Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FACTITIOUS DISORDER AND MALINGERING

Disusun oleh:

Vincent
01073170032

Pembimbing:

dr. Waskita Roan, SpKJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


SANATORIUM DHARMAWANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 15 OKTOBER – 17 NOVEMBER 2018
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya karya tulis
yang berjudul “Factitious Disorder and Malingering”. Atas pengetahuan serta
bimbingan dan pengarahan dari para dokter pembimbing di Sanatorium
Dharmawangsa, Jakarta selama kepaniteraan klinik berlangsung, penulis ingin
mengucapkan terima kasih. Penulis juga ingin berterima kasih khususnya kepada
dokter pembimbing, dr. Waskita Roan, Sp.KJ, atas bimbingan, kritik, dan saran
yang diberikan.

Penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun guna


perbaikan dan penyempurnaan untuk karya tulis ini selanjutnya. Penulis berharap
karya tulis ini dapat berguna bagi pembaca.

Oktober 2018,

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
2.1 Definisi ..................................................................................................... 3
2.2 Sejarah ...................................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi ............................................................................................ 5
2.4 Etiologi dan Komorbiditas ....................................................................... 6
2.4.1 Faktor Psikososial ............................................................................. 6
2.4.2 Faktor Biologis .................................................................................. 8
2.4.3 Komorbiditas ..................................................................................... 8
2.5 Patofisiologi.............................................................................................. 8
2.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis ............................................................. 9
2.6.1 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Psikologis ...... 10
2.6.2 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Fisik ............... 12
2.6.3 Gangguan Factitious dengan Gejala Campuran ............................. 13
2.6.4 Gangguan Factitious Proxy ............................................................ 13
2.6 Psikopatologi dan Pemeriksaan Laboratorium ....................................... 14
2.7 Diagnosis Diferensial ............................................................................. 14
2.7.1 Gangguan Konversi ......................................................................... 15
2.7.2 Gangguan Personalitas .................................................................... 15
2.7.3 Skizofrenia ...................................................................................... 16
2.7.4 Malingering ..................................................................................... 16
2.7.5 Penyalahgunaan Zat ........................................................................ 17
2.7.6 Sindrom Ganser ............................................................................... 17
2.8 Tatalaksana ............................................................................................. 17
2.9 Prognosis dan Perkembangan Penyakit .................................................. 20
BAB III ................................................................................................................. 21
3.1 Definisi dan Pendahuluan ....................................................................... 21
3.2 Epidemiologi .......................................................................................... 21
3.3 Etiologi ................................................................................................... 22

ii
3.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis ........................................................... 22
3.4.1 Menghindari Sanksi Hukum ........................................................... 22
3.4.2 Alasan Finansial .............................................................................. 22
3.4.3 Menghindari Wajib Militer atau Pekerjaan Resiko Tinggi ............. 22
3.4.4 Menghindari Kewajiban Sosial dan Pekerjaan ............................... 22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit ............................................ 23
3.4.6 Perawatan di Rumah Sakit .............................................................. 23
3.5 Diagnosis Diferensial ............................................................................. 23
3.6 Tatalaksana ............................................................................................. 24
3.7 Prognosis dan Perkembangan Penyakit .................................................. 24
BAB IV ................................................................................................................. 26
BAB V................................................................................................................... 27
LAMPIRAN I ....................................................................................................... 29
LAMPIRAN II ..................................................................................................... 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan factitious disorder and malingering merupakan bagian dari


cabang besar ilmu psikiatri yang membahas gangguan psikosomatik. Gangguan
psikosomatik berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang berarti jiwa dan soma
yang berarti tubuh. Secara harafiah, cabang ilmu psikosomatik membahas
bagaimana pikiran atau jiwa dapat memengaruhi tubuh. Sepanjang sejarah,
gangguan psikosomatik memiliki dampak yang mendalam terhadap bagaimana
seseorang dapat memiliki persepsi terhadap kesehatannya.

Seperti yang sudah dijelaskan oleh Edward Shorter, cara untuk


mendeskripsikan penyakit berbeda-beda sepanjang sejarah karena pasien dengan
alam sadarnya melaporkan gejala yang dikira mewakili penyakit tubuh sebenarnya.
Sebelum tahun 1800, dokter tidak melakukan evaluasi klinis dan tidak dapat
membedakan penyakit somatik atau psikogenik. Akibatnya adalah diagnosis
histeria dan hipokondriasis dapat dengan mudah dilakukan pada pasien dengan
penyakit medis. Sigmund Freud adalah pelopor utama yang menghubungkan aspek
psyche dan soma. Dia mendemonstrasikan kepentingan emosi terhadap
menyebabkan gangguan mental dan gangguan somatik. Formulasi psikoanalitik
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud menjelaskan pentingnya psychic
determinisim dalam reaksi konversi somatik. Pada abad 20, gangguan somatisasi
berubah dari gejala neurologis (seperti paralisis histeris) menjadi gejala lain seperti
lemas dan nyeri kronis. Edward Shorter menjelaskan bahwa perubahan ini dapat
disebabkan oleh karena 3 penyebab yaitu perkembangan metode diagnostik medis
sehingga lebih mudah untuk menyingkirkan penyebab organik terhadap penyakit
neurologis, paradigma central nervous system sudah semakin pudar, dan peran
sosial yang berubah.

Walaupun gejala neurologis berupa histeria semakin jarang ditemukan pada


abad 21, penjelasan terhadap gejala nyeri kronis dan kelelahan menjadi semakin
populer. Salah satu penjelasan terhadap gejala tersebut dapat berupa disfungsi otak

1
atau bahkan faktor genetik pada pasien yang menderita fibromialgia dan chronic
fatigue syndrome. Hal ini menandakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan
kemampuan diagnosis mempengaruhi diagnosis gangguan psikosomatik, dan
bahwa perkembangan zaman juga disertai dengan perubahan pola presentasi
penyakit. Karya tulis ini akan membahas secara spesifik salah satu aspek gangguan
psikosomatik yang spesifik, yaitu factitious disorder and malingering.

