Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

LEUKOPLAKIA

Disusun Oleh:
Maitsa’ Fatharani
G99181042
Periode: 21 Januari 2019 – 3 Februari 2019

Pembimbing:
Vita Nirmala Ardanari, drg., Sp.Pros., Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
LEUKOPLAKIA

A. DEFINISI
Leukoplakia adalah istilah yang digunakan untuk penampakan lesi putih yang
bersifat prekanker. World Health Organization (WHO) mendefinisikan
leuoplakia sebagai ‘Plakat putih risiko yang dipertanyakan telah mengeluarkan
penyakit atau gangguan lain yang diketahui yang tidak meningkatkan risiko
kanker. Leukoplakia sendiri hanya istilah klinis, dan definisinya biasnyaa
dimodifikasi setelah evaluasi histopatologis. Sebagai contoh, kesan klinis
leukoplakia pada pemeriksaan biopsi mungkin menunjukkan kandidiasis, gigitan
keratosis, atau lichen planus.

B. EPIDEMIOLOGI
Berbagai studi ilmiah mengenai leukoplakia memiliki prevalensi yang
bervariasi. Tetapi tinjauan secara global yang komprehensif memiliki prevalensi
2,6% dan tingkat konversi ke keganasan berkisar antara 0,1% hingga 17,5%.
Dalam sebuah penelitian oleh Martorell-Calatayud et al. menentukan
prevalensi leukoplakia berada di kisaran 0,4% hingga 0,7%. Pada penelitian yang
dilakukan di India terdapat 3,28% mengalami leukoplakia, di Amerika
leukoplakia ditemukan sebanyak 2,9% dari 23.616 orang dewasa kulit putih, Di
negara berkembang, leukoplakia didiagnosis pada individu usia 30-50 tahun dan
meningkat seiring bertambahnya usia. Rasio laki-laki-perempuan sendiri
tergantung pada distribusi geografis penyakit.
Adapun analisis statistik dari beberapa penelitian yang diujicobakan pada
anak-anak di India menyimpulkan bahwa prevalensi leukoplakia mulai dari 0,2%
hingga 5,2% dan transformasi keganasan sekitar 0,13% hingga 10%. Peningkatan
dalam prevalensi leukoplakia di India dapat disebabkan oleh faktor budaya, etnis
dan geografinya. [5] Leukoplakia sering ditemukan pada laki-laki, dan

1
prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa
mempengaruhi pria di atas 40 tahun.

C. ETIOPATOGENESIS
Etiologi kebanyakan kasus leukoplakia tidak diketahui (idiopatik).
Namun beberapa penelitian menunjukkan inisiasi kondisi leukoplakia
dipengaruhi faktor ekstrinsik maupun intrinsik. Faktor yang paling sering
dihubungkan dengan terjadinya leukoplakia adalah merokok, konsumsi alkohol,
iritasi kronis, kandidiasis, kekurangan vitamin, gangguan endokrin, serta karena
serangan virus tertentu.
Merokok dianggap sebagai faktor yang sering terlibat hal ini berbading
lurus dengan banyaknya leukoplakia. Leukoplakia seringkali ditemukan di
kalangan perokok daripada di kalangan non-perokok, sedangkan alkohol
dianggap sebagai faktor risiko independen. Secara klinis, leukoplakia dibagi
menjadi lesi homogen dan nonhomogen. Jenis homogen biasanya berupa plak
putih tipis, rata, dan seragam dengan setidaknya 1 area yang berbatas tegas
dengan atau tanpa figur sedangkan nonhomogeneous leukoplakia ditandai
dengan adanya bintik-bintik atau erythroplakic dan nodular atau daerah
verrucous. Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih sering
terjadi, hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi
leukoplakia yang belum jelas hingga perkembangan yang agresif dari leukoplakia
yang mula-mula hanya sebagai hiperkarotis tetapi akhirnya menjadi karsinoma
skuamosa dengan angka kematian yang tinggi. (Rangkuti, 2007)
Penelitian oleh Schepman et all menunjukkan bahwa perokok aktif
memiliki kemungkinan enam kali lebih besar menderita leukoplakia
dibandingkan orang yang tidak merokok. Penelitian lain juga menunjukkan
konsumsi alkohol meningkatkan kemungkinan perkembangan malignansi di
rongga mulut. Infeksi Human Papilloma Virus (HIV) juga dapat menyebabkan
perkembangan malignansi di rongga mulut. Virus ini mengekspresikan protein

2
onkogenik seperti human papilloma virus-16L1 yang dapat menyebabkan
karsinogenesis.
Beberapa penelitian menunjukkan peranan penting infeksi Candida
sebagai pencetus terjadinya leukoplakia. Penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan infeksi Candida
albicans dan keberadaannya yang simultan memegang peranan penting dalam
terjadinya transformasi malignan selain infeksi Candida albicans, penelitian
yang pernah dilakukan juga mengaitkan defisiensi beberapa vitamin dengan
terjadinya leukoplakia. Penurunan level serum vitamin A, B12, C, beta karotin,
dan asam folat yang signifikan dapat meningkatkan kemungkinan leukoplakia.
Secara umum, terjadinya leukoplakia dapat dijelaskan sebagai berikut.
Ketika sel jaringan terpapar karsinogen, sel akan berusaha untuk beradaptasi. Sel
akan berproliferasi, menyempitkan kapasitas sitosoliknya, dan menggabungkan
beban organel-organelnya dalam rangka adaptasi tersebut. Dalam kaitannya
dengan epitel rongga mulut, adaptasi ini dilakukan dengan memperbesar ruang
progenitor (hiperplasia). Hiperplasia ini menjadi tanda yang paling awal muncul.
Ketika iritan bertahan lebih lama, epitelium akan menunjukkan bentuk
degenerasi seluler sehingga mengalami atrofi. Ketika fase adaptasi dan kerusakan
sel reversible selesai, sel akan memasuki tahap kerusakan yang irreversible, yang
berupa terjadinya apoptosis atau transformasi malignan. Sebagai respon adaptasi,
terjadi gangguan genetik yang menempatkan sel untuk terus dapat berproliferasi
dan menyebabkan transformasi malignan yang lebih banyak lagi. (Prasetya,
2018).

