TINJAUAN PUSTAKA
9
10
LFG(cc/
Tahap Deskripsi Rencana Terapi
menit)
2. Etiologi
Menurut Mansjoer et al. (1999) penyebab penyakit ginjal kronis
adalah glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal
polikistik, nefropati diabetik, dan penyebab lain seperti hipertensi,
obstruksi, gout, serta idiopatik. Guyton & Hall (1996) berpendapat bahwa
di samping terjadi karena gangguan pembuluh darah, glomerolus, tubulus,
interstitium ginjal, dan traktus urinarius bagian bawah, penyakit ginjal
kronis dapat juga disebabkan oleh berbagai penyakit.
Berdasarkan laporan USRDS (2001), penyakit dasar sebagai
etiologi tersering dari penyakit ginjal kronis, dilaporkan secara berurutan
adalah diabetes mellitus (39%), hipertensi (28%), glomerulonefritis (13%),
penyakit ginjal kongenital (4%), pielonefritis (4%), tumor (2%), dan lain-
lain (3%). Di dalam laporan dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri, 1995), disebutkan bahwa nefropati diabetik (16,1%) menduduki
urutan nomor tiga paling sering setelah glomerulonefritis kronis (30,1%)
dan pielonefritis kronis (18,51%), sebagai penyebab paling sering dari
gagal ginjal terminal yang memerlukan hemodialisis di Indonesia. Adapun
perjalanan penyakit ginjal kronis, penyakit dasar yang menjadi etiologi,
serta tahapan penyakit berdasarkan pemeriksaan laju filtrasi glomeruli
secara skematis tertera pada Gambar 1.
Perjalanan penyakit ginjal kronis sejak diagnosis penyakit dasar
sampai terjadinya gagal ginjal terminal memerlukan waktu antara 5
sampai 20 tahun. Harus diperhatikan bahwa di dalam pengelolaan, baik
terapi medikamentosa maupun terapi gizi, perlu diketahui pada tahap
mana terapi tersebut diberikan, karena setiap tahap memerlukan terapi
yang berbeda.
12
ETIOLOGI
Hipertensi (28%) ETIOLOGI
Tahap 2 GNK (13%)
(60-89
cc/mnt)
Tahap 5
(<15 DIALISIS Tahun
cc/mnt) 20
B. Hemodialisis
Ginjal buatan adalah alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa
hasil metabolisme tubuh atau toksin lain dari tubuh, bila kedua fungsi
ginjal sudah tidak memadai lagi. Hemo berarti darah, sedangkan dialisa
berasal dari bahasa Yunani yang berarti memisahkan dari yang lain.
Secara klinik dimaksudkan zat gizi dalam darah disaring lewat membran
semipermiabel dan kemudian dibuang. Keuntungan dari hemodialisis
dapat mengeluarkan kelebihan kalium, natrium, phosphat, sulfur, asam
15
amino dengan berat molekul kecil serta hasil sisa metabolisme nitrogen
(Corwin, 2001).
Carpenter & Lazarus (1994) menyatakan bahwa hemodialisis
merupakan terapi ginjal yang bertujuan mengeliminasi sisa-sisa
metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara
kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel. Pada saat ini
hemodialisis sudah menjadi terapi baku pada gagal ginjal terminal,
intoksikasi obat, dan zat-zat kimia.
Menurut Pernefri (2003) hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti pada penderita penyakit ginjal kronis tahap akhir atau
yang sering disebut gagal ginjal terminal (End stage renal disease/ESRD)
disamping dialisis peritoneal, hemofiltrasi serta transplantasi ginjal.
Hemodialisis sebagai tindakan terapi disebut juga terapi pengganti,
karena tindakan ini hanya menggantikan sebagian fungsi ginjal yaitu
fungsi ekskresi untuk membuang zat-zat toksik dari tubuh. Jadi pada
tindakan hemodialisis ini fungsi lain dari ginjal seperti fungsi produksi
hormon, tidak digantikan, sehingga penderita yang kekurangan hormon
eritropoetin misalnya akan tetap anemia (Sidabutar et al., 1991).
