sering dijumpai adalah
sebagai berikut:

31
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang


paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Rekam EEG dilakukan
selama 30 menit yang terdiri dari rekaman tidur dan bangun tanpa
obat premedikasi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di
otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

32
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik (IDAI, 2016).
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama
di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat
anti epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif
dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kiri dan kanan (IDAI, 2016)

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan


oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan
kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam
per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg

33
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti,
dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat
yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih
belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit.
b. Pengobatan epilepsi

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat


penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan
kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan
terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan
epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani


penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi
(OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar
dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang
berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian
obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis
terendah yang dapat mengatasi kejang.

34
Medikamentosa pada epilepsi fokal
Obat anti epilepsi spektrum luas (fenitoin, valproat,
karbamazepin, klobazam, lamotrigin, topiramat, okskarbazepin,
vigabratin) efektif sebagai monoterapi pada kejang fokal. Hanya
sedikit studi yang membandingkan efektivitas masing-masing
obat diatas dengan OAE yang lain. Pada tabel 4.3 ditampilkan
panduan dalam memilih OAE pertama.

Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik


terhadap OAE pertama atau kedua. Jika OAE pertama dan
kedua masing-masing gagal sebagai monoterapi, peluang untuk
mencoba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat
kecil, sehingga terapi OAE kombinasi bisa dipertimbangkan.
Sebelum memulai terapi kombinasi ada hal yang perlu
dipertimbangkan, (1) apakah diagnosis sudah tepat; (2) apakah
kepatuhan minum obat sudah baik; dan (3) apakah pilihan dan
dosis OAE sudah tepat. Lamotrigin, topiramat, tiagabin, dan
okskarbazepin efektif sebagai terapi add-on (kombinasi) utuk
kejang fokal. Pada tabel 4.4 ditampilkan panduan dalam
memilih OAE kedua.

35
2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong


bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang
menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk
penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi

 Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai
dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
(diet dengan kandungan lemak tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup
protein dan menghasilkan energi dari hasil oksidasi asam lemak)
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,

36
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari
orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan.
Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein
adalah 3:1 atau 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80
kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan
kombinasi diet dan obat antiepilepsi (IDAI, 2016).

37
B. Tonsilo Faringitis Akut
1. Definisi
Tonsilofaringitis (TFA) adalah infeksi pada faring dan/atau tonsil. Ini
adalah penyakit yang umum dijumpai pada anak dan remaja (Regoli et al.,
2011).
2. Epidemiologi
Mayoritas kasus TFA disebabkan oleh virus dan bersifat self-limited.
Streptococcus β- hemoliticus grup A (GABHS) adalah bakteri yang paling
sering menjadi penyebab TFA dan memerlukan antibiotik dalam tata
laksananya. TFA akibat GABHS menyumbang 20-30% kasus dengan
keluhan nyeri menelan pada anak. TFA GABHS biasanya terjadi pada anak
usia sekolah dan remaja. Infeksi pada anak di bawah usia 3 tahun jarang
dijumpai.
3. Etiologi
Virus yang dikenal sebagai penyebab TFA meliputi adenovirus,
rhinovirus, Epstein-Barr virus (EBV), parainfluenza, influenza, coxsackie,
measles, dan herpes simplex. Bakteri yang paling sering menjadi penyebab
GABHS, diikuti oleh Mycoplasma pneumonia. Pada pasien
immunocompromisded, TFA juga bisa disebabkan oleh infeksi oportunistik
oleh Candida albicans. Tabel 1 berisi patogen-patogen yang bisa menjadi
penyebab TFA (Bochner et al., 2017).
Tabel 1. Patogen Infeksius Penyebab TFA (Bochner et al., 2017).
Patogen Spesies
Virus Epstein-Barr virus, cytomegalovirus, adenovirus, enterovirus
(coxsackie A and B), herpes simplex virus, HIV, influenza,
RSV,parainfluenza, rhinovirus, coronavirus
Bakteri Group A Streptococcus, Mycoplasma pneumonia, Corynebacterium
diphtheria, Neisseria
gonorrhea, Arcanobacterium haemolyticum, other Streptococci
(group G and C),
Haemophilus influenza type b, Francisella tularenis,
Fusobacterium necrophorum,
Chlamydia pneumoniae, Chlamydia trachomatis, Yersinia
enterolitica, Coxiella
Burnetii

