Anda di halaman 1dari 40

DISKUSI TOPIK PERINATOLOGI

SINDROMA GAWAT NAPAS


PADA BAYI BARU LAHIR

Disusun oleh : Fiviliani (07120110053)


Kelompok 73
Pembimbing : dr. Syamsinar Hasan, SpA.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Marinir Cilandak
Periode 10 Agustus – 17 Oktober 2015
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
II. DEFINISI.................................................................................................... 4
III. ETIOLOGI.................................................................................................. 5
IV. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS ..................................................... 7
V. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) ....................................... 8
VI. TRANSIENT TACHYPNEA OF NEWBORN (TTN) ................................... 14
VII. SINDROM ASPIRASI MEKONIUM........................................................ 17
VIII. BRONKOPNEUMONIA ........................................................................... 27
IX. PNEUMOTORAKS ................................................................................... 32
X. BAGAN TATALAKSANA SINDROM GAWAT NAPAS PADA BAYI
BARU LAHIR ............................................................................................ 36
XI. KESIMPULAN .......................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39

  2
I. PENDAHULUAN

Diperkirakan 3,9 juta dari 10,8 juta kematian pada anak setiap
tahunnya terjadi pada 28 hari pertama kehidupan. Lebih dari 96% dari
seluruh kematian neonatus terjadi di negara berkembang.1 Sindroma gawat
napas pada bayi baru lahir (neonatus) merupakan masalah yang sangat
serius, karena berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan
biaya perawatan. Faktor resiko utama gawat napas pada neonatus adalah
prematuritas, bayi berat badan lahir rendah (BBLR), dan status
sosioekonomi, yaitu umumnya terjadi pada golongan sosioekonomi
rendah.2,3
Di Amerika Serikat, angka terjadinya gawat napas adalah 18 per
1000 kelahiran hidup. Meskipun insidensinya lebih tinggi pada bayi
dengan berat badan lahir rendah, sepertiga kasus terjadi pada bayi dengan
berat badan normal. Insidensi tertinggi terdapat pada ras kulit hitam dan
sangat berhubungan dengan kemiskinan.3 Di Indonesia, sepertiga dari
kematian bayi terjadi pada bulan pertama setelah kelahiran, dan 80%
diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan penyebab utama
kematian diantaranya adalah infeksi pernapasan akut dan komplikasi
perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun
2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh
gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%), gawat napas
4%, dan aspirasi 8%.4 Meskipun angka-angka tersebut masih tergolong
tinggi, namun Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari
MDG, yaitu mengurangi tingkat kematian anak.
Penatalaksanaan gawat napas yang tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada neonatus. Untuk
memberikan penatalaksanaan yang tepat, perlu anamnesa dan pemeriksaan
yang tajam untuk menentukan diagnosis. Oleh karena itu, pada diskusi
topik ini, penulis akan membahas tentang sindroma gawat napas pada
neonatus khususnya 5 etiologi tersering yaitu RDS, TTN, SAM,
  3
pneumonia, dan pneumotoraks. Makalah ini akan membahas secara
lengkap dan ringkas mulai dari definisi hingga tatalaksananya serta
membahas cara membedakan penyebab-penyebab terjadinya sindroma
gawat napas pada neonatus sehingga pembaca dapat mendiagnosis dan
menatalaksana sindroma gawat napas pada neonatus dengan tepat.

II. DEFINISI

Sindroma gawat napas pada neonatus adalah kumpulan dari 2 atau


lebih gejala : gangguan ventilasi paru yang menetap setelah 4 jam pertama
sesudah lahir, ditandai dengan frekuensi napas >60x/menit; merintih pada
waktu ekspirasi; retraksi otot-otot bantu pernapasan pada waktu
inspirasi/retraksi interkostal, subkostal, supra sternal, epigastrium;
pernapasan cuping hidung, suara merintih, dan sianosis.5 Napas cuping
hidung merupakan temuan yang relatif sering pada bayi, hal ini berfungsi
sebagai upaya untuk menurunkan resistensi saluran napas. Retraksi
suprasternal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas atas, sedangkan
retraksi subkostal merupakan tanda kurang spesifik yang mungkin terkait
dengan baik penyakit paru ataupun jantung. Biasanya, laju napas neonatus
adalah 30 sampai 60x/menit. Bayi bernapas dengan laju yang lebih cepat
untuk mempertahankan ventilasi dalam menghadapi volume tidal yang
menurun. Bayi dengan gangguan pernapasan mungkin mencoba untuk
mempertahankan volume paru dengan pertukaran gas yang memadai
dengan cara menutup sebagian glotis selama ekspirasi. Ini adalah
mekanisme yang bertanggung jawab atas terdengarnya suara merintih
pada bayi tersebut. Bayi yang memiliki gangguan pernapasan dengan
derajat yang lebih tinggi mungkin menunjukkan tanda dan gejala
tambahan, seperti sianosis, terengah-engah, tersedak, apnea, dan stridor.
Dokter harus memperhatikan adanya tanda-tanda tambahan yang menjadi
tanda "bahaya".6

  4
III. ETIOLOGI

Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir adalah gambaran umum


untuk berbagai macam penyakit lainnya. Penyakit parenkim paru seperti
pneumonia, defisiensi surfaktan, dan aspirasi mekonium adalah penyebab
paling sering dari gangguan pernapasan pada neonatus. Akan tetapi,
cacatnya jalan napas dan dinding dada serta abnormalitas diafragma dan
struktur mediastinum juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan.
Selain itu, abnormalitas neurologis, jantung, dan kelainan metabolik juga
harus dipertimbangan. Neonatus yang memiliki penyakit jantung bawaan
umumnya hadir dengan gangguan pernapasan. Kejang, asfiksia, dan
meningitis adalah contoh dari gangguan neurologis yang berhubungan
dengan tanda-tanda pernapasan. Penyebab metabolik yang umumnya
menyebabkan gangguan pernapasan adalah hipoglikemia dan asidosis.
Gangguan pernapasan dapat menjadi gambaran terjadinya hipotermia,
sepsis, asidosis, polisitemia, atau anemia.6

  5
Tabel 1. Perbandingan penyakit jantung sianotik dengan penyakit pernapasan pada bayi
dengan gawat napas6

  6
IV. KLASIFIKASI GANGGUAN NAPAS
Klasifikasi gangguan napas dapat dinilai melalui skor DOWNE berikut :
Skor
Pemeriksaan
0 1 2
Frekuensi
<60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
napas
Retraksi - ringan berat
Sianosis
Sianosis hilang menetap
Sianosis -
dengan O2 walaupun diberi
O2
Penurunan
Udara Tidak ada udara
Air entry ringan udara
masuk masuk
masuk
Dapat didengar
Dapat didengar
Merintih - dengan
tanpa alat bantu
stetoskop
Tabel 2. Skor Downe1,7

Interpretasi skor Downe adalah:


1-3 : Sesak napas ringan (tidak ada gawat napas)
4-5 : Sesak napas sedang (gawat napas)
≥ 6 : Sesak napas berat (ancaman gagal napas)
Skor Downe sangat efektif untuk menilai diagnosis klinis hipoksemia pada
gangguan napas.1,7

  7
V. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (HMD)

Definisi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) Hyaline Membrane Disease
(HMD) atau yang biasa disebut juga dengan Hyaline Membrane Disease
(HMD) adalah penyebab tersering terjadinya gawat napas pada bayi
prematur, berhubungan dengan struktur dan fungsi paru yang belum
matang.8

Epidemiologi
RDS terjadi terutama pada bayi prematur; angka terjadinya
berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan lahir bayi. Hal
ini terjadi pada 60-80% bayi usia kehamilan <28 minggu, 15-30% pada
bayi usia kehamilan 32-36 minggu, dan jarang pada bayi usia kehamilan
>37 minggu. Resiko terjadinya RDS meningkat pada ibu yang diabetes,
kelahiran multipel, kelahiran sesar, persalinan yang tergesa-gesa, asfiksia,
dan riwayat ibu yang pernah melahirkan bayi yang mengalami RDS
sebelumnya. Resiko RDS berkurang pada kehamilan dengan hipertensi
kronis atau hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, ibu pengguna
heroin, ketuban pecah lama, dan profilaksis kortikosteroid antenatal.9

Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab utama terjadinya RDS adalah kurangnya surfaktan pada
paru-paru. Surfaktan merupakan campuran antara lemak dan protein yang
dihasilkan oleh pneumosit tipe 2. Surfaktan membuat lapisan tipis pada
alveolus yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan alveolus
sehingga mencegah terjadinya luruh paru.6 Kadar surfaktan yang cukup
biasanya terjadi setelah usia kandungan mencapai 35 minggu. Meskipun
jarang, namun abnormalitas gen surfaktan protein B dan C (gen yang
bertanggung jawab untuk mengantarkan surfaktan melewati membran à
ABC transporter 3) berhubungan dengan penyakit respirasi familial yang
  8
berat dan terkadang letal. Pembentukan surfaktan bergantung pada pH,
suhu, dan perfusi yang normal. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia
pulmonal umumnya berhubungan dengan hipovolemia, hipotensi, dan
stress dingin dapat menekan produksi surfaktan.9

Manifestasi Klinis
Tanda-tanda RDS biasanya muncul dalam beberapa menit dari waktu
lahir, meskipun mungkin tidak terlihat selama beberapa jam awal pada
bayi prematur yang besar hingga cepat, pernapasan menjadi cepat dan
dangkal semakin meningkat menjadi 60 kali/menit atau lebih. Namun,
onset takipnea yang lambat menunjukkan kondisi lain. Beberapa pasien
memerlukan resusitasi pada saat lahir karena asfiksia intrapartum atau
gangguan napas awal dan berat (terutama bayi berat lahir <1000 g).
Umumnya, takipnea, suara merintih yang menonjol dan keras, retraksi
interkostal dan subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis merupakan
tanda dan gejala khas RDS. Suara napas mungkin normal atau berkurang,
dan pada inspirasi dalam, rhonki halus dapat mendengar. Pada RDS yang
tidak ditangani sianosis dan sesak napas akan progresif dan terus
memburuk. Jika kondisi ini tidak ditangani dengan baik, tekanan darah
dapat menurun; sianosis dan pucat semakin parah; dan suara merintih
menurun atau menghilang, menandakan kondisi yang semakin memburuk.
Apnea dan pernapasan yang tidak teratur merupakan tanda-tanda pasti
bahwa pasien memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin
memiliki asidosis campuran, edema, ileus, dan oliguria. Gagal napas dapat
terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat. Pada
kebanyakan kasus, tanda dan gejala mencapai puncaknya dalam waktu 3
hari, setelah itu terjadi perbaikan secara bertahap. Perbaikan sering
ditunjukan oleh diuresis spontan dan perbaikan nilai analisa gas darah
pada bantuan oksigen atau ventilator yang sedikit. Kematian dapat
disebabkan oleh gangguan pertukaran gas yang berat, kebocoran udara

  9
alveolar (emfisema interstisial, pneumotoraks), perdarahan paru, atau
perdarahan intraventrikular.9

Diagnosis
Manifestasi klinis, foto toraks, niai gas darah dan asam basa
membantu menegakkan diagnosis. Pada radiografi, paru-paru mungkin
memiliki karakteristik tetapi bukan merupakan tampilan tanda
patognomonis yaitu granularitas retikular halus dari parenkim dan air
bronchogram, yang awalnya lebih sering menonjol di lobus kiri bawah
karena superimposisi bayangan jantung (Gambar 1). Gambaran radiografi
awal seringkali normal, dengan pola khas yang muncul 6-12 jam
kemudian. Variasi dalam foto dapat terjadi, tergantung pada fase respirasi
(inspirasi vs ekspirasi) dan penggunaan CPAP atau positive end-expiratory
pressure (PEEP); variasi ini sering mengakibatkan rendahnya korelasi
antara temuan radiografi dengan klinis. Temuan laboratorium awalnya
ditandai oleh hipoksemia kemudian hipoksemia progresif, hiperkapnia,
dan asidosis metabolik.9

Gambar 1. Bayi dengan RDS (Foto AP dan lateral)9

  10
Gambaran radiologis dibagi menjadi 4 tahap. Tahap 1 yaitu
gambaran bintik retikulogranular. Tahap 2 yaitu gambaran bintik
retikulogranular disertai air bronchogram. Tahap 3 yaitu gambaran tahap
2 disertai hilangnya batas jantung. Tahap 4 yaitu gambaran white lung.7
Pada diagnosis banding, sepsis awitan dini mungkin sulit dibedakan
dengan RDS. Pada pneumonia yang terjadi saat kelahiran, gambaran foto
thoraksnya mungkin dapat mirip dengan RDS, namun identifikasi
organisme pada pewarnaan gram atau neutropenia menunjukan diagnosis
sepsis awitan dini. Klinis dan gambaran radiografi penyakit jantung
sianotik juga dapat menyerupai RDS. Foto echokardiografi dengan
pewarnaan harus dilakukan pada bayu yang tidak menunjukkan respon
terhadap pemberian surfaktan, untuk menyingkirkan penyakit jantung
sianotik kongenital, paten duktus arteriosus dan menilai pulmonary
vascular resistance. PPH, MAS, pneumotoraks spontan, efusi pleura, dan
anomali kongenital dapat dibedakan dengan RDS dengan radiografi. TTN
dapat dibedakan dari manifestasi klinisnya yang ringan dan hanya bersifat
sementara serta tidak membutuhkan bantuan oksigen. Kekurangan
kongenital surfaktan protein B merupakan penyakit familial yang sangat
jarang yang mengakibatkan RDS yang berat dan letal pada bayi aterm dan
near-term. Pada kasus RDS atipikal, profil paru-paru (perbandingan
lechitin:sphingomyelin dan phosphatidylglycerol) dari aspirasi trakeal
dapat berguna untuk menentukan diagnosis kekurangan surfaktan.9

Tatalaksana
Kebanyakan kasus RDS adalah self limited, sehingga tujuan tatalaksana
RDS adalah memperkecil variasi abnormal fisiologis dan mencegah
masalah iatrogenik. Tatalaksana RDS adalah sebagai berikut9 :
Ø Memberikan lingkungan yang optimal (paling baik NICU)
Ø Monitor denyut jantung, laju napas, saturasi oksigen, PaO2, PaCO2,
pH, serum bikarbonat, elektrolit, glukosa, hematokrit, suhu dan tensi.