Malnutrisi kalori protein sering dijumpai pada penderita
hemodialisis. Menurut Cano (2001) malnutrisi pada penderita hemodialisis
disebabkan oleh dialisis yang tidak adekuat, asidosis, gangguan hormon,
uremia dan inflamasi.
Anoreksia pada penderita dengan hemodialisis antara lain
disebabkan oleh dialisis yang tidak adekuat, penimbunan molekul
anoreksigen, peningkatan serum leptin, disgeusia, anemia, gangguan
saluran pencernaan seperti nausea, vomiting, gastroparesis, banyaknya
obat yang harus dikonsumsi, rendahnya status sosial ekonomi serta
depresi (Cano, 2001; Kopple & Massry, 2004).
Anoreksia, mual dan muntah menyebabkan rendahnya asupan zat
gizi penderita hemodialisis. Hasil penelitian Aparicio et al. (1999)
menunjukkan bahwa rendahnya asupan protein berhubungan signifikan
16
A. Faktor-faktor dialisis
1. Kt/V < 0.1
2. Membran yang bioincompatible
3. Hilangnya asam amino dan peptida ke dalam dialisat
4. Menggunakan dialisat asetat dan tinggi kalsium
B. Biokimia
1. Asidosis
2. Kadar hormon paratiroid yang tinggi (?)
3. Hematokrit yang rendah (?)
4. IGF – 1 yang rendah
5. Resistensi insulin, glukoneogenesis yang meningkat, pengurangan
cadangan glikogen
C. Gastrointestinal
1. Gastroparesis
2. Malabsorbsi
3. Esofagitis, Gastritis
4. Anoreksia
5. Konstipasi
6. Rendahnya asupan protein, dalam waktu lama
D. Lain-lain
1. Depresi
2. Status Sosioekonomi yang rendah
3. Medikasi yang multiple terutama yang sedatif
4. Penyakit yang mendasari
5. Perawatan berulang-ulang
4. Pemeriksaan imunologik
a. hitung limfosit
d. tes kulit
Serum albumin sebagai indikator kekurangan kompartemen protein
viseral telah lazim digunakan untuk menentukan gangguan status gizi.
Kecepatan sintesanya merupakan reaksi terhadap perubahan masukan
makanan. Bila sintesisnya menurun, serum albumin intravaskuler akan
dipertahankan dengan 2 mekanisme kompensasi yaitu:
1. perpindahan albumin ekstravaskuler ke intravaskuler
2. penurunan kecepatan katabolisme
Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh
manusia yang berfungsi membantu metabolisme dan transportasi
berbagai obat-obatan, senyawa endogen dalam tubuh terutama substansi
lipofilik, hormon, dan vitamin; mempertahankan tekanan onkotik darah
agar tidak terjadi ekspansi plasma ke ruang ekstraseluler; anti
peradangan; membantu keseimbangan asam basa; serta sebagai
antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksogen
oleh leukosit polimorfonuklear. Kadar albumin dalam urin menunjukkan
keseimbangan antara filtrasi glomeruli dan reabsorbsi tubulus. Penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis menyebabkan penurunan
reabsorbsi dan filtrasi albumin, sehingga kadar serum albumin mengalami
penurunan (Birn & Christensen, 2006).
Salah satu fungsi albumin di dalam tubuh adalah pembentukan
antibodi. Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi bergantung pada
kemampuan untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang dapat
menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang
memasuki tubuh (Murray et al., 2000). Kadar serum albumin <4 g/dl
berhubungan dengan meningkatnya mortalitas, tetapi mortalitas paling
tinggi pada kadar serum albumin <3 g/dl. Hasil yang sama juga
didapatkan pada penderita dengan dialisis peritoneal. Ada korelasi yang
bermakna antara kadar albumin dengan lean body mass.
