Setiap ginjal memiliki dua bagian terkecil fungsional yang disebut nefron (
dalam korteks). merupakan unit terkecil fungsional pada ginjal yang terdiri dari
badan malphigi dan tubulus. Tubulus terdiri dari proksimal dan distal,
dihubungkan oleh suatu struktur yang dinamakan lengkung henle, dalam
badan malphigi terdapat sekelompok kapiler yang dinamakan glomerulus yang
diselubungi struktur yang dinamakan kapsul bowman. Setiap bagian dari
nefron ini memiliki fungsinya masing-masing dalam proses ekskresi.
Secara umum fungsi ginjal antara lain adalah sebagai organ utama
ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan
1
keseimbangan air dan elektrolit. Pengaturan osmolaritas cairan tubuh dan
konsentrasi elektrolit termasuk tekanan arteri melalui perubahan ekskresi
natrium dan air serta sekresi bahan tertentu pada system Renin-Angiostensin-
Aldosteron (Campbell and Reece, 2009).
Salah satu fungsi utama ginjal adalah membuang bahan-bahan yang
tidak digunakan tubuh dan mengeluarkannya dalam bentuk urin serta
mengambil kembali bahan yang masih dibutuhkan oleh dalam tubuh. Langkah
pertama dalam melaksanakan fungsi ini adalah suatu proses yang dinamakan
filtrasi, cairan dari kapiler glomerulus akan disaring menuju ke dalam tubulus
ginjal melalui suatu rangkaian sel khusus yaitu sel Podosit yang terletak pada
kapsul bowman. Tujuan utama penyaringan ini adalah memilah bahan-bahan
yang masih digunakan dan mana yang akan dibuang. Komponen dengan
ukuran molekul besar seperti protein secara normal tidak dapat melewati
system penyaringan ini, namun pada keadaan tertentu, system filtrasi ini
terganggu sehingga menyebabkan bahan yang seharusnya tidak masuk ke
proses selanjutnya ikut terproses dan pada akhirnya terbuang. Bentuk akhir
dari proses filtrasi ini adalah filtrate glomerulus yang secara komponen tidak
berbeda jauh dengan plasma darah (Campbell and Reece, 2009).
Sewaktu filtrate glomerulus mengalir melalui tubulus, volume filtrate
berkurang dan komposisi-nya berubah diakibatkan pada saat ini filtrate
glomerulus melalui fase kedua dari system ekskresi yaitu reabsorbsi dan juga
sekresi tubulus. Melalu tubulus kontortus baik proksimal dan juga distal,
komponen dari filtrate glomerulus ini akan secara selektif dipilah zat yang akan
tetap dibuang dan mana yang akan diambil kembali. Proses ini penting dalam
menjaga homeostasis cairan dan juga garam bagi tubuh karena di bagian inilah
hamper keseluruhan proses yang bersifat selektif terjadi. Kemampuan ginjal
dalam melakukan pemilahan ini tidak lepas dari struktur dinding tubulus yang
bersifat semi-permeable, hanya zat tertentu yang bisa dengan leluasa keluar
dan masuk dari tubulus menuju kapiler. Suatu mekanisme juga diterapkan yaitu
counter-current flow yang artinya adalah perbedaan aliran dari tubulus dan
kapiler yang dapat meningkatkan efektifitas dari system ini.
2
Setelah keseluruhan proses selesai dilaksanakan, maka terdapat proses
penyesuaian terakhir yaitu proses augmentasi dimana terdapat pengaturan
kembali zat yang akan diekskresikan. Namun pada bagian ini, sifatnya hanya
berupa penambahan saja, tanpa ada penyerapan kembali yang berarti. Proses
ini mengakhiri rangkaian proses pembentukan urin. Urin yang sudah terbentuk
akan ditampung menuju vesica urinaria untuk dikeluarkan (Campbell and
Reece, 2009).
3
B.Gagal Ginjal
Pengertian
Ginjal memiliki peran fisiologis penting dalam tubuh termasuk mengatur
tekanan darah, homestasis cairan dan garam, berperan dalam produksi sel darah
serta keseimbangan asam-basa tubuh. Karenanya, apabila ginjal mengalami
masalah, maka penyebab-nya tidak dapat dilihat dari satu faktor saja.
Berdasarakan National Center for Health Statistik, lebih dari 3.9 juta orang dewasa
mengidap penyakit ginjal di Amerika Serikat, jumlah ini mencapai 2% dari total
populasi. Kematian akibat berbagai macam bentuk penyakit ginjal seperti
Nephritis, Nephrotic dan Nephrosis masih terbilang cukup tinggi, menempati posisi
kedelapan penyebab kematian. Data ini menunjukan bahwa ginjal memiliki fungsi
yang sangat penting bagi menunjang kehidupan (Imig and Ryan, 2013).
