Anda di halaman 1dari 23

A.

Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ utama ekskresi pada manusia.Ginjal berbentuk seperti


kacang merah, berwarna keunguan, dan berjumlah 2 buah. Ginjal terletak di
daerah pinggang, di sebelah kiri dan kanan tulang belakang. Ginjal orang
dewasa beratnya ±200gram. Ginjal terdiri dari 3 daerah, yaitu kulit ginjal
(korteks), sumsum ginjal (medulla), dan rongga ginjal (pelvis).

Setiap ginjal memiliki dua bagian terkecil fungsional yang disebut nefron (
dalam korteks). merupakan unit terkecil fungsional pada ginjal yang terdiri dari
badan malphigi dan tubulus. Tubulus terdiri dari proksimal dan distal,
dihubungkan oleh suatu struktur yang dinamakan lengkung henle, dalam
badan malphigi terdapat sekelompok kapiler yang dinamakan glomerulus yang
diselubungi struktur yang dinamakan kapsul bowman. Setiap bagian dari
nefron ini memiliki fungsinya masing-masing dalam proses ekskresi.

Secara umum fungsi ginjal antara lain adalah sebagai organ utama
ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan

1
keseimbangan air dan elektrolit. Pengaturan osmolaritas cairan tubuh dan
konsentrasi elektrolit termasuk tekanan arteri melalui perubahan ekskresi
natrium dan air serta sekresi bahan tertentu pada system Renin-Angiostensin-
Aldosteron (Campbell and Reece, 2009).
Salah satu fungsi utama ginjal adalah membuang bahan-bahan yang
tidak digunakan tubuh dan mengeluarkannya dalam bentuk urin serta
mengambil kembali bahan yang masih dibutuhkan oleh dalam tubuh. Langkah
pertama dalam melaksanakan fungsi ini adalah suatu proses yang dinamakan
filtrasi, cairan dari kapiler glomerulus akan disaring menuju ke dalam tubulus
ginjal melalui suatu rangkaian sel khusus yaitu sel Podosit yang terletak pada
kapsul bowman. Tujuan utama penyaringan ini adalah memilah bahan-bahan
yang masih digunakan dan mana yang akan dibuang. Komponen dengan
ukuran molekul besar seperti protein secara normal tidak dapat melewati
system penyaringan ini, namun pada keadaan tertentu, system filtrasi ini
terganggu sehingga menyebabkan bahan yang seharusnya tidak masuk ke
proses selanjutnya ikut terproses dan pada akhirnya terbuang. Bentuk akhir
dari proses filtrasi ini adalah filtrate glomerulus yang secara komponen tidak
berbeda jauh dengan plasma darah (Campbell and Reece, 2009).
Sewaktu filtrate glomerulus mengalir melalui tubulus, volume filtrate
berkurang dan komposisi-nya berubah diakibatkan pada saat ini filtrate
glomerulus melalui fase kedua dari system ekskresi yaitu reabsorbsi dan juga
sekresi tubulus. Melalu tubulus kontortus baik proksimal dan juga distal,
komponen dari filtrate glomerulus ini akan secara selektif dipilah zat yang akan
tetap dibuang dan mana yang akan diambil kembali. Proses ini penting dalam
menjaga homeostasis cairan dan juga garam bagi tubuh karena di bagian inilah
hamper keseluruhan proses yang bersifat selektif terjadi. Kemampuan ginjal
dalam melakukan pemilahan ini tidak lepas dari struktur dinding tubulus yang
bersifat semi-permeable, hanya zat tertentu yang bisa dengan leluasa keluar
dan masuk dari tubulus menuju kapiler. Suatu mekanisme juga diterapkan yaitu
counter-current flow yang artinya adalah perbedaan aliran dari tubulus dan
kapiler yang dapat meningkatkan efektifitas dari system ini.

2
Setelah keseluruhan proses selesai dilaksanakan, maka terdapat proses
penyesuaian terakhir yaitu proses augmentasi dimana terdapat pengaturan
kembali zat yang akan diekskresikan. Namun pada bagian ini, sifatnya hanya
berupa penambahan saja, tanpa ada penyerapan kembali yang berarti. Proses
ini mengakhiri rangkaian proses pembentukan urin. Urin yang sudah terbentuk
akan ditampung menuju vesica urinaria untuk dikeluarkan (Campbell and
Reece, 2009).

3
B.Gagal Ginjal
Pengertian
Ginjal memiliki peran fisiologis penting dalam tubuh termasuk mengatur
tekanan darah, homestasis cairan dan garam, berperan dalam produksi sel darah
serta keseimbangan asam-basa tubuh. Karenanya, apabila ginjal mengalami
masalah, maka penyebab-nya tidak dapat dilihat dari satu faktor saja.
Berdasarakan National Center for Health Statistik, lebih dari 3.9 juta orang dewasa
mengidap penyakit ginjal di Amerika Serikat, jumlah ini mencapai 2% dari total
populasi. Kematian akibat berbagai macam bentuk penyakit ginjal seperti
Nephritis, Nephrotic dan Nephrosis masih terbilang cukup tinggi, menempati posisi
kedelapan penyebab kematian. Data ini menunjukan bahwa ginjal memiliki fungsi
yang sangat penting bagi menunjang kehidupan (Imig and Ryan, 2013).
Menurut Pernefri (2003) kriteria penyakit ginjal kronis adalah kerusakan ginjal
setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai abnormalitas
struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomeruli
(LFG) yang bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal,
termasuk keseimbangan komposisi zat di dalam darah dan urin serta ada atau
tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan

Etiologi
Secara umum penyakit ginjal diklasifikasikan menjadi akut atau kronis.
Penyakit ginjal akut umumnya disebabkan karena adanya infeksi bakteri, sepsis,
atau cedera iskemik-reperfusi, sedangkan penyakit ginjal kronik disebabkan
karena adanya komplikasi dari diabetes, hipertensi, obesitas dan autoimmunitas.
Onset penyakit harus diperhatikan dalam memberikan diagnosis kepada pasien,
karena bila tidak, penyakit ginjal akut dapat berkembang menjadi penyakit ginjal
kronis (Imig and Ryan, 2013).

4
Patofisiologi
Ginjal adalah organ dengan perfusi darah yang sangat tinggi, mencapai 400
ml/100 g jaringan. Sebagai akibatnya, organ ginjal akan dengan mudah terpapar
dengan berbagai substansi berbahaya dalam jumlah yang cukup banyak. Pada
bagian glomerulus, ginjal mengandalkan tekanan intra dan transglomerular dalam
menjalankan fungsinya, serta membran filtrasi glomerulus memiliki tegangan
negatif yang berfungsi sebagai barier makromolekul yang bersifat anionik. Apabila
komponen diatas terganggu, maka akan dengan mudah terjadi kerusakan pada
glomerulus(Osipowicz and Werth, 2009).
Secara anatomi-histologi, glomerulus akan berlanjut menuju berbagai
tubulus yang berfungsi untuk reabsorbsi dan ekskresi bahan secara selektif.
Akibatnya, apabila terdapat permasalahan pada bagian glomerulus, maka
Glomerulus Filtration Rate akan menurun, dan kerusakan jaringan akan dengan
cepat menyebar pada bagian tubulus ginjal. Apabila perfusi dari glomerulus
menurun, dampaknya adalah sirkulasi darah peritubular juga akan menurun,
sehingga kerusakan akan semakin dengan mudah menyebar dikarenakan
hipoksia, iskemia, agen eksogenik seperti obat-obatan, dan agen endogenik
seperti glukosa dan paraprotein, defek genetika (Osipowicz and Werth, 2009).
Sebagai acuan, glomerulus yang berfungsi sebagai unit terkecil fungsional
dengan berbagai jarignan disekitarnya seperti endothelia, mesangial, dan viseral
dan parietal epithelial-podosit dan matrix ekstraselular dapat digunakan sebagai

5
indikator fisiologis. Apabila terdapat satu saja masalah, maka secara beruntun
jaringan diatas akan mengalami masalah. Hal ini dapat disebabkan dengan
berbagai jalur komunikasi yang terjadi antara sel, baik secara langsung, maupun
melalui mediator seperti mediator inflamasi, kemokin, sitokin, growth factor dan
perubahan matrix (Osipowicz and Werth, 2009).
Kerusakan ini akan berdampak dalam pengaturan mineral dalam tubuh
yang nantinya akna menjadi semakin parah dan mencapai level sistemik. Hal ini
dikarenakan ginjal mengekskresikan berbagai hormon seperti PTH yang mengatur
kadar kalsium darah. Kalsium berperan penting dalam berbagai sistem fisiologis
tubuh seperti kontraksi otot dan konduksi sinyal pada saraf. Selain mineral, ginjal
juga berperan penting dalam pengaturan asam-basa darah. Kerusakan ginjal akan
mengganggu sistem buffer dalam tubuh, dan apabila didukung dengan adanya
metabolik sindrom, maka akan mengalami asidosis yang sangat berbahaya bagi
tubuh.

Gangguan Metabolisme dan Manifestasi Klinis


Gejala utama dari penyakit ginjal kronis adalah sindroma uremi. Parameter
dari sindroma uremi adalah akumulasi toksin uremi (limbah nitrogen) di dalam
tubuh. Limbah nitrogen ini sebagian besar berasal dari sisa katabolisme protein,
baik yang berasal dari makanan (eksogen) maupun dari cadangan protein tubuh
sendiri (endogen). Pada keadaan normal limbah nitrogen akan diekskresi dengan
cepat oleh ginjal. Bila fungsi ginjal menurun < 40% normal, tidak semua limbah
nitrogen dapat diekskresi. Akibatnya akan terjadi akumulasi limbah nitrogen

