Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH AGAMA

“Hakikat Manusia”

Dosen Pengampu : Ridwan, M.Sy

Disusun oleh : Okti Arinda Putri

Program Studi : DIII Radiologi

Nim : 18002026

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

AWAL BROS PEKANBARU

TA.2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan pada tuhan yang maha esa karena rahmat dan karunia-nya kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul tentang Hakikat Manusia dengan baik. makalah kami yang
masih perlu dikembangkan lagi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang
membacanya.

Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama pada prodi
ilmu komunikasi di fakultas FISIP universitas merdeka madiun.secara umum makalah ini membahas
tentang pengertian Pengertian Hakikat manusia menurut islam dan umum,sifat hakikat manusia dan
fungsi, peran dan tujuan manusia

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Ridwan, M.Sy sebagai dosen pengampu mata
kuliah Pendidikan Agama. Kami sadar bahwa makalah kami masih belum sempurna dan mempunyai
banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen
pengampu dan teman-teman untuk dikembangkan suatu hari nanti.

Pekanbaru,19 Oktober 2018

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang mempunyai ciri khas yang berbeda dari makhluk lainnya. Oleh
karena itu, sejak dulu manusia sering menjadi perbincangan beserta dengan berbagai hal yang ada di
dalam dirinya dan disekitarnya. Hampir dari seluruh cabang ilmu melakukan penelitian terhadap
manusia beserta dampak karya dari manusia itu sendiri terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan
lingkungan tempat tinggalnya. Banyak para ahli yang mencetuskan pengertian manusia dari hasil
penelitian yang mereka lakukan, tetapi sampai saat ini masih belum menemukan kata sepakat
pengertian manusia yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari banyaknya sebutan dari manusia Homo
Sapien (Manusia Berakal), Homo Economices (Manusia Ekonomi) dan lain sebagainya.

Dalam agama islam, agama yang paling sempurna tidak pernah menggolongkan manusia ke dalam
kelompok binatang. Hal ini berlaku selama manusia dapat memperguanakan akal pikiran dan semua
karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Tetapi jika manusia tidak dapat mempergunakan karunia
tersebut dengan baik dan benar, maka derajat manusia akan turun bahkan jauh lebih rendah dari seekor
binatang.

Dalam makalah ini kita akan membahas tentang pengertian hakikat manusia menurut para ahli,ahli
fiqih dan dalam ilmu tasawuf.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian hakikat manusia menurut para ahli?

b. Apa pengertian hakikat manusia menurut ahli fiqih?

c. Apa pengertian hakikat manusia menurut Ilmu Tasawuf?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Memenuhi tugas mata kuliah agama islam yang diberikan oleh dosen pengampu

b. Menjelaskan pengertian hakikat manusia menurut para ahli

c. Menjelaskan pengertian hakikat manusia menurut ahli fiqih

d. Menjelaskan pengertian hakikat manusia menurut ilmu tasawuf

1.4 Manfaat Penulisan


a. Makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang hakikat manusia

b. Makalah ini bermanfaat sebagai referensi bacaan yang sesuai untuk teman – teman yang
mengerjakan tugas tentang hakikat manusia

BAB II

PEMBAHASAN

Hakikat Manusia menurut Para Ahli

1.Plato
Bahwa manusia adalah suatu pribadi yang tak terbatas,pada saat bersatunya jiwa dan
raga,lalu jiwa dan raga bukan diciptakan dengan situasi yang bersamaan, serta jiwa itu telah ada
sebelumnya.Raga manusia adalah hanya sebatas instrument,bagi penyempurnaan jiwanya di
dunia ini,dan bagi Plato setiap manusia saat ia lahir kedunia selalu membawa ide ide yang baik.

Gambar 1.1 Plato


2.Aristoteles

Bahwa manusia adalah mahluk yang organis dimana fungsionalisasinya tergantung dengan
jiwanya,dengan menitik beratkan pada fungsi humanis pada jiwanya,ketika manusia berhadapan
dengan hal hal sulit dan memperlihatkan fungsi motoriknya,dan unsur kreatifitas mempunyai
hubungan dengan daya motoriknya.

Gambar 1.2 Aristoteles

3.Pythagoras
Mengajarkan keabadian jiwa manusia dan perpindahannya ke dalam jasad hewan apabila
manusia telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya, demikian
seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu
akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proses penyuciannya telah selesai. Untuk
membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manusia harus berpantang terhadap jenis makanan
tertentu, taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan
Pythagorean, bermusik, dan berfilsafat.

4.Demokritos (460-370 SM)

Manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang
bundar, halus dan licin, oleh sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Demikian juga
atom-atom yang berbentuk lain. Dengan demikian, atom-atom jiwa gampang menempatkan
diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar ke seluruh tubuh manusia.

