Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronis

1. Definisi dan Klasifikasi


Menurut Ardaya (2003) penyakit ginjal kronis adalah suatu keadaan
menurunnya fungsi ginjal yang bersifat kronis, progresif dan irreversible.
Demikian pula yang dinyatakan oleh Roesli (2005) bahwa gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara kronis (berlangsung lebih dari 3 bulan),
dengan ditandai penurunan laju filtrasi glomeruli disebut sebagai penyakit
ginjal kronis. Istilah yang dulu digunakan pada berbagai kepustakaan
adalah gagal ginjal kronis.
Menurut Pernefri (2003) kriteria penyakit ginjal kronis adalah :
a. kerusakan ginjal setidaknya selama 3 bulan atau lebih, yang
didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomeruli (LFG) yang
bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal,
termasuk keseimbangan komposisi zat di dalam darah dan urin serta
ada atau tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan
b. laju filtrasi glomeruli (LFG) yang kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 lebih
dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Rigby, 2004).
Menurut Kalantar (2003), klasifikasi penyakit ginjal kronis (Chronic
Kydney Disease) secara sederhana dapat dibedakan menjadi:
a. Early Stage : Proteinuria (protein dalam urin), penyakit ginjal kronis
tahap 1
b. Midly to Moderately : Penurunan fungsi ginjal, penyakit ginjal kronis
tahap 2 , 3 dan 4
c. End Stage Renal Disease (ESRD) : Dialisis, penyakit ginjal kronis
tahap 5.

9
10

Adapun klasifikasi dari penyakit ginjal kronis berdasarkan laju filtrasi


glomeruli (LFG) dan tahapan pengelolaan atau rencana terapi tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan dan Rencana Terapi Penyakit Ginjal Kronis

LFG(cc/
Tahap Deskripsi Rencana Terapi
menit)

1 Kerusakan ginjal dengan ≥90 Diagnosis, pengobatan, terapi


LFG normal penyerta, penghambatan
progresifitas, penurunan risiko
penyakit kardiovaskuler

2 Kerusakan ginjal dengan 60 –89 Perkiraan progresifitas


penurunan ringan LFG

3 Penurunan sedang LFG 30 – 59 Evaluasi dan pengobatan


komplikasi
4 Penurunan berat LFG 15 – 29 Persiapan terapi pengganti
ginjal

5 Gagal Ginjal <15 Terapi pengganti ginjal


Sumber: Kalantar, 2003

Klasifikasi penyakit ginjal kronis juga dapat didasarkan pada Kliren


Kreatinin yaitu konsentrasi kreatinin yang secara total dibersihkan oleh
ginjal dari darah untuk kemudian masuk ke dalam urin dalam suatu waktu
(Corwin, 2001). Adapun klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan
kliren kreatinin tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis berdasarkan Kliren Kreatinin

Klasifikasi Kliren Kreatinin (ml/menit)

Kekurangan cadangan ginjal 75 – 100


Insufisiensi ginjal 25 – 75
Gagal ginjal kronis < 25
Gagal ginjal terminal <5
Sumber: Sidabutar et al., 1991
11

2. Etiologi
Menurut Mansjoer et al. (1999) penyebab penyakit ginjal kronis
adalah glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal
polikistik, nefropati diabetik, dan penyebab lain seperti hipertensi,
obstruksi, gout, serta idiopatik. Guyton & Hall (1996) berpendapat bahwa
di samping terjadi karena gangguan pembuluh darah, glomerolus, tubulus,
interstitium ginjal, dan traktus urinarius bagian bawah, penyakit ginjal
kronis dapat juga disebabkan oleh berbagai penyakit.
Berdasarkan laporan USRDS (2001), penyakit dasar sebagai
etiologi tersering dari penyakit ginjal kronis, dilaporkan secara berurutan
adalah diabetes mellitus (39%), hipertensi (28%), glomerulonefritis (13%),
penyakit ginjal kongenital (4%), pielonefritis (4%), tumor (2%), dan lain-
lain (3%). Di dalam laporan dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri, 1995), disebutkan bahwa nefropati diabetik (16,1%) menduduki
urutan nomor tiga paling sering setelah glomerulonefritis kronis (30,1%)
dan pielonefritis kronis (18,51%), sebagai penyebab paling sering dari
gagal ginjal terminal yang memerlukan hemodialisis di Indonesia. Adapun
perjalanan penyakit ginjal kronis, penyakit dasar yang menjadi etiologi,
serta tahapan penyakit berdasarkan pemeriksaan laju filtrasi glomeruli
secara skematis tertera pada Gambar 1.
Perjalanan penyakit ginjal kronis sejak diagnosis penyakit dasar
sampai terjadinya gagal ginjal terminal memerlukan waktu antara 5
sampai 20 tahun. Harus diperhatikan bahwa di dalam pengelolaan, baik
terapi medikamentosa maupun terapi gizi, perlu diketahui pada tahap
mana terapi tersebut diberikan, karena setiap tahap memerlukan terapi
yang berbeda.
12

Tahap 1 ETIOLOGI DLL ETIOLOGI DM Tahun


(> 90 (13%) 5
tipe 1&2 (39%)
cc/mnt)

ETIOLOGI
Hipertensi (28%) ETIOLOGI
Tahap 2 GNK (13%)
(60-89
cc/mnt)

Tahap 3 PENYAKIT GINJAL KRONIS


Tahun
(30-59 15
cc/mnt)

GAGAL GINJAL TERMINAL


Tahap 4 (END STAGE RENAL DISEASE)
(15-29
cc/mnt)

Tahap 5
(<15 DIALISIS Tahun
cc/mnt) 20

Gambar 1. Etiologi dan Tahapan Penyakit Ginjal Kronis berdasarkan


Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomeruli (Mitch & Klahr, 2003)

3. Gangguan Metabolisme dan Manifestasi Klinis


Gejala utama dari penyakit ginjal kronis adalah sindroma uremi.
Parameter dari sindroma uremi adalah akumulasi toksin uremi (limbah
nitrogen) di dalam tubuh. Limbah nitrogen ini sebagian besar berasal dari
sisa katabolisme protein, baik yang berasal dari makanan (eksogen)
maupun dari cadangan protein tubuh sendiri (endogen). Pada keadaan
normal limbah nitrogen akan diekskresi dengan cepat oleh ginjal. Bila
fungsi ginjal menurun < 40% normal, tidak semua limbah nitrogen dapat
diekskresi. Akibatnya akan terjadi akumulasi limbah nitrogen dalam tubuh
dengan manifestasi klinis sebagai sindoma uremi (Sidabutar et al., 1991).
13

Pada tahap 1 dan 2 (LFG>60 cc/menit) kelainan metabolisme yang


terjadi biasanya disebabkan oleh penyakit dasar sebagai etiologi penyakit
ginjal kronis sendiri. Kelainan metabolisme pada penyakit ginjal kronis
biasanya baru menonjol pada tahap 3 dan berikutnya (LFG,59 cc/menit).
Pada tahap 4 dan 5, gejala penyakit ginjal kronis yang menonjol adalah
uremia dan malnutrisi. Walaupun malnutrisi pada penyakit ginjal kronis
kebanyakan disebabkan oleh karena berkurangnya asupan protein
maupun energi, tetapi pada penyakit ginjal kronis tahap akhir gangguan
sekresi hormon juga berperan menimbulkan gangguan metabolisme
(Mitch & Klahr, 2003).
Menurut Locatelli et al. (2003) gangguan metabolisme pada
penyakit ginjal kronis antara lain adalah peningkatan katabolisme secara
umum, menurunnya deposit glikogen, terjadinya keseimbangan nitrogen
negatif, akumulasi berbagai toksin, hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hiperfosforemia, asidosis metabolik dan peningkatan aktifitas berbagai
hormon.
Penyakit ginjal kronis akan menimbulkan kelainan atau gejala pada
berbagai sistem. Gejala dan tanda penyakit ginjal kronis sesuai dengan
gangguan sistem yang timbul. Bila penyakit ginjal kronis telah bergejala
maka umumnya diagnosis tidak sukar ditegakkan. Gangguan pada suatu
sistem akan berpengaruh pada sistem lain, sehingga suatu gangguan
metabolik dapat menimbulkan kelainan pada berbagai sistem atau organ
tubuh (Sidabutar et al., 1991).

4. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Gambaran klinis penyakit ginjal kronis tergantung tahapannya.
Pada kekurangan cadangan ginjal, sama sekali tidak ada gejala khusus
dan pemeriksaan penyaring seperti serum kreatinin pun masih dalam
batas normal. Umumnya bila kliren kreatinin menurun dibawah 25
ml/menit baru ditemukan tanda laboratorium, misalnya kreatinin serum
mulai meningkat (Sidabutar et al., 1991).
14

Pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal kronis yang dilakukan


untuk memperkuat diagnosis adalah pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan laboratorium, antara lain:
a. Pemeriksaan radiologi meliputi : foto polos abdomen, pielografi intra
vena, USG, renogram, radiologik jantung, radiologik tulang, radiologik
paru, pielografi retrogat, EKG dan biopsi ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang mendekati laju filtrasi glomeruli adalah
pemeriksaan kliren kreatinin. Pemeriksaan serum kreatinin sangat
memadai untuk menilai faal glomerulus. Kreatinin diproduksi di otot
dan dikeluarkan melalui ginjal. Bila ada peninggian kreatinin dalam
serum berarti faal pengeluaran di glomerulus berkurang. Pemeriksaan
ureum darah atau nitrogen urea darah dapat juga dipakai sebagai tes
penguji faal glomerulus, tetapi harus diingat beberapa hal yaitu:
pengolahan ureum dalam ginjal dipengaruhi oleh tubulus, produksi
ureum dipengaruhi oleh faal hati, absorbsi protein dan makanan di
usus, ataupun darah yang ada di usus. Pemeriksaan nitrogen urea
darah sering dipakai untuk menilai hubungan faal ginjal dengan diet
yang diberikan pada penderita. Pemeriksaan protein total dan albumin
diperlukan untuk menentukan aturan makan yang harus diberikan.
Kegawatan dinilai dengan kadar kalium dalam serum dan analisis gas
darah, serta pemeriksaan laboratorium lainnya (Wilkens, 2004).

B. Hemodialisis
Ginjal buatan adalah alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa
hasil metabolisme tubuh atau toksin lain dari tubuh, bila kedua fungsi
ginjal sudah tidak memadai lagi. Hemo berarti darah, sedangkan dialisa
berasal dari bahasa Yunani yang berarti memisahkan dari yang lain.
Secara klinik dimaksudkan zat gizi dalam darah disaring lewat membran
semipermiabel dan kemudian dibuang. Keuntungan dari hemodialisis
dapat mengeluarkan kelebihan kalium, natrium, phosphat, sulfur, asam
15

amino dengan berat molekul kecil serta hasil sisa metabolisme nitrogen
(Corwin, 2001).
Carpenter & Lazarus (1994) menyatakan bahwa hemodialisis
merupakan terapi ginjal yang bertujuan mengeliminasi sisa-sisa
metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara
kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel. Pada saat ini
hemodialisis sudah menjadi terapi baku pada gagal ginjal terminal,
intoksikasi obat, dan zat-zat kimia.
Menurut Pernefri (2003) hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti pada penderita penyakit ginjal kronis tahap akhir atau
yang sering disebut gagal ginjal terminal (End stage renal disease/ESRD)
disamping dialisis peritoneal, hemofiltrasi serta transplantasi ginjal.
Hemodialisis sebagai tindakan terapi disebut juga terapi pengganti,
karena tindakan ini hanya menggantikan sebagian fungsi ginjal yaitu
fungsi ekskresi untuk membuang zat-zat toksik dari tubuh. Jadi pada
tindakan hemodialisis ini fungsi lain dari ginjal seperti fungsi produksi
hormon, tidak digantikan, sehingga penderita yang kekurangan hormon
eritropoetin misalnya akan tetap anemia (Sidabutar et al., 1991).
Malnutrisi kalori protein sering dijumpai pada penderita
hemodialisis. Menurut Cano (2001) malnutrisi pada penderita hemodialisis
disebabkan oleh dialisis yang tidak adekuat, asidosis, gangguan hormon,
uremia dan inflamasi.
Anoreksia pada penderita dengan hemodialisis antara lain
disebabkan oleh dialisis yang tidak adekuat, penimbunan molekul
anoreksigen, peningkatan serum leptin, disgeusia, anemia, gangguan
saluran pencernaan seperti nausea, vomiting, gastroparesis, banyaknya
obat yang harus dikonsumsi, rendahnya status sosial ekonomi serta
depresi (Cano, 2001; Kopple & Massry, 2004).
Anoreksia, mual dan muntah menyebabkan rendahnya asupan zat
gizi penderita hemodialisis. Hasil penelitian Aparicio et al. (1999)
menunjukkan bahwa rendahnya asupan protein berhubungan signifikan
16

dengan albumin dan prealbumin serum penderita. Kekurangan protein


menyebabkan gangguan pada absorbsi dan transportasi zat-zat gizi. Di
samping itu protein juga mempunyai fungsi khas yang tidak dapat
digantikan oleh zat-zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-
sel dan jaringan yang rusak (Wildman & Medeiros, 2000). Masukan
protein yang rendah akan meningkatkan glukosa darah, kolesterol dan
trigliserida yang akan menimbulkan komplikasi kardiovaskuler. Defisiensi L
arginin akan berakibat terjadinya penurunan nitric oxide synthase yang
akan menyebabkan vasokonstriksi lokal dan hipertensi, sehingga
meningkatkan risiko kardiovaskuler (Pollock et al., 1996; Kopple & Massry,
2004).
Prosedur hemodialisis sendiri juga menyebabkan bertambahnya
stres katabolik, karena zat-zat gizi dan substansi lain yang hilang melalui
dialisat. Jumlah asam amino yang hilang sekitar lebih dari 4 gram setiap
kali hemodialisis. Kehilangan darah pada hemodialisis tidak dapat
dihindari dan hanya dapat dikurangi dengan menggunakan teknik yang
baik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata darah hilang setiap
hemodialisis adalah 75 ml.
Di samping itu bila dipakai dialisat tanpa glukosa, maka 20-30 gram
glukosa tubuh akan keluar ke dialisat, dan hal ini akan mengakibatkan
proses glukoneogenesis dari protein tubuh. Jadi hemodialisis akan
menyebabkan pemecahan protein tubuh yang diduga akibat interaksi
antara darah dan membran buatan (Sidabutar et al., 1991). Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan proses katabolisme pada
penderita hemodialisis yang menggunakan membran cuprophane, terbukti
dengan adanya kehilangan asam amino bebas dan peptida yang setara
dengan pemecahan protein sebanyak 15 gram ke dalam dialisat setelah
darah terpapar dengan membran dialisa selama 150 menit (Kopple &
Massry, 2004). Keadaan ini akan bertambah buruk bila menggunakan
membran dialisis pakai ulang.
17

Menurut Hakim & Levin (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi


status gizi penderita hemodialisis reguler disajikan pada Tabel 3.
Sebagian besar dari faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi tersebut
terkoreksi selama program hemodialisis.