Menurut Pernefri (2003) kriteria penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal
setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai abnormalitas
struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomeruli
(LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal,
termasuk keseimbangan komposisi zat di dalam darah dan urin serta ada atau
tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan
Etiologi
Secara umum penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronis.
Penyakit ginjal akut umumnya disebabkan karena adanya infeksi bakteri, sepsis,
atau cedera iskemik-reperfusi, sedangkan penyakit ginjal kronik disebabkan
karena adanya komplikasi dari diabetes, hipertensi, obesitas dan autoimmunitas.
Onset penyakit harus diperhatikan dalam memberikan diagnosis kepada pasien,
karena bila tidak, penyakit ginjal akut dapat berkembang menjadi penyakit ginjal
kronis (Imig and Ryan, 2013).
4
Patofisiologi
Ginjal adalah organ dengan perfusi darah yang sangat tinggi, mencapai 400
ml/100 g jaringan. Sebagai akibatnya, organ ginjal akan dengan mudah terpapar
dengan berbagai substansi berbahaya dalam jumlah yang cukup banyak. Pada
bagian glomerulus, ginjal mengandalkan tekanan intra dan transglomerular dalam
menjalankan fungsinya, serta membran filtrasi glomerulus memiliki tegangan
negatif yang berfungsi sebagai barier makromolekul yang bersifat anionik. Apabila
komponen diatas terganggu, maka akan dengan mudah terjadi kerusakan pada
glomerulus(Osipowicz and Werth, 2009).
Secara anatomi-histologi, glomerulus akan berlanjut menuju berbagai
tubulus yang berfungsi untuk reabsorbsi dan ekskresi bahan secara selektif.
Akibatnya, apabila terdapat permasalahan pada bagian glomerulus, maka
Glomerulus Filtration Rate akan menurun, dan kerusakan jaringan akan dengan
cepat menyebar pada bagian tubulus ginjal. Apabila perfusi dari glomerulus
menurun, dampaknya adalah sirkulasi darah peritubular juga akan menurun,
sehingga kerusakan akan semakin dengan mudah menyebar dikarenakan
hipoksia, iskemia, agen eksogenik seperti obat-obatan, dan agen endogenik
seperti glukosa dan paraprotein, defek genetika (Osipowicz and Werth, 2009).
Sebagai acuan, glomerulus yang berfungsi sebagai unit terkecil fungsional
dengan berbagai jarignan disekitarnya seperti endothelia, mesangial, dan viseral
dan parietal epithelial-podosit dan matrix ekstraselular dapat digunakan sebagai
5
indikator fisiologis. Apabila terdapat satu saja masalah, maka secara beruntun
jaringan diatas akan mengalami masalah. Hal ini dapat disebabkan dengan
berbagai jalur komunikasi yang terjadi antara sel, baik secara langsung, maupun
melalui mediator seperti mediator inflamasi, kemokin, sitokin, growth factor dan
perubahan matrix (Osipowicz and Werth, 2009).
Kerusakan ini akan berdampak dalam pengaturan mineral dalam tubuh
yang nantinya akna menjadi semakin parah dan mencapai level sistemik. Hal ini
dikarenakan ginjal mengekskresikan berbagai hormon seperti PTH yang mengatur
kadar kalsium darah. Kalsium berperan penting dalam berbagai sistem fisiologis
tubuh seperti kontraksi otot dan konduksi sinyal pada saraf. Selain mineral, ginjal
juga berperan penting dalam pengaturan asam-basa darah. Kerusakan ginjal akan
mengganggu sistem buffer dalam tubuh, dan apabila didukung dengan adanya
metabolik sindrom, maka akan mengalami asidosis yang sangat berbahaya bagi
tubuh.
6
dalam tubuh dengan manifestasi klinis sebagai sindoma uremi (Sidabutar et al.,
1991)
Pada tahap 1 dan 2 (LFG>60 cc/menit) kelainan metabolisme yang terjadi
biasanya disebabkan oleh penyakit dasar sebagai etiologi penyakit ginjal kronis
sendiri. Kelainan metabolisme pada penyakit ginjal kronis biasanya baru menonjol
pada tahap 3 dan berikutnya (LFG,59 cc/menit). Pada tahap 4 dan 5, gejala penyakit
ginjal kronis yang menonjol adalah uremia dan malnutrisi. Walaupun malnutrisi
pada penyakit ginjal kronis kebanyakan disebabkan oleh karena berkurangnya
asupan protein maupun energi, tetapi pada penyakit ginjal kronis tahap akhir
gangguan sekresi hormon juga berperan menimbulkan gangguan metabolisme
(Mitch & Klahr, 2003).