2
BAB II
FACTITIOUS DISORDER

2.1 Definisi
Gangguan factitious dapat didefinisikan sebagai kesengajaan dalam
bertindak atau berpura-pura sebagai orang sakit, ataupun bahkan
memperburuk penyakit yang dimilikinya dalam upaya untuk melepaskan
beban emosional. Walaupun tindakan berpura-pura sakit dilakukan secara
sengaja, alasan atau motivasi untuk melakukannya biasanya berada pada
alam bawah sadar. Hal ini mengakibatkan pasien-pasien dengan gangguan
factitious, atau dapat disebut juga sebagai sindrom Munchausen,
memberikan tantangan dalam diagnosis medis.1 Tidak hanya itu, pasien-
pasien dengan gangguan factitious juga dapat menimnbulkan cedera yang
membuat cacat ataupun bahkan mengancam nyawa terhadap dirinya sendiri,
anak-anak mereka, ataupun orang lain yang ada di sekitar mereka. Hal ini
semata-mata dilakukan untuk mendapatkan perhatian medis.2

2.2 Sejarah
Claudius Galen, seorang dokter yang hidup di zaman kekaisaran
Romawi pada abad kedua adalah orang pertama yang mengungkapkan
konsep gangguan factitious dalam sebuah risalah yang berjudul On Feigned
Diseases and the Detection of Them. Dalam buku ini, Galen memberikan
sebuah daftar panjang gejala-gejala yang pasien utarakan atau yang sengaja
dibuat oleh pasien untuk berpura-pura sakit.

Dalam sebuah buku yang dicetak pada tahun 1843, Hector Gavin
adalah orang pertama yang menggunakan istilah factitious disease, di mana
dia menjelaskan bagaimana tentara dan pelaut berpura-pura sakit untuk
mendapatkan perhatian. Selain itu, dia juga menjelaskan bagaimana
gangguan factitious mempengaruhi praktik kedokteran, di mana dia
menjelaskan bagaimana beberapa wanita berpura-pura sakit oleh karena
motivasi yang senonoh tidak dapat dipuji.1

3
Pada tahun 1951, Asher menamai sindrom ini setelah seorang Baron
yang bernama Karl Freidrich Hieronymus von Munchausen yang hidup
pada tahun 1720-1797. Munchausen adalah seorang bangsawan yang
mengabdi di ketentaraan Rusia dalam perang melawan bangsa Turki.
Melaluinya, Munchausen sering menceritakan kisah perangnya yang telah
diromantisasi dalam masa pensiunnya. Walaupun kisahnya tidak sehebat
dari apa yang diceritakannya, namun esensi dari apa yang diceritakannya
adalah nyata.3

Akibatnya, berbohong dan “perilaku Munchausen” dihubungkan


dan digunakan dalam tradisi di Jerman untuk mendeskripsikan anak kecil
dengan perilaku yang menyerupai dan disebut sebagai “little
Munchausen”.4 Pada karya tulisnya yang dipublikasi tahun 1951, Asher
menjelaskan beberapa pasien dengan riwayat medis yang mengandung
kebohongan, yang berhasil menipu dokter dan rumah sakit dalam jumlah
yang sangat banyak. Sebagian besar jumlah pasien dengan kondisi ini
memiliki karakteristik luka operasi pada bagian perut. Asher mengatakan,
bahwa sama seperti Baron von Munchausen yang terkenal, orang-orang
dengan kondisi seperti ini selalu bepergian untuk menceritakan kisah-kisah
mereka yang dramatis dan tidak sepenuhnya benar. Maka dari itu, sindrom
ini dinamai setelah orang terkenal tersebut.3

Sesuai dengan kegunaannya pada masa kini, sindrom Munchausen


dianggap sebagai bentuk paling ekstrim dari gangguan factitious, di mana
pasien-pasien dengan kondisi ini memiliki kompulsi yang tidak dapat
terpenuhi untuk berpura-pura memiliki penyakit yang mengancam nyawa.
Pasien-pasien ini cenderung menjadi “penghuni rumah sakit” yang tidak
memiliki pekerjaan ataupun ikatan dalam bentuk apapun.5 Selagi pasien-
pasien ini berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya,
mereka ber-akting sebagai karakter yang berbeda, layaknya seorang aktor
dan dapat berpura-pura menjadi pahlawan perang atau biarawan. Perilaku
mereka terhadap dokter dan perawat biasanya dramatis, agresif, tidak

4
kooperatif, dan terkadang mengancam. Apabila diartikan seperti ini,
sindrom Munchausen cukup langka dijumpai dan sebagian besar pasien
adalah laki-laki.6

2.3 Epidemiologi
Tidak terdapat data epidemiologis yang pasti terhadap angka
kejadian gangguan factitious. Dapat diestimasikan bahwa kurang lebih 5%
dari interaksi dokter-pasien melibatkan gangguan factitious. Meskipun
demikian, beberapa ahli yakin bahwa gangguan ini mengalami fenomena
underdiagnosis oleh karena pasien-pasien dengan gangguan ini semakin
mahir dalam menyembunyikan perilaku yang menipu ini.7 Berdasarkan data
yang dipublikasikan oleh The National Institute of Allergy and Infectious
Diseases menunjukkan bahwa kurang lebih 9% dari kasus demam tanpa
penyebab yang jelas atau infeksi rekuren merupakan gangguan factitious
atau disebabkan oleh diri sendiri.8

Studi-studi yang jumlahnya terbatas menemukan bahwa kurang


lebih hanya 0.8-1.0% dari konsultasi pasien psikiatri merupakan gangguan
factitious. Pasien cenderung jarang menunjukkan gejala-gejala psikologis
yang palsu jika dibandingkan dengan gejala-gejala somatik yang palsu.
Pada beberapa negara maju, data mengenai pasien-pasien dengan riwayat
gangguan factitious digunakan untuk memperingatkan rumah sakit terhadap
pasien-pasien seperti ini; pasien-pasien yang memiliki riwayat bepergian
dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, mendaftarkan diri atas nama
yang berbeda, atau bahkan berpura-pura mengalami penyakit yang berbeda.

Untuk sindrom Munchausen, kurang lebih 2/3 dari penderitanya


adalah laki-laki dengan kecenderungan ras berkulit putih, berusia paruh
baya, tidak bekerja, tidak menikah, dan tidak memiliki keterikatan yang
signifikan terhadap orang disekitarnya ataupun keluarga.

