Disusun Oleh:
Putri Pertiwi
20110310064
Diajukan Kepada:
2017
I. Rangkuman Kasus
Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang ke poli mata untuk kontrol mata kiri pasien
terdapat putih-putih yang dikeluhkan pasien sejak 2 minggu yang lalu. Hari pasien kontrol
(5 November 2017) pasien menyatakan tidak ada keluhan.
Sudah sejak bulan November 2016 pasien menderita keratitis e.c jamur pada mata
kanan. Awal pasien berobat pasien mengeluh penglihatannya kabur, merah dan terasa
perih. Pasien mendapat terapi c. natacen/2 jam, c. lfx 6x/hari, dan ketokonazole 2x100 mg.
Januari 2017 pasien menderita keratitis pada kedua matanya dengan px visus ODS
3/60. Bulan April 2017 pasien datang ke poli mata dengan keluhan mata kiri terasa gatal
yang sudah dialami pasien 1 minggu. Terdapat defek anular pada mata kiri pasien VOS
6/7.5, dokter mendiagnosis OD Nebula. Pasien mendapat terapi c. lfx 6x OS, c. tobroson
6x OS dan vitamin C 1x100 iu.
Pemeriksaan Oftalmologi :
Edema (-), spasme (-) palpebra superior Edema (-), spasme (-)
2
Edema (-), spasme (-) palpebra inferior Edema (-), spasme (-)
Kemosis (-), injeksi (-), sekret conjungtiva palpebralis Kemosis (-), injeksi (-), sekret (-)
(-)
Kemosis (-), injeksi (-), conjungtiva fornices Kemosis (-), injeksi (-), secret (-)
sekret (-)
Kemosis (-), sekret (-), injeksi conjungtiva bulbi Kemosis (-), sekret (-), injeksi
konjungtiva(-), injeksi silier (-) konjungtiva (-), injkesi silier (-)
Ø 3 mm Ø 3 mm
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk dapat memperoleh gambaran yang komperehensif mengenai proses patologi yang
terjadi pada kornea, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan berikut:
Anamnesis (Gejala)
3
samping itu, ditanyakan pula mengenai riwayat penyakit kornea sebelumnya, misalnya pada
keratitis akibat infeksi herpes simpleks. Riwayat imunodefisiensi maupun penggunaan obat –
obatan topikal, terutama kortikosteroid, juga penting untuk ditanyakan karena dapat menjadi
faktor predisposisi bagi pertumbuhan bakteri, jamur, maupun virus.
Karena kornea memegang peranan sebagai salah satu media refraksi, adanya lesi kornea
umumnya menurunkan ketajaman penglihatan, terutama untuk lesi yang berada di bagian
tengah kornea, sehingga pandangan menjadi buram seringkali menjadi salah satu keluhan
yang muncul.
Pada kornea, terdapat serabut saraf yang dapat menghantarkan nyeri. Oleh karenanya, setiap
lesi pada kornea umumnya akan menimbulkan nyeri maupun fotofobia. Rasa nyeri akan
bertambah buruk dengan adanya pergerakan dari kelopak mata. Fotofobia pada penyakit
kornea muncul sebagai akibat dari rasa nyeri pada kontraksi iris yang mengalami inflamasi.
Dapat pula ditemukan adanya dilatasi pembuluh darah iris sebagai respons terhadap iritasi
pada ujung saraf korneal.
Gambaran keluhan sebagaimana disebutkan di atas dapat saja tidak ditemukan pada kasus
tertentu, misalnya fotofobia pada kasus keratitis herpetikus sebagai akibat dari hipestesia
yang menjadi salah satu bagian dari perjalanan penyakitnya.2,3,4
Hal yang harus dievaluasi dari kornea adalah transparansi (adanya opasitas stroma dan
epitelium menunjukkan scarring atau infiltrasi) dan luster pada permukaan (absensi
menunjukkan defek epitel atau lesi kornea superfisial).5
Pemeriksaan kornea hendaknya dilakukan dalam pencahayaan yang memadai, dapat pula
dilakukan setelah pemberian agen anestetik lokal. Umumnya, seorang oftalmologis akan
menggunakan slit lamp dalam pemeriksaan.2
Adapun pulasan dengan satu tetes larutan fluorescein atau rose bengal 1%, dengan sifatnya
yang umumnya tidak diabsorbsi oleh epitelium, dapat memperjelas gambaran lesi epitel
superfisial yang sulit terlihat pada pemeriksaan biasa, mulai dari keratitis pungtata superfisial
hingga erosi kornea.2-5 Pencahayaan dengan cobalt blue filter akan mempertegas efek
floresensi.
Sensitivitas kornea secara sederhana dapat dinilai dengan cotton swab. Dalam hal ini, secara
kasar dinilai adanya infeksi viral atau neuropati fasialis atau trigeminalis. Densitas epitelium
kornea secara kasar dapat dinilai menggunakan slit lamp atau teknik mikroskop spekular
untuk keperluan kuantifikasi. Ukuran kornea dapat diukur menggunakan penggaris sederhana
atau keratometer Wessely.5
4
Pemeriksaan Laboratorium 2
A. Keratitis Epitelial
Epitel kornea terlibat pada sebagian besat konjungtivitis dan keratitis. Perubahan-
perubahan epithelial bervariasi dari edema sederhana dan vakuolisasi, hingga erosi,
formasi filament dan keratinisasi parsial. Lesinya pun berbeda-beda dari tiap kornea.
Variasi ini memiliki signifikasi diagnostik yang penting.