6
dalam tubuh dengan manifestasi klinis sebagai sindoma uremi (Sidabutar et al.,
1991)
Pada tahap 1 dan 2 (LFG>60 cc/menit) kelainan metabolisme yang terjadi
biasanya disebabkan oleh penyakit dasar sebagai etiologi penyakit ginjal kronis
sendiri. Kelainan metabolisme pada penyakit ginjal kronis biasanya baru menonjol
pada tahap 3 dan berikutnya (LFG,59 cc/menit). Pada tahap 4 dan 5, gejala penyakit
ginjal kronis yang menonjol adalah uremia dan malnutrisi. Walaupun malnutrisi
pada penyakit ginjal kronis kebanyakan disebabkan oleh karena berkurangnya
asupan protein maupun energi, tetapi pada penyakit ginjal kronis tahap akhir
gangguan sekresi hormon juga berperan menimbulkan gangguan metabolisme
(Mitch & Klahr, 2003).
Menurut Locatelli et al. (2003) gangguan metabolisme pada penyakit ginjal
kronis antara lain adalah peningkatan katabolisme secara umum, menurunnya
deposit glikogen, terjadinya keseimbangan nitrogen negatif, akumulasi berbagai
toksin, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperfosforemia, asidosis metabolik dan
peningkatan aktifitas berbagai hormon.
Penyakit ginjal kronis akan menimbulkan kelainan atau gejala pada berbagai
sistem. Gejala dan tanda penyakit ginjal kronis sesuai dengan gangguan sistem
yang timbul. Bila penyakit ginjal kronis telah bergejala maka umumnya diagnosis
tidak sukar ditegakkan. Gangguan pada suatu sistem akan berpengaruh pada
sistem lain, sehingga suatu gangguan metabolik dapat menimbulkan kelainan pada
berbagai sistem atau organ tubuh (Sidabutar et al., 1991).

7
Kriteria Diagnosis
Adapun klasifikasi dari penyakit ginjal kronis berdasarkan laju filtrasi
glomeruli (LFG) dan tahapan pengelolaan atau rencana terapi tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan dan Rencana Terapi Penyakit Ginjal Kronis

Tahap Deskripsi LFG(cc/ Rencana Terapi


menit)

1 Kerusakan ginjal dengan ³90 Diagnosis, pengobatan, terapi


LFG normal penyerta, penghambatan
progresifitas, penurunan risiko
penyakit kardiovaskuler

2 Kerusakan ginjal dengan 60 –89 Perkiraan progresifitas


penurunan ringan LFG

3 Penurunan sedang LFG 30 – 59 Evaluasi dan pengobatan


komplikasi
4 Penurunan berat LFG 15 – 29 Persiapan terapi pengganti
ginjal

5 Gagal Ginjal <15 Terapi pengganti ginjal


Sumber: Kalantar, 2003

Klasifikasi penyakit ginjal kronis juga dapat didasarkan pada Kliren


Kreatinin yaitu konsentrasi kreatinin yang secara total dibersihkan oleh
ginjal dari darah untuk kemudian masuk ke dalam urin dalam suatu waktu
(Corwin, 2001). Adapun klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan kliren
kreatinin tertera pada Tabel 2.

8
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis berdasarkan Kliren Kreatinin

Klasifikasi Kliren Kreatinin (ml/menit)

Kekurangan cadangan ginjal 75 – 100


Insufisiensi ginjal 25 – 75
Gagal ginjal kronis < 25
Gagal ginjal terminal <5
Sumber: Sidabutar et al., 1991)

C.Sistem Imun pada CKD


Pada gagal ginjal kronik terbukti adanya penurunan respons imun tubuh
terhadap infeksi. Respon ini terutama diakibatkan adanya menurunnya
kemampuan tubuh dalam memberikan jalur transduksi sinyal yang bersifat anti-
inflamasi yang dikeluarkan oleh berbagai komponen sistem imun seperti
makrofag dan limfosit.

Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik dapat disebabkan
karena(Pusparini, 2000) :

9
Uremia
Pada penderita GGK kemampuan ginjal untuk membuang ureum dan sisa
metabolisme lainnya melalui urine menurun sehingga menimbulkan keadaan
uremia.
Pada uremia, penurunan respons imun disebabkan penurunan fungsi
fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit . Pada kondisi uremia,
ditemukan peptida yang mirip dengan ubiquitin yang dapat menghambat
kemotaksis neutrofil dan penurunan kemampuan PMN untuk berikatan dengan
C5a, suatu faktor kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis ini menyebabkan
penurunan fungsi fagositosis, sehingga menurunkan kemampuan respons
imun nonspesifik. Selain itu penurunan respons imun pada uremia disebabkan
penekanan cell mediated immunity yang disebabkan oleh memendeknya umur
limfosit, limfopenia, hambatan pada transformasi limfosit, dan penekanan
aktivitas limfosit T.

Defisiensi vitamin D
Pada pasien dengan GGK dapat dijumpai penurunan kadar vitamin D karena
proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3 menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal,
sehingga penurunan massa ginjal pada pasien GGK menyebabkan rendahnya
kadar vitamin D. Di dalam tubuh vitamin D berperan dalam merangsang
perkembangan dan pematangan fungsi makrofag, meningkatkan ekspresi
reseptor Fc dan C3 (yang menunjukkan adanya aktivasi sel dan peningkatan
fungsi respons imun), dan meningkatkan kemotaksis dan fagositosis leukosit
PMN. Disamping itu vitamin D juga berperan dalam produksi interleukin 2.
Selain itu vitamin D juga berperan pada produksi gamma interferon yang
berfungsi dalam imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan diferensiasi sel B,
aktivasi makrofag dan peningkatan efek ekspresi antigen.