Pasien yang terdiagnosis dengan gangguan factitious dengan tanda


dan gejala fisik memiliki kecenderungan jenis kelamin perempuan dengan

5
proporsi tiga banding satu dengan laki-laki. Biasanya mereka berusia 20-40
tahun dengan riwayat pekerjaan atau pendidikan sebagai perawat ataupun
tenaga kerja medis lainnya.

Gangguan factitious by proxy atau dapat disebut juga sebagai


gangguan factitious yang dilakukan dengan perwakilan merupakan sebuah
gangguan yang terutama terjadi pada kalangan ibu-ibu terhadap anaknya
yang masih muda atau bahkan anak baru lahir. Hal ini merupakan
manifestasi langka, di mana angka kejadiannya kurang lebih 0.04% dan
sejalan dengan angka kekerasan terhadap anak di Amerika Serikat.9

2.4 Etiologi dan Komorbiditas


2.4.1 Faktor Psikososial

Penyebab psikososial dari gangguan factitious tidak dapat


dipahami dengan mendalam karena pasien-pasien dengan gangguan
ini memiliki kesulitan dalam menerlibatkan dirinya terhadap proses
psikoterapi yang sifatnya eksploratif. Pasien-pasien ini yakin bahwa
gejala-gejala yang dialami adalah secara fisik, dan bahwa
tatalaksana yang berorientasi psikologis tidak berguna.

Laporan kasus anekdotal melaporkan bahwa banyak dari


pasien dengan gangguan ini mengalami pelecehan pada masa kecil
atau bahkan ketelantaran yang mengakibatkan seringnya melakukan
perawatan di rumah sakit pada masa-masa awal perkembangan.
Dalam kondisi seperti ini, rawat inap dapat dijadikan alasan untuk
kabur dari situasi rumah yang traumatik dan menemukan bahwa
dokter atau perawat yang memberikan perhatian dalam rumah sakit
merupakan sosok yang baik dan penyayang.

Sebagai kontrasnya, keluarga pasien yang menjadi penyebab


gangguan ini dapat berupa seorang ibu yang menolak atau seorang
ayah yang tidak pernah ada untuk anaknya. Riwayat yang biasanya
ditemukan adalah pasien menggambarkan salah satu atau kedua

6
orang tuanya sebagai figur yang menolaknya, dan tidak dapat
menjalin hubungan yang intim. Oleh karena itu, gangguan ini
merupakan salah satu bentuk kompulsi yang sifatnya repetisional
atau berulang (repetitional compulsion) dengan tujuan untuk
mencari dan menginginkan penerimaan dan kasih sayang sekalipun
menyadari bahwa tidak akan mendapatkannya. Pasien-pasien
dengan gangguan ini kemudian mengubah persepsi bahwa dokter
dan anggota staf yang merawatnya sebagai orang tua yang
menolaknya.

Pasien-pasien yang ingin mendapatkan prosedur yang


menimbulkan rasa nyeri, seperti prosedur pembedahan, mungkin
memiliki bibit personalitas masokistik. Hal ini menunjukkan
bagaimana rasa nyeri dapat dijadikan sebagai sebuah metode
penghukuman terhadap dosa masa lalu yang merupakan asumsi
ataupun yang benar-benar terjadi. Beberapa pasien bahkan mencoba
untuk menguasai pengalaman trauma dari penyakit medis yang
serius, yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dengan cara
berpura-pura berperilaku dan bertindak seperti demikian dan
menghidupi pengalaman tersebut berulang kali melalui perawatan di
rumah sakit yang berulang. Sedangkan pasien dengan gangguan
psikiatri yang dibuat-buat, dapat ditemukan riwayat adanya anggota
keluarga yang dirawat dengan penyakit yang sedang dilakoninya.
Hal ini dilakukan dengan harapan pasien-pasien dengan gangguan
ini dapat bersatu dengan anggota keluarga yang dirawat melalui
suatu cara yang magis atau psikis.

Banyak dari pasien dengan gangguan ini memiliki formasi


identitas (identity formation) yang buruk dan wujud diri (self image)
yang buruk, yang merupakan karakteristik dari seseorang dengan
borderline personality disorder. Beberapa pasien dapat bertindak
sebagai orang disekitar mereka, dengan as-if personality.

7
Mekanisme difens (defense mechanism) yang signifikan berupa
represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi.9

2.4.2 Faktor Biologis

Beberapa peneliti telah mengemukakan bahwa disfungsi


otak dapat menjadi faktor penyebab dari gangguan factitious. Telah
dicanangkan bahwa gangguan dari proses informasi dapat
mengkontribusi terhadap adanya pseudologia fantastica atau
perilaku aberan dari pasien dengan gangguan Munchausen.
Meskipun demikian, tidak terdapat pola genetik khusus ataupun
abnormalitas spesifik pada pemeriksaan electroencephalograph
(EEG) pada pasien dengan gangguan factitious.9

2.4.3 Komorbiditas

Banyak dari pasien yang terdiagnosis dengan gangguan


factitious memiliki diagnosis komorbid psikiatrik lainnya (seperti
gangguan mood, gangguan personalitas, atau bahkan gangguan
penggunaan zat).9

2.5 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologis dari gangguan factitious belum dapat
ditentukan. Tidak terdapat defek otak yang khas ataupun gangguan fungsi
yang teridentifikasi. Dalam sebuah studi, ditemukan dalam pemeriksaan
single-photon emission computed tomography (SPECT), bahwa adanya
hiperperfusi dari hemitalamus kanan dalam pasien dengan gangguan
factitious, secara khususnya sindrom Munchausen.10

Selain itu, terdapat juga teori yang membahas adanya motivasi yang
berasal dari alam bawah sadar untuk melakukan aksi-aksi yang disengaja.
Motivasi tersebut dapat berasal dari pengalaman dilantarkan atau trauma di
mana pasien secara tidak sadar mempelajari bahwa penderitaan dan

8
penyakit memberikan keringanan terhadap beban emosional dan makna
hidup.11

Diagram 1.1
Skema patofisiologi gangguan factitious11

2.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Tanda-tanda yang dapat mengarah kepada diagnosis gangguan


factitious dapat dilihat pada tabel 1.1. Pemeriksaan psikiatrik harus
memfokuskan pada mendapatkan informasi melalui teman, anggota
keluarga, atau informan lainnya oleh karena wawancara dengan sumber
yang bukan merupakan pasien dapat menunjukkan natur palsu dari penyakit
yang diderita pasien. Verifikasi dari fakta yang diberikan oleh pasien
mengenai perawatan di rumah sakit dan perawatan medis sebelumnya
merupakan sebuah langkah yang esensial.