D. PATOFISIOLOGI
Pasien dengan leukoplakia idiopatik memiliki risiko tinggi berkembang
menjadi kanker. Penelitian oleh Downer, pada sejumlah pasien leukoplakia, 4%-
17% lesi berubah menjadi tumor maligna dalam waktu 20 tahun.

3
Perubahan patologis primer yang terdapat pada leukoplakia adalah
diferensiasi abnormal dari epitel mukosa dengan ditandai peningkatan aktivitas
keratinisasi pada permukaan selnya yang memproduksi penampakan klinis yang
mukosa yang berwarna putih. Proses ini juga dibersamai dengan perubahan
ketebalan dari jaringan epitelial (Reibel J, 2003).
Dasar molekuler pada perubahan tersebut belum diketahui secara pasti.
Namun, beberapa data penelitian menyebutkan adanya perubahan ekspresi
onkogen/TSG, ekspresi gen keratin, perubahan siklus sel, akumulasi stres
oksidatif dan displasia epitel berperan dalam perubahan yang terjadi pada
leukoplakia (Kawanishi S & Murata M, 2006).

E. MANIFESTASI KLINIK
Leukoplakia ditandai dengan adanya plak putih yang tidak bisa digolongkan
secara klinis atau patologis ke dalam penyakit lainnya. Leukoplakia merupakan
lesi pra kanker yang paling banyak, yaitu sekitar 85% dari semua lesi pra kanker.
Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lingual, labia, palatum,
daerah dasar cavum oris, gingiva, mukosa lipatan buccal, serta mandibular
alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi
tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda.
Lesi awal dapat berupa warna kelabu atau sedikit putih yang agak transparan,
berfisura atau keriput dan secara khas lunak dan datar. Biasanya batasnya tegas
tetapi dapat juga berbatas tidak tegas. Lesi dapat berkembang dalam minggu
sampai bulan menjadi tebal, sedikit meninggi dengan tekstur kasar dan keras.
Lesi ini biasanya tidak sakit, tetapi sensitif terhadap sentuhan, panas, makanan
pedas dan iritan lainnya (Burket, 2013).
Selanjutnya leukoplakia dapat berkembang menjadi granular atau nodular
leukoplakia. Leukoplakia juga dapat berkembang dan berubah bentuk menjadi
eritroplakia. Terdapat beberapa tipe klinis leukoplakia, antara lain:

4
1. Leukoplakia Homogen
Dalam perkembangannya, leukoplakia dapat menjadi semakin meluas,
menebal, disebut leukoplakia homogen. Pada tipe ini, terutama berupa lesi
putih yang datar dan tipis. Lesi ini dapat terlihat sebagai retakan yang
dangkal dengan permukaan yang halus atau berkerut. Teksturnya
konsisten. Tipe ini biasanya asimptomatik.
2. Leukoplakia non homogen
Terutama berupa lesi putih atau putih disertai merah (eritroplakia).
Permukaan lesi ireguler, bisa rata, nodular (speckled leukoplakia) atau
exophytic (exophytic atau verrucous leukoplakia). Pada verrucous
leukoplakia, permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih,
tetapi tidak mengkilat. Tipe leukoplakia ini biasanya disertai dengan
keluhan ringan berupa ketidaknyamanan atau nyeri yang terlokalisir.
3. Proliferative verrucous leukoplakia
Merupakan tipe leukoplakia yang agresif yang hampir selalu berkembang
menjadi malignansi. Tipe ini ditandai dengan manifestasi multifokal dan
menyebar luas, sering terjadi pada pasien dengan faktor risiko yang tidak
diketahui. Secara umum, leukoplakia non homogen memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk bertransformasi menjadi malignan, tetapi oral
karsinoma dapat berkembang dari berbagai jenis leukoplakia (Shaffer,
2011).

F. KLASIFIKASI
Terdapat dua tipe klinis leukoplakia yaitu homogen dan non homogen. Pada
tipe homogen berupa lesi putih yang datar dan tipis. Lesi ini dapat terlihat
sebagai retakan yang dangkal dengan permukaan yang halus atau berkerut.
Teksturnya konsisten dan biasanya asimptomatik.

5
Gambar 1. Homogenous Leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)
Sementara leukoplakia non-homogen umumnya simptomatis dan memiliki
beberapa variasi sebagai berikut:
1. Proliferative verrucous leukoplakia (PVL): Hansen et al., menjelaskan
PVL memiliki tingkat transformasi ganas yang tinggi, dimana menurut
WHO, PVL adalah lesi progresif multifokal yang sering ditemukan
pada wanita. Daerah yang sering terkena adalah gingival bawah, lidah
dan mukosa bukal (Warnakulasuriya, 2007).