5.George Berkeley (1685-1753)

Manusia adalah pusat segala realitas yang tampak. Penolakannya terhadap materi
menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjektif
spiritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada yang konkret, yang
diperoleh lewat pengamatan indrawi. Sesuatu itu dikatakan ada karena dapat dilihat dan
dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang
melihat dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak
lebih dari tanda kehadiran roh.
6.Feuerbach

Mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Allah. Demikian pula di balik tubuh tidak ada
jiwa. Jelas terlihat bahwa Feuerbach adalah seorang materialis karena ia menyangkal segi
rohani manusia. Feuerbach sendiri tidak mau menyebut ajarannya sebagai materialisme,
melainkan organisme. Ia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan
oleh penganut materialisme. Feuerbach menunjukkan bahwa ia menolak materialisme dengan
mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang organis. Selaku makhluk hidup
yang organis manusia senantiasa berhubungan secara konkret dengan sesamanya. Ungkapan
itu sekaligus menunjukkan status manusia. Feuerbach menandaskan bahwa tubuh
menunjukkan manusia sebagai makhluk yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri dan yang
dengan akal budinya menyadari bahwa ia senantiasa berada dalam relasi aku-engkau.

7.Rene Descrates

Manusia adalah perpaduan antara rasional dan konsisten,serta terpadu didalam aktifitasnya
didalam tubuh manusia,interaksi jiwa ini dapat mengubah makna nafsu yang dimaknai dengan
pengalaman pengalaman sadar yang disertai dengan kontrol emosi jasmaniah.
Dan ini berarti hakikat manusia ada pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya
intelektual sebagai hakikat jiwanya.

8.Icolaus D. & A. Sudiarja


Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani akan
tetapi tunggal karena jasmani dan rohani merupakan satu barang

9.Abineno

Manusia adalah “tubuh yang berjiwa” dan bukan “jiwa abadi yang berada atau yang
terbungkus dalam tubuh yang fana”

10.Upanisads

Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana ataubadan
fisik

11.I Wayan Watra

Manusia adalah mahluk yang dinamis dengan trias dinamikanya, yaitu cipta, rasa dan karsa

12.Omar Mohammad Al Thoumy Al-Syaibany

Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan
manusia adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam
pertumbuhannya dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan.

13.Erbe Sentanu

Manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Bahkan bisa dikatakan bahwa manusia
adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain

14.Paula J.C & Janet W.K

Manusia adalah mahluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung
jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta turut menyusun pola berhubungan dan
unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinanan.

15.Agung. P. P.

Menurut Agung P. P., Manusia dapat diartikan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna, yang tersusun atas kesatuan fisik, ruh / jiwa, dan akal pikiran yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan lingkungannya

17.Sekratos

Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki dua kaki, yang tidak berbulu, dan memiliki
kuku datar berukuran lebar.

18.M.J. Langeveld :1955


Hakikat manusia adalah makhluk yang memiliki sifat sosial, individualitas, dan moralitas,
yang mana sifat tersebut menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan manusia yang sewajarnya atau
menjadi dasar dan tujuan setiap orang dan kelompoknya. Dengan keberadaan sifat itu pula maka
setiap manusia akan saling membutuhkan, saling membantu, dan saling melengkapi dan juga
selalu berinteraksi dengan manusia lain untuk mencapai tujuan hidupnya, dan interaksi tersebut
merupakan wadah untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya.

19.Thomas Hobbes

Hakikat manusia adalah keberadaan kontrak sosial dari manusia itu sendiri, yaitu setiap orang
harus menghargai dan menjaga hak orang lain.

20. Tafsir : 2010

Hakikat manusia merupakan sosok makhluk sosial yang ditandai dengan keberadaan kontrak
sosial di dalamnya. Dimana manusia itu sendiri tidak dapat menjalani kehidupannya secara
sendiri-sendiri,sehingga harus saling menghargai antar sesama dan saling menjaga hak-hak satu
sama lain.

Hakikat Manusia menurut Ahli Fiqih


1. Al Ghazali

Pemikiran Al-Ghazali tentang manusia tidak terlepas pula dengan pemikiran-pemikiran filosof
klasik. Menurutnya, manusia memiliki identitas esensial dalam dirinya yang tidak akan berubah-
ubah, yaitu An-Nafs (jiwa). An-nafs dalam pandangan Al-Ghazali adalah substansi manusia
yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan tempat. ini menunjukkan bahwa esensi manusia
bukanlah dilihat dari fisiknya. Sebab fisik tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa An-Nafs.

