Dikerjakan oleh :
Oesman Arif
Mahasiswa Pascasarjana
Program S 3 Filsafat
UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA
Judul asli :
The Culture of the Chinese Minority in Indonesia
Oleh : Dr Leo Suryadinata
Diterjemahkan oleh : Dr Dede Oetomo
Diterbitkan oleh : PT Gramedia Jakarta 1988
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
Pengantar
1. Pendidikan Tionghoa Indonesia : Dahulu dan Sekarang
2. Konghucuisme di Indonesia : Dahulu dan Sekarang
3. Sejarah Singkat Pers Tionghoa Indonesia
4. Gerakan Dakwah di Kalangan Orang Tionghoa Indonesia
5. Sastra Perakan Tionghoa : Sebuah Catatan Singkat
6. Cerita Silat Sesudah Perang di Indonesia : Sebuah Tinjauan Awal
Sumber Foto dan Gambar
Indeks
Tentang Penulis.
Penulis dalam tugas ini akan meringkas isi karangan dari bab 1 sampai
dengan bab 6.Ringkasan itu dibagi per bab sesuai dengan urutannya .
Pada tahun 1729 pernah didirikan sekolah untuk anak Tionghoa, muridnya
hanya 30 orang, tetapi tidak lama bubar karena salah urus. Pada tahun 1899 muncul
sekolah Tionghoa tradisional, ada 217 sekolah di Jawa dan Madura dengan 4.452
murid, dan 152 sekolah di luar Jawa dengan 2.170 siswa. Namun tidak jelas mengapa
mendadak muncul sekolah itu dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak.
Sekolah tradisional itu menggunakan bahasa pengantar bahasa Hokkian,
kurikulumnya didasarkan Kitab-kitab Khonghucu.
1
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak
Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka pada tahun
1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan nama Tionghoa
Hwee Koan ( THHK ).Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di berbagai kota di
Hindia Belanda. Mula-mula yang diajarkan di sekolah ini kitab Khonghucu, tetapi
kemudian diubah dengan menggunakan sistem sekolah Tionghoa di Jepang,
Pada akhir abad XIX Belanda mulai menekan kehidupan orang Tionghoa,
misalnya pembatasan bepergian, pemukimannya dikelompokkan maka muncul istilah
Pecinan, tugasnya untuk menarik pajak dicabut dan sebagainya. Gerakan
membangkitkan Khonghucuisme di Tiongkok telah membangkitkan semangat orang
Tionghoa untuk mengajarkan ajaran Khonghucu kepada masyarakat Tionghoa maka
didirikan THHK tersebut.
Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi kenyataannya tidak.
Para pengelola THHK ini ternyata lebih tanggap terhadap perubahan jaman sehingga
masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa. (Bahkan banyak sekolah THHK
yang masih berdiri sampai sekarang menjadi sekolah swasta Nasional , penulis ).
macam coraknya, misalnya ada dekolah Tionghoa yang berhaluan Beijing, ada juga
yang berhaluan Taiwan, ada sekolah berdasar agama Khonghucu, ada sekolah
berdasar agama Kristen, ada pula sekolah Katolik, ada juga sekolah yang didirikan
oleh kelompok Haka, ada sekolah kelompok Hok Jia, ada kelompok Hok Kian.
Sekolah Tionghoa yang bermacam-macam itu tetap bertahan pada jaman Jepang dan
jaman RI.
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu
pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya
partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di
Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu semua sekolah Tionghoa di
larang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima
pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada
jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa
untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan
dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selam 30
tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak mengenal bahasa dan kebudayaan
Tionghoa.
Pada tahun 1970 Pemerintah Indonesia mendirikan sekolah khusus untuk orang
Tionghoa asing, yaitu di Jakarta, Bandung dan Palembang. Sekolah ini kemudian
menjadi banyak di Sumatera sehingga menimbulkan masalah bagi pemerintah daerah,
karena bahasa pengantar yang dipakai bahasa Tionghoa. Akhirnya pada rahun 1974
sekolah khusus di Sumatera itu ditutup dan diganti menjadi sekolah Indonesia biasa.
Kemudian disusul dengan peraturan menteri bahwa semua sekolah khusus yang ada di
Indonesia ditutup, masa transisi bagi pendidikan anak Tionghoa Indonesia dinyatakan
sudah selesai.
Di Indonesia ( sejak Hindia Belanda ), ada kelompok Tionghoa yang religius dan
ada kelompok yang sekuler. Kelompok religius ingin mengajarkan ajaran Khonghucu
3
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
kuat agama Khonghucu dipojokkan dan dikatakan bukan agama, karena pemerintah
menginginkan pembauran. Dengan demikian nasib Agma Khonghubu atau
Khonghucuisme tergantung pada semangat berjuang dari para tokoh Khonghucu
sendiri, karena tantangan yang dihadapi sangat besar.
Pers Tionghoa di Indonesia dalam bahasa Melayu muncul pada akhir abad XIX
setelah ada gerakan liberalisasi di negeri Belanda. Pers Tionghoa dalam bahasa
Tionghoa baru muncul pada tahun 1924 oleh Tionghoa totok. Pada tahun 1921 sudah
ada Mingguan dalam bahasa Tionghoa. Surat kabar berbahasa Melayu yang dikelola
oleh Tionghoa Indonesia ini namanya berbeda-beda dan ada diberbagai kota besar di
Indonesia . Ada yang oplagnya kecil, ada pula yang oplagnya besar yang tersebar
secara nasional. Para pembaca surat kabar ini sebagian juga orang Tionghoa
Indonesia.Ada wartawan Tionghoa bernama Nio Yoe Lan yang mengatakan bahwa
surat kabar tersebut selayaknya disebut surat kabar nasional, bukan surat kabar
Tionghoa Indonesia. Nampaknya masih ada yang merasa kesulitan menganggap
Tionghoa Indonesia itu sebagai Indonesia saja.