Gambar 2. Proliferative verrucous leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)


2. Oral erythroleukoplakia (OEL): lesi non-homogen dengan warna
campuran putih dan merah. Ini didefinisikan sebagai tambalan merah
yang berapi-api yang tidak bisa dicirikan seara klinis atau patologis

6
sebagai penyakit definitif lainnya. OEL menunjukkan potensi
transformasi ganas yang lebih tinggi daripada leukoplakia homogen
(Warnakulasuriya, 2007)

Gambar 3. Oral erythroleukoplakia (Guilgen et al., 2014)


3. Sublingual keratosis: plak putih lembut di daeraqh sublingual dengan
permukaan keriput, tidak beraturan namun terdefinisi dengan baik
garis besar dan kadang berbentuk kupu-kupu (Scully et al., 1999)

Gambar 4. Sublingual keratosis (Scully dan Felix, 2005)


4. Candidal leukoplakia (CL): leukoplakia dengan gambaran lesi yang
luas, putih pekat, keras dan kasar pada permukannya (Scully et al.,
1994)

7
Gambar 5. Candidal leukoplakia (Parlatescu et al., 2014)
5. Oral hairy leukoplakia (OHL) atau dikenal sebagai lesi Greenspan :
ditandai dengan bercak putih bergelombang dimana terdapat rambut-
rambut yang tumbuh pada permukaan lesi dan sering terdapat pada
lidah. Sering disebabkan oleh reaktivasi dari Epstein Barr-Virus (van
der Waal et al., 1997)

Gambar 6. Oral hairy leukoplakia (Cade, 2017)

8
G. DIAGNOSIS
Leukoplakia oral memiliki penampakan makroskopis berupa bercak putih
yang berbatas tegas dan permukaannya sedikit lebih menonjol dibandingkan
mukosa mulut normal. Perkembangan lesi leukoplakia oral dimulai dengan
munculnya lesi putih pudar dan rata. Semakin lama, lesi akan berwarna semakin
putih dan menonjol ke permukaan mukosa mulut. Pada beberapa kasus, lesi dapat
menimbulkan ulkus pada mukosa mulut (Harris, 2017)
Karena leukoplakia oral tidak menimbulkan gejala klinis, diagnosis pasti
leukoplakia oral hanya dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan kelainan pada sel
epitel mukosa mulut pada penderita leukoplakia, antara lain inti sel
hiperkromatik, hilangnya polaritas saat mitosis, inti sel pleomorfik, berubahnya
perbandingan ukuran inti sel dan sitoplasma, hilangnya diferensiasi sel, dan
terjadinya keratinisasi pada sel (Harris, 2017).
Pada pemeriksaan imunohistokimia, ekspresi protein Ki67 dan protein p53
dapat menunjukkan kemungkinan terjadinya perubahan menuju keganasan pada
lesi leukoplakia oral (Gissi, 2015).
Penegakan diagnosis leukoplakia hampir sama seperti pada penyakit lainnya,
mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang terutama
pemeriksaan histopatologi sebagai gold standard. Pemeriksaan penunjang seperti
biopsi sangat direkomendasikan untuk melihat perubahan histologis yang terjadi.
Biopsi dilakukan pada area yang paling tampak perubahannya. Pada pasien
dengan leukoplakia multifokal, biopsi dapat dilakukan pada beberapa tempat
(field mapping). Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
juga dilakukan dengan pengecatan toluidine blue, endoskopi, sitologi,
pemeriksaan telomerase dan apabila memungkinkan bisa menggunakan PET-
scan (Manuaba,2017).
1. Histopatologi Pada pemeriksaan histologi akan terlihat hiperkeratosis atau
penebalan pada bagian Stratum korneum kulit, Acanthosis (peningkatan

9
ketebalan pada Stratum spinosum), Intracellular hydropic degeneration
(apoptosis), terdapat Epithelial pearl, tidak ada tandatanda displasia, dan
ada infiltrasi round sel pada jaringan ikat (Kujan, 2005)

Gambar 7. Epithelial pearl Gambar 8. Hairy leukoplakia


2. Toluidine blue
Dasar dari pemeriksaan dengan memakai toluidine blue adalah sel kanker
akan mengabsorpsi warna biru, sedangkan jaringan normal tidak
(Manuaba, 2015). Cara nya yaitu wajah dan pakaian pasien dilindungi dari
tumpahan pewarnaan dan oleskan jelly petroleum pada bibir pasien untuk
mengurangi pewarnaan. Minta pasien untuk batuk pada cup besar untuk
membuang sisa-sisa yang infeksius, kemudian yang pertama minta pasien
untuk berkumur larutan asam asetat selama 20 detik dan bilas dengan air.
Selanjutnya berkumur dengan larutan toluidin blue selama 20 detik ,
kemudian larutan asam asetat kembali selama 20 detik kemudian cuci
dengan air. Pewarnaan yang dipertahankan oleh dorsum lidah adalah
normal, bukan positif. Sedangkan apabila warna biru dipertahankan di
region lain dalam rongga mulut dan tidak\ luntur dengan larutan asam
asetat maka dianggap positif. Untuk mengurangi hasil positif palsu maka
apabila hasil yang pertama positif, maka dilakukan tes kembali setelah 10-
14 hari. Jika hasil yang ke-2 juga positif maka harus dilakukan biopsy
(mandatory). Namun apabila lesi yang dicurigai ternyata negatif, maka
dicarikan second opinion atau bila memungkinkan biopsi.

10
Dibawah ini adalah ilustrasi bagaimana toluidin blue menunjukkan
(highlight) lesi yang dicurigai (Shou-yen, 2009).

Gambar 9. Pewarnaan Toluidin Blue


3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi, terutama flexible fiberoptic, penting dan harus
rutin dilakukan pada penderita kanker rongga mulut, faring, laring dan
esophagus. Tujuan pemeriksaan ini adalah mencari synchronous cancers.
Adapun pemeriksaan sitologi dapat berasal dari sel-sel eksfoliatif atau dari
cucian mulut, ataupun dari specimen kerokan dari lesi di rongga mulut,
baik lesi prakanker atupun lesi yang dicurigai (Manuaba, 2017).

11
4. PET-SCAN
Teknik ini merupakan pencitraan yang sangat sensitif untuk menemukan
tumor primer yang kecil (pada unknown/occult primary tumor) dan
adanya metastase (Vijayvel, 2009).