Penimbunan besi yang berlebihan


Penimbunan besi yang berlebihan berperan terhadap fungsi fagositosis
neutrofil dan aktivitas mieloperoksidase. Toksisitas besi terhadap neutrofil
disebabkan terbentuknya oksidan radikal yang berlebihan yang berpengaruh
terhadap fungsi fagositosis melalui peroksidasi membran lipid neutrofil.
Kemampuan fagositosis neutrofil menjadi normal kembali bila pada pasien

10
hemodialisis diberikan desferioksamin sebagai chelating agent yang akan
mengikat kelebihan besi sehingga akan menurunkan risiko infeksi.

D. Pengaruh Proses Hemodialisa terhadap sistem Imun Pasien CKD


Tindakan hemodialisis pada pasien GGK bertujuan untuk membuang
ureum dan sisa metabolisme di dalam tubuh akan membawa dampak
terjadinya penurunan respon imun . Penurunan respons imun disebabkan
oleh jenis membran dialisis yang dipakai. Membran dialisis ada 2 macam
yaitu, membran dialisis yang menyebabkan penurunan respons imun
misalnya cuprophan; dan kedua, membran dialisis yang tidak menyebabkan
penurunan respons imun /penurunan minimal yaitu polymethylmetacrylate
(PMMA), poliakrilnitril dan polisulfon. Penurunan jumlah neutrofil yang terjadi
disebabkan oleh membran cuprophan pada mesin dialyzer.
Neutrofil adalah bagian dari sistem imun nonspesifik yang termasuk
dalam pertahanan selular bersama dengan eosinofil, basofil, sel mast dan
sel natural killer. Sel ini kadang disebut juga “ soldiers of the body” karena
merupakan sel yang pertama kali dikerahkan ke tempat bakteri masuk dan
berkembang dalam tubuh (Baratawijaya,2012).
Pada 15 menit awal hemodialisis dijumpai penurunan jumlah neutrofil,
dan akan kembali normal setelah proses hemodialisis . Selama proses
hemodialisis neutrofil menghilang dari sirkulasi yang disebabkan sekuestrasi
melalui kapiler pulmonar. Mekanismenya yaitu neutrofil menempel pada
dinding endotel kapiler pulmonar, yang merupakan permukaan pembuluh
darah pertama yang mengalami kontak setelah darah meninggalkan
dialyzer. Mekanisme ini disebabkan oleh adanya peningkatan ekspresi
reseptor CD 11b / CD 18 pada permukaan neutrofil yang ada di dalam
sirkulasi. Neutropenia makin berat bila CD 11b / CD18 makin banyak
(Pusparini, 2000).
Kadar ureum darah sebelum dan sesudah hemodialisis juga
berdampak pada fungsi fagositsis neutrofil dalam sirkulasi darah. Pada
uremia ( ureum>200mg/dl) ditemukan peptida yang mirip dengan ubiquitin
yang dapat menghambat kemotaksis neutrofil dan penurunan kemampuan
PMN untuk berikatan dengan C5a, suatu faktor kemotaktik (Vanherweghen
et al, 1991). Adanya hambatan kemotaksis ini menyebabkan penurunan

11
fungsi fagositosis, sehingga menurunkan kemampuan respons imun
nonspesifik. Setelah hemodialisis dilakukan, maka kadar ureum dalam darah
akan kembali normal, sehingga fungsi fagositosis pada neutrofil akan
berangsur normal juga

E.Korelasi Sistem Imun terhadap Penyakit CKD Hipertensi


Inflamasi dari renal timbul seiring dengan perkembangan dari
perjalanan hipertensi dan sekaligus memiliki hubungan dengan perburukan
dari keadaan hipertensi itu sendiri. Penelitian pada manusia menunjukan
bahwa pasien dengan hipertensi menunjukkan adanya peningkatan C-
Reactive Protein, TNF-alpha, IL-6, PAI-1 dan molekul adhesi yang
merupakan komponen inflamatori (Tonyali et al., 2018).

Selain adanya peningkatan komponen inflamasi, penelitian pada tikus


juga menunjukkan bahwa tikus dengan hipertensi memiliki fungsi Sel T lebih
rendah dibandingkan dengan control. Hal ini didukung dengan penelitian yang
menunjukkan bahwa dengan melakukan thymectomy pada tikus dapat
menurunkan tekanan darah hingga mencapai normal.

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa sel T memiliki kontribusi


terhadap hipertensi yang memunculkan konsep bahwa sitokin dapat
meningkatkan tekanan darah, terutama yang diekskresikan pada renal
vascular dan tubular epithelial cells. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
hubungan yang signifikan antara kadar TNF-alpha dan IL-6 yang beredar
terhadap tekanan darah. Peningkatan produksi TNF-alpha pada jaringan di
ginjal ini dikaitkan dengan Hipertensi-Angiostensin II(Imig and Ryan, 2013).