5
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
Semenjak tahun 1965 muncul beberapa tokoh Islam Tionghoa Indonesia yang
mengajak orang Tionghoa Indonesia untuk masuk agama Islam. Menurut mereka bila
orang Tionghoa Indonesia memeluk agama Islam maka masalah minoritas Tionghoa
Indonesia akan selesai, karena menurut mereka agama Islam dapat mempersatukan
bangsa. Pendapat ini ada benarnya, tetapi harus diingat juga bahwa agama Islam di
Indonesia ini terdapat beberapa sekte yang organisasinya berbeda-beda. Organisasi
Islam yang besar misalnya N. U. dan Muhamadiah, masih ada yang lain yang lebih
kecil. Gerakan Dakwah ini mendapat dukungan dari Pemerintah Soeharto karena
sesuai dengan tujuan pembauran. Nampaknya kosep pembauran Soeharto adalah
menyamakan atau menyeragamkan.
Gerakan Dakwah ini ada hasilnya, yaitu ada peningkatan pemeluk agama Islam
dari kalangan Tionghoa Indonesia yaitu mencapai jumlah 50.000 orang. Tionghoa
Indonesia yang memeluk agama Islam kebanyakan dari para pengusaha pabrik dengan
harapan usaha mereka lebih lancar. Ada juga golongan Tionghoa Indonesia yang
miskin, mereka jauh sebelun ada gerakan dakwah sudah memeluk agama Islam,
maksud mereka untuk melebur sepenuhnya menjadi “pribumi”.
Sastra Melayu Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu Pasar pada jaman
kolonial Belanda sudah sangat banyak, bahkan jumlahnya melebihan Sastra Melayu
yang ditulis pengarang Pribumi. Namun Sastra Melayu Tionghoa ini sama sekali tidak
mendapat perhatian atau dukungan dari pemerintah kolonial Belanda, yang mendapat
dukungan dari kolonial Belanda adalah kelompok Balai Pustaka. Dari masyarakat
pribumi sendiri Sastra Melayu Tionghoa juga tidak mendapat respon positif, bahkan
tidak diakui sebagai karya Sastra Nusantara. Sebenarnya bahasa Melayu yang dipakai
6
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
dalam Sastra Melayu Tionghoa itu bukan bahasa pasar, tetapi bahasa sehari-hari dan
bahasa pers.
Yang diceritakan dalam Sastra Melayu Tionghoa sebagian besar memang masalah
kehidupan orang Tionghoa Indonesia , menyangkut kehidupan keluarga atau
perjuangan mereka untuk mencari penghidupan di Nusantara. Ada juga terjemahan
cerita besar dari Tiongkok kuna, seperti Samkok, Sampek Engtay , Hong Sin dan
sebagainya. Pembaca Sastra Melayu Tionghoa tersebut kebanyakan adalah orang
Tionghoa Indonesia yang tersebar diseluruh Nusantara.
Setelah perang Dunia Ke II Sastra Melayu Tionghoa sudah tidak ada, karena
semua orang Tionghoa Indonesia telah belajar bahasa Indonesia baku. Masih banyak
juga pengarang dari kelompok Tionghoa Indonesia, tetapi karangan mereka tidak lagi
menceritakan kehidupan keluarga Tionghoa, mereka sudah bercerita tentang orang
Indonesia, pada umumnya dalam bentuk Cerita Pendek. Bahkan pengarang Tionghoa
Indonesia sudah berganti nama seperti Arif Budiman, Marga T., Mira W. dan
sebaginya.
7
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim
www.gentanusantara.co.cc
email : gentanusantara@gmail.com
Sejak tahun 1950an cerita silat terjemahan di Indonesia amat semarak, banyak
surat kabar yang mengikat pelanggannya dengan memuat cerita silat bersambung,
buku ukuran saku juga dicetak dan meramaikan persewaan buku di seluruh penjuru
tanah air. Namun sering terjadi sebuah cerita silat diterjemahkan oleh orang yang
berbeda dan tidak disebutkan nama pengarang aslinya. Pengarang cerita silat asli yang
paling disukai karyanya bernama Jin Yong ( ejaan Indonesia : Chin Yung ) orang dari
Tiongkok daratan. Penerjemah yang populer di Indonesia antara lain Gan K.L., Boe
Bingcoe, Chan I.D.
Semaraknya cerita silat dari Tiongkok itu mendorong munculnya pengarang cerita
silat pribumi untuk menulis cerita silat Jawa , seperti Ganes T.H. dan seterusnya.
Cerita silat Jawa ini memang diilhami oleh cerita silat Tiongkok , gaya ceritanya
maupun jurus-jurus silatnya. Ada juga orang Tionghoa Indonesia bernama Kho Ping
Hoo, selain menulis carita silat Tiongkok, bukan menerjemahkan, juga menulis cerita
silat Jawa, dia adalah pengarang silat yang paling produktif di Indonesia.
=================================
8
Makalah / Ajaran Khong Hu Cu, Agama atau Pendidikan Moral
– Ws Dr Oesman Arif Lim