ALGOLOGI
“PERANAN ALGA DALAM BIDANG BIOENERGI DI INDONESIA”
Disusun oleh:
DEPARTEMEN BIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2018
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu. Makalah ini oleh penulis
diberi judul “Peranan Alga Dalam Bidang Bioenergi Di Indonesia”.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan
laporan ini, diantaranya Ibu Kristanti Indah Purwani, S.Si., M.Si. sebagai dosen pembimbing
Algologi yang telah memberikan bimbingan pada penulis seputar Algologi dan Taksonomi
Tumbuhan serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tak ada gading yang tak retak, maka penulis sadari segala sesuatu itu pasti ada
kelebihan dan kekuranganya. Demi kesempurnaan makalah ini maka penulis siap menerima
kritik dan sarannya .
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada para pembaca sekalian. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
i
Daftar Isi
2.2 Bioenergi
Bioenergi adalah energi yang diperoleh dari biomassa sebagai fraksi produk
biodegradasi, limbah, dan residu dari pertanian (berasal dari nabati dan hewani), industri
kehutanan dan terkait, dan sebagian kecil biodegradasi dari limbah industri dan kota (FAO).
Bioenergi berperan penting pada pencapaian target dalam menggantikan petroleum
didasarkan pada bahan bakar transportasi dengan bahan bakar alternatif dan pereduksian
emisi karbon dioksida dalam jangka panjang. Berbagai sumber biomassa dapat digunakan
untuk menghasilkan bioenergi berbagai bentuk. Contohnya, makanan, serat dan kayu
sebagai residu dari sektor industri, energi dan rotasi pendek tanaman dan limbah pertanian,
dan hutan dan hutan pertanian (agroforestry) sebagai residu dari sektor kehutanan dimana
seluruhnya dapat digunakan untuk menghasilkan listrik, panas, gabungan panas dan tenaga,
dan bentuk-bentuk bioenergi.
Bioenergi modern bergantung pada konversi teknologi yang efisien untuk aplikasi skala
rumah tangga, usaha kecil, dan industri. Input biomassa padat atau cair dapat diproses untuk
menjadi energi yang lebih nyaman. Ini termasuk biofuel yang solid (misalnya kayu bakar,
serpihan kayu, pellet, arang, dan briket), biofuel gas (biogas, gas sintesis, hidrogen), dan
biofuel cair (misalnya bioetanol, biodiesel) (GBEP. 2007)
2.2.1 Macam-Macam Bioenergi
Produk utama bioenergi adalah etanol, biodiesel, dan biogas. Etanol dan biodiesel
dapat digunakan sebagai bahan bakar transportasi, dan etanol juga produk mentah penting
dalam industri kimia. Produksi etanol berperan penting dalam transformasi petroleum
terhadap biomassa berdasarkan ekonomi, ketahanan pangan, dan lingkungan.
b. Biodiesel
Biodiesel merupakan biofuel yang membutuhkan teknologi pengolahan yang jauh
lebih sederhana dibandingkan etanol. Biodiesel adalah campuran solar dengan minyak dari
biji tanaman, alga atau sumber hayati lainnya seperti penyumbangan hewan yang telah
ditransesterifikasi untuk menghilangkan gliserol. Berbagai spesies tanaman untuk produksi
biodiesel termasuk kedelai, rapeseed dan kanola, bunga matahari, dan kelapa sawit. Setelah
minyak diekstrak dari bagian tanaman tersebut, selanjutnya ditransesterifikasi sehingga
diperoleh metil biodiesel atau etil ester. Pilihan potensial lain untuk biodiesel termasuk
menggunakan produk terpenoid dari spesies Copaifera sebagai biodiesel secara langsung.
Atau, rekayasa tanaman jalur terpenoid untuk menghasilkan sejumlah besar seskuiterpen dan
diterpenes. Sebagai alternatif sebagai bahan bakar diesel, biodiesel sudah memiliki bagian
dalam transportasi saat ini, sistem bahan bakar dan secara luas digunakan, tetapi produksi
relatif rendah.