20
1. Tujuan Diet
Adapun tujuan pengaturan diet pada Hemodialisis adalah:
a. mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen
dan juga mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara
dialisis
b. memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh
c. mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan
oedema
d. mengatur asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia
e. mengatur asupan cairan untuk mencegah kelebihan cairan diantara
dialisis
f. membatasi asupan fosfor
g. mencukupi kebutuhan zat-zat gizi lain, terutama vitamin-vitamin yang
larut selama proses dialisis (Wilkens, 2004).
2. Syarat Diet
a. Energi
Asupan energi yang adekuat sangat diperlukan untuk mencegah
katabolisme jaringan tubuh. Moore (1997) menganjurkan energi sebesar
35 kkal/kgBBI/hari, disesuaikan dengan kebutuhan energi secara
individual dan untuk mencapai Ideal Body Weight. Asupan energi yang
optimal dari golongan bahan makanan non protein ini dimaksudkan untuk
mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Kopple & Massry
(2004), juga menganjurkan sedikitnya energi yang diberikan adalah 35
kkal/kgBBI/hari dan perlu ditambahkan untuk meningkatkan berat badan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata keseimbangan nitrogen negatif
pada asupan 25 kkal/kgBBI/hari, netral pada 35 kkal/kgBBI/hari dan
keseimbangan positif pada 45 kkal/kgBBI/hari.
24
b. Protein
Setiap kali dialisis 10-12 g asam amino bebas hilang, dan terjadi
peningkatan kehilangan asam amino jika dialisat yang digunakan adalah
glukosa dan high flux dialysis. Asupan protein cukup, 1-1,2 g/kgBBI/hari
untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama
dialisis. Dengan asupan protein tersebut diharapkan dapat mencegah
tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis
berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein
bernilai biologis tinggi (Moore, 1997; NKF K/DOQI, 2002; Wilkens, 2004).
Hasil penelitian Kopple & Massry (2004) menunjukkan bahwa
konsumsi protein 0,75 g/kgBBI/hari akan mengakibatkan keseimbangan
nitrogen negatif, sedangkan konsumsi 1,25 g/kgBBI/hari menunjukkan
hubungan kuat dengan keseimbangan nitrogen positif. Diet rendah protein
0,8–0,9 gr/kgBBI/hari berhubungan dengan rendahnya serum albumin dan
berat badan, sedangkan konsumsi protein lebih tinggi justru berhubungan
signifikan dengan peningkatan baik kadar albumin maupun berat badan.
Sumber protein bernilai biologis tinggi yang dianjurkan seperti daging,
susu, telor, keju, ikan, kerang, ayam dan lain-lain (NKF K/DOQI, 2002).
25
c. Lemak
Pemberian lemak perlu mendapatkan perhatian, karena disatu sisi
asupan lemak digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalori, namun di
pihak lain lemak ikut memperburuk fungsi ginjal dan menambah
morbiditas akibat atherosklerosis. Pasien dengan hemodialisis seringkali
mengalami gangguan metabolisme lemak. Insiden terjadinya
hiperlipidemia type IV cukup tinggi, dimana serum trigliserida, Very Low
Density Lipoprotein (VLDL), dan Intermediate Density Lipoprotein (IDL)
kolesterol seringkali meningkat. Semua fraksi High Density Lipoprotein
(HDL) kolesterol menurun, kemungkinan juga mengurangi aktifitas Lecitin
Cholesterol Acyl Transferase (LCAT) (Kopple & Massry, 2004). Seperti
yang direkomendasikan oleh NKF K/DOQI (2002) dan An American Heart
Association Step 1 Diet dalam Kopple & Massry (2004) bahwa tidak lebih
dari 30% kalori berasal dari lemak, tidak kurang dari 10% berasal dari
sumber lemak jenuh, dan kolesterol < 300 mg/hari.
Hipertrigliseridemia umumnya terjadi pada pasien dengan
hemodialisis. Hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kejadian
hypertrigliseridemia, termasuk diabetes dan hypotiroidism, meskipun
terdapat hubungan yang kurang kuat antara hypertrigliseridemia dengan
morbiditas atau total kejadian penyakit kardiovaskuler dan hanya sedikit
informasi tentang seberapa tinggi level trigliserida dalam darah yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, hal ini
menyulitkan ditetapkannya rekomendasi terapi untuk mild
hypertrigliseridemia.
e. Kalium
Dalam kondisi normal ginjal mengeluarkan lebih kurang 80–90%
kalium setiap hari, dan 7–10 mEq per hari kalium dikeluarkan dalam feses.