Dengan demikian, Al-Ghazali membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut dengan
an-nafs. Persoalan tentang ganjaran, hari akhir, dan konsep kenabian tidak ada artinya jika An-
Nafs tidak ada. Sebab, hanya an-nafs-lah yang membedakan manusia dengan manusia lainnya,
dan yang mempertanggung jawabkan amal perbuatannya didunia kelak di akhirat adalah an-nafs.
Bukan fisik. Bukti lain yang ia lontarkan adalah tentang perbedaan makhluk hidup dangan
manusia. Tumbuhan hanya bisa bergerak monoton. Ini merupakan prinsip dasar tumbuhan (An-
Nafs Al-Nabatiyah). Juga terdapat pada hewan. Hewan memiliki prinsip lebih tinggi dari
tumbuhan. Selain memiliki prinsip gerak, hewan juga memiliki prinsip rasa (syu’ur). Prinsip ini
disebut dengan prisip Al-Nafs Al-Hayawaniyah. Begitupun dengan manusia, selain memiliki
prinsip gerak dan rasa, manusia juga memiliki prinsip berfikir dan memiliki kehendak dalam
memilih perbuatan. Prinsip ini yang dinamakan dengan Al-Nafs Al-Insaniyah. Ketika seseorang
dalam keadaan hampa aktifitas dan menghentikan segala aktifitasnya, ada satu yang tidak akan
pernah berhenti, yaitu kesadaran diri. Kesadaran diri ini merupakan prinsip dasar manusia.
2.Malik bin Dinar (w. 127 H)

pernah mengatakan, “Sesungguhnya setan dari jenis manusia lebih berbahaya bagiku daripada
setan dari jenis jin. Pasalnya, jika aku berlindung kepada Allah, setan jin akan pergi dariku,
sedangkan setan manusia justru mendatangiku dan mendorongku ke arah maksiat.” (HR Abu
Nu’aim)

3.Al Farabi

Al-Farabi mengartikan manausia sebagai jiwa. Dan membagi jiwa menjadi tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya
menangkap dengan panca indra.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi
dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat
yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah
ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya. Pertama,
kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (‫ )القوة الغاذية‬sehingga memungkinkan
manusia berkembang menjadi besar dan dewasa. Kedua, daya mengindera (‫)القوة الحاسة‬, sehingga
memungkinkan manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya. Daya ini
membuat manusia mampu mengecap, membau, mendengar dan melihat warna serta objek-objek
penglihatan lain. Ketiga, daya imajinasi (‫ )القوة المتخيلة‬sehingga memungkinkan manusia masih
tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam
jangkauan indera. Daya ini juga mempunyai kemampuan untuk menggabungkan atau
memisahkan kesan-kesan yang diterima dari indera sehingga menghasilkan kombinasi atau
potongan-potongan. Hasilnya bisa benar atau salah. Keempat, daya berpikir (‫ )القوة الناطقة‬yang
memungkinkan manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan
antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni. Kelima, daya
rasa (‫)القوة التروعية‬, yang membuat manusia mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau
tidak suka.
Pengetahuan manusia, menurut al-Farabi, diperoleh lewat tiga daya yang dimiliki, yaitu
daya indera (‫)القوة الحاسة‬, daya imajinasi (‫ )القوة المتخيلة‬dan daya pikir (‫)القوة الناطقة‬, yang
masing-masing disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek. Tiga macam indera
ini merupakan sarana utama dalam pencapaian keilmuan.
"Konsep psikologi" al-Farabi, jika diistilahkan demikian, sungguh sangat modern dan
“manusiawi”. Menurutnya, manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi tumbuhan
(vegetatif) dan binatang (animal) sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang, tetapi yang
terpenting adalah potensi-potensi nalar (rasional). Lebih dari itu, manusia juga mempunyai
potensi intelek ( ‫ ) العقل الكلي‬sehingga mampu melepaskan diri dari kungkungan dunia material
untuk selanjutnya menjangkau realitas-realitas metafisis non-material. Bahkan, intelek ini
pulalah yang mampu mengantarkan manusia “bertemu” dengan Tuhannya. Disinilah nilai utama
seorang manusia dibanding makhluk lain
MANUSIA MENURUT ILMU TASAWUF

A. Kejadian Manusia
Allah swt. menciptakan alam semesta dan makhluk-makhluk yang beraneka ragam ini tidak
sekaligus, melainkan melalui tahapan-tahapn selama enam periode seperti firman-Nya dalam al-
Qur’an surah al-A’raf ayat 54 :
Artinya : “ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan
dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan
dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-
A’raaf : 54)

Literatur-literatur ke-Islaman tidak pernah membahas dan menjelaskan secara rinci


urutan atau periodisasi penciptaan makhluk Allah, sehingga tidak diketahui jenis makhluk apa
yang diciptakan Allah pada periode pertama, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode
kedua, jenis makhluk apa yang diciptakan pada periode ketiga, jenis makhluk apa yang
diciptakan pada periode keempat, dan periode kelima. Tetapi semua ilmuan muslim mengatakan
bahwa manusia dalam tatanan kronologis penciptaan merupakan makhluk ciptaan yang paling
bungsu (ciptaan terakhir), setelah terciptanya makhluk-mahkluk laindi sekitarnya.