Evaluasi psikiatrik biasanya diindikasikan pada 50% kasus, setelah


dicurigai adanya penyakit yang dilakoni oleh pasien. Seorang psikiater
biasanya dibutuhkan untuk mengkonfirmasi diagnosis dari gangguan
factitious. Pada kasus ini, sebaiknya dihindari penggunaan pertanyaan yang
terkesan menuduh yang dapat menimbulkan adanya agresi, evasi, atau
bahkan kepergian pasien dari rumah sakit. Jika dilakukan metode

9
konfrontasi yang agresif, maka bahaya yang dapat ditimbulkan adalah
psikosis singkat.

Tabel 1.1
Tanda-tanda yang dapat dijadikan kecurigaan terhadap gangguan factitious9

Gangguan factitious dapat dibagi menjadi dua berdasarkan tipe dan


gejala yang dipalsukan, yaitu gangguan factitious dengan predominansi
gejala psikologis dan gangguan factitious dengan predominansi gejala fisik.
Berdasarkan klasifikasi DSM-V, gangguan factitious dapat dibagi menjadi
gangguan yang dilakukan terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain
(proxy).9

2.6.1 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Psikologis

Beberapa pasien dapat memalsukan gejala psikologis. Gejala


yang dapat dipalsukan biasanya berupa depresi, halusinasi, gejala
disosiatif dan konversi, serta perilaku aneh (bizzare). Oleh karena
kondisi pasien tidak membaik setelah diberikan beberapa metode
terapi, maka pasien tersebut dapat menerima obat-obatan psikoaktif
atau bahkan terapi elektrokonvulsif.9

Penemuan terkini menunjukkan bahwa gejala psikotik yang


palsu semakin sering ditemukan. Pasien-pasien rawat inap dengan
temuan seperti ini biasanya memiliki gangguan personalitas
(borderline personality disorder) secara bersamaan. Pada kasus

10
seperti ini, prognosisnya lebih buruk jika dibandingkan dengan
pasien yang menderita bipolar I atau gangguan skizoafektif.9

Pasien juga dapat terlihat depresif dan dapat


mendeskripsikan depresi yang dialami secara palsu, dengan
menceritakan kematian teman atau anggota keluarga yang dianggap
dekat. Beberapa elemen yang dapat menunjukkan pemalsuan dari
riwayat tersebut adalah kematian yang tragis dan penuh dengan
darah, kematian dalam keadaan yang dramatis, dan kematian dari
seseorang yang masih berusia anak-anak atau dewasa muda. Pasien
lainnya juga dapat mendeskripsikan adanya hilangnya ingatan baik
dalam jangka pendek ataupun panjang, serta adanya halusinasi
auditorik ataupun visual.9

Beberapa pasien lainnya dapat menggunakan zat psikoaktif


dengan tujuan untuk menghasilkan gejala-gejala seperti stimulan
untuk menimbulkan gejala insomnia, atau halusinogen untuk
menghasilkan gejala gangguan persepsi realita. Fenomena ini dapat
menghasilkan manifestasi klinis yang tidak lazim.9

Pseudologia fantastica dapat digambarkan sebagai materi


pembicaraan dengan kebenaran yang terbatas digabungkan dengan
fantasi yang ekstensif. Rasa penasaran dari pendengar sangat
memuaskan bagi pasien, dan pemalsuan kebenaran tidak hanya
merupakan riwayat gejala, namun juga pemalsuan dari aspek hidup
pasien yang lainnya (misalnya mengaku kematian anggota keluarga
untuk mendapatkan simpati ataupun empati). Gambaran yang umum
terdapat pada pasien dengan fenomena ini adalah laki-laki yang
mengatribusi luka bekas operasi secara dramatis layaknya seorang
korban perang.9

11
Tabel 1.2
Tanda-tanda gangguan factitious dengan predominansi gejala psikologis9

2.6.2 Gangguan Factitious dengan Predominansi Gejala Fisik

Gangguan ini memiliki gejala yang merupakan khas dari tipe


sindrom Munchausen. Gangguan ini disebut juga sebagai kecanduan
rumah sakit, kecanduan tindakan pembedahan; sehingga
menghasilkan guyonan masyarakat yaitu washboard abdomen dan
professional patient syndrome. Fitur esensial dari pasien dengan
gangguan ini adalah kemampuan mereka untuk menunjukkan gejala
fisik yang sangat hebat, sehingga mereka mendapatkan akses untuk
perawatan inap di dalam rumah sakit. Untuk mendukung riwayat
mereka, pasien-pasien ini juga terkadang melakoni gejala yang
sugestif adanya penyakit yang menerlibatkan sistem organ spesifik.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak asing lagi terhadap diagnosis dari
kebanyakan penyakit yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
atau bahkan medikasi tertentu, dan dapat memberikan riwayat
penyakit yang hampir sempurna yang mampu menipu bahkan dokter
yang berpengalaman.

Presentasi klinis merupakan kumpulan gejala dan dapat


berupa hematoma, muntah darah, nyeri perut, demam, hipoglikemia,
dan sindrom menyerupai lupus, mual, muntah, pusing, dan bahkan
kejang. Urin biasanya dikontaminasi dengan darah atau bahkan

12
feses, penggunaan antikoagulan dilakukan untuk melakoni
gangguan pembekuan darah, dan insulin juga dapat digunakan untuk
menimbulkan gejala hipoglikemia. Tidak hanya itu, beberapa pasien
juga memaksa dilakukannya pembedahan oleh karena mengklaim
adanya perlengketan usus dari tindakan pembedahan sebelumnya.