Menurut Locatelli et al. (2003) gangguan metabolisme pada penyakit ginjal
kronis antara lain adalah peningkatan katabolisme secara umum, menurunnya
deposit glikogen, terjadinya keseimbangan nitrogen negatif, akumulasi berbagai
toksin, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperfosforemia, asidosis metabolik dan
peningkatan aktifitas berbagai hormon.
Penyakit ginjal kronis akan menimbulkan kelainan atau gejala pada berbagai
sistem. Gejala dan tanda penyakit ginjal kronis sesuai dengan gangguan sistem
yang timbul. Bila penyakit ginjal kronis telah bergejala maka umumnya diagnosis
tidak sukar ditegakkan. Gangguan pada suatu sistem akan berpengaruh pada
sistem lain, sehingga suatu gangguan metabolik dapat menimbulkan kelainan pada
berbagai sistem atau organ tubuh (Sidabutar et al., 1991).
7
Kriteria Diagnosis
Adapun klasifikasi dari penyakit ginjal kronis berdasarkan laju filtrasi
glomeruli (LFG) dan tahapan pengelolaan atau rencana terapi tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan dan Rencana Terapi Penyakit Ginjal Kronis
8
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis berdasarkan Kliren Kreatinin
Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik dapat disebabkan
karena(Pusparini, 2000) :
9
Uremia
Pada penderita GGK kemampuan ginjal untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya melalui urine menurun sehingga menimbulkan keadaan
uremia.
Pada uremia, penurunan respons imun disebabkan penurunan fungsi
fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit . Pada kondisi uremia,
ditemukan peptida yang mirip dengan ubiquitin yang dapat menghambat
kemotaksis neutrofil dan penurunan kemampuan PMN untuk berikatan dengan
C5a, suatu faktor kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis ini menyebabkan
penurunan fungsi fagositosis, sehingga menurunkan kemampuan respons
imun nonspesifik. Selain itu penurunan respons imun pada uremia disebabkan
penekanan cell mediated immunity yang disebabkan oleh memendeknya umur
limfosit, limfopenia, hambatan pada transformasi limfosit, dan penekanan
aktivitas limfosit T.
Defisiensi vitamin D
Pada pasien dengan GGK dapat dijumpai penurunan kadar vitamin D karena
proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3 menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal,
sehingga penurunan massa ginjal pada pasien GGK menyebabkan rendahnya
kadar vitamin D. Di dalam tubuh vitamin D berperan dalam merangsang
perkembangan dan pematangan fungsi makrofag, meningkatkan ekspresi
reseptor Fc dan C3 (yang menunjukkan adanya aktivasi sel dan peningkatan
fungsi respons imun), dan meningkatkan kemotaksis dan fagositosis leukosit
PMN. Disamping itu vitamin D juga berperan dalam produksi interleukin 2.
Selain itu vitamin D juga berperan pada produksi gamma interferon yang
berfungsi dalam imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan diferensiasi sel B,
aktivasi makrofag dan peningkatan efek ekspresi antigen.
10
hemodialisis diberikan desferioksamin sebagai chelating agent yang akan
mengikat kelebihan besi sehingga akan menurunkan risiko infeksi.
11
fungsi fagositosis, sehingga menurunkan kemampuan respons imun
nonspesifik. Setelah hemodialisis dilakukan, maka kadar ureum dalam darah
akan kembali normal, sehingga fungsi fagositosis pada neutrofil akan
berangsur normal juga
12
Faktor lain yang dapat menimbulkan hipertensi dan juga kerusakan
renal adalah obesitas. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa factor risiko
cardiovascular yang diasosiasikan dengan obesitas seperti hipertensi,
resistensi insulin, diabetes yang akan menimbulkan sindrom metabolik. Kondisi
sindrom metabolik akan meningkatkan inflamasi pada ginjal pada kasus
hipertensi dan semakin mempercepat onset terjadinya GGK. Secara singkat,
sindrom metabolik dapat menyebabkan perubahan fungsional dari ginjal
diakibatkan adanya infiltrasi makrofag dan peningkatan sitokin proinflamasi
pada ginjal (Imig and Ryan, 2013).