H. DIAGNOSIS BANDING LEUKPLAKIA


Dalam menegakkan diagnosis dari leukoplakia maka harus dapat
menyingkirkan beberapa kemungkinan penyakit yang gejalanya hampir mirip
dengan penyakit ini. Beberapa penyakit yang perlu dikesampingkan yaitu:
A. Hairy Leukoplakia
Hairy leukoplakia adalah lesi putih pada rongga mulut, namun tidak
termasuk lesi praganas. Secara klinis ditemukan adanya plak putih tanpa rasa
sakit pada perbatasan lateral lidah. Selain itu juga terdapat riwayat HIV atau
imunosuppresion. Diagnosis definitif dari hairy leukoplakia adalah biopsi
dan pemeriksaan histologi pada lesi. Pada teknik in situ hibridisasi
ditemukan adanya EBV di dalam jaringan (Cawson, 1969).
B. Lichen Planus
Lichen planus adalah penyakit autoimun yang dapat mengenai kuku, kulit,
rambut, dan membran mukosa. Biasanya ditandai dengan reticular atrophic
dan erosif mucosal. Reticular/plaque lesions biasanya asimptomatik,
sedangkan pada lesi erosif mungkin menyakitkan. Pada biopsi insisi dan
pathologi menunjukkan karakteristik superficial keratinisasi, infiltrasi dense
banded lymphocytic dalam lamina propria superfisial, dan degenerasi basal
lapisan liquefactive dan colloid bodies yang tersebar atau apoptosis
keratinosit (Ismail, 2007).
C. Oral Squamous Cell Carcinoma
Oral squamous cell carcinoma adalah kanker yang yang sering terjadi pada
rongga mulut. Secara klinis terlihat sebagai plak keratosis, tepi lesi yang
indurasi, ulserasi, dan kemerahan. Biasanya pada oral squamous cell

12
carcinoma berhubungan dengan lymphadenopathy atau dysphagia. Terdapat
nyeri atau mati rasa menunjukkan invasi mendalam pada struktur tulang atau
jaringan lunak. Pada biopsi insisi dan patologi menunjukkan bukti adanya
karsinoma yang invasif dan keratin pearls (Sciubba, 2017).
D. Discoid Lupus Erythematosus
Discolid lupus erythematosus biasanya ditandai dengan adanya pattern
lichenoid dan lesi erosif atau inflamasi. Pada insisi biopsi dan patologi
menunjukkan vakuola keratosit, patchy periodic-acid-schiff positif dan
edema di lamina propria, serta infiltrasi inflamasi yang berat atau
perivascular (Karjalainen, 1989). Pada pemeriksaan direc
immunofluorescence akan menunjukkan deposit globular IgG, IgA, dan
fibrinogen yang tidak merata disepanjang zona membrane (Serpico, 2007).
E. White Sponge Nevus
White sponge nevus merupakan kelainan bawaan menunjukkan transmisi
autosomal dominanyang ditandai dengan adanya plak putih pada mukosa
pipi (sering bilateral), dan jarang terjadi pada jaringan lingual dan labial.
Pada white sponge nevus tidak ada tes yang dapat membedakan karena
temuan klinis saja sudah cukup (Sciubba, 2007).

I. PENATALAKSANAAN LEUKOPLAKIA ORAL


Leukoplakia berpotensi untuk menjadi keganasan, ketika menghadapi dua
atau tiga lesi, pilihan terapi adalah pembedahan. Pada leukoplakia multipel atau
berukuran besar, pembedahan menjadi tidak praktis karena akan mengakibatkan
deformitas yang tidak dapat diterima atau disabilitas fungsional. Terapi dapat
berupa pembedahan cryo (cryosurgery), pembedahan laser (laser surgery) atau
menggunakan bloemycin topikal. Akan tetapi, pada 30% kasus yang ditangani,
leukoplakia dapat terjadi kembali dan terapi tidak dapat menghentikan beberapa
leukoplakia berubah menjadi squamous cell carcinoma (Holmstrup et al., 2006;
Bagan et al., 2003).

13
Leukoplakia idiopatik, leukoplakia non-homogen, leukoplakia pada daerah
risiko tinggi mulut dan leukoplakia yang menunjukkan displasia epitelial tingkat
moderat atau berat, serta leukoplakia yang mempunyai faktor risiko berubah
menjadi keganasan harus diterapi secara agresif. Perubahan warna, tekstur atau
ukuran dan penampakan leukoplakia harus diperhatikan sebagai kemungkinan
perubahan keganasan (Lodi dan Porter, 2008).
Menurut Longshore dan Camisa, berikut tatalaksana leukoplakia:
 Hilangkan semua faktor penyebabnya
 Tidak ada displasia atau ada displasia ringan  bedah eksisi / operasi
laser pada lesi pada ventral / lateral lidah, lantai mulut, langit-langit lunak
dan orofaring.
 Adanya displasia sedang atau berat  bedah eksisi atau terapi laser
adalah perawatan pilihan
 Lesi merah (erythroplakia atau leukoerythroplakia)  bedah adalah yang
terbaik
 Proliferative verrucous leukoplakia  bedah lengkap eksisi / operasi laser
jika memungkinkan
 Evaluasi tindak lanjut untuk semua lesi (Longshore dan Camisa, 2002)
Manajemen diawali dengan pemeriksaan fisik secara berkala yang diulang
setelah 2-3 minggu untuk menilai pengecilan ukuran. Pasien diperintahkan untuk
menghentikan kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol, konsumsi sirih dan
berbagai hal yang dapat mengganggu kebersihan dan menyebabkan trauma pada
mulut. Jika ada peubahan maka dilakukan tindak lanjut setiap 3 bulan sekali
kemudian dilanjutkan dengan 6 bulan sampai 12 bulan sekali. Lesi risiko rendah
yang tidak mengalami pengecilan ukuran bahkan setelah penghentian kebiasaan
(merokok, meminum alkohol, dsb), atau dalam kasus lesi berisiko tinggi, biopsi
wajib dilakukan untuk menilai tingkat displasia epitel. Dalam kasus yang tidak
menunjukkan adanya tanda displasia, maka pengobatan konseratif lah yang