Tabel 3. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Penderita


yang Menjalani Dialisis

A. Faktor-faktor dialisis
1. Kt/V < 0.1
2. Membran yang bioincompatible
3. Hilangnya asam amino dan peptida ke dalam dialisat
4. Menggunakan dialisat asetat dan tinggi kalsium
B. Biokimia
1. Asidosis
2. Kadar hormon paratiroid yang tinggi (?)
3. Hematokrit yang rendah (?)
4. IGF – 1 yang rendah
5. Resistensi insulin, glukoneogenesis yang meningkat, pengurangan
cadangan glikogen
C. Gastrointestinal
1. Gastroparesis
2. Malabsorbsi
3. Esofagitis, Gastritis
4. Anoreksia
5. Konstipasi
6. Rendahnya asupan protein, dalam waktu lama
D. Lain-lain
1. Depresi
2. Status Sosioekonomi yang rendah
3. Medikasi yang multiple terutama yang sedatif
4. Penyakit yang mendasari
5. Perawatan berulang-ulang

Sumber : Hakim & Levin, 1993.

C. Penilaian Status Gizi Penderita dengan Hemodialisis


Dalam melakukan penilaian status gizi diperlukan pemahaman
tentang enam kompartemen tubuh manusia yaitu lemak, kulit dan skelet,
massa ekstraseluler, protein plasma, massa protein viseral, dan otot skelet
atau massa protein somatik. Setiap kompartemen memerlukan
pemeriksaan tertentu, karena itu tidak ada parameter tunggal yang akurat
18

untuk mengenal gangguan status gizi. Pemeriksaan tersebut meliputi


pemeriksaan antropometri, biokimia, klinis dan asupan diet (Gibson,
1990).
Kehilangan protein dalam tindakan hemodialisis, bila tidak
ditanggulangi dengan baik akan menyebabkan gangguan status gizi,
apalagi proses ini adalah proses yang berulang dan berlangsung dalam
jangka panjang (Roesli, 2005). Gangguan gizi akan menyebabkan angka
mortalitas meningkat, yang antara lain dapat diketahui dari meningginya
kejadian infeksi serta septikemi, maka adalah penting untuk mengetahui
dan menentukan status gizi penderita penyakit ginjal kronis dengan
hemodialisis dengan memeriksa ukuran-ukuran tubuh seperti berat badan
ideal, bila perlu dilakukan pemeriksaan khusus seperti tebal kulit, lingkar
lengan, kadar protein, albumin, transferin, keluaran nitrogen, dan
sebagainya (Wilkens, 2004).
Pemeriksaan untuk menilai gangguan status gizi penderita
hemodialisis reguler, secara klinis dan praktis adalah sebagai berikut:
1. Penentuan asupan diet harian
a. riwayat diet
b. catatan diet
c. laju katabolik protein (PCR = protein catabolic rate)
2. Pemeriksaan antropometrik
a. berat badan, tinggi badan
b. berat badan ideal
c. triceps skinfold
d. mid-arm muscle circumference
3. Pemeriksaan biokimia
a. protein total e. kolesterol
b. albumin f. high density lipoprotein
b. transferin g. kreatinin
c. trigliserida
19

4. Pemeriksaan imunologik
a. hitung limfosit
d. tes kulit
Serum albumin sebagai indikator kekurangan kompartemen protein
viseral telah lazim digunakan untuk menentukan gangguan status gizi.
Kecepatan sintesanya merupakan reaksi terhadap perubahan masukan
makanan. Bila sintesisnya menurun, serum albumin intravaskuler akan
dipertahankan dengan 2 mekanisme kompensasi yaitu:
1. perpindahan albumin ekstravaskuler ke intravaskuler
2. penurunan kecepatan katabolisme
Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh
manusia yang berfungsi membantu metabolisme dan transportasi
berbagai obat-obatan, senyawa endogen dalam tubuh terutama substansi
lipofilik, hormon, dan vitamin; mempertahankan tekanan onkotik darah
agar tidak terjadi ekspansi plasma ke ruang ekstraseluler; anti
peradangan; membantu keseimbangan asam basa; serta sebagai
antioksidan dengan cara menghambat produksi radikal bebas eksogen
oleh leukosit polimorfonuklear. Kadar albumin dalam urin menunjukkan
keseimbangan antara filtrasi glomeruli dan reabsorbsi tubulus. Penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis menyebabkan penurunan
reabsorbsi dan filtrasi albumin, sehingga kadar serum albumin mengalami
penurunan (Birn & Christensen, 2006).
Salah satu fungsi albumin di dalam tubuh adalah pembentukan
antibodi. Kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi bergantung pada
kemampuan untuk memproduksi antibodi terhadap organisme yang dapat
menyebabkan infeksi tertentu atau terhadap bahan-bahan asing yang
memasuki tubuh (Murray et al., 2000). Kadar serum albumin <4 g/dl
berhubungan dengan meningkatnya mortalitas, tetapi mortalitas paling
tinggi pada kadar serum albumin <3 g/dl. Hasil yang sama juga
didapatkan pada penderita dengan dialisis peritoneal. Ada korelasi yang
bermakna antara kadar albumin dengan lean body mass.
20

Kadar serum albumin digunakan secara luas untuk menilai status


gizi individu baik dengan penyakit ginjal kronis maupun tidak. Malnutrisi
umumnya terjadi pada penderita penyakit ginjal kronis dengan
hemodialisis, dan hipoalbuminemia merupakan prediktor yang baik untuk
memprediksi risiko mortalitas. Namun perlu diperhatikan pula bahwa kadar
serum albumin tidak hanya dipengaruhi oleh faktor nutrisi. Beberapa faktor
nonnutrisional yang mempengaruhi kadar serum albumin antara lain
infeksi dan inflamasi, status dehidrasi, hilangnya albumin lewat urin
ataupun peritonium dan asidemia (Jones, 2003).
Tidak ada satu pun metode penilaian status gizi yang dapat
menggambarkan seluruh kondisi penderita penyakit ginjal kronis, namun
NKF K/DOQI (2002) merekomendasikan bahwa serum albumin
merupakan indikator yang baik digunakan untuk menilai status gizi
penderita dengan hemodialisis. Hal ini disebabkan dari berbagai literatur
diperoleh data bahwa pada individu dengan atau tanpa penyakit ginjal
kronis, terdapat hubungan antara serum albumin dan status gizi, serta
terdapat hubungan yang kuat antara hipoalbuminemia dan mortalitas pada
penderita hemodialisis rutin. Di samping itu, pengukurannya relatif tidak
mahal, mudah dilakukan, serta tersedia luas peralatannya.
Keuntungan lain dari pemeriksaan kadar serum albumin adalah
penurunan minimal konsentrasi serum albumin (antara 3,5-4 g/dl)
mempunyai hubungan dengan peningkatan mortalitas. Sebagaimana hasil
penelitian Kaysen et al. (1995) pada penderita hemodialisis,
hipoalbuminemia merupakan indikator mortalitas yang paling baik.
Intervensi gizi mungkin dapat mempertahankan ataupun
meningkatkan kadar serum albumin yang berhubungan erat dengan
kemampuan untuk mempertahankan hidup. Konsentrasi serum albumin
akan menurun seiring dengan penurunan asupan energi dan protein, serta
akan meningkat jika asupan energi dan protein ditingkatkan. Konsentrasi
serum albumin juga berhubungan erat dengan acute phase protein.
Peningkatan C-reactive protein dilaporkan berhubungan positif dengan
21