Peningkatan Angiostensi II di ginjal secara langsung dapat memicu


pelepasan sitokin lain, ekspresi molekul adhesi dan peningkatan produksi dari
PAI-1 dan juga NF-kB. Pelepasan sitokin ini diikuti dengan peningkatan
reactive oxygen species yang akan meningkatkan pelepasan dari sitokin. IL-6
memiliki hubungan terhadap hipertensi angiostensin II. IL-6 diduga memiliki
kontribusi terhadap hipertensi dengan meningkatkan reseptor angiostensin tipe
I yang akan meningkatkan absorbsi natrium dan menimbulkan vasokonstriksi
pada tubulus proximal.

12
Faktor lain yang dapat menimbulkan hipertensi dan juga kerusakan
renal adalah obesitas. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa factor risiko
cardiovascular yang diasosiasikan dengan obesitas seperti hipertensi,
resistensi insulin, diabetes yang akan menimbulkan sindrom metabolik. Kondisi
sindrom metabolik akan meningkatkan inflamasi pada ginjal pada kasus
hipertensi dan semakin mempercepat onset terjadinya GGK. Secara singkat,
sindrom metabolik dapat menyebabkan perubahan fungsional dari ginjal
diakibatkan adanya infiltrasi makrofag dan peningkatan sitokin proinflamasi
pada ginjal (Imig and Ryan, 2013).

Pada pasien dengan sindrom metabolik, akan mengalami perubahan


kadar adipokines seperti leptin, adiponektin dan resistin secara dramatis.
Diantara ketiga adipokines, leptin memiliki kontribusi terbanyak terhadap
penurunan fungsi ginjal. Leptin menstimulasi saraf simpatis pada ginjal
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan kerusakan pada glomerulus.
Leptin juga dapat meningkatkan produksi dari reactive oxygen species
sehingga dapat memicu pengeluaran sitokin pro-inflamasi lain sehingga
memperburuk prognosis. Adipokines yang lain, Adiponectin merupakan
komponen yang bersifat anti-inflamasi namun produksi-nya akan menurun
ketika tubuh mengalami sindrom metabolik. Gabungan dari kedua penyebab

13
ini akan semakin memperburuk keadaan ginjal pasien pada penderita
hipertensi (Mao et al., 2018).

14
E.Terapi Diet

Menurut Cano (2001) meningkatnya prevalensi malnutrisi pada


penderita penyakit ginjal kronis mendasari pentingnya penatalaksanaan
diet yang tepat. Masalah-masalah khusus pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis yang berhubungan dengan pengaturan diet antara lain:
kekurangan cairan dan garam (natrium), hiperkalemia, anemia, asidosis
metabolik, hipokalsemia dan hiperfosfatemia, hiperlipidemia, hiperurikemia,
dan hipoalbuminemia.

1. Tujuan Diet
Adapun tujuan pengaturan diet pada Hemodialisis adalah:
a. mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen
dan juga mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara
dialisis
b. memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh
c. mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan
oedema
d. mengatur asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia
e. mengatur asupan cairan untuk mencegah kelebihan cairan diantara
dialisis
f. membatasi asupan fosfor
g. mencukupi kebutuhan zat-zat gizi lain, terutama vitamin-vitamin yang
larut selama proses dialisis (Wilkens, 2004).

2. Syarat Diet
a. Energi
Asupan energi yang adekuat sangat diperlukan untuk mencegah
katabolisme jaringan tubuh. Moore (1997) menganjurkan energi sebesar
35 kkal/kgBBI/hari, disesuaikan dengan kebutuhan energi secara individual
dan untuk mencapai Ideal Body Weight. Asupan energi yang optimal dari
golongan bahan makanan non protein ini dimaksudkan untuk mencegah
penggunaan protein sebagai sumber energi. Kopple & Massry (2004), juga
menganjurkan sedikitnya energi yang diberikan adalah 35 kkal/kgBBI/hari
dan perlu ditambahkan untuk meningkatkan berat badan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rerata keseimbangan nitrogen negatif pada asupan 25

15
kkal/kgBBI/hari, netral pada 35 kkal/kgBBI/hari dan keseimbangan positif
pada 45 kkal/kgBBI/hari.
Manajemen terapi diet untuk pasien hemodialisis dari NKF K/DOQI
practice guidelines (2002) menyebutkan bahwa kebutuhan energi untuk
pasien dewasa < 60 tahun sebesar 35 kkal/kgBBI/hari, untuk dewasa > 60
tahun atau pasien obese kebutuhannya berkisar 30-35 kkal/kgBBI/hari.
Meskipun pada kenyataannya dari hasil penelitian HEMO study rata-rata
asupan energi pasien dengan dialisis adalah 23 kkal/kgBB/hari.
Adapun distribusi energi adalah 10-15% dari protein, 30-35% dari
lemak dan 50-55% dari karbohidrat. Bahan makanan non protein yang
dapat digunakan sebagai sumber energi antara lain minyak, mentega,
margarin, gula, madu, sirup, jam, dan lain-lain (Wilkens, 2004).