14
disarankan. Sedangkan jika ada tanda displasia sedang maupun berat, tindakan
bedah sangat disarankan.
Perawatan non-bedah menyebabkan efek samping yang minimal, khususnya
pada pasien dengan lesi yang tersebar luas, leukoplakia yang melibatkan area
besar mukosa mulut, atau pada mereka yang memiliki masalah medis yang
memiliki risiko tinggi terhadap pembedahan, atau ketika pasien menolak
intervensi bedah. Selain itu perawatan nonbedah pun relatif lebih murah dan tak
memerlukan perawatan intensif di pusat kesehatan (Deliverska, 2017).
Setiap perawatan leukoplakia oral harus dimulai dengan penghapusan faktor
risiko seperti penyalahgunaan tembakau, menguyah sirih, penyalahgunaan
alkohol, infeksi candida yang tumpang tindih di atas lesi dll. Hingga 60%
leukoplakia mengalami regresi atau menghilang sama sekali jika penggunaan
tembakau dihentikan. Pada kasus infeksi candida maka pemberian aintifungal
dan penghindaran tembakau dapat memperkecil lesi. Sangat penting bagi pasien
leukoplakia untuk senantiasa menjaga kebersihan mulutnya (Deliverska, 2017).
A. Pengobatan Konservatif
Pengobatan konservatif meliputi penggunaan anti fungal dan agen
kemopreventif seperti vitamin (vitamin A, C, E), fenretinide (vitamin A
analog), carotenoids (beta-carotene, lycopene), bleomycin, protease
inhibitor, obat-obatan antiinflamasi, teh hijau, temulawak, dan lain-lain.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa terapi fotodinamik pun dapat
dilakukan untuk mengatasi leukoplakia.
1. Antifungal
Pada kasus leukoplakia yang disebabkan oleh fungi maka antifungal
adalah pilihan yang tepat untuk mengatasinya. Beberapa antifungal yang
dapat digunakan seperti polyene-nystatin tablet yang larut perlahan di
mulut, imidazol, dan fluconazol. Pada pasien leukoplakia dengan
immunocompromize maka dibutuhkan perawatan antifungal yang lebih
toksik seperti amphotericin B (Kayalvizhi, 2016).

15
2. Karotenoid
Karotenoid dapat di definisikan sebagai molekul yang sangat hidrofobik.
Contoh jenis karotenoid yang sering dipakai yakni beta karoten dan
lycopene. Beta karoten adalah perkursor vitamin A yang sering ditemui
pada sayuran hijau, orange, atau kekuningan seperti bayam, wortel,
pepaya, mangga, ubi, dan jeruk. Betakaroten direkomendasikan sebagai
obat untuk leukoplakia berhubungan dengan aksi antioksidannya.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa kesembuhan dengan betakaroten
ini berkisar 4%-54% dengan dosis regimen dari 20 sampai 90 mg/hari
selama 3 sampai 12 bulan (Deliverska, 2017). Likopen adalah pigmen
merah larut lemak yang ditemukan pada beberapa buah dan sayur.
Sumber utamanya yakni tomat. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
likopen yang terdapat dalam tomat menjadi regimen yang sangat baik
dalam pencegahan dari leukoplakia. Sama seperti betakaroten, likopen
pun memiliki efek antioksidan yang sangat baik dalam memproteksi sel
dari radikal bebas. Likopen yang didapat dari oil resin capsule dan jus
tomat lebih baik daripada dari tomat segar. Dengan konsumsi likopen
selama 3 bulan dengan dosis 4mg-8mg/hari dapat memberikan efek
kesembuhan sebesar 25%-55% (Deliverska, 2017).
3. Vitamin
Beberapa vitamin yang dapat digunakan adalah retinoids (vitamin
A/retinol), Vitamin E, L-Ascorbic Acid (L-AA/ Vitamin C), dan
Ferentinide. Retinoid adalah semua senyawa natural atau sintetik dengan
aktifitas yang sama seperti vitamin A. Vitamin A memiliki banyak
fungsi yang salah satunya yakni berperan dalam proses diferensiasi sel
dan pembentukan keratin. Pada sebuah penelitian yang meneliti
keefektifan vitamin A dalam pengobatan leukoplakia dengan
menggunakan gel tretinoin yang dioleskan secara lokal sebanyak 4 kali
sehari pada 26 pasien leukoplakia non-malignant dengan rata-rata umur