serum albumin dan nPNA (normalized Protein Equivalent of Total Nitrogen


Appearance). Oleh karena itu dari beberapa hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa serum albumin secara individual akan dipengaruhi
baik oleh terjadinya inflamasi maupun asupan zat gizi (NKF K/DOQI,
2002; Rigby, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan antara serum
albumin, kreatinin dan BB/TB secara independen dengan kemampuan
bertahan hidup. NKF K/DOQI merekomendasikan serum albumin sebagai
pemeriksaan rutin pada penderita dengan hemodialisis yang dapat
menggambarkan status gizi dan sebaiknya diperiksa setiap sebulan sekali.
Suatu mega trial untuk mencari hubungan sebab kematian
penderita hemodialisis dilakukan pada lebih 12000 penderita didapatkan
lebih dari 2/3 penderita yang meninggal, mempunyai kadar serum albumin
rendah (<4g/dl). Secara statistik hipoalbuminemia merupakan petanda
malnutrisi mempunyai hubungan yang paling besar dengan tingginya
mortalitas (Lowrie & Lew, 1990).
Di samping serum albumin, NKF K/DOQI (2002) juga
merekomendasikan pemeriksaan serum kreatinin sebagai petanda status
gizi pada penderita hemodialisis rutin. Kreatinin adalah suatu produk
penguraian otot yang diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi
dan sekresi. Konsentrasi kreatinin dalam plasma relatif tetap dari hari ke
hari (Corwin, 2001). Konsentrasi tersebut berkisar antara 0,7-1,5 mg/dl
atau 62-132 mol/l pada kondisi fungsi ginjal tidak terganggu (Murray et al.
2000).
Pada penderita hemodialisis rutin dengan kegagalan ginjal yang
mendapatkan dosis dialisis konstan, kadar serum kreatinin menunjukkan
asupan protein (otot) dari diet dan massa protein somatik (otot skeletal).
Rendahnya kadar serum kreatinin predialisis pada penderita hemodialisis
rutin tanpa memperhatikan fungsi ginjal menunjukkan rendahnya massa
otot dan atau rendahnya protein dalam diet (Bishop et al., 1996).
22

Penderita hemodialisis yang mengalami penurunan massa otot


skeletal pada dasarnya juga berhubungan dengan rendahnya atau
menurunnya kadar serum kreatinin. Hasil penelitian juga melaporkan
adanya hubungan yang signifikan antara kadar serum kreatinin dengan
serum albumin dan konsentrasi prealbumin (NKF K/DOQI, 2002).
Serum kreatinin dan indeks kreatinin merupakan prediktor
pemeriksaan klinis. Hasil penelitian pada penderita hemodialisis rutin
menunjukkan bahwa serum kreatinin predialisis dan rasio urea kreatinin
merupakan prediktor yang berhubungan dengan kemampuan
mempertahankan hidup. Suatu studi longitudinal pada penderita
hemodialisis rutin menunjukkan hasil bahwa kadar serum kreatinin
berhubungan terbalik dengan mortalitas, semakin rendah kadar serum
kreatinin semakin tinggi risiko mortalitas. Risiko ini menurun pada kadar
serum kreatinin 9-11 mg/dl. Pada penderita hemodialisis rutin tanpa
memperhatikan kliren kreatinin, perlu dilakukan evaluasi status gizi jika
kadar serum kreatinin predialisis lebih rendah dari 10 mg/dl.
Serum kreatinin diperiksa sebelum dialisis dan direkomendasikan
untuk diperiksa setiap bulan. Menurut Mitch & Goldberg (2004) kadar
rerata serum kreatinin pada penderita hemodialisis adalah 12-15 mg/dl.
Disebutkan pula bahwa risiko morbiditas menurun apabila kadar kreatinin
meninggi sesuai batas normal. Serum kreatinin merupakan indikator
massa otot dan status gizi. Perubahan pada kadar serum kreatinin
menunjukkan perubahan pemasukan protein dalam diet atau katabolisme
protein endogen.

D. Terapi Diet Hemodialisis

Menurut Cano (2001) meningkatnya prevalensi malnutrisi pada


penderita penyakit ginjal kronis mendasari pentingnya penatalaksanaan
diet yang tepat. Masalah-masalah khusus pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis yang berhubungan dengan pengaturan diet antara lain:
kekurangan cairan dan garam (natrium), hiperkalemia, anemia, asidosis
23

metabolik, hipokalsemia dan hiperfosfatemia, hiperlipidemia,


hiperurikemia, dan hipoalbuminemia.

1. Tujuan Diet
Adapun tujuan pengaturan diet pada Hemodialisis adalah:
a. mencukupi kebutuhan protein untuk menjaga keseimbangan nitrogen
dan juga mencegah berlebihnya akumulasi sisa metabolisme diantara
dialisis
b. memberikan cukup energi untuk mencegah katabolisme jaringan tubuh
c. mengatur asupan natrium untuk mengantisipasi tekanan darah dan
oedema
d. mengatur asupan kalium untuk mencegah hiperkalemia
e. mengatur asupan cairan untuk mencegah kelebihan cairan diantara
dialisis
f. membatasi asupan fosfor
g. mencukupi kebutuhan zat-zat gizi lain, terutama vitamin-vitamin yang
larut selama proses dialisis (Wilkens, 2004).

2. Syarat Diet
a. Energi
Asupan energi yang adekuat sangat diperlukan untuk mencegah
katabolisme jaringan tubuh. Moore (1997) menganjurkan energi sebesar
35 kkal/kgBBI/hari, disesuaikan dengan kebutuhan energi secara
individual dan untuk mencapai Ideal Body Weight. Asupan energi yang
optimal dari golongan bahan makanan non protein ini dimaksudkan untuk
mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Kopple & Massry
(2004), juga menganjurkan sedikitnya energi yang diberikan adalah 35
kkal/kgBBI/hari dan perlu ditambahkan untuk meningkatkan berat badan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata keseimbangan nitrogen negatif
pada asupan 25 kkal/kgBBI/hari, netral pada 35 kkal/kgBBI/hari dan
keseimbangan positif pada 45 kkal/kgBBI/hari.
24