B. Keratitis Subepitelial
Keratitis subepitelial biasanya disebabkan secara sekunder oleh keratitis epitelial
C. Keratitis Stromal
Pada keratitis stroma, terdapat respon stroma kornea terhadap penyakit yang
ditunjukkan dengan akumulasi dari sel radang, edema yang menyebabkan penebalan
kornea, opaksifikasi atau parut, nekrosis dan vaskularisasi. Pola dari respon pada
keratitis stroma ini tidak spesifik untuk setiap penyebabnya sehingga diperlukan
informasi klinis lainnya untuk mengidentifikasi secara jelas.
D. Keratitis Endotelial
Terjadi disfungsi dari endotel kornea yang menyebabkan edema kornea mengenai
stroma terlebih dahulu dan kemudian epitel. Penemuan sel radang berupa persipitat
keratic pada endothelium tidak selalu merupakan indikasi dari penyakit endoteliat
akrena manifestasi dari dari anterior uveitis tidak sellaui diikuti oleh keratitis stroma.
5
Gambar 2. Tipe Epitelial Keratitis (sesuai dengan frekuensi tersering)2
4. Patogenesis Keratitis & Ulkus Kornea
Secara sederhana, keratitis didefinisikan sebagai peradangan / inflamasi pada kornea mata
(bahasa Yunani: kerat = tanduk). Proses inflamasi tersebut umumnya ditandai dengan adanya
edema kornea, infiltrasi seluler, serta kongesti silier.
6
Patogenesis
Ketika epithelium kornea yang rusak diinvasi oleh agen-agen pathogen, perubahan-perubahan
pada kornea pada perkembangannya menjadi ulkus kornea dapat dibedakan menjadi 4 tahap
yaitu infiltrasi, ulserasi aktif, regresi, dan sikatrik. Hasil akhir atau terminal dari ulkus korna
bergantung pada virulensi dari agen pathogen, mekanisme pertahanan dari host, dan
tatalaksana yang diterima. Perkembangan dari ulkus kornea atau keratitis dapat mengarah
pada salah satu arah dibawah ini:
1. Ulkus dapat terlokalisasi dan sembuh
2. Penetrasi kedalam menyebabkan perforasi kornea
3. Menyebar cepat menyebabkan seluruh kornea terkelupas atau ulkus kornea
terkelupas.
7
dan sel endotel dari pembuluh darah baru. Stroma kemudian menebal dan memenuhi
bagian bawah epitelium, sehingga mendorong epitel ke arah anterior.
Tahap sikatrik dari proses penyembuhan berbeda-beda. Pada ulkus sangat superfisal
dan hanya meliputi epitel, penyembuhan akan terjadi tanpa meninggalkan opasitas.
Sedangkan jika ulkus mencakup membran Bowman dan lamela stroma superfisial,
sikatrik yang tebentuk akan membentuk nebula. Makula dan leukoma dapat terjadi
pada proses penyembuhan ulkus yang meliputi sepertiga dan melebihi stroma kornea.
8
bergantung dari perkembnagnnya dapat bersifat parsial atau total. Ketebalan dari staphyloma
ini berbeda-beda yang menghasilkan permukaan lobul-lobul yang menghitam dengan
jaringan iris sehingga nampak seperti anggur hitam.
Klasifikasi Keratitis4
9
Keratomalasia.
Ulkus ateromatosa.
o Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa.
o Keratitis terkait kelainan gangguan kolagen sistemik.
o Keratitis traumatik (mekanik, kimia, radiasi).
o Keratitis idiopatik.
Temuan pada kasus inflamasi kornea pada lesi yang bersifat superfisial umumnya berbeda
dengan kasus pada lesi dalam.
Erosi epitel pungtata, merupakan tanda awal dari defek epitel, berupa defek berukuran
sangat kecil pada pulasan dengan fluorescein dan rose bengal.
Keratitis epitel pungtata, berupa gambaran sel epitel yang granular, opalescent,
membengkak, disertai dengan infiltrat intraepitelial fokal, umumnya dapat terlihat
tanpa pulasan khusus.
Infiltrat subepitelial.
Keratitis pungtata superfisialis, dengan morfologi seperti titik.
Filamen, berupa struktur seperti benang yang terdiri atas mukus dan sel epitel yang
telah mengalami degenerasi, bergerak dengan mengedip, dan menempel pada ujung
kornea.
Edema epitel, umumnya disertai vesikel kecil dalam jumlah banyak atau bula.
Neovaskularisasi superfisial, merupakan pertana adanya iritasi permukaan okular
kronik maupun hiposkia.
Pannus, yaitu neovaskularisasi yang disertai dengan perubahan subepitelial dari
limbus yang bersifat degeneratif.
10
Gambar 4. Lesi Superfisial Kornea – Erosi epitel pungtata, Keratitis epitel pungtata, filamen,
edema kornea dengan bula, neovaskularisasi superfisial, pannus.3
Infiltrat, merupakan area fokal dengan inflamasi stromal akut yang tersusun atas sel
inflamatori disertai debris seluler maupun ekstraseluler dan nekrosis. Temuan yang
tampak adalah gambaran berwarna kekuningan atau putih kelabu pada stroma
anterior. Secara umum, infiltrat yang terbentuk dapat bersifat infektif maupun steril,
dengan pembeda sesuai dengan parameter pada tabel berikut:
11
Reaksi Kornea Ekstensif Terbatas
di sekitarnya
Ulserasi, merupakan tanda adanya ekskavasi jaringan terkait dengan defek epitel.
Vaskularisasi.
Deposisi lemak, penanda inflamasi kronik dengan kebocoran dari pembuluh darah
kornea yang baru.