  11
Ø Rawat di inkubator dengan suhu 36,5–37oC untuk mengindari
terjadinya hipotermia dan meminimalisir konsumsi oksigen
Ø Oksigenasi intranasal 1-2 liter/menit atau head box dengan konsentrasi
oksigen 30-60%
Ø Tunda pemberian makan per oral
Ø IVFD dekstrose 7,5% atau 10% + NaCl 15% 6cc
Untuk 24 jam pertama, IVFD glukosa 10% dan cairan diberikan, 65-75
mL/kgBB/24 jam. Elektrolit sebaiknya diberikan pada hari ke 2 pada
bayi yang matur, sedangkan pada bayi imatur hari ke 3-7. Volume
cairan terus dinaikkan secara bertahap pada minggu pertama.
Ø Pemberian terapi pengganti surfaktan
Dosis awal diberikan segera setelah lahir dan diagnosis klinis RDS
ditegakan. Dosis berikutnya diberikan via ETT setiap 6-12 jam dengan
total 2-4 dosis. Pemberian surfaktan harus diawasi secara ketat. Selama
bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan oksigen > 30%,
surfaktan harus segera diberikan. Komplikasi terapi surfaktan adalah
hipoksia sementara, hiperkapnia, bradikardia, hipotensi, blokir ETT,
dan perdarahan pulmonal.
Produk Dosis Dosis Tambahan
3mL/kgBB diberikan Dapat diulang 12 jam sampai
Calfactant
dalam 2 aliquot dosis 3 kali
Dapat diulang minimal 6 jam,
4mL/kgBB diberikan
Beractant sampai total 4 dosis dalam
dalam 4 dosis
waktu 48 jalam setelah lahir
5mL/kgBB diberikan Dapat diulang setelah 12 jam
Colfosceril
dalam waktu 4 menit dan 24 jam bila ada indikasi
Dua dosis berturutan
2,5mL/kgBB
1,25ml/kg, dosis diberikan
Porcine diberikan dalam 2
dengan interval 12 jam bila ada
aliquots
indikasi

  12
Tabel 3. Dosis yang direkomendasikan untuk penggunaan surfaktan
eksogen7

Ø Antibiotik
- Ampisilin 100mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis
- Gentamisin 2,5 mg/kgBB/18 jam bila BB >2.000 gram
- Gentamisin 2,5 mg/kgBB/24 jam bila BB <2.000 gram
Ø Pemberian bantuan pernapasan dengan CPAP atau ventilasi mekanik.
Jika saturasi oksigen tetap <85% setelah pemberian oksigen 40-70%,
CPAP diberikan dengan tekanan 5-10 cm H2O. Jika tetap tidak bisa
membuat saturasi oksigen >85%, penggunaan ventilasi mekanik dan
pemberian surfaktan dibutuhkan.

Komplikasi
Komplikasi dari RDS diantaranya adalah septicemia, pneumotoraks,
asfiksia, patent Ductus Arteriosus (PDA), bronchopulmonary dysplasia
(BPD), perdarahan pulmonal, apnea/bradikardia, necrotizing enterocolitis
(NEC), retinopathy of prematurity (ROP), hipertensi, gagal tumbuh,
perdarahan intraventikular, serta periventricular leukomalacia (PVL).9,10

Pencegahan
Pencegahan terjadinya RDS adalah pemberian kortikosteroid pada ibu
yang terancam melahirkan bayi prematur.9,10

Prognosis
Tatalaksana yang tepat sejak awal dapat mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan RDS dan penyakit
neonatal lainnya. Pemberian steroid antenatal, pemberian surfaktan
postnatal, dan pemberian ventilasi mengakibatkan angka mortalitas RDS
berkurang. Angka mortalitas meningkat dengan semakin rendahnya usia

  13
kehamilan. 85-90% bayi yang mengalami RDS dan bertahan hidup, fungsi
paru-parunya normal dan baik ke depannya.9,10

VI. TRANSIENT TACHYPNEA OF NEWBORN (TTN)


Definisi
Transient tachypnea of newborn (TTN) adalah kesulitan bernapas yang
disebabkan oleh lambatnya reabsorpsi cairan paru fetal yang bersifat
sementara.5

Epidemiologi
Data epidemiologi TTN terbatas, namun studi menunjukkan bahwa
TTN terjadi pada 3,6-5,7 per 1.000 bayi cukup bulan. Meskipun menjadi
salah satu penyebab paling umum terjadinya gangguan pernapasan pada
neonatus, banyak kasus yang tidak terdeteksi. Retensi cairan paru fetus
mungkin lebih sering pada bayi prematur (sampai 10 per 1000 kelahiran)
tetapi kemunculannya dapat tertutupi oleh masalah yang lain yang muncul
bersamaan seperti RDS. Beberapa faktor resiko terjadinya TTN telah
teridentifikasi, salah satunya yaitu kelahiran melalui operasi caesar.
Dengan meningkatnya insiden bedah caesar dan terlambatnya persalinan
bayi kurang bulan, meningkatkan resiko terjadinya TTN.11