Menurut urutannya, ciptaan awal Allah swt. sebelum manusia adalah alam semesta dan
segala isinya termasuk udara, tanah dan air. Di atas media ini (secara logika) baru dapat hidup
tumbuh-tumbuhan. Sesudah itu barulah dimungkinkan hidupnya hewan. Jadi penciptaan generasi
makhluk tersebut, secara logika tidak mungkin serentak. Sebab setiap makhluk ciptaan itu saling
memerlukan antar sesamanya. Masing- masing tidak mungkin hidup secara terpisah sendiri-
sendiri. Manusia sebagai generasi makhluk yang paling akhir memerlukan dukungan ketiga
makhluk generasi sebelumnya, yaitu 1) udara, air dan tanah; 2) tumbuh-tumbuhan; 3) hewan.
Dikalangan sufi secara tidak tertulis diajawakan bahwa makhluk pertama yang diciptakan
Allah adalah alam nur, kemudian pada masa kedua diciptakan alam arwah, pada masa ketiga
diciptakan alam malakut, pada masa keempat diciptakan alam jabarut, pada masa kelima
diciptakan alam mitsal, dan pada ,asa terakhir (yaitu masa keenam) diciptakan alam insan (alam
manusia).

Sebagai makhluk yang paling bungsu, manusia merupakan ciptaan dan karya Allah swt.
yang paling istimewa dan penuh rahasia. Manusia merupakan sstu-satunya makhluk Allah yang
eprbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan sebagai pencipta alam
semesta. Keistimewaan dan kerahasiaan manusia disbanding seluruh makhluk-makhluk lain
adalah kejadiannya yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan rohani.

1. Dimensi Jasmaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Menurut al-Qur’an, penciptaan tubuh Adam sebagai manusia pertama adalah dari tanah
langsung. Seperti dijelaskan dalam surah Ali-Imraan ayat 59:

Artinya : “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan)
Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
"Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.” (Q.S. Ali-Imraan : 59)

Jika jasmani Adam sebagai manusia pertama diciptakan langsung dari tanah, tetapi
keturunannya (manusia; generasi berikutnya) tidak lagi diciptakan langsung dari tanah, melinkan
dari saripati tanah seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an :

Artinya : “12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. 13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). 14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik.” (Q.S. al-Mukminuun : 12-14)

Demikianlah asal kejadian (proses penciptaan) jasmani manusia itu, diciptakan Allah
swt. dari tanah atau saripati tanah yang kemudian dalam kehidupannya mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang selanjutnya mengalami penuaan dan pada gilirannya mengalami
kematian (kembali ke tanah). Karena tercipta dari tanah yang bersifat benda materi, jasmani
manusia adalah sesuatu yang dapat dilihat, diraba, terikat serta tunduk atau terpengaruh dengan
sifat-sifat alam materi, kebutuhan jasmani itu adalah sesuatu yang bersifat materi seperti: makan,
minum, pakaian, dan lain sebagainya.
2. Dimensi Rohaniah Manusia dan Kebutuhannya.

Sekalipun proses penciptaan jasmani manusia sudah sempurna, namun pada saat roh belum
ditiupkan ke dalamnya, jasmani manusia itu belum merupakan makhluk hidup. Jasmani tersebut
menjadi manusia setelah roh ditiupkan Allah kepadanya.

Dengan demikian hakikat manusia adalah roh yang ditiupkan Allah, yang roh ini ternyata lebih
mulai dari para malaikat, iblis, jin dan sekalian mahkluk ciptaan Allah, karena setelah roh
ditiupkan Allah ke dalam jasad, para malaikat diperintahkan untuk hormat/sujud kepada
manusia. Disinilah kekeliruan iblis dalam memandang manusia dari satu aspek jasmaniah yang
tercipta dari saripati tanah, tidak memandang manusia dari aspek hakikat yaitu roh atau An-Nafs.

Akibat dari kekeliruan tersebut, iblis merasa bahwa dirinya jauh lebih mulia dari manusia yang
diciptakan dari tanah sedangkan dirinya diciptakan dari api, sehingga iblis enggan dan ingkar
(kufur) terhadap perintah Allah swt. yang memerintahkan mereka untuk bersujud kepada
manusia. Seperti firman Allah swt:

Artinya : “28. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, 29. Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. 30. Maka bersujudlah Para Malaikat
itu semuanya bersama-sama 31. kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang
sujud itu, 32. Allah berfirman: "Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-
sama mereka yang sujud itu?", 33. berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud
kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpur hitam yang diberi bentuk".” (Q.S. al-Hijr : 28-33)

Dan juga Allah swt. berfirman :

Artinya : “dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. al-Baqarah : 34)

Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia itu diciptakan Allah dari nur yang paling
dekat dengan zat Allah yang disebut dengan istilah “Asrori nurihi” (rahasia nur-Nya), sehingga
seperti dikatakan oleh Haidar Putra Daulay, bahwa : “Ruh manusia tidak terpisah dengan Tuhan,
ia ibarat matahari dengan cahayanya”. Hubungan antara Allah dengan roh manusia tidak
terpisahkan. “Hubungan antar keduanya bisa terganggu apabila roh manusia dipengaruhi oleh
tarikan material yang ada pada diri manusia”, yaitu tarikan (hawa) dari jasad/jasmaniah yang
selalu tunduk pada sifat-sifat alam materi.