Lipatan pada membran Descemet, dapat dihasilkan dari edema kornea yang telah
melampaui batas toleransi endotelium.
Descemetocele, merupakan herniasi dari membran Descemet ke dalam kornea dengan
gambaran menyerupai gelembung.
Kerusakan pada membran Descemet.
Gambaran kebocoran cairan pada tes Seidel. Tes ini dilakukan menggunakan tetes
fluorescein 2% pada slit lamp dengan cobalt blue filter untuk mendeteksi perubahan
dari warna jingga jelap menjadi hijau kuning terang.
Gambar 5. Lesi Dalam Kornea – Infiltrasi, ulserasi, vaskularisasi, deposisi lemak, lipatan
pada membran Descemet, kerusakan traumatik pada membran Descemet.3
Infeksi dapat dikontol dengan agen antimikrobial sesuai dengan etiologinya. Penggunaan
steroid topikal dengan tujuan supresi inflamasi harus dilakukan dengan hati – hati karena
dapat melemahkan imunitas tubuh dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu
serta memperlambat proses reepitelisasi. Pada kasus keratitis akibat penyakit autoimun, agen
imunosupresif dapat digunakan.
Promosi penyembuhan epitel dapat dilakukan dengan reduksi pajanan pada obat – obatan
toksik, lubrikasi dengan air mata buatan dan salep, penutupan kelopak mata sementara,
cangkok membran ambrionik pada defek epitel persisten yang unresponsif, maupun perekat
jaringan untuk menutup perforasi kecil.2,3
6. Keratitis Infektif
Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu kerusakan epitelium
kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami erosi. Akan tetapi, terdapat beberapa
organisme yang dapat menginvasi epitelium kornea yang masih intak dan memicu
pembentukan ulkus, yaitu Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphteriae, dan
Neisseria meningitidis.
Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat benda asing,
misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak. Di samping itu, kerusakan
epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel, nekrosis misalnya pada keratomalasia,
deskuamasi epitel akibat edema kornea, dan perubahan secara trofik.
Sumber infeksi dapat berasal dari eksogen, misalnya sakus konjungtiva, sakus lakrimalis,
benda asing, maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi, serta infeksi melalui air. Infeksi dapat
pula menyebar dari jaringan mata lain di sekitar kornea, ataupun secara endogen walaupun
cukup jarang terjadi.4
Secara umum, beratnya infeksi bakteri yang terjadi bergantung pada virulensi organisme
penyebab, toksin yang dikeluarkan, enzim, serta respons jaringan pejamu.
Keluhan yang biasanya ditemukan adalah nyeri dan sensasi benda asing sebagai akibat dari
efek mekanik dari kelopak mata dan efek kimia dari toksin pada ujung saraf. Di samping itu,
13
terdapat pula hiperlakrimasi sebagai refleks mata, fotofobia karena stimulasi ujung saraf,
pandangan buram, dan kemerahan pada mata karena kongesti pembuluh darah.
Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya defek epitel dengan infiltrat
berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek kemudian meluas dan terjadilah efema
stromal serta pelipatan membran Descemet serta uveitis anterior. Tampakan ulkus bakteria
adalah area berwarna putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas ulkus
membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan nekrotik, dengan edema
stroma di sekitar area ulkus. Di samping itu, dapat pula ditemukan hipopion maupun
descemetocele, terutama pada infeksi Pseudomonas.3,4
Gambar 6. Keratitis Bakterial – Defek epitel dan infiltrasi, pelebaran infiltrat, hipopion,
penyakit tahap lanjut, perforasi.3
Pemeriksaan Penunjang
14
Pada seluruh kasus ulkus kornea, umumnya dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
pemeriksaan rutin, yaitu hemoglobin, jumlah leukosit, hitung jenis, laju endap darah, glukosa,
urinalisis, serta analisa feses.
Tatalaksana Umum
Pada seluruh kasus ulkus, terutama yang belum menimbulkan komplikasi, prinsip tatalaksana
adalah terapi spesifik untuk agen penyebab, terapi suportif non spesifik, serta tatalaksana
tambahan.
Terapi spesifik mencakup administrasi antibiotik topikal dengan terapi inisial mencakup
organisme gram negatif dan positif. Umumnya, dipilih tetes mata gentamycin 14 mg/ml atau
tobramisin bersamaan dengan sefazolin (50 mg/ml) setiap ½ hingga 1 jam untuk beberapa
hari pertama, kemudian dikurangi menjadi setiap 2 jam sekali.2,4
Ketika telah diperoleh hasil kultur maupun tes sensitivitas, terapi dapat disesuaikan dengan
etiologi penyebabnya. Dalam hal ini, antibiotik sistemik umumnya tidak dibutuhkan.2-7
15
Terapi non spesifik yang dapat diberikan adalah agen siklopegik, analgesik, anti inflamasi,
serta vitamin. Agen siklopegik yang umumnya dipakai adalah tetes mata atau salep atropin
1% untuk mengurangi nyeri dari spasme silier atau mencegah pembentukan sinekia posterior,
sekaligus meningkatkan suplai darah pada uvea anterior dengan cara menurunkan tekanan
pada arteri siliaris anterior, sehingga lebih banyak antibodi yang dapat dibawa. Analgesik dan
anti inflamasi yang umumnya digunakan adalah parasetamol dan ibuprofen, untuk meredakan
nyeri dan mengurangi edema. Vitamin yang dipakai adalah A, B kompleks, dan C untuk
membantu penyembuhan ulkus.
