PENDAHULUAN
2.2 ANAMNESA
Autoanamnesa Jumat, 12 Desember 2014 pukul 11.00 WIB
Keluhan Utama : bengkak pada pipi kanan sejak ±3 hari sebelum kontrol
Keluhan Tambahan : pagal-pegal, ruam merah pada tangan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli RSIJ CP dengan keluhan bengkak pada pipi kanan sejak ±3 hari yang lalu
yang tidak disadarinya. Pasien hanya merasakan bahwa pipi kanannya seperti lebih besar
dibandingkan dengan pipi yang kiri. Pasien menyangkal sebelumnya merasakan sakit gigi.
Pasien mengatakan bahwa 1 bulan yang lalu mengalami bengkak seluruh tubuh. Bengkak yang
terjadi menurut pasien bermula muncul dari kaki lalu berlanjut ke tangan. Pasien hanya mengira,
bahwa bengkak tersebut efek dari obat yang dikonsumsinya saat ini.
Lima bulan yang lalu (Juli 2014), pasien dirawat di RS. Pademangan akibat kekurangan
cairan karena diare yang tidak kunjung sembuh hingga hampir ±1 bulan. Selama 1 bulan itu,
BAB hilang timbul. BAB berlendir dan berwarna kuning, serta berbau amis. Di RS tersebut,
pasien dirawat selama 1 minggu. Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit, seluruh badan
terasa pegal-pegal. Keluhan pegal-pegal tidak dapat hilang meskipun telah dibalur dengan “neo
rhemachyl” ataupun dikompres dengan air dingin. Bahkan ketika di kompres dengan air dingin,
keuhan pegal semakin parah hingga membuat kaki dan tangan pasien kaku. Akibat keluhan
tersebut, pasien datang kembali ke RS tersebut untuk berobat. Tetapi karena tidak ada alat yang
memadai pasien dirujuk ke RS. Fatmawati. Baru beberapa kali kontrol di RS tersebut, pasien
menghentikan pengobatan karena menurut pasien pengobatan disana tidak cocok.
Agustus 2014, pasien datang ke UGD RSIJ CP dengan keluhan tidak dapat
menggerakkan seluruh tubuhnya secara tiba-tiba. Pasien mengatakan bahwa saat dibawa ke UGD
pasien dipapah oleh suaminya. Keluhan juga disertai dengan timbul bintik-bintik merah pada
seluruh tubuh. Saat keluhan tersebut muncul, pasien menyangkal disertai dengan demam. Saat di
rawat pasien sempat diberi tahu dokter terkena HIV tetapi setelah beberapa kali dilakukan
pemeriksaan laboratorium, pasien ternyata mengidap lupus. Pasien juga mengatakan bahwa pada
bulan ini juga pernah mengalami sariawan yang tidak kunjung sembuh.
Riwayat Pengobatan :
Pasien telah menjalani terapi lupus selama 4 bulan, dan kini sedang diturunkan dosisnya karena
pasien mengeluhkan bengkak.
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal oleh pasien
• Riwayat sakit jantung disangkal
• Riwayat sakit mag (+)
• Riwayat asma disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
• Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama disangkal
• Riwayat darah tinggi pada orangtua disangkal
• Riwayat kencing manis pada orangtua disangkal
• Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat Alergi : Pasien menyangkal memiliki alergi makanan, debu, ataupun cuaca.
Riwayat Psikososial :
Pasien merupakan ibu rumah tangga beranak satu. Pasien menyangkal merokok dan minum-
minuman beralkohol. Pasien mengatakan jarang keluar rumah karena setiap harinya pasien
mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
NILAI
TANGGAL JAM PEMERIKSAAN HASIL SATUAN
RUJUKAN
16/08/2014 11.01 WIB HEMATOLOGI KLINIK
Hb 10,5 g/dl 11,7-15,5
Leukosit 3,47 ribu/μl 3,60-11,00
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0-1
Eosinofil 4 % 2-4
Neutrofil batang 3 % 3-5
Neutrofil segmen 61 % 50-70
Limfosit 23 % 25-40
Monosit 8 % 2-8
LED 31 mm 0-20
Trombosit 205 205 150-440
Ht 33 33 35-47
Eritrosit 4,49 10x6/μl 3.80-5.20
URINALISA
Urin lengkap Kuning Kuning
Warna Agak keruh Jernih
Kejernihan
2.5 RESUME
Wanita usia 24 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan bengkak pada pipi
kanan sejak ±3 hari yang lalu. Satu bulan yang lalu seluruh badan pasien. Pada bulan Juli 2014
pasien dirawat di RS daerah Pademangan akibat diare kronik dengan dehidrasi. Beberapa hari
setelah pulang dari RS pasien mialgia yang tidak dapat hilang. Lalu, Agustus 2014 pasien
dirawat kembali di RSIJ CP karena mengalami mialgia hingga tidak dapat bergerak dan timbul
ruam pada wajah, dan seluruh tubuh disertai dengan petekie dan purpura. Saat itu, pasien juga
mengalami stomatitis dan bengkak pada gusi. Saat di RSIJ CP, dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan terdiagnosa dengan LUPUS. Pada riwayat pengobatan didapatkan bahwa
pasien hingga saat ini sedang konsumsi obat untuk LUPUS dan sedang diturunkan dosis obatnya.