38
Jamur Spesies candida

7. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dari TFA meliputi nyeri menelan dan demam
dengan onset yang cepat. Pada hasil pemeriksaan fisik bisa ditemukan faring
hiperemis, pembesaran tonsil yang mungkin dilapisi eksudat, dan
pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior (Regoli et al., 2011).
Onset TFA oleh virus biasanya bersifar gradual dan gejala yang sering
muncul adalah rhinorrhea, batuk, diare, atau suara serak. Walaupun begitu,
gejala TFA akibat bakteri dan virus sering tumpang tindih (Bochner et al.,
2017; Regoli et al., 2011).
8. Diagnosis Banding
Peradangan pada tonsil dan faring bisa disebabkan oleh infeksi,
alergi/inflamasi, paparan lingkungan, dan onkologi. Diagnosis banding dari
TFA bisa dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Diagnosis Banding TFA (Bochner et al., 2017)
Penyebab Penyakit
Infeksi Viral
Bacterial
Fungal
Peritonsillar abscess
Lemierre syndrome
Epiglottitis
Tracheitis
Croup
Lateral/retropharyngeal abscess
Uvulitis
Alergi/inflamasi Kawasaki disease
PFAPA
Stevens-Johnson syndrome
Behçet syndrome
Angioedema
Anaphylaxis
Paparan lingkungan Paparan kimia
Ingesti benda asing
Faringitis iritatif
Nyeri alih Faringitis psikogenik
Nyeri alih dari abses dentis, otitis media, dan
adenoma servikal
Onkologi Limfangioma, hemangioma saluran nafas

39
9. Diagnosis
Salah satu sistem skoring yang bisa membantu untuk mendiagnosis
TFA akibat GABHS adalah centor score yang bisa dilihat pada gambar 1
(Choby, 2009). Diagnosis GABHS bisa dilakukan dengan kultur atau tes
diagnostik cepat. Kultur adalah baku emas untuk diagnosis GABHS. Kultur
membutuhkan waktu 18-24 jam dengan inkubasi di suhu 37oC. Rapid
antigen diagnostic test (RADT) memungkinkan identifikasi GABHS pada
swab tenggorok dalam beberapa menit. Tes tersebut didasarkan pada
ekstraksi nitrous acid dari antigen karbohidrat grup A. RADT memiliki
spesifisitas yang tinggi namun sensitivitas yang bervariasi (Regoli et al.,
2011).

Gambar 1. Centor score dan langkah selanjutnya dalam tata laksana TFA oleh
GABHS (Choby, 2009) (keterangan Keterangan: RADT: Rapid Antigen
Detection Testing)

10. Tata Laksana

40
Terapi suportif bisa meliputi analgesik, hidrasi, dan istirahat. Anti
inflamasi non steroid adalah analgesik yang umum digunakan. Obat-obatan
suportif yang bisa digunakan adalah paracetamol oral dengan dosis
15mg/kgBB/dosis, maksimal 1 g, untuk 1-2 hari jika perlu (maksimal
60mg/kg/hari, maksimal 4g/24jam. Analgesik yang bisa digunakan adalah
ibuprofen oral (5mg/kgBB/dosis, maksimal 400mg) jika perlu untuk 1-2
hari (dihindari jika curiga pasien TFA akibat GABHS). Pasien dengan
obsruktsi saluran nafas yang signifikan dan intake sulit perlu
dipertimbingkan untuk rawat inap (NSW Government, 2014).
Antibiotik yang menjadi drug of choice adalah penicillin V (15-30
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari) atau amoxicillin (50
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 6 hari). Pada pasien dengan
alergi penicillin, bisa menggunakan antibiotik golongan makrolid
(contohnya eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau
azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB.hari selama 3 hari).
Pada 5-20% populasi bisa terjadi kegagalan terapi yang ditandai
adanya streptokokus persisten setelah terapi. Hal tersebut bisa disebabkan
oleh komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal
penghasil β-laktamase. Kultur ulang swab tenggorok disarankan pada pasien
dengan risiko tinggi. Jika kultur positif, terapi yang disarankan adalah
klindamisin 20-30 mg/kgBB/ hari selama 10 hari; amoksisilin-klavulanat 40
mg/kgBB/hari dalam 3 dosis selama 10 hari; atau injeksi benzathin
penicillin G I.M. dosis tunggal 600.000 IU (BB<30kg) atau 1.200.000
(BB>30kg) (Rahajoe et al., 2008).
Tonsilektomi bisa dipertimbangkan bila TFA GABHS terjadi berulang
(>6x/tahun, >4x/tahun selama 2 tahun, atay >3x/tahun selama 3 tahun) atau
jika infeksi akut sangat parah dan persisten setelah pemberian antibiotic.
Kriteria lain tonsilektomi meliputi gangguan tidur obstruktif, abses
peritonsilar rekuren, dan curiga kanker (Sasaki, 2018).