16
62 tahun menunjukkan bahwa remisi klinis sebesar 26%. Suplementasi
leukoplakia dengan retinoid oral telah dimulai sejak tahun 1960, namun
banyak mengalami penolakan karena menyebabkan beberapa efek
samping seperti hipervitaminosis, efek teratogenik, toksisitas, dan
gangguan dari beberapa sistem organ (Deliverska, 2017). Vitamin E
merupakan istilah kolektif untuk famili senyawa kimia yang memiliki
struktur yang berkaitan dengan alfa-tocopherol. Memiliki kapasitas
dalam menekan proliferasi tumor sebagaimana fungsi sebagai pemakan
radikal bebas untuk mencegah lipid peroksidasi. Penelitian
menyebutkan bahwa pasien yang mengonsumsi vitamin E dua kali
sehari selama 24 minggu mengalami remisi klinis sebesar 46% dan
respon histologik sebesar 21%. L-Ascorbic Acid ( L-AA/ Vitamin C)
mempunyai properti antioksidan dan bereaksi dengan superoksida
sebagai hasil dari proses metabolisme; inaktivasi dari superoksida ini
mencegah pembentukan nitrosamin selama pencernaan protein dan
membantu meghindarkan DNA dan protein sel dari kerusakan. Dapat
ditemukan pada mangga, strawberi, kiwi, pepaya, dll. Fenretinide telah
terbukti dapat mengobati leukoplakia dengan efek yang lebih sedikit
dari vitamin A analog lainnya. Perannya adalah menghambat
pertumbuhan sel dengan menginduksi apoptosis dengan reseptor
dependent atau reseptor independent. Pasien yang mengaplikasikan
fenretinid secara lokal dua kali sehari telah meunjukan remisi klinis
sebesar 75% (Deliverska, 2017).
4. Agen antineoplastic
Salah satu agen antineoplastik yang sering digunakan adalah bleomisin.
Bleomisin adalah antibiotik sitotoksik pertama yang digunakan untuk
menyembuhkan neoplasma. Ini pun dapat menjai alternatif dalam
pengobatan leuplakia, meskipun jarang digunakan karena dapat
menyebabkan beberapa efek samping seperti reaksi mukokutaneus

17
seperti stomatitis, alopesia, pruritic erythema, dan vesikulasi pada kulit.
Administrasi bleomisin secara topikal dapat mengecilkan lesi dengan
dosis 0,5%/hari selama 12 sampai 15 hari atau 1%/hari selama 14 hari
(Deliverska, 2017).
5. Polivenol
Beberapa sumber polivenol yang baik adalah curcumin dan teh hijau.
Curcumin telah digunakan selama ribuan tahun di obat tradisional India.
Curcumin dilaporkan memiliki beberapa fungsi farmakologis termasuk
anti-inflamasi, antimikroba, antivirus, antijamur, antioksidan, chemo-
sensitizing, radio-sensitizing, dan aktivitas penyembuhan luka. Juga
diketahui sebagai pencegah inisiasi tumor, promosi dan metastasis di
model eksperimental, dan juga dapat bertindak sebagai anti-proliferasi
agen dengan mengganggu siklus sel, mengganggu mitosis struktur
spindel, dan menginduksi apoptosis dan mikronukleasi. Sudah banyak
sekali penelitian mengenai curcumin ini dan salah satunya yakni
pemberian kurkumin dalam dosis 1.000 hingga 8.000 mg (500 mg
kurkumin sintetis per kapsul, kemurnian 99%) setiap hari selama tiga
bulan. Peningkatan histologis lesi premalignan tercatat pada dua dari
tujuh pasien dengan oral leukoplakia. Epigallocatechin gallate (EGCG),
polifenol utama yang ditemukan dalam teh hijau memiliki antioksidan
dan kemo-preventif properti. Epigallocatechin gallate (EGCG)
menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Menurut sebuah
penelitian, 29 dari 59 pasien dengan leukoplakia oral diacak untuk
menggunakan ekstrak teh campuran secara lisan serta ekstrak teh
topikal. Setelah percobaan 6 bulan, lesi oral telah menurun dalam
ukuran hampir 40% dari pasien yang dirawat (Deliverska, 2017).
6. Terapi fotodinamik
Terapi photodynamic adalah metode non-invasif pengobatan untuk
tumor kepala dan leher dan lesi pramaligna. Ini didasarkan pada reaksi

18
foto-kimia, yang diprakarsai oleh aktivasi cahaya dari obat yang mem
photosensitizing tumor dan menyebabkan kematian sel. Terapi
fotodinamik dalam prakteknya membutuhkan fotosensitisasi secara
bersamaan antara obat (photosensitizer), oksigen, dan cahaya dan dalam
keadaan non-termal. Dibutuhkan beberapa jangka waktu untuk
memungkinkan fotosensitizer berkumpul pada jaringan target, kemudian
photosensitizer diaktifkan oleh paparan cahaya low-visible dari panjang
gelombang spesifik obat. Ada beberapa fotosensitizer yang telah
dikembangkan dan disetujui pada waktunya: (1) Photofrin; (2) 5-Asam
Aminolaevulinic (ALA); (3) Verteporfin; (4) Foscan. Keuntungan dari
terapi fotodinamik ini adalah relatif lebih murah dari terapi bedah, efek
samping rendah, toksisitas rendah, dan kosmetik penyembuhan lesinya
pun lebih baik dari terapi bedah karena bersifat kurang invasif
(Deliverska, 2017).
B. Tindakan Bedah
1. Bedah konservatif-eksisi
Pembedahan konvensional mengacu pada eksisi luka dengan pisau
bedah. Pembedahan konvensional mungkin tidak cocok untuk lesi yang
luas atau terletak pada bagian anatomi tertentu. Morbiditas yang tinggi
akibat bedah ini pun menjadi hal yang harus dipikirkan lagi sebelum
melakukannya pada pasien dengan lesi yang luas (Deliverska, 2017).
2. Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi dapat digunakan sendiri atau sebagai adjuvant untuk
bedah konservatif. Elektrokoagulasi menghasilkan kerusakan termal di
dalam dan di jaringan sekitar, yang menyebabkan nyeri pasca operasi
dan edema, dan menyebabkan jaringan parut yang cukup besar
(Deliverska, 2017).
3. Cryosurgery