2.7 ASSESSMENT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sel dan organ dengan diperantarai oleh autoantibodi dan kompleks
imun yang berikatan pada jaringan.
American collage of rheumatology dalam judul Systemic lupus erythematosus (Lupus)
tahun 2013 menerangkan bahwa SLE adalah salah satu penyakit inflamasi kronik yang ditandai
dengan adanya nyeri dan bengkak. Dapat menyerang seluruh organ: kulit, sendi, ginjal, paru-
paru, sistem saraf, dan organ lain. Mayoritas pasien mengeluhkan lemas dan timbul rash, artritis
(nyeri, dan bengkak pada sendi) dan demam.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang
berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik
tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi
paling banyak pada usia 20-30 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan
dengan frekuensi pada pria berkisar antara(5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan
obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2.
Dalam tulisan James M. Grill dengan judul Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus
menerangkan bahwa dalam penelitian metode Cohort : 20.5% pasien SLE mengalami gangguan
neuropsikiatri, 18.5% gangguan muskuloskletal, and 15.5% kerusakan ginjal.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat dirumah sakit.
Dari 3 penelitian di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RS. Dr. Cipto Mangkunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang
berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus LES; selama
periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap 666 kasus yang dirawat
(insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insidensi rata-rata
ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatn. Ketiganya menggunakan criteria yang berbeda-beda,
yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA dan kriteria ARA yang telah
diperbaiki.
Insidensi Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan
(Purwanto,dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000
perawatan (Tarigan).
3.3 ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :
• Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi
untuk penyakit pada jaringan ikat.
• Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi.
Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi selama 3 tahun dengan
hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi
pada pemberian dengan dosis 50 mg/hari.
• Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
• Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau penyebab
kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap radiasi
ultraviolet.
• Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri atau virus, dan stress baik fisik
maupun mental.
Faktor Hormonal
Jenis kelamin perempuan banyak terserang penyakit LES, dengan bukti adanya efek
hormon, gen pada kromosom X, dan perbedaan epigenetik antara jenis kelamin memegang
peranan penting. Perempuan membuat respon antibodi yang lebih tinggi daripada laki-laki.
Perempuan yang mengkonsumsi pil kontrasepsi estrogen atau yang mendapat terapi estrogen
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena penyakit ini (1,2-2 kali lipat). Estradiol berikatan
dengan reseptor pada limfosit B dan T, meningkatkan aktivasi dan kelangsungan hidup sel
tersebut, sehingga mendukung respon imun yang memanjang. Gen pada kromosom X yang
berpengaruh terhadap LES, seperti TREX-1, mungkin memiliki peranan dalam predisposisi jenis
kelamin.
Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior,
diketahui menstimulasi respon imun humoral dan selular, yang diduga berperanan dalam
patogenesis LES. Selain kelenjar hipofise, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis PRL.
Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan autokrin.
PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel hemopoietik
CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam ptogenesis LES adalah leptin. Penelitian
konsentrasi leptin serum pada penderita LES perempuan yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales
dkk, mendapatkan kadar leptin pada penderita LES lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
sehat.
Faktor Lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisi untuk LES, tetapi
inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan. Agen
infeksi seperti virus Eipstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui
kemiripan molekular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun; diet
mempengaruhi produksi mediator inflamasi; toksin/obat-obatan memodifikasi respon selular dan
imunogenisitas dari self antigen; dan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat
menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh
faktor lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan heterogenitas dan adanya periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari
penyakit ini.
Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi ruam fotosensitivitas pada LES, juga
ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya
autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan
blebs nuklear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.