11. Komplikasi

41
Kejadian komplikasi pada TFA viral sangat jarang. Komplikasi
TFA bakterial bisa disebabkan akibat perluasan langsung atau hematogen.
Komplikasi yang terjadi bisa meliputi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis,
adenitis servikal, atau pneumonia. Komplikasi yang berat bisa berupa
demam reumatik dan glomerulonephritis (Rahajoe et al., 2008).

42
43
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan epilepsi fokal
simptomatik dd idiopatik dengan gizi baik.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2011.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kestabilan anak
agar tidak mudah terjadi kejang.
3. Perlu edukasi pada keluarga menganai tatalaksana awal untuk
menangani kejang pada anak di rumah.
4. Perlu edukasi keluarga untuk konsultasi dengan dokter spesialis
neurologi.

44
Daftar Pustaka

Andreas T, Scorpicanrus dan Johannes H. Saing, Destariani CP. Faktor –


faktor yang Mempengaruhi Daya Ingat Anak dengan Epilepsi.
CDK-259. 2017; 44 (12)

Ayanruoh S, Wasseem M, Quee F, Humphrey A, Reynolds T. Impact of


rapid streptococcal test on antibiotic use in a pediatric
emergency department. Paediatric Emergency Care. 2009;
25(11): 748-50.

Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr, Kaplan EL, Schwartz RH, for
the Infectious Diseases Society of America. Practice guidelines
for the diagnosis and management of group A streptococcal
pharyngitis. Clin Infect Dis. 2002;35(2):113-125.

Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis.


American Family Physicians. 2009; 79(5): 383-390.

Ezike EN, Rongkavilit C, Fairfax MR, Thomas RL, Asmar BI. Effect of
using 2 throat swabs vs 1 throat swab on detection of group A
streptococcus by a rapid antigen detection test. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2005;159(5):486-490.

Gunawan IG, Suryaningtyas W, Suharso D. Surgical modality for


intractable epilepsy in children. Neurona. 2015; 32 (4)

Hayward G, Thompson M, Heneghan C, Perera R, Del Mar C, Glasziou


P. Corticosteroids for pain relief in sore throat: systematic
review and meta-analysis. BMJ, 2009; 339:2976.

Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja WI,


Handryastuti S. Penatalaksanaan status epileptikus. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Lilihata G, Handryastuti S. Epilepsi. Kapita Selekta Kedokteran edisi 4.


2014. Jakarta : Media Aesculapius.

45
Mangunatmaja I, Handryastuti S, Risan NA. Epilepsi pada anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2016. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Neuner JM, Hamel MB, Phillips RS, Bona K, Aronson MD. Diagnosis
and management of adults with pharyngitis. A cost-effectiveness
analysis. Ann Intern Med. 2003;139(2):113-122.
NSW Government. Guideline Infants and children: Acute management
of sore throat. NSW Health, 2014.

Pelucchi C, Ginoryan L, Galeone, Esposito S, Huovinen P, Little P,


Verheij T. ESMID: Guidelines for the Management of Acute
Sore Throat. Clinical Microbiology and Infection. 2012 (April);
18(Supplement 1):1-28.

Suwarba IGNM. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak.


Sari Pediatri. 2011. Vol. 13 (2). p 123-128.

Simon HK, Steele RW, Windle ML. Pediatric pharyngitis.


http://emedicine.medscape.com. Aug 25, 2017; diakses pada
Maret 2018.

46

Anda mungkin juga menyukai