Roh itu sebelum ditiupkan ke dalam jasad manusia, dihidupkan di suatu alam (alam
ghaib) yang oelh ulama sufi disebut “alam arwah”. Di dalam arwah ini para roh manusia
senantiasa bertasbih mensucikan dan memuliakan Allah swt., karena para arwah tersebut dapat
menyaksikan Zat Allah dengan semua kesempurnaan-Nya. Di manakah alam arwah itu berada?
Manusia tidak akan dapat mengetahuinya, karena alam arwah ini adalah merupakan kekuasaan
Allah secara mutlak sehingga disebut dengan “alam al-Mulk” atau alam yang hanya Allah
mengetahuinya sehingga disebut dengan istilah “alam amar Rob” (alam urusan Allah), seperti
yang ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 85 :

Artinya : “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (Q.S. al-
Israa’ : 85)

Kaum sufi berpendapat bahwa roh manusia yang tercipta dari alam nur, memiliki kebutuhan
yang berbeda dengan jasmani. Jika kebutuhan jasmani adalah sesuatu yang bersifat materi, maka
kebutuhan rohani manusia adalah bertasbih dan berzikir. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi,
maka rohani manusia akan mengalami kegelisahan dan apabila terpenuhi maka rohani manusia
akan menjadi tentram seperti ditegaskan dalam surah ar-Ra’du ayat 28 :

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
(Q.S. ar-Ra’d : 28)

B. Hubungan Fungsional Antara Rohani dan Jasmani Manusia


Imam al-Ghazali sebagai seorang hujjatul islam dalam berbagai karyanya seperti dikutip oleh Dr.
M. Yasir Nasution mengatakan bahwa yang menjadi hakikat manusia itu adalah rohnya. Tubuh
atau jasad bukanlah hakikat manusia, karena tubuh adalah sesuatu yang terus berubah-ubah dan
tubuh atau jasad tidak membedakan manusia dari makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan.

Yang dimaksud dengan hakekat disini adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu
identitas esensial membedakannya dari yang lainnya.

Setelah roh berada/bersama jasad manusia Allah memanggil/ menyebutnya dengan nama
“An-Nafs”. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat Asy-Syams
ayat 7-8 :

Artinya : “7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (Q.S. asy-Syams : 7-
8)

Panggilan atau sebutan lain terhadap roh yang sudah ditiupkan ke dalam jasad/ jasmani tersebut
adalah “qalb”, seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 10 yang berbunyi :
Artinya : “dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Q.S. al-Baqarah : 10)

Sebagaimana nama lain dari An-Nafs, maka Al-Qalb juga merupakan nama dari roh yang
merupakan hakikat manusia itu sendiri, seperti dijelaskan dalam hadits Rasulullah yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim : “Ingatlah dalam tubuh manusia ada segumpsl darah, apabila
baik maka akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah seluruhnya, itulah dia
hati.”

Mengenai hubungan antara roh dan jasmani manusia, kaum sufi mengajarkan bahwa jasmani
adalah merupakan tempat bagi jiwa ketika berada di dunia, dalam kapasitasnya sebagai tempat
bagi jiwa, hubungan atau fungsi jasmani bagi jiwa selama berada di kehidupan dunia ini adalah
sebagai berikut :

1) Jasmani Merupakan Kendaraan Bagi An-Nafs

Hubungan An-Nafs dengan jasmani adalah seperti pangendara dengan kenderaannya dalm
menuju suatu tujuan. Pangendara adalah An-Nafs dan kenderaannya adalah jasmaniah. Jadi
bukan sebaliknya. Kehidupan duniawi bagi An-Nafs adalah bersifat sementara dan sebentar saja.
Kehidupan dunia hanyalah persinggahan yang menentukan bagi An-Nafs. Bagikan seorang
musafir dalam menuju akhirnya yaitu kehidpan akhirat.

Sebelum hidup di dunia, An-Nafs ( roh ) sudah hidup dialam arwah. Dari alam arwah
diperjalankan (ditiupkan) ke alam kandungan ibu, selanjutnya dikeluarkan kea lam dunia dan
kelak akan diperjalankan lagi ke alam berikutnya yang merupakan tujuan akhir perjalanan
tersebut yaitu alam akhirat. Selama hidup di dunia An-Nafs diberikan kendaraan oleh Allah,
itulah dia jasmani. Manusia dalam mencapai tujuan akhirnya (kehidupan akhirat) terlebih dahulu
mengalami kematian (perpisahan antara unsure jasmani dengan An-Nafs). Dengan kematian
itulah An-Nafs memasuki pintu gerbang kehidupan akhir, sedangkan jasmani kembali ke asal
kejadiannya semula yaitu tanah.