b. Protein
Setiap kali dialisis 10-12 g asam amino bebas hilang, dan terjadi
peningkatan kehilangan asam amino jika dialisat yang digunakan adalah
glukosa dan high flux dialysis. Asupan protein cukup, 1-1,2 g/kgBBI/hari
untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama
dialisis. Dengan asupan protein tersebut diharapkan dapat mencegah
tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis
berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein
bernilai biologis tinggi (Moore, 1997; NKF K/DOQI, 2002; Wilkens, 2004).
Hasil penelitian Kopple & Massry (2004) menunjukkan bahwa
konsumsi protein 0,75 g/kgBBI/hari akan mengakibatkan keseimbangan
nitrogen negatif, sedangkan konsumsi 1,25 g/kgBBI/hari menunjukkan
hubungan kuat dengan keseimbangan nitrogen positif. Diet rendah protein
0,8–0,9 gr/kgBBI/hari berhubungan dengan rendahnya serum albumin dan
berat badan, sedangkan konsumsi protein lebih tinggi justru berhubungan
signifikan dengan peningkatan baik kadar albumin maupun berat badan.
Sumber protein bernilai biologis tinggi yang dianjurkan seperti daging, susu,
telor, keju, ikan, kerang, ayam dan lain-lain (NKF K/DOQI, 2002).

16
c. Lemak
Pemberian lemak perlu mendapatkan perhatian, karena disatu sisi
asupan lemak digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalori, namun di pihak
lain lemak ikut memperburuk fungsi ginjal dan menambah morbiditas akibat
atherosklerosis. Pasien dengan hemodialisis seringkali mengalami
gangguan metabolisme lemak. Insiden terjadinya hiperlipidemia type IV
cukup tinggi, dimana serum trigliserida, Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), dan Intermediate Density Lipoprotein (IDL) kolesterol seringkali
meningkat. Semua fraksi High Density Lipoprotein (HDL) kolesterol
menurun, kemungkinan juga mengurangi aktifitas Lecitin Cholesterol Acyl
Transferase (LCAT) (Kopple & Massry, 2004). Seperti yang
direkomendasikan oleh NKF K/DOQI (2002) dan An American Heart
Association Step 1 Diet dalam Kopple & Massry (2004) bahwa tidak lebih
dari 30% kalori berasal dari lemak, tidak kurang dari 10% berasal dari
sumber lemak jenuh, dan kolesterol < 300 mg/hari.
Hipertrigliseridemia umumnya terjadi pada pasien dengan
hemodialisis. Hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kejadian
hypertrigliseridemia, termasuk diabetes dan hypotiroidism, meskipun
terdapat hubungan yang kurang kuat antara hypertrigliseridemia dengan
morbiditas atau total kejadian penyakit kardiovaskuler dan hanya sedikit
informasi tentang seberapa tinggi level trigliserida dalam darah yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, hal ini
menyulitkan ditetapkannya rekomendasi terapi untuk mild
hypertrigliseridemia.

d. Natrium dan Cairan


Asupan natrium 40-120 mEq/hari (920-2760 mg/hari) untuk kontrol
tekanan darah dan oedema. Pembatasan natrium dapat membantu
mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan asupan
cairan. Asupan natrium dapat diberikan lebih tinggi 7-9 jam sebelum dialisis
untuk mencegah hipotensi atau kram selama dialisis (Moore, 1997; Kopple
& Massry, 2004).

1
26

Menurut Wilkens (2004) sebaiknya dilakukan restriksi terhadap


pemberian natrium yaitu dengan tidak menambahkan garam dalam
pengolahan makanan dan diet mengandung 80–100 mmol natrium/hari.
Jumlah cairan dan natrium yang diberikan tergantung pula pada jumlah
cairan yang keluar (output) (NKF K/DOQI, 2002). Adapun bahan makanan
tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain:
- garam natrium yang ditambahkan ke dalam makanan, seperti
natrium bikarbonat, natrium benzoat atau pengawet buah dan
sayuran, natrium nitrit atau senyawa yang digunakan untuk
mengawetkan daging
- bahan makanan yang dikalengkan (Moore, 1997; Wilkens, 2004).
e. Kalium
Dalam kondisi normal ginjal mengeluarkan lebih kurang 80–90%
kalium setiap hari, dan 7–10 mEq per hari kalium dikeluarkan dalam feses.
Pada penderita gagal ginjal terjadi peningkatan pengeluaran kalium dalam
feses yaitu sekitar 14–20 mEq/hari (Kopple & Massry, 2004). Pembatasan
kalium sangat diperlukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
dysrhythmia dan cardiac arrest, dimana asupan kalium diberikan 40–70
mEq/hari atau 1560–2730 mg/hari (Wilkens, 2004).
Menurut NKF K/DOQI (2002), kebutuhan kalium tergantung pula
pada urin yang keluar, dimana sebagian besar pasien hemodialisis dapat
mentolerir 2,5 g kalium per hari. Pembatasan kalium juga berhubungan
dengan adanya defisiensi insulin, metabolik asidosis, terapi dengan
antagonis, betha blockers atau aldosteron (Kopple & Massry, 2004). Secara
individual cukup dengan pemberian 40 mg/kg berat badan bebas oedema.
Bahan makanan tinggi kalium pada umbi, buah-buahan, sayuran,
kacang-kacangan, dan yang tidak dianjurkan antara lain: kentang, alpokat,
pisang, mangga, tomat, rebung, kailan, daun singkong, daun pepaya,
bayam, kacang hijau dan kacang kedele.