Keluhan nyeri, terutama yang menyerupai nyeri kolik renal


umum ditemukan pada pasien yang menginginkan preskripsi obat
narkotika. Pada sekitar setengah kasus yang dilaporkan, pasien
cenderung meminta pengobatan spesifik, biasanya obat-obatan
golongan analgetik. Selagi dirawat di rumah sakit, biasanya pasien-
pasien ini cenderung banyak meminta dan menyulitkan. Oleh karena
hasil pemeriksaan cenderung memberikan hasil negatif, pasien-
pasien ini dapat menuduh dokter bersifat inkompetensi, mengancam
penuntutan, dan biasanya bersifat agresif. Beberapa pasien juga
menginginkan untuk pulang secara setelah mereka dicurigai
menderita gangguan factitious. Oleh karena itu, pasien-pasien ini
dapat berpindah rumah sakit pada kota yang sama ataupun berbeda,
dan siklusnya berulang kembali. Gambaran klinis umum serta
kecurigaan terhadap pasien dengan kondisi ini dapat ditinjau pada
lampiran I.9

2.6.3 Gangguan Factitious dengan Gejala Campuran

Dalam gangguan factitious dengan gejala campuran, kedua


gejala dan tanda psikologis serta fisik ditemukan. Temuan klinis dari
pasien ini tidak spesifik dan dapat memimik gangguan psikologis
ataupun fisik yang sebelumnya sudah dijelaskan.9

2.6.4 Gangguan Factitious Proxy

Dalam kategori ini, seseorang secara sengaja menimbulkan


gejala atau tanda pada orang lain yang berada dalam perawatannya
atau dalam ruang lingkupnya. Sehingga pada DSM-V, diagnosis ini

13
disebut juga sebagai factitious disorder imposed on another. Salah
satu tujuan yang jelas dari perilaku ini adalah bagi pemberi
perawatan untuk berpura-pura sakit, dan satu lagi adalah untuk
melepaskan tanggung jawab merawat seseorang apabila orang
tersebut dirawat di rumah sakit. Gangguan ini paling umum terdapat
pada ibu-ibu yang berhasil menipu tenaga kerja medis bahwa
anaknya sedang sakit. Penipuan dapat berupa riwayat medis yang
palsu, kontaminasi dari hasil pemeriksaan laboratorium, pemalsuan
rekam medis, atau bahkan kesengajaan dalam menimbulkan cidera
pada anak tersebut.9

2.6 Psikopatologi dan Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan psikologis dapat menemukan patologi yang mendasari
tindakan pasien. Fitur-fitur yang menjadi sorotan dari pasien dengan
gangguan factitious adalah intelligence quotient (IQ) yang melebihi rata-
rata, tidak adanya gangguan pemikiran formal (formal thought disorder),
pemahaman terhadap identitas diri yang buruk (termasuk di dalamnya
kebingungan terhadap identitas seksual, kemampuan penyesuaian seksual
yang buruk, toleransi yang buruk terhadap frustrasi, keperluan dependensi
yang buruk, dan narsisisme).

Tidak ada pemeriksaan laboratorium atau patologi secara khusus


yang dapat mendiagnosis gangguan factitious, walaupun dapat digunakan
untuk mengemukakan adanya unsur kebohongan. Pemeriksaan skrining
narkoba dan obat-obatan dapat digunakan mengenyampingkan adanya
gangguan mental atau medis tertentu.9

2.7 Diagnosis Diferensial


Segala macam gangguan psikiatrik dengan manifestasi dan gejala
klinis harus selalu dianggap sebagai diagnosis diferensial, dan adanya
kemungkinan dari penyakit jasmani yang autentik harus selalu ditelaah lebih
dalam. Riwayat pembedahan berulang pada pasien dengan gangguan
factitious dapat memaparkan mereka terhadap beberapa penyakit lainnya

14
yang membuat pasien tersebut harus menjalani operasi berulang. Gangguan
factitious masi selaras dalam spektrum gangguan somatoform dan
malingering.9

2.7.1 Gangguan Konversi

Gangguan factitious dibedakan dari gangguan konversi


dengan adanya kesengajaan dalam gejala yang dipalsukan, di mana
terdapat perawatan rumah sakit berulang dan kemauan pasien
dengan gangguan factitious untuk menjalani prosedur mutilatif
terhadap dirinya sendiri secara berulang.

Pasien dengan gangguan konversi tidak memiliki


pemahaman yang memadai terhadap istilah medis atau rutinitas
yang dilakukan di rumah sakit, serta gejala yang dihasilkan memiliki
efek hubungan terhadap konflik emosional yang telah ada.

Perbedaan antara gangguan ini dengan gangguan


hipokondriasis adalah bahwa pasien dengan hipokondriasis tidak
secara sengaja menghasilkan gejala-gejala penyakit, dan memiliki
onset penyakit yang cenderung ada pada usia pasien lebih lanjut.
Pasien-pasien dengan hipokondriasis juga tidak melalukan tindakan-
tindakan yang dapat menyakiti dirinya sendiri, yang terdapat pada
pasien dengan gangguan factitious.9

2.7.2 Gangguan Personalitas

Oleh karena terdapat beberapa aspek dari gangguan


factitious seperti berbohong patologis, kurangnya hubungan yang
intim dengan sesama, perilaku agresif dan manipulatif, serta
hubungan dengan riwayat penggunaan obat-obatan terlarang; pasien
dengan gangguan ini seringkali diklasifikasikan sebagai memiliki
gangguan personalitas antisosial. Walaupun demikian, seseorang
dengan gangguan antisosial tidak memiliki kemauan untuk

15
mendaftarkan dirinya menjalani prosedur yang invasif (seperti
operasi berulang) atau memiliki gaya hidup dengan perawatan di
rumah sakit secara berulang kali.

Mencari perhatian dan terkadang preferensi untuk


menceritakan segala hal secara dramatis dapat membuat pasien
dengan gangguan factitious diklasifikasikan memiliki gangguan
personalitas histrionik. Walaupun demikian, tidak semua pasien
dengan gangguan personalitas histrionik memiliki pesona dramatis.