Etiologi dan Patofisiologi


TTN adalah hasil dari keterlambatan pembersihan cairan paru janin.
Dulu gangguan pernapasan dianggap merupakan masalah kekurangan
surfaktan tetapi sekarang ditandai dengan beban wilayah udara-cairan
sekunder akibat ketidakmampuan untuk menyerap cairan paru janin. Di
dalam kandungan, epitel paru-paru mengeluarkan Cl- dan cairan, tetapi
memiliki kemampuan untuk menyerap Na+ secara aktif hanya selama
akhir kehamilan. Saat lahir, paru-paru yang matang beralih dari sekresi
aktif Cl- (cairan) ke penyerapan aktif Na+ (cairan) dalam menanggapi
katekolamin di sistemik. Penelitian menunjukkan glukokortikoid berperan
  14
dalam pertukaran ini. Perubahan tekanan oksigen menambah kapasitas
epitel pembawa Na+ dan meningkatkan ekspresi gen untuk saluran epitel
Na+ (Epithelial Na+ channel = ENaC). Ketidakmampuan paru-paru janin
yang belum matang untuk beralih dari sekresi cairan ke penyerapan cairan
terjadi terutama karena ketidakmatangan ekspresi ENaC, yang dapat diatur
oleh glukokortikoid. Glukokortikoid menyebabkan reabsorbsi Na+ paru-
paru, kemungkinan besar melalui saluran ENaC alveolar paru janin pada
akhir usia kehamilan.
Bayi baru lahir cukup bulan yang memiliki transisi normal dari janin
ke kehidupan postnatal memiliki surfaktan yang matang dan sistem
epitelial paru-paru. TTN terjadi pada bayi baru lahir cukup bulan dengan
surfaktan matang dan epitel pernapasan pembawa Na+ yang kurang
berkembang, sedangkan RDS terjadi pada bayi dengan surfaktan belum
matang dan epitel pernapasan pembawa Na+ yang belum matang.
Cairan paru janin 35% bersih pada beberapa hari sebelum kelahiran,
karena perubahan dalam ENaC; sekitar 30% selama persalinan aktif
karena kekuatan transpulmonal mekanik dan gelombang katekolamin; dan
sekitar 35% dibersihkan saat postnatal selama bayi aktif menangis dan
bernafas. Bayi yang lahir dengan persalinan sesar beresiko memiliki cairan
paru yang berlebihan sebagai akibat dari tidak pernah mengalami semua
tahapan persalinan normal dan kurangnya lonjakan katekolamin yang
tepat, yang menghasilkan sedikit hormon kontra regulasi saat proses
persalinan. Akibatnya adalah alveoli dengan sisa cairan yang menghambat
pertukaran gas.12

Faktor resiko
Faktor resiko terjadinya TTN adalah5,11 :
Ø Bayi lahir dengan operasi Caesar
Ø Bayi dari ibu yang mendapat sedasi berlebihan atau mendapat cairan
bebas natrium
Ø Bayi laki-laki

  15
Ø Polisitemia
Ø Makrosomia
Ø Persalinan yang lama
Ø Asma11

Manifestasi Klinis
Adanya sianosis, merintih, napas cuping hidung, retraksi, takipnea,
pada beberapa jam pertama setelah lahir.5 Suara paru umumnya normal,
tidak ada ronki.9 Kemudian adanya perbaikan respirasi dan gambaran
radiologik lebih dari 12-72 jam dan penyakit sembuh sendiri dalam 2-3
hari.5

Diagnosis
Gambaran radiologik menunjukkan corakan perihiler “sunburst
pattern” dengan cairan pada fisura dan interlobaris yang menonjol.5

Tatalaksana
Ø Tidak ada terapi spesifik.5
Ø Antibiotik ampisilin dosis 10mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis dan
Netilmisin 3mg/kgBB tiap 12 jam, diberikan selama 3 hari, jika tidak
ada infeksi antibiotika diberhentikan.5
Ø Pemberian O2 intranasal 1-2 liter/menit atau dengan head box dengan
konsentrasi oksigen 30-60%5

Komplikasi
Ø Hipoksia12
Ø Lelah napas12
Ø Asidosis12
Ø Kebocoran udara (contohnya pneumotoraks atau pneumomediastinum
kecil)12

  16
Pencegahan
Menjadwalkan kelahiran sesar elektif pada usia kehamilan 39
minggu atau lebih atau menunggu awal persalinan spontan.
Mertimbangkan pembentukan kematangan janin yang sesuai untuk
kelahiran sesar elektif sebelum usia kehamilan 39 minggu.12

Prognosis
Prognosis TTN tanpa komplikasi adalah baik karena TTN dapat sembuh
dengan sendirinya, hanya bersifat sementara dan cenderung ringan.9,12

VII. SINDROM ASPIRASI MEKONIUM


Epidemiologi
Cairan ketuban yang bercampur mekonium ditemukan pada 10-15%
kelahiran dan biasanya terjadi pada bayi aterm atau post term. Sindrom
aspirasi mekonium (SAM) terjadi pada 5% dari bayi tersebut; 30%
memerlukan ventilasi mekanis, dan 3-5% meninggal. Biasanya, tetapi
tidak selalu, gawat janin dan hipoksia terjadi sebelum mekonium keluar
dan bercampur dengan cairan ketuban. Bayi lahir dengan noda mekonium
dan mungkin terjadi depresi sehingga membutuhkan resusitasi pada saat
lahir.9

Etiologi dan Patofisiologi


Dalam kandungan, mekonium merupakan hasil dari stimulasi saraf
saluran pencernaan yang sudah matang dan biasanya akibat dari stres
hipoksia janin. Saat janin mendekati waktu kelahiran, saluran pencernaan
matang, dan stimulasi vagal dari kompresi kepala atau tali pusat dapat
menyebabkan gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter rektum yang
membuat mekonium keluar.13
Efek dari mekonium dalam cairan ketuban adalah mekonium
langsung mengubah cairan ketuban, mengurangi aktivitas anti bakteri dan
selanjutnya meningkatkan risiko infeksi bakteri perinatal. Selain itu,
  17
mekonium mengiritasi kulit janin, sehingga meningkatkan kejadian
eritema toksikum. Namun, komplikasi yang paling parah dari mekonium
dalam rahim adalah aspirasi cairan amnion sebelum, selama, dan setelah
kelahiran. Aspirasi memicu terjadinya hipoksia melalui empat efek paru
utama13:
Ø Obstruksi jalan napas
Obstruksi total jalur napas dengan mekonium mengakibatkan
atelektasis. Obstruksi parsial menyebabkan terperangkapnya udara dan
hiperdistensi dari alveoli, biasa disebut efek bola-katup. Hiperdistensi
dari alveoli terjadi dari ekspansi jalan napas selama inhalasi dan
runtuhnya saluran napas sekitar melekatnya mekonium di jalan napas,
menyebabkan peningkatan resistensi selama pernapasan. Gas yang
terperangkap (paru hiperinflasi) bisa pecah ke dalam pleura
(pneumotoraks), mediastinum (pneumomediastinum), atau
perikardium (pneumoperikardium).
Ø Disfungsi surfaktan
Mekonium menonaktifkan surfaktan dan mungkin juga menghambat
sintesis surfaktan. Beberapa konstituen dari mekonium, terutama asam
lemak bebas (misalnya, palmitat, stearat, oleat), memiliki tegangan
permukaan minimal lebih tinggi dari surfaktan dan melucuti dari
permukaan alveolar, mengakibatkan atelektasis difus.
Ø Pneumonitis kimiawi
Enzim, garam empedu, dan asam lemak bebas pada mekonium
mengiritasi saluran pernapasan dan parenkim, menyebabkan pelepasan
sitokin (termasuk tumor necrosis factor (TNF-α), interleukin (IL -1ß,
I-L6, IL-8, IL-13 ), yang memicu pneumonitis difus yang mungkin
mulai terjadi dalam beberapa jam dari aspirasi. Semua efek paru ini
dapat menghasilkan gangguan ventilasi-perfusi (V / Q) yang besar.
Ø Hipertensi pulmonal
Banyak bayi dengan sindrom aspirasi mekonium memiliki persistent
pulmonary hypertension of the newborn (PPHN) primer atau sekunder

  18
sebagai akibat kronis pada stres rahim dan penebalan pembuluh darah
paru. PPHN kemudian berkontribusi terhadap hipoksemia yang
disebabkan oleh sindrom aspirasi mekonium.
Dan terakhir, meski mekonium adalah steril, masuknya mekonium ke
dalam saluran napas dapat memicu infeksi paru-paru pada bayi.