1
27

f. Magnesium
Seperti halnya kalium, ginjal juga mengeluarkan magnesium.
Kandungan magnesium dalam bahan makanan jauh lebih rendah daripada
kalium ataupun fosfor, sehingga didalam usus diabsorbsi dalam jumlah
yang lebih kecil, hipermagnesemia merupakan problem yang kurang serius
dibandingkan hiperkalemia atau hiperfosfatemia. Pasien dengan
hemodialisis kehilangan magnesium melalui dialisat sebesar 1,0 mEq/L dan
diet 200–300 mg/hari dapat menormalkan kadar serum magnesium (Kopple
& Massry, 2004).

g. Kalsium dan Fosfor


Hendaknya dikontrol keadaan hipokalsemia dan hiperfosfatemia, hal
ini untuk menghindari terjadinya hiperparatiroidism dan seminimal mungkin
mencegah kalsifikasi dari tulang dan jaringan tubuh (Wilkens, 2004). Pada
umumnya bahan makanan tinggi kalsium juga merupakan sumber fosfor.
Pada penderita dengan hemodialisis keseimbangan kalsium dapat dicapai
dengan asupan 1–1,5 g/hari. Asupan lebih dari 3 g/hari dapat
mengakibatkan peningkatan kalsium yang diabsorbsi dan menyebabkan
hiperkalsemia atau penumpukan kalsium pada jaringan lunak. Fosfor dalam
diet sebaiknya sekitar 800–1000 mg/hari. Diet rendah fosfor (< 800 mg/hari)
kemungkinan kurang enak bagi pasien. Namun untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia, digunakan pengikat fosfor (phosphorus binders), seperti
kalsium karbonat, kalsium asetat dan kalsium sitrat. Penggunaan pengikat
fosfor ini berdasarkan hasil penelitian dapat menurunkan 50% fosfor dari
diet (NKF K/DOQI, 2002).

h. Vitamin D dan Vitamin yang lain


Vitamin D diaktifkan dalam ginjal menjadi kalsitriol atau vitamin D 3
yang berperan didalam absorbsi kalsium dan fosfor dari saluran cerna.
Penurunan kadar Vitamin D3 akan menyebabkan penurunan absorbsi
kalsium dan penurunan pengeluaran fosfor. Suplementasi 0,5–0,3 g
vitamin D3 intravena dapat diberikan pada saat hemodialisis atau 0,2–0,3

1
28

g melalui oral setiap hari selain pada saat hemodialisis dapat


meningkatkan absorbsi kalsium, mencegah atau memperbaiki
hiperparatiroidism, dan meningkatkan metabolisme tulang. Namun
kemungkinan dapat menyebabkan hiperkalsemia, oleh karena itu harus
selalu dimonitor dan dengan pengawasan dokter (NKF K/DOQI, 2002;
Kopple & Massy, 2004).
Disamping Vitamin D hemodialisis juga meningkatkan risiko
defisiensi vitamin lainnya, terutama asam folat, vitamin B 6, dan vitamin C.
Hal ini disebabkan pada penderita gagal ginjal asupan makanan menurun
karena anoreksia, rendahnya fosfor dan kalium dalam diet; meningkatnya
metabolisme, seperti pada piridoksin dan folat; gangguan sintesis,
resistensi aktivitas vitamin; penurunan absorbsi di usus, dan pengeluaran
vitamin larut air dalam dialisat. Hasil penelitian menunjukkan perlunya
diidentifikasi dan diutamakan pasien yang kemungkinan akan mengalami
defisiensi vitamin. Suplementasi vitamin sesuai dengan yang dianjurkan
(Recommended Dietary Allowance/RDA) untuk vitamin larut air, untuk
vitamin A dan E ditujukan untuk piridoksin HCl dosis tinggi dan asam folat 1
mg/hari. Vitamin C direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan, karena
vitamin C dosis tinggi akan meningkatkan risiko konsumsi oksalat (Kopple
& Massry, 2004).

i. Trace Elements
Jumlah trace elements di dalam darah dan jaringan dipengaruhi oleh
banyak faktor, yang kadang tidak tergantung pada status gizi. Faktor-faktor
tersebut meliputi asupan dalam diet, fungsi ekskresi ginjal, lingkungan dan
kondisi paparan, durasi dari kerusakan ginjal, konsentrasi dialisat dan
mungkin juga model terapi dialisis. Hal ini kemungkinan juga disebabkan
sebagian besar mineral terikat oleh protein. Kondisi uremia berhubungan
dengan peningkatan serum binding protein atau meningkatkan konsentrasi
senyawa yang berikatan dengan protein (Moore, 1997).