Pada penderita gagal ginjal terjadi peningkatan pengeluaran kalium dalam
feses yaitu sekitar 14–20 mEq/hari (Kopple & Massry, 2004). Pembatasan
kalium sangat diperlukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
dysrhythmia dan cardiac arrest, dimana asupan kalium diberikan 40–70
mEq/hari atau 1560–2730 mg/hari (Wilkens, 2004).
Menurut NKF K/DOQI (2002), kebutuhan kalium tergantung pula
pada urin yang keluar, dimana sebagian besar pasien hemodialisis dapat
mentolerir 2,5 g kalium per hari. Pembatasan kalium juga berhubungan
dengan adanya defisiensi insulin, metabolik asidosis, terapi dengan
antagonis, betha blockers atau aldosteron (Kopple & Massry, 2004).
Secara individual cukup dengan pemberian 40 mg/kg berat badan bebas
oedema.
Bahan makanan tinggi kalium pada umbi, buah-buahan, sayuran,
kacang-kacangan, dan yang tidak dianjurkan antara lain: kentang, alpokat,
pisang, mangga, tomat, rebung, kailan, daun singkong, daun pepaya,
bayam, kacang hijau dan kacang kedele.
27
f. Magnesium
Seperti halnya kalium, ginjal juga mengeluarkan magnesium.
Kandungan magnesium dalam bahan makanan jauh lebih rendah
daripada kalium ataupun fosfor, sehingga didalam usus diabsorbsi dalam
jumlah yang lebih kecil, hipermagnesemia merupakan problem yang
kurang serius dibandingkan hiperkalemia atau hiperfosfatemia. Pasien
dengan hemodialisis kehilangan magnesium melalui dialisat sebesar 1,0
mEq/L dan diet 200–300 mg/hari dapat menormalkan kadar serum
magnesium (Kopple & Massry, 2004).
i. Trace Elements
Jumlah trace elements di dalam darah dan jaringan dipengaruhi
oleh banyak faktor, yang kadang tidak tergantung pada status gizi. Faktor-
faktor tersebut meliputi asupan dalam diet, fungsi ekskresi ginjal,
lingkungan dan kondisi paparan, durasi dari kerusakan ginjal, konsentrasi
dialisat dan mungkin juga model terapi dialisis. Hal ini kemungkinan juga
disebabkan sebagian besar mineral terikat oleh protein. Kondisi uremia
berhubungan dengan peningkatan serum binding protein atau
meningkatkan konsentrasi senyawa yang berikatan dengan protein
(Moore, 1997).
29
Tabel 7. Kandungan Energi dan Zat Gizi Nepro Abbott per 237 ml
Energi dan Zat Gizi Jumlah Energi dan Zat Gizi Jumlah
G. Landasan Teori
Faktor dialisis:
- Kt/V
- Membran dialyzer Intervensi Gizi:
- Kehilangan asam - Konseling Gizi
amino - Suplementasi
- Jenis Dialisat energi dan protein
- Lamanya waktu - Terapi diet
hemodialisis intradialisis
Status metabolik:
- asidosis
- hiperparatiroid
- resistensi insulin Status Gizi Intervensi dialisis:
Pasien - Kt/V
dengan - Jenis dialisat
Faktor Gastrointestinal: Hemodialisis - Membran dialyzer
- gastroparesis - Lamanya waktu
- malabsorbsi hemodialisis
- esofagitis, gastritis
- anoreksia
- konstipasi
- rendahnya asupan
Intervensi Obat
Faktor lain-lain:
- depresi
- sosial ekonomi
- penyakit lain
- perawatan berulang
- medikasi multiple
I. Hipotesis
Terapi Diet
- Hemodialisis
- Intradialisis
Morbiditas
dan Mortalitas