19
Cryosurgery adalah metode perawatan yang melibatkan kerusakan
jaringan terkontrol yang disebabkan oleh suhu rendah. Metode ini
secara lokal menghancurkan jaringan lesional dengan pembekuan in
situ-oleh nitrogen cair atau dinitrogedioksida (N2O2). Ini memiliki
beberapa keunggulan diantaranya tidak terlalu menyebabkan
keluarnya darah, insidensi infeksi sekunder yang sangat rendah, dan
cenderung kurangnya jaringan parut dan rasa sakit. Ini juga dapat
digunakan untuk pasien kelompok risiko tinggi seperti mereka dengan
alat pacu jantung, orang tua, dan mereka dengan koagulopati. Selain
itu, cryosurgery dapat menjadi pilihan pertama dalam kasus lesi
multipel dan luas, area sulit akses bedah, dan area di mana estetika
penting. Efektivitas cryosurgical tinggi dan berkisar dari 80% hingga
100%. Efektivitasnya tergantung pada pembekuan yang memadai
waktu dan kedalaman pembekuan yang tepat (Deliverska, 2017).
4. Bedah laser (eksisi atau evaporasi)
Operasi laser telah dilaporkan paling direkomendasikan dalam 30
tahun terakhir. Karbon dioksida, neodymium: yttrium-aluminium
garnet (Nd: YAG), argon, dan potasium-titanil-fosfat (KTP) laser
digunakan dalam manajemen - penguapan atau eksisi- leukoplakia
oral. Presisi mereka memungkinkan pembedahan yang konservatif dan
lokasi yang spesifik, bedah minimal invasif dengan sterilisasi area
bedah dan perdarahan intraoperatif minimal. Laser ini juga
memungkinkan periode penyembuhan pasca operasi yang lebih baik,
dengan lebih sedikit bengkak dan nyeri dan penyembuhan dengan
jaringan parut minimal. Ini dapat dilakukan bahkan untuk lesi yang
luas. Penyembuhan luka sangat baik karena kontraksi terbatas; ini
menghasilkan mobilitas mukosa mulut yang memuaskan dan disfungsi
oral minimal. Kelebihan tambahan laser termasuk visualisasi optimal
terhadap area bedah, limfatik, dan ujung saraf yang meminimalkan

20
peluang untuk terjadi neoplasma. Dari beberapa jenis pengobatan laser
yang dipercaya memiliki kerja maksimal adalah vaporasi laser CO2
(Deliverska, 2017).
J. PROGNOSIS
Tingkat transformasi keganasan leukoplakia oral bervariasi dari 0 hingga
33%. Secara keseluruhan, 3 hingga 8% leukoplakia mengembangkan
transformasi maligna dalam periode rata-rata lima tahun. Setiap leukoplakia
dapat berubah menjadi karsinoma, bahkan tidak menunjukkan displasia epitelial
pada awalnya (atau di mana displasia terjadi tidak ada pada biopsi yang diambil).
Masalah utamanya adalah transformasi menjadi ganas tidak dapat diprediksi
dengan pasti. Meskipun demikian, beberapa data dapat membantu
mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi. Leukoplakias menunjukkan risiko
transformasi tinggi ketika:
1. mempengaruhi wanita
2. bertahan untuk waktu yang lama
3. muncul pada bukan perokok
4. terletak di dasar mulut atau lidah
5. terlihat pada pasien dengan karsinoma kepala dan leher sebelumnya
6. terinfeksi oleh Candida
7. menunjukkan displasia epitelial
8. menunjukkan DNA aneuploidy.

` Dari semua faktor ini, keberadaan displasia epitelial tampaknya merupakan


indikator paling penting dari potensi keganasannya. Beberapa leukoplakia
menunjukkan tingkat kekambuhan yang meningkat (proliferative verukus
leukoplakia). Di sisi lain, beberapa leukoplakia menghilang secara spontan tanpa
terapi spesifik. Pemeriksaan rutin pada pasien ini sangat penting, mungkin setiap
3, 6 dan kemudian 12 bulan, baik pada pasien yang diobati maupun yang tidak
diobati (Neville, 2002).

21
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Leukoplakia merupakan sebuah lesi putih pada mulut yang tidak dapat
dikategorikan sebagai lesi definitif lainnya. Penyebab pasti leukoplakia belum
dapat diketahui. Faktor risiko leukoplakia adalah rokok, alkohol, trauma, dan
defisiensi vitamin. Terdapat dua tipe klinis leukoplakia yaitu homogen dan
non homogen. Pada tipe homogen berupa lesi putih yang datar dan tipis
sedangkan leukoplakia non-homogen umumnya simptomatis dan memiliki
beberapa variasi. Diagnosis leukoplakia dapat ditegakkan dari penemuan lesi
putih di area mukosa oral pada saat pemeriksaan fisik tanpa ditemukannya
etiologi seperti riwayat merokok, infeksi, riwayat keganasan pada anamnesis
atau pemeriksaan fisik sedangkan untuk baku emasnya menggunakan
pemeriksaan histopatologis. Tatalaksana utama leukoplakia adalah
pembedahan dan menghindari faktor penyebab. Prognosis leukoplakia sangat
bagus bila penyakit ditemukan pada stadium awal.

B. SARAN
 Dokter atau tenaga medis lainnya dianjurkan memberikan promosi
kesehatan serta edukasi kepada masyarakat terutama yang memiliki
faktor risiko seperti merokok atau mengkonsumsi alkohol.
 Pasien leukoplakia dianjurkan untuk menghindari faktor risiko,
menjaga oral hygiene, dan memperhatikan keadaan lesi serta
melaporkan ke dokter bila terdapat perubahan lesi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bagan JV, Jimenez Y, Sanchis M (2003). Proliferative verrucous leukoplakia: high


incidence of gingival squamous cell carcinoma. Journal of Oral Pathology
and Medicine 32(7):379-382

Burket G..H. (2013). Oral medicine Diagnosis & Treatment, 6th edition, J.B.
Lippincott Co., Philadelphia-Toronto. 2013.