Di samping itu, dapat pula dilakukan tatalaksana tambahan berupa pemberian kompres
hangat untuk menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi nyeri, penggunaan kacamata hitam
untuk mencegah fotofobia, serta tirah baring.4
Pada kasus ini, tatalaksana tambahan yang dapat dilakukan antara lain menyingkirkan faktor
penyebab yang mendasari kegagalan penyembuhan, misalnya peningkatan tekanan
intraokular, misdireksi silia, benda asing, diabetes melitus, anemia, malnutrisi, penggunaan
steroid, dan lain – lain.
Di samping itu, dilakukan pula debridement untuk membersihkan luka dari jaringan nekrotik,
kauterisasi luka, bandage soft contact lens, serta peritomy.4
Tatalaksana untuk dapat mencegah perforasi dan komplikasi lain yang dapat dilakukan adalah
edukasi pada pasien untuk menghindari bersin, batuk, ataupun mengejan ketika buang air
besar dan edukasi untuk tirah baring total. Di samping itu, dilakukan pula penurunan tekanan
intraokular, pemberian perekat jaringan, bandage soft contact lens, dan keratoplasti terapeutik
penetratif.4
16
Tatalaksana pada Kasus Ulkus Perforasi
Bila perforasi telah terjadi, diperlukan upaya cepat untuk mengembalikan keutuhan kornea
yang telah mengalami perforasi. Dalam hal ini, dapat digunakan perekat jaringan,
keratoplasti, dan cangkok membran amnion.4
Ulkus ini biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi pada kornea yang mengalami
abrasi. Tampilannya adalah ulkus kelabu berbatas tegas yang menyebar tak teratur dari
tempat infeksi ke sentral. Gambaran batas yang bergerak maju menampakan ulserasi dan
infiltrasi aktif, sementara batas yang ditinggalkan menunjukkan penyembuhan. Efek
merambat ini disebut ulkus serpiginosa akut.
Kornea disekeliling ulkus seringkali jernih, biasanya terdapat pula hipopion. Hipopion
terbentuk sebagai akibat dari pergerakan masif leukosit dari pembuluh darah. Kondisi ini
terjadi sebagai respons dari iritis berat yang terjadi akibat difusi toksin bakteri. Oleh
karena adanya gaya gravitasi, leukosit tersebut kemudian bergerak ke bagian bawah dari
kamera okuli anterior membentuk hipopion. Selama hanya terjadi migrasi dari leukosit,
hipopion yang terbentuk umumnya steril dan akan diserap kembali oleh tubuh setelah
ulserasi dapat dikontrol. 2,3,4
Gambar 8. Hipopion.4
Adanya hipopion menimbulkan risiko untuk terjadinya glaukoma sekunder sehingga untuk
pencegahannya diperlukan pemberian timolol maupun asetazolamid.
17
Kerokan dari tepian depan (yang maju) dari ulkus kornea pneumokokal biasanya
mengandung diplokokus gram positif.
Ulkus ini berawal dengan infiltrat berwarna kelabu atau kuning ditempat epitel kornea
yang retak. Umumnya, lesi terasa sangat nyeri dan dengan cepat terjadi penyebaran ke
segala arah sebagai pengaruh dari kerja enzim proteolitik. Di samping itu, sering terdapat
hipopion besar, infiltrat, dan eksudat berwarna hijau kebiruan. Meskipun awalnya
superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea dan mengakibatkan kerusakan yang
parah seperti perforasi kornea dan infeksi intraokular berat.
Ulkus ini biasanya berhubungan dengan penggunaan lensa kotak lunak, terutama lensa
jenis extended-wear. Organisme penyebab ditemukan melekat pada permukaan lensa
kontak lunak dan obat tetes mata yang terkontaminasi. Kerokan dari ulkus mengandung
batang gram negatif halus panjang. 2,3,4
Ulkus kornea sentral yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus tidak memiliki
ciri yang khas. Stroma disekitar ulkus sering menunjukkan infiltrat dan sembab, dan
biasanya disertai hipopion berukuran sedang. Kerokan sering mengandung kokus gram
positif berbentuk rantai. 2,3,4
Ulkus ini banyak terjadi pada pasien dengan riwayat penggunaan kortikosteroid topikal.
Ulkusnya sering indolen, tetapi mungkin disertai hipopion dan dapat ditemukan sedikit
infiltrat di sekitar kornea. Ulkus ini umumnya superfisial dan dasar ulkus terasa padat saat
dikerok. Pada infeksi Streptococcus alpha-hemolyticus, dapat ditemukan gambaran kornea
tampak mirip kristal. Kerokan dapat mengandung kokus gram positif satu-satu,
berpasangan atau dalam bentuk rantai. 2,3,4
Ulkus ini jarang ditemui dan umumnya terkait riwayat kontak dengan tanah. Ulkusnya
indolen, dan dasar ulkusnya sering menampakkan kumpulan garis memancar sehingga
18
tampak sebagai kaca yang retak. Hipopion dapat ditemukan namun dapat pula sebaliknya.
Kerokan dapat mengandung batang tahan asam (M Fortuitum-chelonei) atau organsime
gram positif berfilamen yang sering bercabang (Nocardia). 2,3,4
Keratitis Jamur
Setelah terjadi trauma, fungi kemudian melakukan penetrasi dan proliferasi, sehingga
memicu reaksi inflamasi dan nekrosis jaringan. Pada Candida albicans, produksi fospolipase
A dan lisofosfolipase di permukaan blastofor dapat memfasilitasi jamur untuk memasuki
jaringan. Bagian pada fungi yang memegang peranan untuk menyebabkan kerusakan jaringan
adalah mycotoxin dan enzim proteolitik. Adapun proliferasi dari filamen-filamen fungi pada
kornea dapat menyebabkan penghambatan pada respon imun host.