Manajemen terapi diet untuk pasien hemodialisis dari NKF K/DOQI


practice guidelines (2002) menyebutkan bahwa kebutuhan energi untuk
pasien dewasa < 60 tahun sebesar 35 kkal/kgBBI/hari, untuk dewasa > 60
tahun atau pasien obese kebutuhannya berkisar 30-35 kkal/kgBBI/hari.
Meskipun pada kenyataannya dari hasil penelitian HEMO study rata-rata
asupan energi pasien dengan dialisis adalah 23 kkal/kgBB/hari.
Adapun distribusi energi adalah 10-15% dari protein, 30-35% dari
lemak dan 50-55% dari karbohidrat. Bahan makanan non protein yang
dapat digunakan sebagai sumber energi antara lain minyak, mentega,
margarin, gula, madu, sirup, jam, dan lain-lain (Wilkens, 2004).

b. Protein
Setiap kali dialisis 10-12 g asam amino bebas hilang, dan terjadi
peningkatan kehilangan asam amino jika dialisat yang digunakan adalah
glukosa dan high flux dialysis. Asupan protein cukup, 1-1,2 g/kgBBI/hari
untuk menjaga keseimbangan nitrogen dan kehilangan protein selama
dialisis. Dengan asupan protein tersebut diharapkan dapat mencegah
tingginya akumulasi sisa metabolisme protein diantara hari dialisis
berikutnya. Sekurang-kurangnya 50% asupan protein berasal dari protein
bernilai biologis tinggi (Moore, 1997; NKF K/DOQI, 2002; Wilkens, 2004).
Hasil penelitian Kopple & Massry (2004) menunjukkan bahwa
konsumsi protein 0,75 g/kgBBI/hari akan mengakibatkan keseimbangan
nitrogen negatif, sedangkan konsumsi 1,25 g/kgBBI/hari menunjukkan
hubungan kuat dengan keseimbangan nitrogen positif. Diet rendah protein
0,8–0,9 gr/kgBBI/hari berhubungan dengan rendahnya serum albumin dan
berat badan, sedangkan konsumsi protein lebih tinggi justru berhubungan
signifikan dengan peningkatan baik kadar albumin maupun berat badan.
Sumber protein bernilai biologis tinggi yang dianjurkan seperti daging,
susu, telor, keju, ikan, kerang, ayam dan lain-lain (NKF K/DOQI, 2002).
25

c. Lemak
Pemberian lemak perlu mendapatkan perhatian, karena disatu sisi
asupan lemak digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalori, namun di
pihak lain lemak ikut memperburuk fungsi ginjal dan menambah
morbiditas akibat atherosklerosis. Pasien dengan hemodialisis seringkali
mengalami gangguan metabolisme lemak. Insiden terjadinya
hiperlipidemia type IV cukup tinggi, dimana serum trigliserida, Very Low
Density Lipoprotein (VLDL), dan Intermediate Density Lipoprotein (IDL)
kolesterol seringkali meningkat. Semua fraksi High Density Lipoprotein
(HDL) kolesterol menurun, kemungkinan juga mengurangi aktifitas Lecitin
Cholesterol Acyl Transferase (LCAT) (Kopple & Massry, 2004). Seperti
yang direkomendasikan oleh NKF K/DOQI (2002) dan An American Heart
Association Step 1 Diet dalam Kopple & Massry (2004) bahwa tidak lebih
dari 30% kalori berasal dari lemak, tidak kurang dari 10% berasal dari
sumber lemak jenuh, dan kolesterol < 300 mg/hari.
Hipertrigliseridemia umumnya terjadi pada pasien dengan
hemodialisis. Hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kejadian
hypertrigliseridemia, termasuk diabetes dan hypotiroidism, meskipun
terdapat hubungan yang kurang kuat antara hypertrigliseridemia dengan
morbiditas atau total kejadian penyakit kardiovaskuler dan hanya sedikit
informasi tentang seberapa tinggi level trigliserida dalam darah yang dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu, hal ini
menyulitkan ditetapkannya rekomendasi terapi untuk mild
hypertrigliseridemia.

d. Natrium dan Cairan


Asupan natrium 40-120 mEq/hari (920-2760 mg/hari) untuk kontrol
tekanan darah dan oedema. Pembatasan natrium dapat membantu
mengatasi rasa haus, dengan demikian dapat mencegah kelebihan
asupan cairan. Asupan natrium dapat diberikan lebih tinggi 7-9 jam
sebelum dialisis untuk mencegah hipotensi atau kram selama dialisis
(Moore, 1997; Kopple & Massry, 2004).
26

Menurut Wilkens (2004) sebaiknya dilakukan restriksi terhadap


pemberian natrium yaitu dengan tidak menambahkan garam dalam
pengolahan makanan dan diet mengandung 80–100 mmol natrium/hari.
Jumlah cairan dan natrium yang diberikan tergantung pula pada jumlah
cairan yang keluar (output) (NKF K/DOQI, 2002). Adapun bahan makanan
tinggi natrium yang tidak dianjurkan antara lain:
- garam natrium yang ditambahkan ke dalam makanan, seperti
natrium bikarbonat, natrium benzoat atau pengawet buah dan
sayuran, natrium nitrit atau senyawa yang digunakan untuk
mengawetkan daging
- bahan makanan yang dikalengkan (Moore, 1997; Wilkens, 2004).

e. Kalium
Dalam kondisi normal ginjal mengeluarkan lebih kurang 80–90%
kalium setiap hari, dan 7–10 mEq per hari kalium dikeluarkan dalam feses.
Pada penderita gagal ginjal terjadi peningkatan pengeluaran kalium dalam
feses yaitu sekitar 14–20 mEq/hari (Kopple & Massry, 2004). Pembatasan
kalium sangat diperlukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
dysrhythmia dan cardiac arrest, dimana asupan kalium diberikan 40–70
mEq/hari atau 1560–2730 mg/hari (Wilkens, 2004).
Menurut NKF K/DOQI (2002), kebutuhan kalium tergantung pula
pada urin yang keluar, dimana sebagian besar pasien hemodialisis dapat
mentolerir 2,5 g kalium per hari. Pembatasan kalium juga berhubungan
dengan adanya defisiensi insulin, metabolik asidosis, terapi dengan
antagonis, betha blockers atau aldosteron (Kopple & Massry, 2004).
Secara individual cukup dengan pemberian 40 mg/kg berat badan bebas
oedema.
Bahan makanan tinggi kalium pada umbi, buah-buahan, sayuran,
kacang-kacangan, dan yang tidak dianjurkan antara lain: kentang, alpokat,
pisang, mangga, tomat, rebung, kailan, daun singkong, daun pepaya,
bayam, kacang hijau dan kacang kedele.
27

f. Magnesium
Seperti halnya kalium, ginjal juga mengeluarkan magnesium.
Kandungan magnesium dalam bahan makanan jauh lebih rendah
daripada kalium ataupun fosfor, sehingga didalam usus diabsorbsi dalam
jumlah yang lebih kecil, hipermagnesemia merupakan problem yang
kurang serius dibandingkan hiperkalemia atau hiperfosfatemia. Pasien
dengan hemodialisis kehilangan magnesium melalui dialisat sebesar 1,0
mEq/L dan diet 200–300 mg/hari dapat menormalkan kadar serum
magnesium (Kopple & Massry, 2004).