Gambar 2. Patofisiologi sindrom aspirasi mekonium9

  19
Manifestasi Klinis
Baik di dalam rahim ataupun pada tarikan napas pertama, mekonium
yang tebal dan partikulat tersedot ke dalam paru-paru menghasilkan
obstruksi kecil pada jalan napas yang dapat menghasilkan gangguan
pernapasan dalam 1 jam, dengan manifestasi klinis takipnea, retraksi,
suara merintih, dan sianosis yang dapat dilihat pada bayi yang terkena
sindrom aspirasi mekonium parah. Obstruksi parsial dari beberapa saluran
udara dapat menyebabkan pneumomediastinum, pneumotoraks, atau
keduanya. Distensi dada berlebihan mungkin menonjol. Kondisi ini
biasanya membaik dalam waktu 72 jam, tetapi jika membutuhkan bantuan
ventilasi, mengarah pada diagnosis yang berat dengan resiko tinggi
mortalitas. Takipnea dapat bertahan selama beberapa hari atau bahkan
beberapa minggu. Pemeriksaan radiologis thoraks yang khas ditandai
dengan patchy infiltrates, corakan kasar dari kedua bidang paru-paru,
peningkatan diameter anteroposterior, dan pendataran diafragma. Sebuah
pemeriksaan radiologis dada yang normal pada bayi dengan hipoksemia
berat dan tidak ada kelainan jantung menunjukkan diagnosis hipertensi
pulmonal.9

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik umumnya cukup untuk
menegakkan diagnosa sindroma aspirasi mekonium. Pemeriksaan
penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosa sindrom aspirasi
mekonium adalah13 :
Ø Status asam basa
Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) dan stres perinatal adalah
hal yang umum dan penilaian status asam-basa sangat penting.
Asidosis metabolik dari stres perinatal berkomplikasi dengan asidosis
respiratorik dari penyakit parenkim dan PPHN. Analisa gas darah yaitu
pengukuran pH, PaCO2, PaO2, dan pengukuran oksigenasi terus-
menerus oleh oksimetri diperlukan untuk manajemen yang tepat.

  20
Ø Serum elektrolit
Menilai konsentrasi natrium, kalium, dan kalsium pada 24 jam
kehidupan bayi dengan sindrom aspirasi mekonium penting karena
syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
dan gagal ginjal akut adalah komplikasi yang sering pada stres
perinatal.
Ø Darah rutin
Kehilangan darah dalam rahim atau perinatal, serta infeksi,
berkontribusi terhadap stres pasca kelahiran. Kadar hemoglobin dan
hematokrit harus cukup untuk memastikan kapasitas pembawa oksigen
yang memadai. Trombositopenia meningkatkan resiko perdarahan
neonatal. Polisitemia mungkin terjadi akibat hipoksia janin kronis.
Polisitemia dikaitkan dengan penurunan aliran darah paru dan dapat
memperburuk hipoksia terkait dengan sindrom aspirasi mekonium dan
PPHN.
Ø Foto thoraks
Foto thoraks sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis sindrom
aspirasi mekonium dan menentukan tingkat patologi intratoraks (lihat
gambar di bawah), mengidentifikasi area atelektasis dan sindrom blok
udara (lihat gambar di bawah), serta memastikan posisi yang tepat dari
ETT dan kateter umbilikalis.

  21
Gambar 3. Udara yang terperangkap dan hiperekspansi dari obstruksi saluran
napas13

Gambar 4. Atelektasis akut13

  22
Gambar 5. Pneumomediastinum dari udara yang terperangkap dan kebocoran
udara13

Gambar 6. Pneumotoraks kiri dengan depresi diafragma dan sedikit


pergeseran mediastinum13

  23
Gambar 7. Pneumonitis kimiawi difus13

Ø Echokardiografi
Echokardiografi diperlukan untuk memastikan struktur jantung normal
dan menilai fungsi jantung, serta menentukan keparahan hipertensi
pulmonal dan shunting kanan ke kiri.
Ø Pencitraan otak
Dalam perjalanan sindrom aspirasi mekonium berikutnya, ketika bayi
stabil, studi pencitraan otak (misalnya, MRI, CT scan, ultrasonografi
tengkorak) diindikasikan, jika pemeriksaan neurologis bayi tidak
normal.

Tatalaksana
Intubasi rutin untuk aspirasi paru-paru pada bayi kuat yang lahir
dengan cairan mekonium tidak efektif dalam mengurangi SAM atau efek
samping utama lainnya. Bayi yang depresi (hipotonia, bradikardia, atau
upaya pernapasan menurun) berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
terjadi SAM dan dapat mendapatkan manfaat dari intubasi endotrakeal dan
  24
suction untuk menghilangkan mekonium dari jalan napas sebelum napas
pertama di ruang bersalin. Resiko terkait dengan laringoskopi dan intubasi
endotrakeal (bradikardia, spasme laring, hipoksia) kurang dari resiko
terjadinya SAM pada bayi dengan mekonium yang mengalami depresi saat
lahir.9
Pengobatan SAM merupakan perawatan suportif dan manajemen
standar untuk gangguan pernapasan. Efek yang menguntungkan dari
tekanan udara rata-rata pada oksigenasi harus dipertimbangkan dengan
resiko terjadinya pneumotoraks. Pemberian surfaktan eksogen dan/atau
iNO untuk bayi dengan SAM dan kegagalan pernapasan hipoksemik atau
hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilasi mekanis mengurangi
kebutuhan untuk dukungan ECMO, yang dibutuhkan oleh bayi yang
paling parah yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi. Aspirasi
mekonium yang parah dapat berkomplikasi dengan PPHN. Pasien dengan
SAM yang tidak membaik dengan ventilasi mekanik konvensional dapat
mengambil manfaat dari HFV atau ECMO.9

  25
Pencegahan

Gambar 8. Algoritma pencegahan SAM8

Komplikasi
Anak-anak dengan sindrom aspirasi mekonium mungkin
berkembang menjadi penyakit paru-paru kronis akibat intervensi paru
yang intens. Bayi dengan sindrom aspirasi mekonium memiliki insiden

  26
yang sedikit meningkat terjadinya infeksi pernafasan pada tahun pertama
kehidupan karena paru-paru mereka masih dalam pemulihan.13

Prognosis
Angka kematian bayi dengan mekonium jauh lebih tinggi dari pada
bayi tanpa mekonium. Penurunan angka kematian neonatal karena SAM
dalam dekade terakhir ini terkait dengan perbaikan dalam perawatan
obstetri dan neonatal. Gejala paru-paru sisa jarang terjadi, tetapi dapat
berupa batuk, mengi, dan hiperinflasi menetap hingga 5-10 tahun.
Prognosis akhir tergantung pada sejauh mana cedera SSP dari asfiksia dan
adanya masalah yang terkait seperti hipertensi paru.9