13
ini akan semakin memperburuk keadaan ginjal pasien pada penderita
hipertensi (Mao et al., 2018).
14
E.Terapi Diet
1. Tujuan Diet
Adapun tujuan pengaturan diet pada Hemodialisis adalah:
a. mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen
dan juga mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara
dialisis
b. memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh
c. mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan
oedema
d. mengatur asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia
e. mengatur asupan cairan untuk mencegah kelebihan cairan diantara
dialisis
f. membatasi asupan fosfor
g. mencukupi kebutuhan zat-zat gizi lain, terutama vitamin-vitamin yang
larut selama proses dialisis (Wilkens, 2004).
2. Syarat Diet
a. Energi
Asupan energi yang adekuat sangat diperlukan untuk mencegah
katabolisme jaringan tubuh. Moore (1997) menganjurkan energi sebesar
35 kkal/kgBBI/hari, disesuaikan dengan kebutuhan energi secara individual
dan untuk mencapai Ideal Body Weight. Asupan energi yang optimal dari
golongan bahan makanan non protein ini dimaksudkan untuk mencegah
penggunaan protein sebagai sumber energi. Kopple & Massry (2004), juga
menganjurkan sedikitnya energi yang diberikan adalah 35 kkal/kgBBI/hari
dan perlu ditambahkan untuk meningkatkan berat badan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata keseimbangan nitrogen negatif pada asupan 25
15
kkal/kgBBI/hari, netral pada 35 kkal/kgBBI/hari dan keseimbangan positif
pada 45 kkal/kgBBI/hari.
Manajemen terapi diet untuk pasien hemodialisis dari NKF K/DOQI
practice guidelines (2002) menyebutkan bahwa kebutuhan energi untuk
pasien dewasa < 60 tahun sebesar 35 kkal/kgBBI/hari, untuk dewasa > 60
tahun atau pasien obese kebutuhannya berkisar 30-35 kkal/kgBBI/hari.
Meskipun pada kenyataannya dari hasil penelitian HEMO study rata-rata
asupan energi pasien dengan dialisis adalah 23 kkal/kgBB/hari.
Adapun distribusi energi adalah 10-15% dari protein, 30-35% dari
lemak dan 50-55% dari karbohidrat. Bahan makanan non protein yang
dapat digunakan sebagai sumber energi antara lain minyak, mentega,
margarin, gula, madu, sirup, jam, dan lain-lain (Wilkens, 2004).
b. Protein
Setiap kali dialisis 10-12 g asam amino bebas hilang, dan terjadi
peningkatan kehilangan asam amino jika dialisat yang digunakan adalah
glukosa dan high flux dialysis. Asupan protein cukup, 1-1,2 g/kgBBI/hari
untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama
dialisis. Dengan asupan protein tersebut diharapkan dapat mencegah
tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis
berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein
bernilai biologis tinggi (Moore, 1997; NKF K/DOQI, 2002; Wilkens, 2004).
Hasil penelitian Kopple & Massry (2004) menunjukkan bahwa
konsumsi protein 0,75 g/kgBBI/hari akan mengakibatkan keseimbangan
nitrogen negatif, sedangkan konsumsi 1,25 g/kgBBI/hari menunjukkan
hubungan kuat dengan keseimbangan nitrogen positif. Diet rendah protein
0,8–0,9 gr/kgBBI/hari berhubungan dengan rendahnya serum albumin dan
berat badan, sedangkan konsumsi protein lebih tinggi justru berhubungan
signifikan dengan peningkatan baik kadar albumin maupun berat badan.
Sumber protein bernilai biologis tinggi yang dianjurkan seperti daging, susu,
telor, keju, ikan, kerang, ayam dan lain-lain (NKF K/DOQI, 2002).
16
c. Lemak
Pemberian lemak perlu mendapatkan perhatian, karena disatu sisi
asupan lemak digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalori, namun di pihak
lain lemak ikut memperburuk fungsi ginjal dan menambah morbiditas akibat
atherosklerosis. Pasien dengan hemodialisis seringkali mengalami
gangguan metabolisme lemak. Insiden terjadinya hiperlipidemia type IV
cukup tinggi, dimana serum trigliserida, Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), dan Intermediate Density Lipoprotein (IDL) kolesterol seringkali
meningkat. Semua fraksi High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol
menurun, kemungkinan juga mengurangi aktifitas Lecitin Cholesterol Acyl
Transferase (LCAT) (Kopple & Massry, 2004). Seperti yang
direkomendasikan oleh NKF K/DOQI (2002) dan An American Heart
Association Step 1 Diet dalam Kopple & Massry (2004) bahwa tidak lebih
dari 30% kalori berasal dari lemak, tidak kurang dari 10% berasal dari
sumber lemak jenuh, dan kolesterol < 300 mg/hari.