Sumber dan bentuk biodiesel sangat beragam, dan itu penting untuk
mempertimbangkan lingkungan dan faktor-faktor ekonomi yang berlaku dalam produksi
yang berbeda dari jenis biodiesel (Ma, F.R. and Hanna, M.A. 1999). Misalnya, bahan baku
yang beragam seperti kedelai dan limbah minyak goreng. Pengolahannya relatif sederhana,
produksi luas, tetapi kualitias bervariasi.
c. Biogas
Sebuah pilihan modern yang ketiga untuk bioenergi adalah biogas dari berbagai
limbah organik termasuk tanaman jerami melalui gasifikasi. Biogas termasuk metana,
hidrogen, dan karbon monoksida. Saat ini, gasifikasi menggunakan teknologi dengan
rendahnya keseimbangan energi bersih dan kegunaannya karena mungkin terbatas
(Bo¨rjesson, P. and Berglund, M. 2007). Selain biogas tradisional, produksi hidrogen dengan
ganggang hijau dan mikroba telah diusulkan sebagai potensi sumber untuk biofuel generasi
ketiga (Sims, R.E.H., et al. 2006). Tidak seperti produksi hidrogen dari sumber biomassa
lainya, produksi hidrogen berbasis alga menggunakan air secara biologi-reaksi pemisahan
dimana hidrogenase menggunakan rantai transport elektron fotosintesis untuk mereduksi
proton produksi hidrogen. Rekayasa hidrogenase meningkatkan toleransi oksigen dan sistem
biologi meneliti gen dan jalur yang terlibat dalam produksi hidrogen untuk mewujudkan
potensi platform ini (Ghirardi, M.L. et al., 2007).
2.3 Mikroalga
Mikroalga pada umumnya merupakan tumbuhan renik berukuran mikroskopik
(diameter antara 3-30μm) yang termasuk dalam kelas alga dan hidup sebagai koloni maupun
sel tunggal di seluruh perairan tawar maupun laut. Morfologi mikroalga berbentuk uniseluler
atau multiseluler tetapi belum ada pembagian fungsi organ yang jelas pada sel-sel
komponennya. Hal itulah yang membedakan mikroalga dari tumbuhan tingkat tinggi
(Romimohtarto, 2004). Mikroalga diklasifikasikan menjadi empat kelompok antara lain:
diatom (Bacillariophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan
alga biru (Cyanophyceae) (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995). Eryanto et al. (2003) dalam
Harsanto (2009) menyatakan bahwa penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar
(limpoplankton) dan air laut (haloplankton). Berdasarkan distribusi vertikal di perairan,
mikroalga dikelompokkan menjadi tiga yaitu hidup di zona euphotik (ephiplankton), hidup
di zona disphotik (mesoplankton), hidup di zona aphotik (bathyplankton) dan yang hidup di
dasar perairan/ bentik (hypoplankton).
Mikroalga merupakan kelompok organisme yang sangat beragam dan memiliki
berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai sumber pakan, pangan, dan bahan kimia
lainnya. Kandungan senyawa pada mikroalga bervariasi tergantung dari jenisnya, factor
lingkungan dan nutrisinya. Pada Spirulina platensis yang dikultur dengan menggunakan
media Walne kandungan kadar protein, karbohidrat, dan lemak berturut-turut adalah
50,05%; 15,48%; 0,5% (Widianingsih et al., 2008). Kandungan lemak ratarata sel mikroalga
bervariasi antara 1–70% tetapi dapat mencapai 90% berat kering dalam kondisi tertentu
(Spolaore et al., 2006).
Beberapa jaringan sel mikroalga dapat dipergunakan dalam pembedaan dan
klasifikasi sesuai divisinya. Menurut Graham & Wilcox (2000), ada empat karakteristik yang
di gunakan untuk membedakan divisi mikroalga yaitu tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella,
tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu, morfologi sel dan sifat sel yang
menempel baik yang berkoloni ataupun filamen merupakan informasi yang dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan masing-masing kelompok mikroalga. Selain dari karakteristik
morfologi (morphological characteristics), komposisi biokimia dan asam lemak pada setiap
sel mikroalga dapat juga digunakan sebagai pembeda dari masing-masing spesies. Menurut
Li & Watanabe (2001), karakter-karakter taksonomi seperti wujud filamen dan sel akinete
bersifat tidak mutlak untuk identifikasi karena akinete adakalanya tidak ada dan wujud
filamen mungkin bias berubah karena lingkungan pada kondisi kultur.
Alga dibudidayakan dengan 2 cara yaitu terbuka dan tertutup.
Pertumbuhan mikroalga sendiri terdiri dari tiga fase utama, yaitu fase lag,
eksponensial, dan stasioner. Kebanyakan spesies mikroalga menghasilkan produk yang khas
seperti karotenoid, antioksidan, asam lemak, enzim, polimer, peptida, toksin, dan sterol
(Hossain et al., 2008). Komposisi kimia sel mikroalga berbeda-beda, dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti jenis spesies dan kondisi kultivasi. Oleh karena itu terdapat peluang
untuk memperoleh mikroalga dengan komposisi kimia tertentu dengan memanipulasi faktor
lingkungannya seperti suhu, cahaya, pH, ketersediaan karbondioksida, garam, dan nutrisi
lainnya (Basmal, 2008). Mikroalga merupakan mikroorganisme yang dapat digunakan
sebagai bahan baku biofuel. Beberapa biofuel yang dapat dihasilkan dari mikroalga yaitu
hidrogen, biodiesel (yang diperoleh melalui proses transesterifikasi), bioetanol (yang
diperoleh melalui proses fermentasi), dan biogas (Skill, 2007; Basmal, 2008; Harun et al.,
2010). Namun demikian, ada beberapa hal penting terkait dengan pemanfaatan mikroalga
sebagai bahan baku biofuel, yaitu proses produksi mikroalga, proses pemanenan mikroalga,
dan proses konversi biomassa menjadi biofuel (Skill, 2007).