Gejala yang umumnya dirasakan oleh penderitanya mirip degan gejala pada ulkus kornea
bakterial sentral, akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lambat.
Adapun tanda yang ditemukan antara lain:4
Ulkus terlihat kering, nampak putih kelabu, dengan batasnya terelevasi ke luar.
Di bawah epitelium yang intak, terdapat gambaran ekstensi seperti jari.
Infiltrat supuratif berwarna putih kekuningan pada infeksi Candida.
Gambaran infiltrat cincin berwarna kekuningan, bila terdapat interaksi dengan
antibodi pejamu.
Lesi satelit kecil dan banyak di sekitar area luka.
Hipopion besar.
Diagnosis dari keratitis jamur dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis yang muncul
setelah trauma terkait dengan bagian dari tanaman, perburukan ulkus yang bersifat kronik
walaupun dengan terapi adekuat, serta pemeriksaan laboratorium, dalam hal ini kerokan
kornea. Kerokan korena diperiksa secara mikroskopik dengan menggunakan KOH 10%.
19
Kerokan keratitis jamur kecuali Candida akan memberikan gambaran unsur hifa sedangkan
kerokan candida umumnya mengandung psedohifa atau bentuk ragi. Di samping itu, dapat
pula dilakukan pewarnaan Calcoflour White untuk melihat filamen fungi ataupun kultur pada
agar Saboraud.2,3,4,5
Terapi spesifik, yaitu berupa tetes mata antifungal dengan natamisin 5%, flukonazol
0,2% selama 6 – 8 minggu atau menggunakan salep mata nistatin 3,5%. Pada kasus
berat, dapat pula diberikan obat – obatan sistemik, yaitu flukonazole dan ketoconazole
selama 2 – 3 minggu.
Terapi non spesifik, yaitu rawat inap.
Keratitis Viral
20
Herpes Simples Keratitis.
Penyakit mata akibat herpes merupakan salah penyakit menular tersering yang menyebabkan
kebutaan kornea pada negara berkembang. Sebanyak 60% ulkus korna pada negara
berkembang disebabkan oleh virus herpes simpleks dan 10 juta orang di dunia mengalami
penyakit mata akibat herpes.
HSV merupakan virus dengan kapsul kuboidal dengan double stranded DNA genome.
Terdapat dua subtype dari HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1 menyebabkan infeksi diatas
pinggang (pada muka, bibir dan mata) dan HSV-2 disebabkan oleh infeksi veneral (genital
herpes). Pada beberapa kasus HSV-2 dapat menginfeksi mata melalui sekresi yang terinfeksi
pada saat melahirkan (neonatal konjungtivitis). Infeksi okuler Herpes Simpleks Virus (HSV)
pada hospes imunokompeten biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi pada
hospes yang yang non-imunokompeten, termasuk pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin terjadi menahun. Kortikosteroid topikal dapat
mengendalikan respons peradangan, namun memberikan peluang terjadinya replikasi virus.
Sehingga pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal, harus ditambahkan anti-virus. 2,3
Infeksi Primer3
Infeksi primer dari HSV tanpa adanya pajanan virus sebelumnya biasanya muncul pada masa
kanak-kanak. Infeksi ini disebarkan melalui transmisi droplet atau inokulasi langsung. Karena
antibodi dari maternal sehingga jarang sekali infeksi ini muncul pada bayi berumur 6 bulan,
walaupun pada beberapa kasus, dapat muncul penyakit sistemuk neonatal. Kebanyakan
infeksi sistemik muncul secara subklinis hanya terdapat demam sedang, malaise, dan gejala
traktur respiratori bagian atas. Blepahiritis dan konjungtivits folikular dapat muncul akan
tetapi biasanya ringan dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Pemberian tatalaksana biasanya
dengan asiklovir topikal ointment pada mata atau krim pada lesi kulit. Sesudah infeksi primer,
virus ini akan menetap di ganglion trigeminum.
Infeksi Rekurensi3
21
6. Faktor resiko penyakit lainnya. Karena adanya penyakit mata lainnyam maka
kemunculan rekurensi dapat semkain meningkat contohnya penyakit mata atopic,
imunodefisiensi atau supresi, malnutrisi, malaria, campak atau cacar air. Penggunaan
steroid topikal dapat meningkatkan perkembangan geografis dari ulserasi.
Gambar 10. Epitelial Keratitis Herpes Simpleks, A, Lesi Stelata, B, Ulkus Dendritik3
Lesi
Lesi paling khas adalah ulkus dendritik pada epitel kornea dengan pola percabangan linear
khas dengan tepian kabur dan bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
memudahkan melihat dendrit.
Ulserasi geografik penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritiknya lebih lebar. Sensasi
kornea pada penyakit dendritik ini akan berkurang sehingga harus diperiksa. Lesi kornea
lainnya yang dapat disebabkan oleh HSV adalah blotchy ephitelial keratitis, stellate epthelial
keratitis, dan filamentery keratitis. Kesemua tipe lesi ini merupakan transisi yang nanyia akan
berubah menjadi dendrit tipikal dalam 24-48 jam.