Sebagai kendaraan bagi An-Nafs dalam perjalanannya, jasmani harus mendapat pehatian,
pemeliharaan atau perawatan dengan baik. Jika kendaraan rusak atau tidak sehat maka An-Nafs
akan mengalami gangguan dalam menjalankan fungsinya sebagai pengendara. Karena itulah
dalam islam ditekankan perlunya menjaga kesehatan tubuh atau kebahagiaan duni. Seperti
dijlaskan dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi :

Artinya : “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Qashash : 77)

2) Jasmani Merupakan Alat Bagi An-Nafs


Selain berfungsi sebagai kendaraan, fungsi kedua jasmani bagi An-Nafs adalah sebagai alat,
sehingga dalam hal ini hubungan an- nafs dengan jasmani adalah bagaikan pengguna alat (An-
Nafs) dengan alat yang digunakan (jasmani). Dalam fungsinya sebagai alat, jasmani memiliki 3
peran terhadap An-Nafs. Ketiga peran tersebut adalah sebagai berikut:

a. Alat untuk menerima kenikmatan hidup di dunia bagi An-Nafs, seperti menerima
kenikmatan pemandangan yang indah yang di terima melalui indra mata, menerima kenikmatan
suara yang merdu melalui alat indra pendengaran dan lain sebagainya.

b. Alat untuk menerima ujian dan cobaan berupa penderitaan hidup di dunia bagi An-Nafs ,
seperti rasa lapar, dan haus akibat kurangnya makanan yang diterima indra mulut, derita rasa
sakit akibat luka yang terjadi pada indra jasmaniah, atau perut masuk angin, mata masuk pasir
dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang menderita adalah An-Nafs, tetapi alat menerima
penderitaan tersebut adalah indra jasmaniah.

c. Alat bagi An-Nafs dalam melakasanakan fungsi kesaksian dan penghambaan diri kepada
Zat Penciptanya.

Sebagai sesuatu yang diciptakan dari Nur Allah, An-Nafs bersifat lembut ( tidak kasar ),
juga memiliki kecederungan untuk selalu dapat berhubungan dengan sumber kejadiannya
sekalipun dia sudah berada di alam fisika (alam materi). Selain itu,an – Nafs memiliki sifat
menghambakan diri dengan penuh ketaatan dan kepada Tuhan kepada Allah sebagai zat
pencipta-Nya. An–Nafs juga memiliki sifat untuk selalu mewujudkan rasa kesaksiannya tentang
adanya Allah sebagai pencipta, yang memberikan kehidupan,yang memberikan pendengaran,
pengelihatan, kemampuan berfikir, berkata–kata, yang memelihara dan memenuhi kebutuhan
dari segala kenikmatan hidup serta rezeki yang tiada terhingga dalam kehidupan inilah fitrah
kejadian an–Nafs (jiwa) seperti dijelaskan dalam al–Qur’an surat Ar–Rum ayat 30 yang berbunyi
:

Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui,” (Q.S. ar-Ruum : 30)

Alat yang harus digunakan oleh an-Nafs (jiwa) dalam mewujudkan atau melaksanakan fitrah
bertuhan selama di dunia ini adalah organ jasmaniah, seperti untuk komunikasi dengan Allah
atau beribadah, seperti melaksanakan salat, puasa,membayar zakat, menunaikan haji, berdo’a,
bersyukur dan amal–amal saleh lainnya.

Karena itu, demi lancarnya pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs, organ tubuh /
jasmaniah harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya, organ jasmani harus dipelihara
kesehatannya. Sebab apabila anggota jasmaninyah mengalami gangguan kesehatan, maka hal itu
akan mengganggu kelancaran pelaksanaan fitrah bertuhan bagi an–Nafs.

a. Jasmani merupakan ujian bagi an–Nafs


Kalau an–Nafs memiliki fitrah bertuhan atau bersifat Ilahiyat (ketuhanan) hingga ia
selalu ingin (rindu) untuk dapat berkomunikasi langsung dengan Allah yang ghaib. Sebaliknya
jasmani yang diciptakan dari tanah atau saripati tanah yang bersifat materi memiliki
kecenderungan untuk terikat tunduk dan tergantung pada benda–benda alam. Jasmani juga
memiliki sifat seperti makhluk alam materi lainnya seperti : sifat tanah (jumudat), sifat tumbuhan
(nafsul nabatat), dan lebih dari itu jasmani juga memiliki sifat kehewanan (nafsul hayawaniyat).

Karena itu, an–Nafs sebagai hakikat manusia yang seharusnya mengendalikan organ
jasmani sebagai kenderaan dan alat untuk mengaktualisasikan fitrah Ilahiyatnya, justru
dihadapkan pada tarikan sifat – sifat materi kebendaan yang ada pada jasmani tersebut, sehingga
jasmani justru menjadi tantangan dan ujian bagi an-Nafs dalam perjalanan hidupnya di dunia.
Dalam posisi seperti ini, an-Nafs yang pada dasarnya cenderung kepada nilai–nilai ketuhanan
(Ilahiyat), justru akan lupa pada tuhan, alergi mendengar nama Tuhan dan benci bila mendengar
seruan dan ajaran Tuhan. Tetapi apabila an-Nafs mampu mengeluarkan dirinya dari tarikan hawa
ini secara bertahap melalui latihan dan upaya pencerahan kerohanian maka pada giliriannya an-
Nafs itu dapat kembali seperti posisi kejadiannya semula yang tercipta dari NurNya Allah.