Hipertrigliseridemia umumnya terjadi pada pasien dengan
hemodialisis. Hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kejadian
hypertrigliseridemia, termasuk diabetes dan hypotiroidism, meskipun
terdapat hubungan yang kurang kuat antara hypertrigliseridemia dengan
morbiditas atau total kejadian penyakit kardiovaskuler dan hanya sedikit
informasi tentang seberapa tinggi level trigliserida dalam darah yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, hal ini
menyulitkan ditetapkannya rekomendasi terapi untuk mild
hypertrigliseridemia.
1
26
1
27
f. Magnesium
Seperti halnya kalium, ginjal juga mengeluarkan magnesium.
Kandungan magnesium dalam bahan makanan jauh lebih rendah daripada
kalium ataupun fosfor, sehingga didalam usus diabsorbsi dalam jumlah
yang lebih kecil, hipermagnesemia merupakan problem yang kurang serius
dibandingkan hiperkalemia atau hiperfosfatemia. Pasien dengan
hemodialisis kehilangan magnesium melalui dialisat sebesar 1,0 mEq/L dan
diet 200–300 mg/hari dapat menormalkan kadar serum magnesium (Kopple
& Massry, 2004).
1
28
i. Trace Elements
Jumlah trace elements di dalam darah dan jaringan dipengaruhi oleh
banyak faktor, yang kadang tidak tergantung pada status gizi. Faktor-faktor
tersebut meliputi asupan dalam diet, fungsi ekskresi ginjal, lingkungan dan
kondisi paparan, durasi dari kerusakan ginjal, konsentrasi dialisat dan
mungkin juga model terapi dialisis. Hal ini kemungkinan juga disebabkan
sebagian besar mineral terikat oleh protein. Kondisi uremia berhubungan
dengan peningkatan serum binding protein atau meningkatkan konsentrasi
senyawa yang berikatan dengan protein (Moore, 1997).
1
29
1
30
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2012. Imunologi dasar. Sel-sel sistem imun
nonspesifik. Edisi ke-10. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hlm. 27-93.
Campbell, N. A. and Reece, J. B. (2009) BIOLOGI. 9th EDITION.
Kopple, D.J & Massry, G.S. eds. (2004) Nutritional Management of Renal Disease.
Baltimore: Williams & Wilkins.
Imig, J. D. and Ryan, M. J. (2013) ‘Immune and inflammatory role in renal disease’,
Comprehensive Physiology, 3(2), pp. 957–976. doi: 10.1002/cphy.c120028.
Locatelli, F, Canaud, B., Eckardt, K., Stenvinkel, P. & Wanner, C. (2003) Oxidative
stress in end stage renal disease: An emerging threat to patient outcome.
Nephrology Dialysis Transplantation, 18, pp. 1272-80.
Mao, S. et al. (2018) ‘Leptin and chronic kidney diseases’, Journal of Receptors and
Signal Transduction. Informa Healthcare USA, Inc, 38(2), pp. 89–94. doi:
10.1080/10799893.2018.1431278.
Mitch, W.E. & Klahr, S. (2003) Handbook of Nutrition and The Kidney: effects of renal
insuficiency on nutrient metabolism and endocrine function. 4th edition, pp.
24-41.
Moore, M.C. ed. (1997) Terapi Diet dan Nutrisi. Jakarta: Penerbit Hipokrates, pp. 211-
34.
National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF K/DOQI)
(2002) Clinical practical guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification, and stratification. American Journal of Kidney Diseases, 39
(2), pp. S1-S246.
Pusparini (2000) ‘Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis’, Journal Kedokteran Trisakti, 19(3), pp. 115–124.
doi: 10.1103/PhysRev.101.1473.
Sidabutar, R.P., Suhardjono & Kapojos, E.J. (1991) Gagal Ginjal Kronik.
Dalam: Soeparman & Waspadji, S. (eds). Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
1
209–212. doi: 10.1080/0886022X.2018.1455590.
Wilkens, K.G. (2004) Medical Nutrition Therapy for Renal Disorders. In: Mahan, L.K.
& Stump, S.E. (eds). Krause’s: Food Nutrition and Diet Therapy. 11th edition.
Philadelphia: WB Saunders, pp. 970-85.