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu, yang bentunya
sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di daerah tepat di bawah
lesi epitel. Lesi subephitelial ini akan menghilang lebih dari 1 tahun.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma
pada daerah pusat mengalami edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi yang berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi.Persipitat keratik tepat dapat berada di bawah lesi diskiformis
itu ataupun dapat beada di bawah endotel bersamaan dengan anterior uveitis. Patogenesisnya
dari keratitis diskiformis ini adalah sebuah reaksi imunologik terhadap antigen virus dalam
stroma atau endotel, bersamaan dengan adanya penyakit virus aktif yang tidak dapat
dikesampingkan. Edema merupakan tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan
akhir jaringan parut dan vaskularisasi minimal. Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi
dan edema fokal, yang sering disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus.
22
Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika ditambah dengan
penggunaan kortikosteroid topikal.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi-lesi ini umumnya linear dan
menunjukan kehilangan epitelial sebelum stroma kornea di bawahnya mengalami infiltrasi
(hal ini berlawanan dengan ulkus marginal pada hipersensitivitas bakteri seperti pada
blepharitis stafilokok).
Terapi
Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus pada kornea dan menahan
efek merusak dari respon radang.
1. Debridement
Untuk keratitis dendritik secara efektif adalah dengan debridement epitelial, karena virus
berlokasi dalam epitel. Selain itu juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Permukaan kornea dibersihkan dengan spons selulose steril hingga 2 mm di luar
ujung-ujung dendrite. Agen antiviral harus digunakan sebagai konjungsi.
2. Terapi obat
Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Acyclovir oral (5x400mg) memiliki manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata yang berat, khususnya pada pasien dengan
atopik yang rentan terhadap herpes mata dan kulit (eczema herpeticum).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpontensi sangat merusak. Pada
peningkatan TIO maka penggunaan derivat protalglandin harus dihindari akrena dapar
meningkatkan aktivitas virus herpes simples dan inflamasi.
3. Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang
mempunyai sikatrik kornea berat. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau
superinfeksi bakteri atau fungi memungkinkan untuk dilakukan keratoplasti penetrans
darurat.
4. Pengendalian pemicu HSV rekurensi
Untuk mengendalikan mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV,
aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, dan dapat diminum sebelum menstruasi,
pajanan berlebih terhadap sinar ultra-violet dapat dihindari dan keadaan-keadaan yang
dapat memicu timbulnya stres psikis dapat dikurangi.
Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer (varicella) dan rekurens
(zooster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella, namun sering terjadi pada
zoster oftalmik. Pada varicella, lesi mata umumnya terjadi pada kelopak, jarang timbul
keratitis. Sedangkan zooster oftalmik relatif lebih sering dijumpai, kerap disertai keratouveitis
yang bervariasi tergantung keadaan imun pasiennya. Pada orang dewasa (umumnya pada
umur 60-70 tahun), penyakit ini termasuk penyakit berat dan terkadang dapat mengakibatkan
kebutaan. Komplikasi kornea pada zooster oftalmik dapat diperkirakan jika terdapat erpsi
23
kulit di daerah yang dipersarafii oleh cabang nervus nasociliaris (pada bagian membrane
mukus hidung ujung hidung dan konjungtiva).
Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior dari awal. Lesi epitelnya berbercak dan
amorf, sesekali terlihat pseudodendrit yang mirip dengan dendrit sejati pada keratitis Herpes
simplex virus. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat sel yang
awalnya hanya terdapat pada daerah subepitelial. Kehilangan sensasi kornea, dengan risiko
terjadinya keratitis neurotopik selalu merupakan ciri khas dan sering menetap hingga
berbulan bulan setelah lesi kornea tampak sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap
tetapi akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada keratitis jenis ini.
Obat antiviral intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes
zoster oftalmik, khususnya pada pasien dengan sistem imun yang terganggu. Dosis oral
asiklovir adalah 800 mg lima kali sehari untuk 10-14 hari; valasiklovir 1 g tiga kali sehari
selama 7-10 hari; famsiklovir 500 mg per 8 jam selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai
72 jam setelah timbulnya rash. Setelah 72 jam tetapi dilakukan terapi yang sama untku dapat
mengurangi tingkat keparahan dari episode akut dan resiko postherpetic neuralgia.
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang dapat ditemukan di tanah, air kotor ataupun
bersih dan traktus respiratori bagian atas. Infeksi ini biasanya dihubungkan dengan
penggunaan lensa kontak yang dipakai semalaman atau pada individu memakai lensa kontak
setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya, kemerahan, dan
fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahan-perubahan yang terbatas pada epitel
kornea.
24
lensa kontak dapat ditemukan acanthamoeba dan gram negatif. Larutan dan tempat
lensa kontak harus dikultur, karena bentuk amuba dapat ditemukan pada cairan tempat
lensa kontak.1
3. Teknik yang lebih modern adalah sitologi impresi dan confocal microscopy.
Immunochemistry, PCR dan biopsi kornea.
Terapi dapat dilakukan dengan debridemen. Debridemen epitel bisa bermanfaat pada tahap
awal penyakit. Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate propamidine topikal
(larutan 1 %) dan polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-0,02%) dan tetes mata
neomycin forte. Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut.
Keratitis Alergi
Phlyctenular Keratoconjuntivitis
Merupakan penyakit hipersensitivitas (hipersenitivitas tipe 4) biasanya karena human
tubercle bacillus. Phlyctenular merupakan akumulasi lokal limfosit, monosit, makrofag, dan
neutrofil. Muncul pertama kali di limbus dan serangan rekurensi dapat meliputi kojungtiva
bulbi dan kornea. Kornea phlyctenular biasanya bilateral, sikatrik dan vaskularisasi.