Mengingat bahwa gaya hidup pasien dengan gangguan


factitious yang kacau, riwayat adanya gangguan hubungan
interpersonal, krisis identitas, penggunaan zat, aksi menyakiti diri
sendiri, dan taktik-taktik manipulatif; manifestasi ini dapat merujuk
kepada diagnosis borderline personality disorder.9

2.7.3 Skizofrenia

Diagnosis skizofrenia dapat diberikan pada gaya hidup


pasien yang bizzare, terutama jika terdapat waham menetap bahwa
pasien tersebut menganggap dirinya sakit dan bertindak secara
sesuai melalui perawatan di rumah sakit yang berulang.9

2.7.4 Malingering

Pasien yang menderita malingering memiliki tujuan yang


jelas dalam menghasilkan tanda dan gejala. Pasien-pasien ini ingin
dirawat di rumah sakit untuk memastikan kompensasi finansial,
menghindari polisi, menghindari pekerjaan, atau bahkan hanya
untuk mendapatkan tempat tidur gratis; namun memiliki ujung akhir
dari perilaku ini. Terlebih lagi, pasien-pasien dengan gangguan ini
biasanya berhenti jika tidak lagi merasa diuntungkan atau jika resiko
yang dihasilkan menjadi lebih besar dibandingkan dengan
keuntungan yang dapat diperoleh.9

16
2.7.5 Penyalahgunaan Zat

Walaupun pasien dengan gangguan factitious dapat memiliki


riwayat penggunaan zat terlarang, diagnosis ini hanya dapat
dijadikan sebagai diagnosis koeksisten dan bukan diagnosis utama.9

2.7.6 Sindrom Ganser

Sindrom ganser merupakan sebuah kondisi yang


kontroversial, di mana secara umum terjadi pada narapidana. Pada
sindrom ini, narapidana cenderung menjawab pertanyaan mudah
dengan jawaban yang salah atau bahkan tidak ada hubungan sama
sekali terhadap pertanyaan secara sengaja untuk menghindari
hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam satu aspek,
sindrom ini dapat dikategorikan sebagai sebuah variasi dari
malingering.9

2.8 Tatalaksana

Tidak ada tatalaksana psikiatrik spesifik yang efektif dalam


mengobati gangguan factitious. Penyakit ini merupakan paradoks klinis di
mana pasien dengan gangguan ini melakoni gejala penyakit yang serius dan
ingin mendapatkan perhatian medis bahkan tatalaksana yang tidak
diperlukan, sedangkan mereka sendiri menolak menderita penyakit yang
asli (gangguan factitious) kepada diri mereka dan orang disekitar mereka;
sehingga tatalaksana yang sesuai tidak dapat dijalankan. Akhirnya, yang
sering terjadi adalah pasien-pasien dengan gangguan ini menghindari
tatalaksana terhadap penyakit mereka yang sesungguhnya dan tidak
menjalani follow up yang rutin dan sesuai.

Tatalaksana dari gangguan ini harus memfokuskan pada


pengendalian dan bukan penyembuhan. Tiga tujuan utama dari
pengendalian dan tatalaksana adalah:
1. Mengurangi resiko terjadinya morbiditas dan mortalitas

17
2. Menyampaikan kebutuhan emosional atau diagnosis psikiatrik yang
mendasari perilaku factitious
3. Memahami secara benar mengenai isu etika dan legal
Salah satu faktor yang paling penting dalam mengendalikan gangguan ini
adalah kemampuan seorang dokter untuk menyadari dan mengetahui
gangguan ini secara dini. Dari sinilah dokter dapat menghindari
dilakukannya metode diagnostik atau bahkan tatalaksana yang invasif dan
dapat menyakiti pasien di kemudian hari.
Dokter dan perawat merupakan aspek penyembuhan yang penting
bagi pasien. Salah satu aspek intervensi psikiatrik terpenting dalam
menangani pasien dengan gangguan ini adalah untuk menyadari bahwa
walaupun gejala yang ditimbulkan oleh pasien adalah kebohongan, pasien
dengan gangguan ini adalah seseorang yang memiliki penyakit jiwa. Selain
itu, seorang dokter juga tidak diperkenankan untuk menunjukkan perilaku
negatif apabila pasien menolak diagnosis yang diutarakan, dan harus
menghindari dilakukannya pengungkapan diagnosis sehingga pasien
dijadikan sebagai lawan. Hal ini dapat mengakibatkan pemulangan paksa
pasien dari rumah sakit, dan tidak mendapatkan tatalaksana yang sesuai.9

Tabel 1.3
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious9

18
Kesabaran seorang dokter juga tentunya sering diuji dengan pasien
yang menderita gangguan factitious. Dokter harus menghindari
dilakukannya prosedur yang tidak diperlukan atau memulangkan pasien
secara cepat, oleh karena kedua perilaku tersebut menunjukkan amarah.
Konfrontasi merupakan sebuah metode yang kontroversial, di mana pasien
dapat menolak dan dapat memulangkan diri dari rumah sakit. Namun,
pasien juga harus menyadari realita, bahwa apa yang dilakukannya
bukanlah sesuatu yang benar. Banyak sekali pasien menghindari tatalaksana
oleh karena aksinya untuk mendapatkan perhatian telah diketahui dan
terekspos. Inilah yang harus diperhatikan oleh tenaga medis yang
menangani pasien dengan gangguan factitious.
Pada kasus di mana gangguan factitious terhadap orang yang bukan
dirinya (proxy), maka intervensi hukum perlu diambil pada beberapa kasus;
terutama jika melibatkan anak-anak. Ketidakpekaan terhadap gangguan ini
dan penolakan dari perilaku yang salah oleh orang tua merupakan sebuah
tantangan jurisdiksial dan terkadang membuat bukti tidak dapat diperoleh
melalui mekanisme pertahanan diri.9

Tabel 1.4
Panduan tatatalaksana pasien dengan gangguan factitious by proxy9

19
2.9 Prognosis dan Perkembangan Penyakit

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, gangguan ini muncul di


awal masa dewasa atau dewasa muda. Awal munculnya penyakit ini berupa
episode-episode singkat mencari perhatian medis yang terjadi setelah
penyakit medis, perasaan kehilangan, penolakan, atau bahkan ketelantaran.
Biasanya, pasien atau kerabat yang dekat memiliki riwayat perawatan di
rumah sakit pada masa kanak-kanak atau dewasa muda oleh karena penyakit
yang benar-benar ada. Pada pasien-pasien seperti ini, onset kejadian
gangguan ini biasanya lebih cepat dibandingkan pasien yang tidak memiliki
riwayat perawatan di rumah sakit pada masa kanak-kanak.9