VIII. BRONKOPNEUMONIA
Definisi
Bronkopneumonia adalah bagian dari pneumonia. Pneumonia adalah
inflamasi yang mengenai parenkim paru yang sebagian besar disebabkan
oleh mikroorganisme (virus/bakteri/jamur), dan sebagian kecil oleh hal
lain (aspirasi, radiasi, dan lain-lain). Infeksi mikroorganisme atau hal lain
menyebabkan inflamasi pada alveolus paru-paru, menyebabkan alveolus
terisi pus atau cairan. Terdapat 2 jenis pneumonia yaitu lobar dan bronkial.
Pneumonia lobaris mengenai satu atau lebih daerah bagian atau lobus atau
paru-paru. Bronkopneumonia mengenai kedua paru-paru dan bronkus.
Bronkopneumonia dapat ringan atau berat, namun bronkopneumonia yang
disebabkan oleh virus umumnya lebih ringan.14,15

Epidemiologi
Diperkirakan 3,9 juta dari 10,8 juta kematian pada anak setiap
tahunnya terjadi pada 28 hari pertama kehidupan. Lebih dari 96% dari
seluruh kematian neonatus terjadi di negara berkembang, dan pneumonia
termasuk yang memiliki kontribusi yang tinggi pada angka mortalitas ini.
Pneumonia intrauteri dan awitan cepat ditemukan pada otopsi 10-38%
  27
bayi lahir mati dan 20-63% pada bayi lahir hidup yang tak lama kemudian
meninggal. Pada penelitian lainnya, dari otopsi 1.044 kematian neonatal
dalam 48 jam pertama kehidupan, 20-38% memiliki pneumonia dengan
angka kejadian tertinggi pada kelompok sosioekonomi bawah. Pneumonia
menyebabkan 750.000 – 1,2 juta kematian neonatal setiap tahunnya dan
pneumonia neonatal berkontribusi terhadap 10% mortalitas anak secara
keseluruhan.14

Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi terjadinya pneumonia atau bronkopneumonia bergantung
pada usia anak. Pada neonatus etiologinya adalah Streptokokus grup B,
Chlamydia trachomatis, dan bakteri gram negatif seperti E. colli,
Pseudomonas, atau Klebsiela disamping bakteri utama penyebab
pneumonia yaitu Streptokokus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe
B, dan Stafilokokus aureus.9,14,15
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu
ke anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi umumnya
berasal dari ibu (cairan amnion, aspirasi mekonium, atau kuman pada
serviks ibu) , namun dapat pula dari lingkungan RS (dokter, perawat, alat-
alat dan fasilitas di rumah sakit) ataupun dari masyarakat. Penularan via
transplasenta juga dapat terjadi, seperti penularan toksoplasma, rubella,
cytomegalovirus, dan virus herpes simpleks (TORCH), virus varisela
zoster, dan Listeria monocytogenes.15
Perjalanan penyakit pneumonia diawali dengan masuknya
mikroorganisme ke saluran pernapasan, terhirup hingga paru bagian
perifer. Awalnya terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena kemudian mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli
(stadium hepatisasi merah). Kemudian, deposisi fibrin semakin bertambah,
terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis

  28
yang cepat (stadium hepatisasi kelabu). Lalu jumlah makrofag meningkat
di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang (stadium resolusi). Bagian paru yang tidak terkena akan
tetap normal.15

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bronkopneumonia pada neonatus tidak khas
yaitu serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,
letargi, batuk, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi,
retraksi subkosta, dan demam. Suara napas dapat berupa suara vesikuler
yang meningkat hingga ronki basah halus nyaring. Pada bayi BBLR sering
terjadi hipothermi. Gambaran tersebut sulit dibedakan dengan sepsis dan
meningitis.14,15

Diagnosis
Diagnosis bronkopneumonia neonatal14,15 :
Adanya gejala gawat napas (napas cepat, berisik atau sulit; laju napas >
60x/menit; retraksi dada; batuk; merintih) yang memiliki kultur darah
positif atau ≥ 2 berikut ini :
1. Faktor predisposisi (ibu demam > 38oC, cairan ketuban bau busuk,
atau ketuban pecah >24 jam)
2. Gambaran klinis sepsis (nafsu makan menurun, letargi, refleks turun,
hipotermi atau hipertermi, atau distensi abdomen)
3. Gambaran radiografi mengarah pada diagnosa bronkopneumonia
(difus merata pada kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial).
4. Hasil pemeriksaan penunjang positif sepsis (neutrofil batang >20%,
nilai leukosit berada di luar batas normal, C reaktif protein meningkat,
atau laju endap darah meningkat)

  29
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarang
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis pneumonia atau
bronkopneumonia adalah uji serologis dan pemeriksaan mikrobiologis
(namun pada neonatus jarang yang ditemukan positif karena kejadian
bakteremia yang sangat rendah). Umumnya bronkopneumonia cukup
ditegakkan dari manifestasi klinis dan foto thoraks.15

Tatalaksana
Ø IVFD dekstrose 7,5% atau 10% + NaCl 15% 6cc + Ca glukonas
diberikan ¾ kebutuhan. Kebutuhan Ca glukonas/hari : (BB x 45)/9 cc5
Ø Antibiotik : Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis, gentamisin
2,5 mg/kgBB/18 jam jika BB > 2.000 gram, atau per 24 jam jika BB
<2.000 gram. Bila umur > 7 hari, berikan tiap 12-18 jam. Lama
pemberian 7-10 hari. Bila tidak ada perbaikan dalam 2 hari, ganti
antibiotik dengan Ceftazidime 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.5 Jika
sudah terdapat hasil kultur dan resistensi, dapat diberikan antibiotik
yang sesuai.14
Ø Oksigen 0,5-2 liter/menit jika terjadi hipoksemia14

Pencegahan
Pencegahan terjadinya bronkopneumonia adalah14:
Ø Memberikan antibiotik pada ibu dengan ketuban pecah dini
Ø Memberikan ASI segera dan eksklusif
Ø Mencegah pneumonia nosokomial dengan cara mencuci tangan dan
membersihkan peralatan medis dengan baik dan benar
Ø Pemberian vaksin pneumococcal polysaccharide pada saat ibu hamil
karena 25% penyebab pneumonia pada neonatus adalah
Pneumococcus
Ø Mencegah dan mengatasi infeksi menular seksual pada ibu
Ø Membersihkan jalan lahir dengan cairan aseptik

  30
Ø Pemberian suplemen vitamin A pada bayi baru lahir (50.000 IU
vitamin A pada hari pertama kehidupan)
Ø Penanganan apnea dan gagal nafas dengan baik dan benar (menjaga
higiene)