Gambar 5. Botryococcus braunii (Dayananda et al., 2007).
Salah satu spesies mikroalga yang cukup dikenal sebagai bahan biodiesel adalah
Botryococcus braunii. B. braunii merupakan tanaman sel tunggal berwarna hijau, banyak
dijumpai di perairan danau, tambak ataupun perairan payau sampai laut (Metzger & Largeau,
2005). Kandungan klorofil (zat hijau daun)\ B. braunii mencapai ±1,5–2,8%, terdiri dari
klorofil a, b, dan c, sehingga di permukaan perairan tampak berwarna hijau-coklat
kekuningan (Kabinawa, 2008). B. braunii memiliki inti sel dengan ukuran ±15–20 μmn dan
berkoloni, bersifat non motil dan setiap pergerakannya sangat dipengaruhi oleh arus perairan
(Kabinawa, 2008).
Gambar 6. Integrasi produksi bioetanol dan biodiesel dari mikroalga (Santhanam, 2010)
3. Pemanfaatan mikroalga sebagai biofuel, terutama bioetanol, untuk menjawab isu
penggunaan tanaman pangan sebagai bahan bakar serta biomassa yang mengandung
lignoselulosa (Harun et al., 2010).
4. Biodiesel dan bioetanol dari mikroalga bukan merupakan produk yang saling
berkompetisi, tetapi merupakan satu kesatuan sistem produksi. Biomassa mikroalga yang
sudah diekstrak minyaknya, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol (Harun et al.,
2009; Santhanam, 2010). Namun demikian, jika melihat pada bahan baku yang digunakan,
bioetanol mempunyai prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dibandingkan dengan
biodiesel. Bahan baku untuk bioetanol dapat berasal dari biomassa mikroalga secara
3.1 Kesimpulan
Mikroalga merupakan sumber energi terbarukan yang dapat mensubstitusi sebagian
energi fosil. Produksi biomassa dalam jumlah besar dibutuhkan sebagai sediaan bahan baku
bioetanol secara kontinyu. Pemilihan spesies dan teknik budidaya yang tepat merupakan
suatu keharusan. Berbagai riset mengenai teknik budidaya mikroalga telah banyak
dilakukan. Budidaya mikroalga memerlukan pemupukan yang tepat dan pasokan
karbondioksida yang banyak agar produksi mikroalga menghasilkan biomassa dalam jumlah
besar dan berlangsung secara kontinyu. Tantangan lainnya adalah proses hidrolisis
karbohidrat dan fermentasi gula harus dilakukan secara tepat untuk memperoleh bioetanol
yang maksimal. Dampak negatif proses fermentasi yang menghasilkan karbondioksida juga
perlu mendapatkan perhatian yang serius. Dampak negatif ini dapat diubah menjadi hal
positif dengan cara memanfaatkan karbondioksida tersebut sebagai nutrisi untuk
pertumbuhan mikroalga. Prospek ekonomi produksi bioetanol di masa depan sangat
menjanjikan, mengingat bahan baku untuk bioetanol dapat berasal dari biomassa mikroalga
secara langsung maupun biomassa mikroalga yang sudah diekstrak kandungan lemaknya.
Sebagai gambaran proyeksi untuk produktivitas produksi bioetanol dari mikroalga secara
keseluruhan mencapai 20.000 L per hektar.
3.2 Saran
Penggunaan bioenergi dari mikroalga di Indonesia masih sangat kurang direalisasikan
dengan baik. Pentingnya tenaga kerja yang professional dalam menunjang penggunaan
bioenergi, selain itu infrastruktur juga menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dalam
pengembangan bioenergi, karena dengan adanya fasilitas-fasilitas yang tersedia akan
membuat pembuatan bioenergi menjadi sangat mudah.
Perlu adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, pihak swasta dan masyarakat agar
terwujudnya penggunaan bioenergi dari mikroalga baik di Indonesia. Serta sebagai
mahasiswa kita sebenarnya harus menggalakkan informasi agar segala pihak bias membantu
penggunaan bioenergy dari mikro alga.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2013. Outlook Energi 2013. Jakarta:
BPPT.