g. Kalsium dan Fosfor


Hendaknya dikontrol keadaan hipokalsemia dan hiperfosfatemia,
hal ini untuk menghindari terjadinya hiperparatiroidism dan seminimal
mungkin mencegah kalsifikasi dari tulang dan jaringan tubuh (Wilkens,
2004). Pada umumnya bahan makanan tinggi kalsium juga merupakan
sumber fosfor. Pada penderita dengan hemodialisis keseimbangan
kalsium dapat dicapai dengan asupan 1–1,5 g/hari. Asupan lebih dari 3
g/hari dapat mengakibatkan peningkatan kalsium yang diabsorbsi dan
menyebabkan hiperkalsemia atau penumpukan kalsium pada jaringan
lunak. Fosfor dalam diet sebaiknya sekitar 800–1000 mg/hari. Diet rendah
fosfor (< 800 mg/hari) kemungkinan kurang enak bagi pasien. Namun
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, digunakan pengikat fosfor
(phosphorus binders), seperti kalsium karbonat, kalsium asetat dan
kalsium sitrat. Penggunaan pengikat fosfor ini berdasarkan hasil penelitian
dapat menurunkan 50% fosfor dari diet (NKF K/DOQI, 2002).

h. Vitamin D dan Vitamin yang lain


Vitamin D diaktifkan dalam ginjal menjadi kalsitriol atau vitamin D3
yang berperan didalam absorbsi kalsium dan fosfor dari saluran cerna.
Penurunan kadar Vitamin D3 akan menyebabkan penurunan absorbsi
kalsium dan penurunan pengeluaran fosfor. Suplementasi 0,5–0,3 µg
vitamin D3 intravena dapat diberikan pada saat hemodialisis atau 0,2–0,3
28

µg melalui oral setiap hari selain pada saat hemodialisis dapat


meningkatkan absorbsi kalsium, mencegah atau memperbaiki
hiperparatiroidism, dan meningkatkan metabolisme tulang. Namun
kemungkinan dapat menyebabkan hiperkalsemia, oleh karena itu harus
selalu dimonitor dan dengan pengawasan dokter (NKF K/DOQI, 2002;
Kopple & Massy, 2004).
Disamping Vitamin D hemodialisis juga meningkatkan risiko
defisiensi vitamin lainnya, terutama asam folat, vitamin B6, dan vitamin C.
Hal ini disebabkan pada penderita gagal ginjal asupan makanan menurun
karena anoreksia, rendahnya fosfor dan kalium dalam diet; meningkatnya
metabolisme, seperti pada piridoksin dan folat; gangguan sintesis,
resistensi aktivitas vitamin; penurunan absorbsi di usus, dan pengeluaran
vitamin larut air dalam dialisat. Hasil penelitian menunjukkan perlunya
diidentifikasi dan diutamakan pasien yang kemungkinan akan mengalami
defisiensi vitamin. Suplementasi vitamin sesuai dengan yang dianjurkan
(Recommended Dietary Allowance/RDA) untuk vitamin larut air, untuk
vitamin A dan E ditujukan untuk piridoksin HCl dosis tinggi dan asam folat
1 mg/hari. Vitamin C direkomendasikan sesuai dengan kebutuhan, karena
vitamin C dosis tinggi akan meningkatkan risiko konsumsi oksalat (Kopple
& Massry, 2004).

i. Trace Elements
Jumlah trace elements di dalam darah dan jaringan dipengaruhi
oleh banyak faktor, yang kadang tidak tergantung pada status gizi. Faktor-
faktor tersebut meliputi asupan dalam diet, fungsi ekskresi ginjal,
lingkungan dan kondisi paparan, durasi dari kerusakan ginjal, konsentrasi
dialisat dan mungkin juga model terapi dialisis. Hal ini kemungkinan juga
disebabkan sebagian besar mineral terikat oleh protein. Kondisi uremia
berhubungan dengan peningkatan serum binding protein atau
meningkatkan konsentrasi senyawa yang berikatan dengan protein
(Moore, 1997).
29

Beberapa trace elements menunjukkan jumlah yang sedikit sekali di


dalam plasma dan terikat oleh protein, kehilangan dalam hemodialisis juga
dalam jumlah sedikit. Kebutuhan diet untuk sebagian besar trace elements
bagi penderita hemodialisis belum ditentukan dengan baik. Defisiensi besi
umumnya yang sering diperhatikan pada pasien dengan hemodialisis.
Faktor yang menyebabkannya kemungkinan karena perdarahan
gastrointestinal, sequestrasi darah dalam dialyzer pada saat akhir dialisis,
pengikatan besi oleh membran dialisa, dan frekuensi terjadinya
perdarahan. Terapi eritropoetin kemungkinan mengurangi pengikatan
cadangan besi dengan nonhemoglobin. Defisiensi besi dapat diketahui
dari pengukuran serum besi dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) serta
ferritin. Suplementasi besi oral dapat diberikan misalnya dalam bentuk
ferro sulfat, fumarat, glukonat, dan laktat. Pemberian 250–500 mg ferro
sulfat tiga kali sehari setengah sampai satu jam sesudah makan dapat
mengurangi iritasi lambung, dengan harga yang relatif murah dan dapat
ditolerir pasien.
Kadar zink serum seringkali rendah, namun zink dalam sel darah
merah seringkali normal atau meningkat. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa disgeusia dan impotensi pada laki-laki kemungkinan disebabkan
tidak adanya suplementasi zink. Namun, dibeberapa studi yang lain hal ini
tidak ditemukan. Kecukupan zink yang direkomendasikan sebesar 15
mg/hari. Hanya sedikit yang diketahui tentang kebutuhan gizi atau
toleransi terhadap trace elements yang lain pada pasien dengan
hemodialisis. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa dalam makanan
dan minuman sudah terkandung trace elements yang dapat memenuhi
kebutuhan. Di sisi lain, rendahnya selenium di dalam serum penderita
hemodialisis diasumsikan karena kebutuhan meningkat dan
ketidakcukupan dalam diet. Hal ini mungkin berkaitan karena selenium
merupakan komponen sistem pertahanan tubuh terhadap stres oksidatif
jaringan yang meningkat pada penderita gagal ginjal (Kopple & Massry,
2004; Wilkens, 2004).
30

3. Terapi Diet Intradialisis


Terapi diet intradialisis merupakan cara pemberian diet pada pasien
hemodialisis yang dilakukan pada saat hemodialisis berlangsung. Tujuan
pemberian diet intradialisis adalah untuk mengganti kehilangan zat gizi
terutama protein yang hilang selama dialisis dan pada umumnya diberikan
nutrisi parenteral (Intradialytic Parenteral Nutrition/ IDPN). Efek pemberian
nutrisi parenteral intradialisis dari 30 studi retrospektif dan sebuah studi
kasus kontrol menunjukkan adanya peningkatan berat badan, arm muscle
circumference, albumin, transthyretin (prealbumin), respon terhadap tes
hipersensitivitas kulit dan asupan makanan yang signifikan (Cano, 2003).
Menurut Kopple & Massry (2004) studi tentang nutrisi parenteral
intradialisis mempunyai beberapa kelemahan antara lain: adanya
perbedaan dalam mendiagnosis malnutrisi pada pasien dan juga diberikan
kepada pasien yang tidak terdiagnosis malnutrisi, perbedaan formula
parenteral yang digunakan, dan kurang memperhatikan faktor perancu. Di
samping itu nutrisi ini dianggap kurang menguntungkan jika diberikan
pada pasien tanpa indikasi nutrisi parenteral misalnya pasien dengan
saluran cerna yang masih berfungsi normal.
Di samping nutrisi parenteral intradialisis, Cano (2003) juga
melaporkan bahwa pemberian makanan tambahan secara oral (oral
supplementation) intradialisis juga terbukti dapat meningkatkan asupan
makanan, meskipun tidak semua penelitian menunjukkan hasil yang
sama. Penderita hemodialisis yang mengkonsumsi makanan oral
intradialisis berlebihan juga akan menyebabkan terjadinya penurunan
tekanan darah (FitzGerald et al., 2004).
Menurut Wilkens (2004), nutrisi intradialisis dapat menggantikan
asam amino yang hilang selama hemodialisis, dimana pemberian nutrisi
oral pada penderita tanpa indikasi nutrisi parenteral akan lebih
menguntungkan karena lebih dapat ditolerir oleh penderita dan
mengandung zat gizi yang lebih lengkap termasuk vitamin dan mineral.
Heidlant dan Kult (Kopple & Massry, 2004) memberikan 100 gram steak
31

dan curds disamping nutrisi parenteral intradialisis pada 18 penderita


hemodialisis rutin, dan menunjukkan hasil adanya peningkatan kadar
albumin, total protein dan transferin yang signifikan.