Seiring dengan tingkat ketaklukan an-nafs dan kemampuannya melepaskan diri dari tarikan
hawa jasmani yang bersifat materi keduniawian tersebut, maka umumnya ulama membagi an-
nafs itu ke dalam tiga golongan yaitu : nafs amarah, nafs lawwamah dan nafs muthmainnah.
Tetapi para kaum sufi mengelompokkannya ke dalam tujuh tingkatan yaitu : 1) Nafs al Amarah
Bissu’i, 2) nafs al salwalah, 3) nafs al lawwamah, 4) nafs al Malhamah, 5) nafs al Mutmainnah,
6) nafs al Roidhiah, dan 7) nafs al Mardhiyah.

1) Nafs al Amarah Bissu’i

Nafs al-Amarah, maksudnya adalah an-Nafs yang mempunyai kecenderungan terhadap


tipe kejasmanian , selalu menyuruh kepada kelezatan syahwat, selalu menarik hati agar
menghadap ke arah bawah dimana arah bawah itu merupakan sarang keburukan dan sumber dari
prilaku tercela. Nafs inilah yang tunduk dan taat kepada godaan- godaan syaitan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah dalam al-quran surat Yusuf ayat 53 :

Artinya : “dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S. Yusuf : 53

An-nafs yang pada dasarnya memiliki sifat ilahiyat (ketuhanan) , apabila berada dalam
tarikan yang terdalam dari sifat jasmaniah justru akan menjadi pencipta hal-hal yang bersifat
material keduniawinyan secara berlebihan (hubbud dunya) , sehinnga lahirlah sifat-sifat seperti :
mencintai lawan jenis secara berlebihan (hubbud maal) dan mencintai pangkat, status dan jabatan
secara berlebihan pula (hubbud jah), jelasnya lahirlah sifat berlebihan terhadap tiga “ TA” (
Wanita, harta dan tahta ).

Akibat kecintaan berlebihan terhadap hal-hal di atas sudah terjadi, maka akan mendorong
manusia itu untuk melakukan kejahatan-kejahatan (amara bissu’i). Kecintaan kepada lawan jenis
berlebihan, akan membuat seseorang mengumbar nafsu seksnya, penyimpangan seksual.
Semangat hidup hedonis melanda keperibadiannya. Dan seterusnya apabila seseorang dihinggapi
penyakit cinta pangkat dan jabatan berlebihan, akan membuat seseorang menjadi sangat
ambisius. Keambisiusannya itulah membuat dia berbuat apa saja untuk memperoleh
pangkat/jabatan tersebut.

2) Nafs al-Syalwalah

Nama lain dari an-Nafs apabila berada dalam tarikan terkuat/terdalam dari sifat-sifat
jasmaniah adalah an-Nafsas-syalwalah. Artinya adalah diri yang merasa bangga apabila sudah
selesai (berhasil) melakukan prerbuatan jahat, bangga apabila berhasil menipu atau merampok
atau membodohi orang lain, merasa bangga menjadi seorang preman, merasa bangga menjadi
seorang pecandu narkoba dan lain sebagainya.

3) Nafs al-Lawwamah

Nafs al-Lawwamah adalah jiwa yang disinari oleh cahaya hati, disamping juga masih
memperhatikan keburukan. Setiap kali jiwa al-Lawwamah berbuat keburukan sebagai akibat dari
kegelapan hatinya, maka saat itu juga ia meminta ampun dan bertaubat. Nafs al-Lawwamah ini
kadang-kadang melahirkan kejahatan dan kadang-kadang kebaikan.

4) Nafs Al-Malhamah

An-Nafsul Malhamah artinya adalah jiwa yang sudah memperoleh ilham, ajaran atau
ilmu tentang mana jalan kehidupan yang baik (taqwa) dan jalan kehidupan kejahatan atau dosa
(fujur). Terserah jiwa memilih jalan yang mana, atau dengan kata lain jiwa bisa kembali pada an-
Nafsal-amara bissu’i atau an-Nafsal-syalwalah.

5) Nafs Al-Mutmainnah

Nafs ini adalah jiwa yang telah disinari oleh cahaya hati sehingga mampu menghilangkan
sifat-sifat tercela dan akhirnya dia berperilaku terpuji dan sebagai hasilnya akan merasakan
kententraman.