Basmal, J. 2008. Peluang dan tantangan pemanfaatan mikroalga sebagai biofuel. Squalen
Buletin Pascapanen Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 3 (1): 34–39.
Dayananda, C., Sarada, R., Komar, V., and Ravishankar, G.A. 2007. Isolation and
characterization of hydrocarbon producing green alga Botryococcus braunii from Indian
freshwater bodies. Electronic Journal of B i o t e c h n o l o g y . 1 ( 1 0 ) : 8 0 – 9 1 .
El-Sebaii, A. A., & Shalaby, S. M. 2012 . Solar drying of agricultural products: A review.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16(1), 37-43.
Farrell, A.E. et al. 2006. Ethanol can contribute to energy and environmental goals. Science
311.pp :506–508.
Harun, R., Danquah, M.K., and Forde, G.M. 2009. Microalgal biomass as a fermentation
feedstock for bioethanol production. Journal of Chemical Technology & Biotechnology.
85 (2): 199–203
Harun, R., Singh, M., Forde, G.M., and Danquah, M.K. 2010. Bioprocess engineering of
microalgae to produce a variety of consumer products. Renewable and Sustainable Energy
Review. 14: 1037–1047
He, Y., Bagley, D. M., Leung, K. T., Liss, S. N., & Liao, B. Q. (2012). Recent advances in
membrane technologies for biorefining and bioenergy production. Biotechnology advances,
30(4), 817-858
Hossain, A.B.M., Salleh, A., Boyce, A.N., Chowdhurry, P., and Naqiuddin, M. 2008.
Biodiesel fuel production from algae as renewable energy. American Journal of
Biochemistry and Biotechnology. 4 (3): 250–254.
Kabinawa, I.N.K. 2008. Biodiesel energi terbarukan dari mikroalga. Warta Pertamina. (9):
31–35.
Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementan 2010-2014. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
LPEM UI. 2011. Analisis Industri Minyak dan Gas di Indonesia: Masukan bagi
Pengelola BUMN. Jakarta: LPEM UI.
Ma, F.R. and Hanna, M.A. 1999. Biodiesel production: a review. Biores. Tech. 70. Pp : 1–
15.
Metzger, P. and Largeau, C. 2005. Botryococcus braunii: a rich source for hydrocarbons and
related ether lipids. Application Microbiology Biotechnology. (66) 5: 486–496.
Nigam, P.S., & Singh, A. (2011). Production of liquid biofuels from renewable
resources.Progress in energy and combustion science, 37(1), 52-68.
Patil, V., Tran, K.Q., and Giselrod, H.R. 2008. Towards sustainable production of biodiesels
from microalgae. Int. J. Mol. Sci. (9): 1158–1195.
Pimentel, D., Patzek, T., & Cecil, G. 2007 . Ethanol production: energy, economic, and
environmental losses. In Reviews of environmental contamination and toxicology (pp.
25-41). Springer New York.
Ragauskas, A.J., Williams, C.K., Davison, B.H., Britovsek, G., Cairney, J., Eckert, C.A.,
Frederick, W.J., Hallett, J.P., Leak, D.J., Liotta, C.L., Mielenz, J.R., Murphy, R., Templer,
R., and
Tschaplinski, T. 2006. The path forward for biofuels and biomaterials. Science 311: 484–
489
Rass‐Hansen,J.etal.2007.Bioethanol:fuel or
feedstock.J.Chem.Tech.Biotechnol.82.pp:329–333
Romimohtarto, K. 2004. Meroplankton Laut:LarvaHewan Laut yang Menjadi
Plankton. Djambatan: Jakarta. 214 pp.
Rout, U.K., Voβ, A., Singh, A., Fahl, U., Blesl, M., & Gallachóir, B.P.Ó. (2011). Energy
and emissions forecast of China over a long-time horizon. Energy, 36(1), 1-11.
Sims, R.E.H. et al. 2006. Energy crops : current status and future prospects. Glob. Change
Biol. 12. Pp : 2054–2076.
Spolaore, P., Joannis-Cassan, C., Duran, E., Isambert, A. 2006. Commercial applications of
microalgae. Journal of Bioscience and Bioenginering, 101: 87– 96.
Wei, P., Cheng, L.H., Zhang, L., Xu, X.H., Chen, H.L., & Gao, C.J. (2014). A review of
membrane technology for bioethanol production. Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 30, 388-400.
Widianingsih, A., Ridho, R., Hartati, dan Harmoko. 2008. Kandungan nutrisi Spirulina
platensis yang dikultur pada media yang berbeda. Ilmu Kelautan. 13 (3) :167
Wise, T.A. 2012. The cost to developing countries of U.S. corn ethanol expansion. Global
Development and Environment Institute Working Paper No. 12-02. Tufts University
v