1
29

Beberapa trace elements menunjukkan jumlah yang sedikit sekali di


dalam plasma dan terikat oleh protein, kehilangan dalam hemodialisis juga
dalam jumlah sedikit. Kebutuhan diet untuk sebagian besar trace elements
bagi penderita hemodialisis belum ditentukan dengan baik. Defisiensi besi
umumnya yang sering diperhatikan pada pasien dengan hemodialisis.
Faktor yang menyebabkannya kemungkinan karena perdarahan
gastrointestinal, sequestrasi darah dalam dialyzer pada saat akhir dialisis,
pengikatan besi oleh membran dialisa, dan frekuensi terjadinya perdarahan.
Terapi eritropoetin kemungkinan mengurangi pengikatan cadangan besi
dengan nonhemoglobin. Defisiensi besi dapat diketahui dari pengukuran
serum besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) serta ferritin.
Suplementasi besi oral dapat diberikan misalnya dalam bentuk ferro sulfat,
fumarat, glukonat, dan laktat. Pemberian 250–500 mg ferro sulfat tiga kali
sehari setengah sampai satu jam sesudah makan dapat mengurangi iritasi
lambung, dengan harga yang relatif murah dan dapat ditolerir pasien.
Kadar zink serum seringkali rendah, namun zink dalam sel darah
merah seringkali normal atau meningkat. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa disgeusia dan impotensi pada laki-laki kemungkinan disebabkan
tidak adanya suplementasi zink. Namun, dibeberapa studi yang lain hal ini
tidak ditemukan. Kecukupan zink yang direkomendasikan sebesar 15
mg/hari. Hanya sedikit yang diketahui tentang kebutuhan gizi atau toleransi
terhadap trace elements yang lain pada pasien dengan hemodialisis. Hal ini
disebabkan adanya asumsi bahwa dalam makanan dan minuman sudah
terkandung trace elements yang dapat memenuhi kebutuhan. Di sisi lain,
rendahnya selenium di dalam serum penderita hemodialisis diasumsikan
karena kebutuhan meningkat dan ketidakcukupan dalam diet. Hal ini
mungkin berkaitan karena selenium merupakan komponen sistem
pertahanan tubuh terhadap stres oksidatif jaringan yang meningkat pada
penderita gagal ginjal (Kopple & Massry, 2004; Wilkens, 2004).

1
30
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG, Rengganis I. 2012. Imunologi dasar. Sel-sel sistem imun
nonspesifik. Edisi ke-10. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hlm. 27-93.
Campbell, N. A. and Reece, J. B. (2009) BIOLOGI. 9th EDITION.

Cano, N. (2001) Hemodialysis, inflammation and malnutrition. Nefrologia, Vol


XXI, Nopember 5, pp. 1-9.

Corwin, E.J. (2001) Handbook of Pathophysiology. Pendit, U.B. (Alih Bahasa).


Jakarta: EGC.

Kopple, D.J & Massry, G.S. eds. (2004) Nutritional Management of Renal Disease.
Baltimore: Williams & Wilkins.

Imig, J. D. and Ryan, M. J. (2013) ‘Immune and inflammatory role in renal disease’,
Comprehensive Physiology, 3(2), pp. 957–976. doi: 10.1002/cphy.c120028.

Locatelli, F, Canaud, B., Eckardt, K., Stenvinkel, P. & Wanner, C. (2003) Oxidative
stress in end stage renal disease: An emerging threat to patient outcome.
Nephrology Dialysis Transplantation, 18, pp. 1272-80.

Mao, S. et al. (2018) ‘Leptin and chronic kidney diseases’, Journal of Receptors and
Signal Transduction. Informa Healthcare USA, Inc, 38(2), pp. 89–94. doi:
10.1080/10799893.2018.1431278.

Mitch, W.E. & Klahr, S. (2003) Handbook of Nutrition and The Kidney: effects of renal
insuficiency on nutrient metabolism and endocrine function. 4th edition, pp.
24-41.

Moore, M.C. ed. (1997) Terapi Diet dan Nutrisi. Jakarta: Penerbit Hipokrates, pp. 211-
34.

National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF K/DOQI)
(2002) Clinical practical guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification, and stratification. American Journal of Kidney Diseases, 39
(2), pp. S1-S246.

Osipowicz, A. and Werth, G. (2009) ‘(6P-5D)-branching ratio in Ba II’, Optics


Communications, 36(5), pp. 359–360. doi: 10.1016/0030-4018(81)90241-8.

Pusparini (2000) ‘Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis’, Journal Kedokteran Trisakti, 19(3), pp. 115–124.
doi: 10.1103/PhysRev.101.1473.

Sidabutar, R.P., Suhardjono & Kapojos, E.J. (1991) Gagal Ginjal Kronik.
Dalam: Soeparman & Waspadji, S. (eds). Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Tonyali, S. et al. (2018) ‘Does neutrophil to lymphocyte ratio demonstrate deterioration


in renal function?’, Renal Failure. Informa Healthcare USA, Inc, 40(1), pp.

1
209–212. doi: 10.1080/0886022X.2018.1455590.

Wilkens, K.G. (2004) Medical Nutrition Therapy for Renal Disorders. In: Mahan, L.K.
& Stump, S.E. (eds). Krause’s: Food Nutrition and Diet Therapy. 11th edition.
Philadelphia: WB Saunders, pp. 970-85.

Anda mungkin juga menyukai