Gangguan ini sangat membatasi kemampuan pasien menjalani


rutinitasnya sehari-hari oleh karena adanya riwayat berulang dari perawatan
di rumah sakit secara rutin dan dalam jangka waktu panjang yang tentunya
tidak sesuai dengan gaya hidup seorang dewasa yang produktif dalam karier
dan relasi interpersonal seseorang. Tidak hanya itu, beberapa pasien juga
rela menyakiti dirinya dalam upaya untuk menipu tenaga medis. Maka dari
itu, prognosis pada kasus gangguan factitious adalah buruk pada sebagian
besar kasus, di mana beberapa pasien terkadang akhirnya ditahan oleh
aparat hukum oleh karena melanggar hukum seperti perampokan, perusakan
properti, dan perilaku senonoh. Beberapa fitur yang menunjukkan prognosis
baik adalah adanya9:
1. Personalitas depresif-masokistik
2. Berada pada ambang borderline dan belum mencapai tahap psikotik
3. Atribut dari gangguan personalitas antisosial dengan gejala minimal

20
BAB III
MALINGERING
3.1 Definisi dan Pendahuluan

Malingering adalah sebuah perilaku yang ditandai dengan


pemalsuan dari gejala fisik ataupun psikologis secara sengaja dalam upaya
untuk menghindari kewajiban seperti wajib militer, pekerjaan, mendapatkan
kompensasi finansial, menghindari prosekusi, atau untuk mendapatkan
preskripsi obat-obatan.12 Gangguan ini harus selalu dicurigai apabila ada
karakteristik sebagai berikut:13
1. Presentasi dengan alasan medikolegal (seperti dibawa oleh pengacara
untuk dilakukan pemeriksaan)
2. Ketidakserasian antara temuan klinis dan keluhan yang dikeluhkan oleh
pasien
3. Perilaku non-kooperatif oleh pasien pada pemeriksaan dan evaluasi
klinis, serta terhadap regimen tatalaksana yang diberikan
4. Adanya gangguan personalitas antisosial (antisocial personality
disorder)

3.2 Epidemiologi

Terdapat kurang lebih 1% angka kejadian gangguan ini pada pasien


dengan gangguan jiwa pada praktek klinis, dan angka ini meningkat hingga
5% di militer, dan bahkan 50% pada populasi anak dengan gangguan
conduct disorder. Walaupun tidak ditemukan pola genetik, perbedaan
berdasarkan jenis kelamin, ataupun usia pada onset penyakit; keadaan ini
sering terdapat pada beberapa instalasi militer, penjara, dan populasi
tertentu (lelaki berusia muda pada populasi di beberapa negara belahan barat
dunia). Gangguan yang memiliki hubungan dengan kondisi ini adalah
conduct disorder dan anxiety disorders pada anak anak; serta perilaku
antisosial, borderline, dan personalitas narsisistik pada orang dewasa.14

21
3.3 Etiologi

Walaupun tidak ditemukan faktor biologis khusus yang dapat


menjelaskan penyebab dari gangguan ini, hubungannya yang cukup dekat
dengan gangguan personalitas antisosial memungkinkan adanya penjelasan
bahwa kurangnya gairah dapat menjadi penyebab metabolik dari gangguan
ini. Meskipun demikian, tidak ditemukan adanya faktor genetik,
neuropsikologi, neurochemistry, ataupun penyebab neuroendokrin lainnya
yang dapat menyebabkan gangguan ini.13

3.4 Diagnosis dan Manifestasi Klinis


3.4.1 Menghindari Sanksi Hukum

Pelanggar hukum cenderung berpura-pura tidak sehat untuk


menghadiri penghakiman. Maka dari itu, seringkali ditemukan para
tersangka berpura-pura sakit jiwa pada saat diadakannya pengadilan
untuk mendapatkan sanksi yang lebih ringan, atau bahkan untuk
menghindari sanksi secara utuh.13

3.4.2 Alasan Finansial

Fenomena ini seringkali ditemukan pada orang-orang


dengan tujuan untuk asuransi, tunjangan veteran perang,
kompensasi pekerja, atau bahkan ganti rugi akibat cidera mental.13

3.4.3 Menghindari Wajib Militer atau Pekerjaan Resiko Tinggi

Orang-orang dapat berpura-pura sakit untuk menghindari


wajib militer dan untuk dilepaskan dari wajib militer yang sedang
dijalaninya.13

3.4.4 Menghindari Kewajiban Sosial dan Pekerjaan

Orang-orang dapat berpura-pura sakit untuk menghindari


pekerjaan atau situasi sosial yang dianggapnya tidak nyaman, atau
bahkan tuntutan sosial terhadapnya.13

22
3.4.5 Transfer dari Penjara ke Rumah Sakit

Fenomena ini banyak ditemukan di penjara, di mana


narapidana berpura-pura mengalami penyakit dalam upaya untuk
dipindahkan ke rumah sakit atau rumah sakit jiwa yang dapat
menjadi peluang untuk kabur atau untuk menjalani konsekuensi
hukum secara lebih ringan. Fenomena yang terbalik dapat
ditemukan pada narapidana dengan gangguan jiwa murni, yang
mengetahui dan berupaya untuk menghindar dari rumah sakit jiwa;
di mana mereka dapat mencoba untuk menutupi penyakit jiwa yang
dimiliki.13

3.4.6 Perawatan di Rumah Sakit

Fenomena ini banyak terdapat pada kalangan orang-orang


yang tidak memiliki rumah, dan orang-orang ini berpura-pura sakit
baik fisik ataupun psikis untuk dapat dimasukkan ke dalam rumah
sakit. Beberapa institusi yang melakukan menerima orang-orang ini
dapat dibilang memberikan tempat penginapan yang lebih aman jika
dibandingkan dengan jalanan.13

3.5 Diagnosis Diferensial

Gangguan malingering harus dibedakan dari penyakit fisik atau


psikiatrik yang sejati. Tidak hanya itu, kemungkinan adanya partial
malingering yang merupakan dramatisasi dari gejala yang telah ada, harus
dibedakan. Kemungkinan adanya presentasi yang tidak sesuai terhadap
suatu penyakit sejati (misalnya pada pasien yang menderita depresi) juga
harus bisa dibedakan.