Komplikasi
Komplikasi pneumonia atau bronkopneumonia biasanya merupakan
hasil dari penyebaran langsung infeksi bakteri dalam rongga dada (efusi
pleura, empiema, perikarditis) atau bakteremia dan penyebaran
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran hematologi infeksi pneumokokus
atau H. influenzae tipe b. S. aureus, S. pneumoniae, dan S. pyogenes
adalah penyebab paling sering dari efusi parapneumonik dan empiema.9

Prognosis
Pneumonia pada neonatus memiliki resiko kematian yang tertinggi
dibandingkan dengan usia lain. Di India, hampir setengah pasien yang
meninggal akibat pneumonia pada anak merupakan neonatus. Resiko
kematian akibat pneumonia sangat berhubungan dengan berat badan lahir
dan onset terjadinya penyakit. Pneumonia intrauterin atau awitan cepat
lebih beresiko fatal dibandingkan dengan pneumonia awitan lambat.
Begitu pula dengan berat badan lahir, bayi dengan berat badan lahir lebih
rendah memiliki resiko lebih tinggi terhadap kematian akibat pneumonia.14
Dengan penanganan yang tepat seperti penggunaan antibiotik pada
pneumonia bakterial, manifestasi klinis akan membaik dalam 48-96 jam
setelah pemberian antibiotik. Gambaran radiografiknya pun perlahan akan
membaik. Jika tidak membaik, beberapa faktor harus diperhatikan yaitu9 :
1. Komplikasi seperti empiema
2. Bakteri sudah resisten
3. Penyebabnya bukan bakteri melainkan virus atau aspirasi benda asing
atau makanan

  31
4. Obstruksi bronkial akibat lesi endobronkial, benda asing, atau
sumbatan mukus
5. Adanya penyakit seperti imunodefisiensi, ciliary dyskinesia, sistik
fibrosis, atau malformasi adenomatoid kistik
6. Penyebab non infeksi lainnya (termasuk bronkiolitis obliterans,
pneumonitis hipersensitivitas, pneumonia eosinofilik, aspirasi, dan
granulomatosis Wegener).

IX. PNEUMOTORAKS
Epidemiologi
Pneumotoraks asimtomatik, biasanya unilateral, diperkirakan terjadi
pada 1-2% dari semua bayi baru lahir, pneumotoraks dan
pneumomediastinum simptomatik jarang terjadi. Insiden pneumotoraks
meningkat pada bayi dengan penyakit paru-paru seperti aspirasi
mekonium dan RDS; pada mereka yang telah menjalani resusitasi kuat
atau menerima bantuan ventilasi, terutama jika dukungan ventilator yang
tinggi diperlukan; dan pada bayi dengan anomali saluran kemih atau
oligohidramnion.9

Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab tersering terjadinya pneumothoraks adalah inflasi
berlebihan yang mengakibatkan pecahnya alveolar. Hal ini dapat terjadi
secara spontan atau mungkin karena penyakit paru yang mendasari, seperti
emfisema lobaris atau pecahnya kista paru-paru kongenital atau
pneumatocele, hingga trauma, atau obstruksi bronkus atau bronkiolus jenis
"bola-katup" yang dihasilkan dari aspirasi.9
Pneumothoraks umumnya berhubungan dengan hipoplasia paru,
cenderung terjadi selama 1 jam setelah lahir, dan disebabkan oleh
berkurangnya luas permukaan alveolus dan komplian paru-paru yang
buruk. Hal ini terkait dengan gangguan penurunan volume cairan amnion
(sindrom Potter, agenesis ginjal, displasia ginjal, kebocoran cairan ketuban

  32
kronis), penurunan gerakan pernapasan janin (oligohidramnion, penyakit
neuromuskular), lesi paru yang menempati ruang (hernia diafragma, efusi
pleura, chylothorax), dan kelainan toraks.9
Gas dari alveolus pecah, lolos ke dalam ruang interstisial paru-paru,
di mana ia dapat menyebabkan emfisema interstitial atau menerobos
sepanjang selubung jaringan ikat peribronchial dan perivaskular ke hilus
paru. Jika volume udara yang lolos cukup besar, udara tersebut dapat
berkumpul di ruang mediastinum (pneumomediastinum) atau pecah ke
dalam rongga pleura (pneumotoraks), jaringan subkutan (emfisema
subkutan), rongga peritoneum (pneumoperitoneum), dan/atau kantung
pericardial (pneumoperikardium).9
Pneumotoraks tension terjadi jika akumulasi udara dalam rongga
pleura cukup untuk meningkatkan tekanan intrapleural di atas tekanan
atmosfer. Pneumotoraks tension unilateral mengakibatkan terganggunya
ventilasi tidak hanya di paru-paru ipsilateral tetapi juga di kontralateral
karena adanya pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral. Kompresi
vena kava dan torsi dari pembuluh darah besar dapat mengganggu aliran
balik vena.9

Manifestasi Klinis
Temuan fisik dari pneumotoraks asimtomatik adalah hiperresonansi
dan hilang atau berkurangnya suara napas di dada pada sisi yang terkena
dengan atau tanpa takipnea.9
Pneumotoraks simptomatik ditandai dengan gangguan pernapasan,
yang bervariasi dari laju napas meningkat hingga sesak napas berat,
takipnea, dan sianosis. Iritabilitas dan gelisah atau apnea mungkin
merupakan tanda-tanda paling awal. Onset biasanya tiba-tiba tetapi dapat
pula bertahap; bayi secara cepat dapat menjadi terlihat sakit kritis. Dada
mungkin terlihat asimetris dengan diameter anteroposterior meningkat dan
interkostal pada sisi yang terkena menonjol; tanda-tanda lain mungkin
hiperresonansi dan berkurang atau tidak adanya bunyi napas. Jantung

  33
terdorong ke sisi yang tidak terkena, sehingga terjadi perpindahan apeks
jantung dan titik impuls maksimal jantung. Diafragma terdorong ke
bawah, hati juga terdorong ke bawah pada pneumotoraks sisi kanan, dan
dapat mengakibatkan distensi abdomen. Karena pneumotoraks mungkin
bilateral pada sekitar 10% pasien, temuan yang simetris tidak
menyingkirkan diagnosis pneumotoraks. Pada pneumotoraks tension,
tanda-tanda syok dapat terjadi.9

Diagnosis
Pneumothoraks dan kebocoran udara lainnya harus dicurigai pada
bayi baru lahir yang menunjukkan tanda-tanda gangguan pernapasan,
gelisah atau marah, atau memiliki perubahan kondisi mendadak. Diagnosis
pneumotoraks ditegakkan dengan radiografi, dengan tepi paru-paru yang
luruh terlihat terdesak pneumotoraks. Transiluminasi toraks seringkali
membantu dalam mendiagnosis pneumotoraks secara darurat; sisi yang
terkena mentransmisikan cahaya berlebihan. Adanya anomali ginjal
diidentifikasi dengan ultrasonografi.9