E. Pemanfaatan Ikan Gabus sebagai Terapi Diet


Ikan gabus telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ikan ini adalah jenis ikan air tawar yang diketahui mengandung senyawa-
senyawa penting yang berguna bagi tubuh, diantaranya protein, lemak,
dan beberapa mineral. Kandungan proteinnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan beberapa jenis ikan lainnya. Kadar protein ikan
gabus 25,5%, yang berarti lebih tinggi dibanding dengan protein ikan
bandeng (20,0%), ikan emas (16,0%), ikan kakap (20,0%), maupun ikan
sarden (21,1%). Selain itu didalam daging ikan gabus terkandung mineral
yang erat kaitannya dengan proses penyembuhan luka yaitu zink sebesar
1,7412 mg/100 gram. Adapun komposisi kimia ikan gabus disajikan pada
Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Kimia Ikan Gabus (dalam 100 g bahan)


Jenis
Komponen kimia
Ikan Gabus Segar Ikan Gabus Kering

Protein (g) 25,20 58,00


Lemak (g) 1,70 4,00
Besi (mg) 0,90 0,70
Kalsium (mg) 62,00 15,00
Fosfor (mg) 176,00 100,00
Vitamin A (SI) 150,00 100,00
Vitamin B1 (mg) 0,04 0,10
Air 69,00 24,00

Kandungan protein ikan gabus juga tidak kalah dengan kandungan


protein telor yang merupakan bahan makanan sumber protein hewani
yang merupakan acuan mutu protein. Kadar albumin ikan gabus dan
beberapa bahan makanan disajikan pada Tabel 5.
32

Tabel 5. Kadar Albumin dan Protein Beberapa Bahan Makanan

Bahan Makanan Kadar


Albumin
Protein (%)
(% total protein)
Kedelai 10,0 39,0
Kacang tanah 15,0 24,8
Beras 10,8 7,4
Jagung 4,0 9,2
Oats 20,2 12,6
Gandum 14,7 11,2
Putih telor (oval dan conal) 73,0 10,6
Ikan gabus 24,0 25,2
Diambil dari berbagai sumber

Protein ikan gabus tersusun dari asam amino-asam amino esensial


yang diperlukan oleh tubuh. Komposisi asam amino dalam protein ikan
gabus dan putih telor disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Profil Asam Amino Ikan Gabus dan Putih Telor

Jenis Asam Amino Kadar


Putih telor (g/100g Ikan Gabus (g/100g
Berat Dapat Dimakan) Berat Dapat Dimakan)
Fenilalanin 0.69 0.750
Isoleusin 0.70 0.838
Leusin 0.95 1.496
Methionin 0.42 0.081
Valin 0.84 0.866
Threonin 0.48 0.834
Lisin 0.65 1.702
Histidin 0.23 0.415
Aspartat 0.85 1.734
Glutamat 1.52 3.093
Alanin 0.65 1.007
Prolin 0.41 0.519
Arginin 0.63 1.102
Serin 0.75 0.675
Glisin 0.40 0.728
Sistein 0.26 0.016
Tirosin 0.45 0.538
Diambil dari berbagai sumber.
33

Sebagaimana protein ikan umumnya, ikan gabus mengandung tiga


jenis umum protein, protein larut (yang mudah dihilangkan dengan cara
ekstraksi), protein stroma jaringan ikat, dan protein kontraktil.
Sarkoplasma merupakan cairan yang ada diantara miofibril (de Man,
1997). Protein sarkoplasma disebut juga sebagai miogen, termasuk
albumin, mioalbumin, mioprotein, globulin-X dan miostromin. Albumin,
mioalbumin dan mioprotein mempunyai sifat mudah larut dalam air. Ikan
berdaging putih mengandung protein sarkoplasma yang lebih tinggi
dibanding yang merah.

Pemanfaatan ikan gabus masih terbatas sebagai bahan makanan


segar, namun akhir-akhir ini di beberapa rumah sakit, khususnya di
Malang ikan gabus dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif bahan
makanan sumber albumin bagi penderita hipoalbuminemia dan luka. Sari
ikan gabus atau sering disebut dengan filtrat ikan gabus telah dikenal dan
relatif mudah cara pembuatannya. Prinsip dasar pembuatan sari ikan
gabus adalah ekstraksi protein plasma ikan gabus. Tahapan proses
pembuatannya disajikan pada Gambar 2.
ikan gabus segar

pembersihan sisik dan isi perut

pencucian

pengecilan ukuran

proses ekstraksi

penyaringan

sari/filtrat ikan gabus

Gambar 2. Tahapan Proses Pembuatan Filtrat Ikan Gabus


34

Hasil penelitian Soemarko (1998) menunjukkan adanya


peningkatan kadar albumin yang signifikan pada penderita pasca operasi
yang mendapatkan diet ekstra filtrat ikan gabus. Peningkatan serum
albumin ini juga tidak memberikan efek merugikan terhadap kenaikan
trigliserida darah. Sebagaimana hasil penelitian Suprayitno et al. (2003),
menunjukkan bahwa pemberian filtrat ikan gabus dapat meningkatkan
kadar serum albumin dan mempercepat penyembuhan luka baru bekas
operasi.
Kumpulan studi kasus juga memberikan informasi bahwa
pemberian menu ekstra filtrat ikan gabus berkorelasi positif dengan
peningkatan kadar albumin dan proses penyembuhan luka operasi.
Peningkatan kadar albumin penderita yang mendapatkan menu ekstra
filtrat ikan gabus relatif lebih tinggi dibandingkan putih telor dari beberapa
studi kasus (Soemarko, 1998).
Hasil penelitian Liani et al. (1995) menunjukkan bahwa pemberian
minyak ikan pada pasien penyakit ginjal kronis dapat meningkatkan kadar
CD4 yang signifikan (p<0,001), rasio CD4/CD8 (p<0,001), dan IgG, yang
bermanfaat dalam sistem kekebalan tubuh. Ikan merupakan bahan
makanan sumber protein, asam lemak tidak jenuh ganda (Poly
Unsaturated Fatty Acid/ PUFA) terutama asam lemak omega 3, vitamin
dan mineral. Menurut Wilkens (2004) ikan sebagai sumber protein
mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap bila dibandingkan
dengan sumber protein hewani lainnya. Konsumsi asam lemak omega 3
dapat menghambat perkembangan aterosklerosis yaitu dengan
memperpanjang waktu pembekuan darah dan mengurangi penumpukan
platelet. Keadaan ini dapat menguntungkan penderita penyakit ginjal
kronis dengan hemodialisis yang rentan terhadap risiko penyakit
kardiovaskuler.
F. Formula Komersial

Formula Komersial merupakan formula yang diproduksi dengan


tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaannya. Formula
35

komersial biasanya dibuat khusus untuk pangsa pasar tertentu.