Gangguan ini dibedakan dari gangguan factitious melalui motivasi


(peran sakit dan rasa sakit yang nyata) dan gangguan somatoform yang tidak
melibatkan kemauan secara sengaja. Perbedaan antara gangguan

23
malingering dan gangguan konversi dapat ditinjau lebih lanjut pada tabel
2.1.13

Tabel 2.1
Perbedaan antara gangguan malingering dan gangguan konversi13

3.6 Tatalaksana

Tatalaksana yang sesuai oleh seorang psikiater adalah untuk bersifat


netral secara klinis. Apabila gangguan malingering dicurigai, maka
investigasi lainnya perlu dilakukan. Jika konklusi dari evaluasi diagnostik
adalah gangguan malingering, maka pasien harus diberitahu akibat
perilakunya. Alasan dari perilaku tersebut harus diketahui, dan cara-cara
lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh pasien harus dievaluasi.
Gangguan psikiatri lainnya harus diperiksa secara teliti. Hanya jika pasien
tidak kooperatif dan tidak memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan
dokter selain dengan manipulasi, maka interaksi terapeutik dan diagnostik
tidak dilakukan.13

3.7 Prognosis dan Perkembangan Penyakit

Gangguan ini akan hilang apabila penderita menyadari bahwa


perilakunya tidak memberikan keuntungan yang diharapkannya atau jika
tujuannya sudah tercapai. Pada beberapa kondisi seperti pada militer atau
penjara, jika tujuan penderita tidak tercapai maka yang seringkali terlihat

24
adalah ketidakhadiran atau bahkan menghilangnya penderita terutama jika
adanya ekspektasi yang seringkali terdapat pada skenario di militer. Pada
anak, gangguan ini biasanya terdapat pada gangguan anksietas atau conduct
disorder yang telah ada sebelumnya. Perhatian yang sesuai terhadap
gangguan ini dapat meringankan kecenderungan anak tersebut untuk
memiliki gangguan ini.13

25
BAB IV
KESIMPULAN

Gangguan somatisasi masih merupakan tantangan secara klinis. Tantangan


yang diberikan bersifat dua arah, yaitu tantangan terhadap penderita dan tantangan
terhadap dokter yang menanganinya. Secara khusus, gangguan factitious masih
merupakan tantangan medis oleh karena pasien melakukannya atas dasar beban
emosional dan alasan yang cenderung berada pada alam bawah sadarnya. Hal ini
mengakibatkan adanya perasaan pembenaran dan bahwa apa yang dilakukannya
dapat meringankan beban mental yang dialaminya. Bagi dokter yang merawatnya,
tantangannya adalah untuk membedakan penyakit yang sejati dan penyakit yang
merupakan lakonan pasien, serta untuk menangani pasien secara aspek psikiatri.
Tenaga medis tentunya harus menghindari perilaku menghakimi dan marah
terhadap pasien oleh karena pasien dapat langsung menjadi tidak kooperatif dan
meminta untuk dipulangkan secara paksa dari rumah sakit. Prognosis pada pasien
dengan kondisi ini secara umum buruk, dan tatalaksana yang dapat diberikan adalah
terapi nonfarmakologi.

Pada gangguan malingering, tantangan terhadap pasien adalah motivasi


yang mendasari perilakunya; yaitu untuk mencapai keuntungan finansial,
menghindari kewajiban, dan masih banyak lagi. Apabila tujuan pasien telah
tercapai, maka ia akan merasa puas dan hal ini tentunya tidak baik secara moral.
Tantangan untuk seorang dokter yang menangani pasien dengan gangguan ini
adalah untuk mengkonfrontasi pasien dengan gangguan ini mengenai tujuan yang
ingin dicapai oleh pasien ini, dan untuk menghindari dilakukannya pemeriksaan
dan tatalaksana yang tidak sesuai walaupun mendapatkan tekanan dari pasien.
Tatalaksana untuk pasien ini, sama seperti gangguan factitious, adalah terapi
nonfarmakologi.

26
BAB V
REFERENSI
1. Savino AC, Fordtran JS. Factitious disease: clinical lessons from case studies
at Baylor University Medical Center. Baylor University Medical Center
Proceedings 2006; 19(3): 195-208. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed
25 October 2018).
2. Anil SM, Valdiya P. FACTITIOUS DISORDER. Medical Journal of the
Armed Forces of India 1998; 54(3): 274-275. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 25 October 2018).
3. Asher R. Munchausen's syndrome.. Lancet 1951; 1(6650): 339-341.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 25 October 2018).
4. Lipsitt DR. Introduction. Feldman MD,Eisendrath SJ (ed). The Spectrum of
Factitious Disorders, 1st ed. Washington DC: American Psychiatric Press
Inc; 1996. pp. xix–xxviii .
5. Kass FC. Identification of persons with Munchausen's syndrome: ethical
problems.. General Hospital Psychiatry 1985; 7(3): 195-200.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
6. Spiro HR.. Chronic factitious illness. Munchausen's syndrome.. Archives of
General Psychiatry 1968; 18(5): 569-579. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/
(accessed 26 October 2018).
7. Feldman MD. Factitious Disorder. (ed). Playing Sick? Untangling the Web of
Munchausen Syndrome, Munchausen by Proxy, Malingering, and Factitious
Disorder, 1st ed. New York: Brunner-Routledge; 2004. pp. 18–32.
8. Aduan RP, Fauci AS, Dale DC, Herzberg JH, Wolff SM.. Factitious fever and
self-induced infection: a report of 32 cases and review of the
literature.. Annals of Internal Medicine 1979; 90(2): 230-242.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
9. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Psychosomatic Medicine. Pataki CS,
Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry, 11th ed.
Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 489-495.
10. Mountz JM, Parker PE, Liu HG, Bentley TW, Lill DW, Deutsch G. Tc-99m
HMPAO brain SPECT scanning in Munchausen syndrome.. Journal of
Psychiatry and Neuroscience 1996; 21(1): 49-52.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
11. Nadelson T.. The Munchausen spectrum: borderline character
features.. General Hospital Psychiatry 1979; 1(1): 11-17.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
12. Gorman WF. Defining malingering.. Journal of Forensic Sciences 1982;
27(2): 401-407. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).
13. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Other Conditions that May be a Focus of
Clinical Attention. Pataki CS, Sussman N (eds). Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry, 11th ed. Philadelphia, USA: Wolters Kluwer; 2015. pp. 812-
815.

27
14. Lande RG, Williams LB.. Prevalence and characteristics of military
malingering.. Military Medicine 2013; 178(1): 150-154.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ (accessed 26 October 2018).

28
LAMPIRAN I Presentasi Klinis Pasien dengan Gangguan Factitious
dengan Predominansi Gejala Fisik

29
30
LAMPIRAN II Beberapa Kondisi yang dapat menjadi Perhatian Klinis
pada Pasien dengan Gangguan Malingering

31

Anda mungkin juga menyukai