6) Nafs al-Rodhiyah

Sebagai kelanjutan dari jiwa dan hati yang tentram karena mengingat Allah swt, maka
jiwa manusia akan semakin terdorong untuk lebih ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-laranganNya, lebih ikhlas dan ridha menerima semua ketentuan allah swt,
selalu berprasangka baik terhadap apa yang datang darinya. Keadaan jiwa yang seperti ini
disebut dengan Nafs al-Rodhiyah.

7) Nafs al-Mardhiyyah

Terhadap jiwa yang yang selalu ingat kepada Allah swt, berprasangka baik terhadap segala
ketentuan dan taqdir Allah, ikhlas melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-
Nya, tidak riya melainkan beribadah hanya ingin memperoleh ridho-Nya, maka jiwa seperti ini
sesuai dengan janji Allah swt. bahwa dia kan meridhionya. Jiwa yang diridhoi Allah itulah yang
disebut dengan an-Nafsal-Mardiyah. (sesuai dengan Q.S. al-Fajr : 27-28)

C. Tujuan Penciptaan Manusia Sebagai Makhluk yang Paling Sempurna.


1.Manusia Sebagai Saksi Allah
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (Q.S. al-Ahzab : 72)

Ayat diatas dengan jelas menerangkan bahwa fungsi manusia dalam kehidupannya di
dunia ini adalah sebagai pemegang amanah dari Allah. Isi dari amanah tersebut adalah bahwa
manusia adalah sebagai saksi yang harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah (tauhid) sebagai
Rabbul ‘Alamin (pencipta, pengatur, dan pemelihara alam semesta dengan segala isinya) atau
tuhid Rububiyyah. Manusia harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah segala Ilah (Tuhan) yang
harus disucikan (tasbih), dipuji (tahmid), dibersihkan dari kesamaan dengan makhluk (tahlil) dan
dibesarkan namanya (takbir) baik di hati, di lidah maupun dalam perbuatan atau tauhid
Uluhiyyah. Dan juga harus mempersaksikan ke-Esa-an Allah sebagai ma’bud (Zat yang harus
disembah) atau tauhid Ubudiyyah.

Fungsi amanah sebagai saksi ini kelak akan dipertanggungjawabkan manusia di akhirat.
Allah berfirman :

Artinya : “dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.”

2.Manusia Sebagai Khalifah Allah


Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."” (Q.S. al-Baqarah : 30)

Yang dimaksud dengan khalifah oleh kaum Sufi dalam ayat tersebut adalah manusia
(Adam), sedangkan khalifah itu dalam konteks ini diartikan sebagai pengganti Allah dalam
melaksanakan perintah-Nya kepada manusia dan alam semesta. Sebagai khalifah manusia
dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya berkewajiban memkamurkan dengan cara
memelihara dan melestarikannya. Manusia juga wajib mengolah dan merekayasa alam semesta
agar bermanfaat bagi kemashlahatan manusia dan makhluk lainnya. Wajib juga memelihara
keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam. Dan tidak boleh melakukan pengrusakan
terhadap alam, pengrusakan terhadap alam merupakan tindakan yang menyimpang dari khalifah.
Sekalipun memiliki kelebihan dan kesempurnaan, manusia adalah sama dengan makhluk-
makhluk lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, Allah berfirman :

Artinya : “dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
(Q.S. al-An’am : 38)

Manusia juga adalah hamba Allah, tujuan penciptaannya tidak lain adalah untuk
mengabdi kepada-Nya (sesuai dengan Q.S. adz-Dzariyat : 56)

Manusia dalam funsi kekhalifahannya di muka bumi, aktivitasnya bukanlah “bebas nilai”.
Manusia dengan segala perbuatannya harus bertanggung jawab kepada Allah sebagai
Penciptanya dan untuk itu manusia dengan segala perbuatannya akan dievaluasi seperti terdapat
dalam firman Allah :

Artinya : “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (Q.S. al-
Mulk : 2)

Dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas tugas kekhalifahan, inilah yang
dimaksud hadits Rasul yang berbunyi : “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, karena itu kamu akan
dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinan kamu.”

3.Manusia Sebagai Hamba


Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat : 56)

Menghambakan diri (beribadah) kepada Allah, sekalipun tata cara dan waktu
pelaksanaannya ditentukan oleh Allah, pada hakikatnya bukanlah kewajiban atau beban bagi
manusia. Penghambaan ini (peribadatan) tersebut pada hakikatnya adalah fitrah yang menjadi
kebutuhan an-Nafs (hakikat diri manusia itu sendiri). Menurut ajaran Islam, setiap aktivitas
(selain ibadah mahdah) akan menjadi penghambaan diri kepada Allah (bernilai ibadah bagi
Allah) apabila aktivitas tersebut : dilaksanakan dengan ikhlas (murni) karena Allah dan untuk
mrmperoleh ridho Allah, bukan untuk mengharapkan yang lain-lain; dan dilaksanakan dengan
benar sesuai dengan syari’at Allah yang dibawa oleh Rasulullah. Upaya pemhambaan didri sperti
ini dalam syari’at dinamakan denga ibadah ghairu mahdah.

Anda mungkin juga menyukai