Konjungtiba phlyctenular tidak meninggalkan jejas. Pada phlyctenular yang tidak
mendapatkan terapi akan sembuh dalam 10-14 hari, terapi topikal dengan kortikosteroid
dapat menurunkan prosesnya menjadi 1-2 hari.2
Alergen Penyebab: 2
1. Pretein tuberkulosa, dulu dipikirkan sebagai penyebab tersering
2. Protein stafilokokus, saat ini dipikirkan sebagai penyebab terbanyak
3. Alergen lain, dapat berasal dari protein Moraxella Axenfeld dan parasit tertentu.
Faktor Predisposisi:2
1. Usia. Kelompok usia puncak 3-15 tahun
2. Jenis Kelamin. Insidens lebih banyak terjadi pada anak wanita daripada anak laki-laki
3. Kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak kurang gizi.
4. Kondisi lingkungan. Terutama pada daerah padat an tidak higienis
5. Musim. Muncul pada seluruh iklim tapi insidens jauh lebih tinggi pada musim semi
dan panas
Terlibatnya kornea dapat terjadi sekunder dari ekstensi fikten konjungtiva, kejadian primer
jarang terjadi. Keratitis ini dapat muncul dalam 2 bentuk: keratitis flinktenular ulseratif atau
keratitis infiltratif difus2,4.
Keratitis vernal4
Keratitis vernal atau keratokonjungtivitis vernal. Keratitis ini terjadi berulang, bilateral,
interstisial, self-limiting, inflamasi alergik dari konjungtiva yang mengalami inflamasi pada
musim-musim tertentu. Keratokonjungtivitis dikarakteristikan dengan sensasi panas (burning)
dan garal yang tidak dapat di toleransi dan meningkat pada atmosfir yang panas dan lembab.
Gejala lainnya berupa fotofobia ringan, lakrimasi, dan kelopak mata yang berat.
25
Keratokonjungtivitis vernal merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh
alergen eksogen, seperti sebuk sari. Keratokonjungtivitis vernal dianggap sebagai kelainan
alergik atopi dimana mekanisme yang memediasi Ig-E berperan penting. Riwayat atopik
lainnya perlu ditanyakan.
Faktor predisposisi:
1. Umur dan jenis kelamin. 4-20 tahun. Lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada
anak perempuan.
2. Musim. Paling sering terjadi pada musim panas. Nama lain dari penyakit ini adalah
warm weather conjunctivitis/ spring catarhh
3. Iklim. Lebih sering pada iklim tropis, sangat jarang terjadi pada musim dingin.
Keratopati Vernal4
Keikutsertaan kornea dalam keratokonjungtivitis vernal dapat terjadi primer maupun
sekunder dari ekstensi lesi di limbus. Keratopati vernal mencakup 5 tipe lesi yaitu
1. Keratitis epitelial pungtata mencakup kornea atas yang biasnaya berkaitan dengan
formasi penyakit ini pada palpebra. Tidak memerlukan terapi kecuali penggunaan
steroid.
2. Keratitis ulseratif vernal muncul sebagai ulkus transversus dangkal di bagian atas
kornea. Ulserasi muncul karena makroerosi pada epitel.
3. Plak korneal vernal karena adanya penutupan dari area makroerosi epitel oleh layer
eksudat. Perlu dilakukan terapi pembedahan dengan keratektomi superficial
4. Sikatrik subepitel muncul dengan bentuk sikatrik cincin
5. Pseudogerontoxon, dikarakterisikan dengan “cupid’s bow”
Keratitis Atopik4
Keratitis ini dapat dianalogikan sebagai tipe dewasa dari keratokonjungtivitis vernal.
Kebanyakan dari pasien ini adalah dewasa muda atopik dengan predominansi pada laki-laki.
Gejala mencakup gatal, sakit, sensai kering, discharge mukoid, fotofobia, pandangan buram.
Pada pemeriksaan ditemukan:
1. Inflamasi kronis di batas posterior berbentuk bulat di batas kelopak mata.
2. Konjungtiva tarsal menunjukkan kenampakan seperti susu dan terdapat papila halus,
hiperemia, dan jaringan parut yang mengkisut.
3. Kornea dapat terlihat keratitis epitelial pungtata, seringnya lebih parah di bagian
bawah. Dapat ditemukan adanya vaskularisasi kornea, penipisan, dan plak.
Manifestasi klinis dari keratokonjungtivitis atopik, seperti atopi lainnya dapat terjadi fase
eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik
cenderung menjadi inaktif saat memasuki umur >50 tahun
Ulkus kornea trofik berkembang karena gangguan pada aktivitas metabolik dari sel epitel.
Kelompok ini meliputi (1) Keratitis neuroparalisis dan (2) Keratitis pajanan.4
Keratitis neuroparalisis2,4
Keratitis ini muncul karena interupsi dari saraf sensorik trigeminus yang menyuplai kornea.
Interupsi ini bisa disebabkan oleh trauma, pembedahan, tumor, inflames, atau penyebab
26
lainnya. Hal ini menyebabkan kornea kehilangan sensitivitasnya terhadap simulasi kedip
yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan terbaik untuk mencegah degenerasi,
ulserasi dan infeksi.