Cade JE. (2017). Hairy Leukoplakia. Diakses tanggal 28 November 2018 pada
http://emedicine.medscape.com/article/279269-overview

Cawson, R.A. (1969). Leukoplakia and oral cancer. Proc R Soc Med. 62:610-614.

Deliverska, E.G., & Petkova, M. Management of Oral Leukoplakia -Analysis Of The


Literature. J of IMAB. 2017. 23(1): 1495-1504. Tersedia di: https://
doi.org/10.5272/jimab.2017231.1495. Diakses pada: 28 November 2018.

E. B. Kayalvizhi. (2016). Oral leukoplakia: A review and its update. Journal of


Medicine, Radiology, Pathology & Surgery. 2, 18–22. Tersedia di
https://www.journal-imab-bg.org/issues-2017/issue1/JofIMAB-2017-23-
1p1495-1504.pdf . Di akses pada 28 November 2018.

Gissi, D. et al. (2015). Predictive Role of p53 Protein as a Single Marker or


Associated with ki67 Antigen in Oral Leukoplakia: A Retrospective
Longitudinal Study. The Open Dentistry Journal. Volume 9, hh. 41-45.

Guilgen NGBV, Kang S, Tommasi MHM, Vieira I, Machado MAN, Lima AAS
(2014). Oral erythroleukoplakia – a potentially malignant disorder. Polski
Przeglad Otorynolaryngologiczny 4: 20-24

Harris CM. (2017). Oral Leukoplakia. MedScape. 1, 2. Tersedia di:


https://emedicine.medscape.com/article/853864-overview#a5 [diakses: 28
November 2018].

Holmstrup P, Vedtofte P, Reibel J, Stoltze K (2006). Longterm treatment outcome of


oral premalignant lesions. Oral Oncology 42(5): 461-474

Ismail, S.B., Kumar, S.K.S., Zain, R.B. (2007). Oral lichen planus and lichenoid
reactions: ettiopathogenesis, diagnosis, management, and malignant
transformation. J Oral Sci. 49:89-106.

23
Jayaprakash, Vijayvel, et al. (2009). Autofluorescence-Guided Surveillance for Oral
Cancer. Cancer Prevention Research. 2; p. 966-974.

Kao, Shou-yen, et al. (2009). Detection and Screening of Oral Cancer and Pre-
cancerous Lesions. J Chin Med Asscociation. 72 (5); p. 227-233.

Karjalainen, T.K., Tomich, C.E. (1989). A histopathologic study of oral mucosal


lupus erythematosus. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 67:547-554.

Kawanishi S, Murata M. (2006). Mechanism of DNA damage induced by bromate


differs from general types of oxidative stress. Toxicology, 221(2): 172-178.

Kujan, Omar, et al. (2005). Evaluation of Screening Strategies for Improving Oral
Cancer Mortality:A Cochrane Systematic Review. Journal of Dental
education. 69 (2); p. 255-265.

Lodi G, Porter S (2008). Management of potentially malignant disorders: evidence


and critique. Journal of Oral Pathology and Medicine 37(2): 63-69

Mohammed F, Fairozekhan AT. (2017). Leukoplakia Oral. Tersedia di


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK442013/?report=reader#_NBK4420
13_pubdet_. Di akses pada 28 November 2018.

Napier SS, Speight PM. (2008). Natural history of potentially malignant oral lesions
and conditions: an overview of the literature. J Oral Pathol Med. 37:1–10

Neville, B.W. and Day, T.A., (2002) Oral cancer and precancerous lesions. CA: a
cancer journal for clinicians, 52(4), pp.195-215.

Neville. (2002). Oral cancer and precancerous lesions. CA Cancer J Clin. 52:195-
215.

Parlatescu I, Gheorghe C, Coculescu E, Tovaru S (2014). Oral Leukoplakia – an


Update. Maedica Buchar 9(1): 88-93

Prasetya, MA. (2018). Leukoplakia Oral. Pp. 1-16.

Prof. Dr. dr. I.B Tjakra Wibawa Manuaba, M.P.H., Sp.B(K)Onk. (2017). Panduan
Penatalaksanaan Kanker Solid. Jakarta : CV Sagung Seto. Halaman 104-106.

Rangkuti, NH. (2007). Perbedaan Leukoplakia dan Hairy Leukoplakia di Rongga


Mulut. Pp. 1-6.

24
Reibel J. (2003). Prognosis of oral premalignant lesions: significance of clinical,
histopathological, and molecular biological characteristics. Critical Reviews in
Oral Biology & Medicine, 14(1): 47-62

Sapna, N. & Vandana, K.L. (2010). Idiopathic Linear Leukoplakia of Gingiva : A


Rare Case Report. J Indian Soc Periodontol. 14(3):198-200.

Sciubba, J.J. 2017. Dermatologic Manifestations of Oral Leukoplakia. Diakses pada


tanggal 28 November 2018. Tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/1075448-overview#showall

Scully C, Porter S (1999) Orofacial disease: Update for the dental clinical team: 3.
White lesions. Dent update 26: 123-129

Serpico, R., Pannone, G., Santoro A,et all. (2007). Report case of discoid lupus
erythematosus localizd to the oral cavity; immunofluorescence finding. Int J
immunopathol Pharmacol. 20:651-653.

Van der Waal I, Schepman KP, van der Meij EH, Smeele LE (1997) Oral
leukoplakia: A clinicopathological review. Oral Oncol 33: 291-301

Warnakulasuriya S, Johnson NW, can der Waal I. (2007) Nomenclature and


classification of potentially malignant disorders of oral mucosa. Journal of
Oral & Pathology Medicine, 36: 575-580

25

Anda mungkin juga menyukai