Perkembangan penyakit degeneratif saat ini menunjang semakin tingginya
persaingan perusahaan makanan kesehatan dalam memproduksi formula
komersial khusus. Seperti halnya formula yang dibuat oleh PT Abbott yang
dikhususkan untuk pasien dengan hemodialisis yang dikenal dengan
Nepro Abbott.
Rendahnya asupan energi dan protein pada pasien hemodialisis
serta hilangnya zat gizi terutama protein selama dialisis mendasari
pembuatan formula komersial Nepro Abbott. Formula ini mempunyai
kandungan protein berkualitas tinggi yang membantu memelihara
kesehatan otot dan jaringan tanpa menyebabkan produksi urea
berlebihan, rendah karbohidrat dan gula sehingga sesuai untuk pasien
hemodialisis dengan diabetes serta tinggi kandungan asam lemak tak
jenuh dan rendah asam lemak jenuh dalam memenuhi kebutuhan kalori
yang mendukung kesehatan kardiovaskuler. Adapun kandungan energi
dan zat gizi Nepro Abbott disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan Energi dan Zat Gizi Nepro Abbott per 237 ml

Energi dan Zat Gizi Jumlah Energi dan Zat Gizi Jumlah

Energi (kalori) 475,0 - Kolin (mg) 150,0


Protein (gram) 16,6 - Biotin (µg) 120,0
Lemak (gram) 22,7
Karbohidrat (gram) 52,8 Mineral:
Vitamin: - Sodium (mg) 200,0
- Vitamin A (IU) 1000,0 - Potasium (mg) 250,0
- Vitamin D (IU) 20,0 - Klorida (mg) 240,0
- Vitamin E (IU) 12,0 - Kalsium (mg) 325,0
- Vitamin K (µg) 20,0 - Fosfor(mg) 165,0
- Vitamin C (mg) 25,0 - Magnesium (mg) 50,0
- Asam Folat (µg) 250,0 - Iodium (µg) 38,0
- Thiamin (mg) 0,6 - Mangan (mg) 1,3
- Riboflavin (mg) 0,7 - Zink (mg) 5,6
- Vitamin B6 (mg) 2,1 - Besi (mg) 4,5
- Vitamin B12 (µg) 2,4 - Selenium (µg) 24,0
- Niacin (mg) 8,0

Sumber: Laboratorium Abbott, Columbus, Ohio.


36

Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan energi dan zat gizi


formula Nepro Abbott telah disesuaikan dengan kebutuhan pasien dengan
hemodialisis, dimana beberapa vitamin dan mineral juga dibuat dengan
perbandingan khusus, dikurangi atau ditambahkan dari kebutuhan normal
yang sangat diperlukan oleh pasien hemodialisis.

G. Landasan Teori

Masalah yang sering timbul pada pasien dengan hemodialisis


adalah tingginya angka malnutrisi. Menurut Hakim & Levin (1993)
berbagai faktor dapat mempengaruhi status gizi pasien dengan
hemodialisis. Disamping gangguan metabolisme akibat gangguan sistim
endokrin, seperti asidosis, hiperparatiroid dan resistensi insulin; rendahnya
asupan zat gizi karena gangguan gastrointestinal, faktor penyakit dan
kondisi sosial ekonomi serta depresi; prosedur hemodialisis sendiri juga
menyebabkan bertambahnya stres katabolik, karena zat-zat gizi dan
substansi lain yang hilang melalui dialisat.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
malnutrisi dan mempertahankan serta meningkatkan status gizi pasien
dengan hemodialisis antara lain dengan memberikan intervensi obat,
intervensi yang dilakukan melalui prosedur hemodialisis (intervensi
dialisis) serta intervensi gizi.
Terapi diet intradialisis merupakan salah satu intervensi gizi untuk
mempertahankan dan meningkatkan status gizi pasien dengan
hemodialisis, disamping konseling gizi dan pemberian suplementasi
energi dan protein. Terapi diet intradialisis dilakukan dengan memberikan
makanan kepada pasien hemodialisis selama hemodialisis berlangsung
dengan tujuan untuk menggantikan zat gizi yang hilang terutama protein
selama hemodialisis.
37

Faktor –faktor Intervensi


yang
mempengaruhi

Faktor dialisis:
- Kt/V
- Membran dialyzer Intervensi Gizi:
- Kehilangan asam - Konseling Gizi
amino - Suplementasi
- Jenis Dialisat energi dan protein
- Lamanya waktu - Terapi diet
hemodialisis intradialisis

Status metabolik:
- asidosis
- hiperparatiroid
- resistensi insulin Status Gizi Intervensi dialisis:
Pasien - Kt/V
dengan - Jenis dialisat
Faktor Gastrointestinal: Hemodialisis - Membran dialyzer
- gastroparesis - Lamanya waktu
- malabsorbsi hemodialisis
- esofagitis, gastritis
- anoreksia
- konstipasi
- rendahnya asupan
Intervensi Obat

Faktor lain-lain:
- depresi
- sosial ekonomi
- penyakit lain
- perawatan berulang
- medikasi multiple

Gambar 3.Kerangka teori faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi


dan intervensi untuk meningkatkan status gizi pasien dengan
hemodialisis (Hakim & Levin, 1993; Cano, 2003)
38

H. Kerangka Konsep Penelitian

Kehilangan Protein Status Gizi Pasien


pada saat Hemodialisis
Hemodialisis - serum albumin
- serum kreatinin

Terapi Diet Intradialisis:


- Diet standar Asupan energi
- Diet Ekstra Formula dan protein
Komersial
- Diet Ekstra Filtrat
Ikan Gabus

Gambar 4. Kerangka konsep penelitian

I. Hipotesis

1. Kadar serum albumin pasien hemodialisis yang mendapat diet ekstra


formula komersial intradialisis lebih tinggi dibandingkan pasien
hemodialisis yang mendapat diet standar tanpa diet ekstra.
2. Kadar serum albumin pasien hemodialisis yang mendapat diet ekstra
filtrat ikan gabus intradialisis lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
hemodialisis yang mendapat diet standar tanpa diet ekstra.
3. Kadar serum kreatinin pasien hemodialisis yang mendapat diet ekstra
formula komersial intradialisis lebih optimal dibandingkan pasien
hemodialisis yang mendapat diet standar tanpa diet ekstra.
39

4. Kadar serum kreatinin pasien hemodialisis yang mendapat diet ekstra


filtrat ikan gabus intradialisis lebih optimal dibandingkan pasien
hemodialisis yang mendapat diet standar tanpa diet ekstra.
40

Asupan Status Gizi


Energi dan Pasien dengan
Status Metabolik
Zat Gizi Hemodialisis

Terapi Diet
- Hemodialisis
- Intradialisis
Morbiditas
dan Mortalitas

Anda mungkin juga menyukai