Etiologi
1. Kongenital
- Disautonomia (sindrom Riley-Day)
- Insensitivitas kongenital terhadap nyeri
- Displasia ektodermal anhidrosis
2. Didapat
- Setelah blok alkohol atau elektrokoagulasi ganglion Gasseria atau seksio akar
sensorik saraf trigeminus karena neuralgia trigeminus
- Neoplasma yang menekan ganglion Gasserian
- Destruksi ganglion Gasserian karena infeksi akut pada herpers zoster
oftalmikus
- Infeksi akut ganglion gasserian karena virus herpes simplex
- Neuropati sifilitik
- Progresi dari morbus hansen
- Trauma pada ganglion Gasserian
Patogenesis
Belum dikatahui secara jelas pathogenesis dari keratitis ini, menurut teorinya gangguan
dalam refleks kornea antidromik yang muncul karena paralisis saraf V. Sebagai
konsekuensinya aktivitas metabolis epitel kornea terganggu, sehingga terjadi akumulasi
metabolit yang selanjutnya menyebabkan edema dan eksfoliasi dari sel epitel karena ulserasi.
Perubahan kornea dapat muncul pada kehadiran refleks kedip normal dan sekresi lakrimal
normal.
Manifestasi klinis
1. Gambaran khasnya tidak terdapat nyeri, tidak ada lakrimasi, dan hilangnya seluruh
sekresi kornea
2. Kongesti silier
3. Kornea kusam
4. Perubahan awal kornea adalah dengan pembentukan erosi epitel di area intra-palpebra
diikuti oleh ulserasi karena eksfoliasi epitel kornea
5. Sering terjadi relaps, jaringan parut yang telah terbentuk bahkan dapat rusak
Tatalaksana
1. Tatalaksana awal sebelumnya adalah dengan artificial tear drops dan lubricant
ointment untuk menjaga agar kornea tetapi lembab. Pada kasus telah berkembang
menjadi keratitis, maka talaksana awal adalah dengan salep mata antibiotik dan
atropin dan dipasang penutup mata. Penyembuhan biasnaya sangat lambat. Modalitas
tatalaksana yang juga dapat dijadikan pilihan adalah tetes mata topikal faktor
pertumbuhan saraf dan transplantasi membran amniosis.
2. Jika terjadi relaps, dapat dilakukan tarsorafi lateral yang paling tidak harus dijaga
hingga satu tahun bersaman dengan penggunaan air mata buatan.
Keratitis Pajanan
Kornea secara normal tertutup oleh kelopak mata selama tidur dan secara konstan dijaga
kelembabannya melalui mekanisme berkedip saat terjaga. Ketika kelopak tidak dapat tertutup
27
secara adekuat, muncullah keratopati pajanan / keratitis lagoftalmus. Proses ini diikuti oleh
mengeringnya epitel kornea, desikasi / pembuangan epitel, dan akhirnya invasi dari
mikroorganisme. Desikasi umumnya muncul pada area interpalpebral sehingga terjadi
keratitis epitelial pungtata diikuti dengan nekrosis, ulserasi, dan vaskularisasi.4
Faktor yang dapat memicu kondisi ini adalah proptosis ekstrim, neuroparalitik / Bell’s palsy,
ektropion, simblefaron, penurunan tonus otot pada koma dalam tanpa penutupan kelopak
yang adekuat, dan lagoftalmus fisiologis selama tidur.4,5
Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain profilaksis saat terdapat lagoftalmus berupa
pemberian air mata buatan / salep serta penutupan kelopak mata pada pajanan yang reversibel
serta tatalaksana pada penyebab lagoftalmus dan tarsorrhaphy permanen pada pajanan yang
bersifat permanen. Apabila terbentuk ulkus, maka dilakukan tatalaksana untuk ulkus.4
Keratitis Lain2,3,4
Keratitis terkait penyakit kulit dan membran mukosa, yaitu keratitis rosacea akibat
penyakit pada kelenjar sebasea kulit, berupa lesi okular yang terdiri atas keratitis
marginal, vaskularisasi perifer, maupun penipisan dan perlukaan pada kornea, dapat
ditatalaksana dengan steroid topikal dan obat –obatan sistemik.
28
Keratitis dapat menjadi salah satu manifestasi penyakit kolagen sistemik, misalnya
pada reumatoid artritis, SLE, poliarteritis nodosa, dan Wegener’s granulomatosis.
Ulkus kornea idiopatik, misalnya ulkus Mooren, merupakan keratitis ulseratif perifer
inflamatori berat. Etiologinya hingga saat ini tidak diketahui, namun diperkirakan
berkaitan dengan proses degeneratif, iskemia akibat vaskulitis, aktivitas enzimatik,
maupun proses autoimun.
Gejala yang dirasakan adalah nyeri berat, fotofobia, lakrimasi, dan penurunan visus.
Gambaran yang dapat ditemukan umumnya berupa ulkus rodent yang terlihat
“menggerogoti” epitelium dan lamela mulai dari batas kornea secara sirkumferensial
yang jinak (unilateral dan perkembangan lambat, pada orang tua), atau dapat pula
virulen / progresif (bilateral dan cepat berkembang, pada orang muda), menghasilkan
area basis ulkus berwarna putih yang akan diikuti dengan pembentukan vaskularisasi.
Terapi yang umumnya digunakan adalah kortikosteroid tipikal, terapi imunosupresif,
dan keratektomi lamelar.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan dan
Pendengaran.Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2012.
2. Vaughan, Asbury. Lensa. Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta : EGC; 2010. p 125-35.
3. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology: a systematic approach 7th ed. USA: Elsevier. 2011.
4. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th ed. New Delhi: New Age
International; 2007. p. 89-126.
5. Lang GK, Ophhalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.p.117-41.
6. Cassidy L, Oliver J. Ophthalmology at a Glance. Massachusetts: Blackwell Science;
2005. p.66-8.
7. American Academy of Ophthalmology. Bacterial Keratitis. San Fransisco: AAO; p.2-
22.
30