Tatalaksana
Tanpa kebocoran udara yang terus menerus, pneumothoraks kecil
asimtomatik dan simptomatik hanya memerlukan pengamatan saja.
Manajemen konservatif pneumotoraks efektif bahkan pada bayi yang
memerlukan dukungan ventilasi. Pemberian oksigen 100% pada bayi
mempercepat resorpsi udara pleura bebas ke dalam darah dengan
mengurangi tekanan nitrogen dalam darah dan menghasilkan gradien
tekanan nitrogen yang dihasilkan dari gas yang terperangkap di dalam
darah, tetapi efektivitas klinis tidak terbukti dan manfaat harus
dipertimbangkan dengan resiko toksisitas oksigen. Dengan gangguan
pernapasan atau peredaran darah yang berat, aspirasi darurat menggunakan
kateter kecil yang lembut dengan jarum dapat dilakukan. Segera atau
setelah aspirasi kateter, tabung dada harus dimasukkan dan melekat pada

  34
underwater seal drainage. Jika kebocoran udara terus berlangsung,
suction terus menerus (-5 sampai -20 cm H2O) mungkin diperlukan untuk
mengevakuasi pneumotoraks sepenuhnya. Penggunaan sedasi yan tepat
pada bayi yang menggunakan ventilator dapat mengurangi resiko
pneumotoraks. Terapi surfaktan untuk RDS juga dapat mengurangi angka
terjadinya pneumotoraks.9

Prognosis
Jika hanya terjadi pneumotoraks saja dan tatalaksana segera
dilakukan secepat mungkin, prognosisnya baik. Kemungkinan
pneumotoraks spontan sederhana berulang dapat mencapai 30% ipsilateral
dan 10% kontralateral. Tingginya angka kejadian berulangnya
pneumotoraks harus diperhatikan setelah episode pertama terjadinya
pneumotoraks sekunder. Jika trauma lain terjadi pada waktu yang
bersamaan atau terjadinya pneumotoraks tension dengan syok dan
hipoperfusi, prognosisnya lebih buruk. Jika pasien mengalami hipoksia
dalam waktu lama, kerusakan otak dapat terjadi.16

  35
X. BAGAN TATALAKSANA SINDROMA GAWAT NAPAS
PADA BAYI BARU LAHIR

Gambar 9. Algoritma manajemen gawat napas neonatus8

Gambar 10. Algoritma manajemen gawat napas neonatus (2)8

  36
XI. KESIMPULAN
Sindroma gawat napas pada bayi baru lahir (neonatus) sangat
penting untuk dicegah dan ditangani dengan baik karena berkaitan dengan
angka morbiditas dan mortalitas pada neonatus. Sindroma gawat napas
pada neonatus dapat disebabkan oleh gangguan respiratorik dan non
respiratorik. Gangguan respiratorik yang umumnya menjadi penyebab
sindroma gawat napas adalah RDS. Selain RDS, SAM, TTN, pneumonia,
dan pneumotoraks juga seringkali terjadi dan menyebabkan sindroma
gawat napas pada neonatus. Tiga penyebab sindroma gawat napas yang
tersering yaitu TTN, RDS dan SAM dapat dibedakan seperti di dalam
tabel perbandingan ketiganya di bawah ini.

  37
Penyebab TTN RDS SAM
Kekurangan
Cairan paru yang Iritasi dan
Etiologi surfaktan, paru
menetap obstruksi paru
belum matang
Waktu Cukup atau lewat
Kapanpun Kurang bulan
kelahiran bulan
Cairan ketuban
Operasi sesar,
Laki-laki, ibu bercampur
Faktor makrosomia, laki-
diabetes, kelahiran mekonium,
resiko laki, ibu asma, ibu
prematur kelahiran lewat
diabetes
bulan
Takipnea, jarang
Manifestasi Takipnea, Takipnea,
terjadi hipoksia
klinis hipoksia, sianosis hipoksia
atau sianosis
Infiltrat parenkim
Infiltrat homogen,
“wet silhouette” di Atelektasis
air bronchogram,
Foto thoraks sekitar jantung, patchy,
volume paru
akumulasi cairan konsolidasi
menurun
interlobar
Resusitasi, Resusitasi,
Suportif, O2 jika
Tatalaksana ventilasi O2, ventilasi O2,
hipoksia
surfaktan surfaktan
Kortikosteroid Jangan
Kortikosteroid prenatal jika mengganggu
prenatal sebelum terdapat resiko proses kelahiran
Pencegahan operasi sesar jika kelahiran kurang untuk melakukan
usia kehamilan bulan (usia suction,
37-39 minggu kandungan 24-34 amnioinfusion
minggu) tanpa indikasi
Tabel perbandingan TTN, RDS, dan SAM9

  38
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmawati A., Haksari E.L., Naning R. Downes score as a clinical assessment


for hypoxemia in neonates with respiratory distress. Paediatrica Indonesiana.
2008;48(6):342-345.
2. Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. Epidemiology
of Neonatal Respiratory Failure in the United States. Am J Respir Crit Care
Med. 2001;164(7):1154-1160.
3. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H et al. Neonatal Respiratory
Failure: A 12-Month Clinical Epidemiologic Study From 2004 to 2005 in
China. PEDIATRICS. 2008;121(5):e1115-e1124.
4. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Akselerasi pelayanan
kesehatan: Peran penelitian kesehatan [Internet]. 2006 [diperbaharui 2006,
diunduh 23 Agustus 2015). Tersedia di http://www.depkes.go.id.
5. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Standar Penatalaksanaan Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta.
6. Aly, Hany. Respiratory Distress in the Newborn: Identification and Diagnosis.
Pediatrics in Review. 2004;25(6):201-208.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
8. Hermansen, Christian L, Lorah, Kevin N. Respiratory Distress in the
Newborn. American Family Physician. 2007;76(7):987-994.
9. Kliegman, Robert M., Stanton, Bonita F., Schor, Nina F., et al. 2011. Nelson
Textbook of Pediatrics. United States of America: Saunders, Elsevier Inc.
10. MedScape. Respiratory Distress Syndrome [Internet]. 2015 [diperbaharui 16
Januari 2015, diunduh 24 Agustus 2015]. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview#showall
11. Guglani L, Ryan R, Lakshminrusimha S. Risk factors and management of
transient tachypnea of the newborn. Pediatric Health. 2009;3(3):251-260.
12. MedScape. Transient Tachypnea of the Newborn [Internet]. 2014

  39
[diperbaharui 10 Juni 2014, diunduh 26 Agustus 2015]. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/976914-overview#showall
13. MedScape. Meconium Aspiration Syndrome [Internet]. 2014 [diperbaharui 15
Januari 2014, diunduh 24 Agustus 2015]. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/974110-overview#a3
14. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Archives of Disease in
Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 2005;90(3):F211-f219.
15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
16. MedScape. Pediatric Pneumothorax [Internet]. 2013 [diperbaharui 20
September 2013, diunduh 26 Agustus 2015]. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/1003552-overview#showall

  40

Anda mungkin juga menyukai