3.4 PATOGENESIS
Gambar 3.3.a. Skema Singkat Tentang Patogenesis SLE
Interaksi antara gen yang rentan dan faktor lingkungan mengakibatkan respon imun yang
abnormal, yang berbeda-beda pada setiap orang. Respon tersebut mungkin termasuk:
• Aktivasi dari imunitas bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh CpG DNA,
DNA pada kompleks imun, RNA virus, dan RNA dalam RNA/protein antigen tubuh;
• Ambang aktivasi yang menurun dan mekanisme aktivasi abnormal pada sel imunitas
didapat (limfosit B dan T);
Antigen-tubuh (DNA/protein nukleosom; RNA/protein dalam Sm, Ro, dan La; fosfolipid)
dapat dikenali oleh sistem imun pada antibodi permukaan sel apoptotik; sehingga antigen,
autoantibodi, dan kompleks imun menetap untuk waktu yang lebih lama dari seharusnya,
menyebabkan inflamasi dan penyakit berprogresi. Aktivasi sel imun diperantarai oleh
peningkatan sekresi interferon (IFNs) proinflamasi tipe 1 dan 2, tumor necrotic factor α (TNF-
α), interleukin (IL)-17, dan maturasi sel B/survival cytokines B lymphocyte stimulator
(BlyS/BAFF), dan IL-10. Regulasi gen yang diinduksi interferon bersifat genetik dan ditemukan
pada hampir 50% penderita LES. Berkurangnya produksi sitokin lain juga berkontribusi pada
LES: sel T dan natural killer (NK) lupus gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth
factor β (TGF-β) yang cukup untuk merangsang dan mempertahankan sel regulator CD4+ dan
CD8+. Abnormalitas ini menyebabkan produksi autoantibodi dan kompleks imun yang terus-
menerus; antibodi patogenik berikatan dengan jaringan target, dengan aktivasi komplemen,
sehingga mengakibatkan pelepasan sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, oksidan, dan enzim-
enzim destruktif. Hal ini disertai dengan influks sel T, monosit/makrofag, dan sel dendritik ke
dalam jaringan target, ditambah aktivasi makrofag dan sel dendritik yang telah ada di dalam
jaringan. Pada keadaan inflamasi kronik, akumulasi growth factors dan produk-produk oksidasi
kronik mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversibel, termasuk fibrosis/sklerosis dalam
glomeruli, pembuluh arteri, otak, paru-paru, dan jaringan lain.
Gambar 3.5.a. (A) Livedo reticularis and (B) periungal erythema with
nailfold vasculitis
Avaskular tulang nekrosis. Avaskular nekrosis (AVN) dari tulang merupakan penyebab
utama morbiditas dan kecacatan pada SLE. gejala AVN terjadi pada 5-12% kasus. Tingginya
prevalensi ini telah dilaporkan ketika Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk
deteksi. Nyeri sendi akut terjadi di akhir perjalanan SLE dan terlokalisir dibeberapa lokasi
terutama bahu, pinggul, dan lutut, mungkin menunjukkan AVN. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan iskemia dan nekrosis tulangt ermasuk fenomena Raynaud, vaskulitis, emboli
lemak, kortikosteroid, dan sindrom antifosfolipid. Osteonekrosis sering berkembang tidak lama
setelah timbulnya terapi kortikosteroid dosis tinggi.
Manifestasi Kulit
Lesi yang tersering ialah:
(a) lesi seperti kupu-kupu di area malar dan nasal dengan sedikit edema, eritema, sisik,
teleangiektasis, dan atrofi, (b) erupsi makulo-papular, polimorfik, dan eritematosa bulosa di pipi,
(c) foto-sensitivitas di daerah yang tidak tertutup pakaian, (d) lesi papular dan urtikarial
kecoklat-coklatan, (e) kadang-kadang terdapat lesi L.E.D (khas dengan sumbatan
keratin/folikular) atau nodus-nodus subkutan yang menetap, (f) vaskulitis sangat menonjol, (g)
alopesia dan penipisan rambut, (h) sikatrisasi dengan atrofi progresif dan hiperpigmentasi, dan
(i) ulkus tungkai.
Pada mukosa mulut, mata, dan vagina, timbul stomatitis, keratokonjungtivitis, dan kolpitis
dengan petekie, erosi, bahkan ulserasi.
Predileksi: kedua pipi, batang hidung, dada, lengan, pangkal jari-jari tangan, telapak tangan
dan punggung tangan, mukosa mulut, faring dan vagina.
Gambar 3. Lupus erythematosus kutaneus akut. Onset lesi ini mendadak, sering muncul setelah
terpapar sinar matahari, dan ditandai dengan eritema dan edema.
Gambar 3.5.b. Fenomena Raynaud
Manifestasi Kardiologis
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat
terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, echokardiografi. Apabila
dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang tidak
jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi
sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin
banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Manifestasi Renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5
tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi
kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau
3+ semi kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta
pyuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin
menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal
akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara
klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis, irritable bowel
syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam keadaan
tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus
tersebut, kecuali gangguan motilitas.
Keluhan dispepsia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan
dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan
dengan pemeriksaan autopsi. Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan kausa idiopatik
karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.
Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat perhatian yang besar karena,
walaupun jarang, dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau kolon yang berakibat fatal.
Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita LES. Keluhan ditandai dengan
adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase.
Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau
akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat diketahui dapat menyebabkan
pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula pankreatitis pada penderita yang tidak mendapatkan
steroid.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan penggunaan antiinflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis
dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transaminase ini akan
kembali normal apabila aktivitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum jelas
hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan
LES, atau merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai
bukti adanya kaitan infeksi virus hepatitis B (HBV).
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain
seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan
serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA dan atau
IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa.
Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi
saraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada
susunan saraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau
mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik atau
non-organik.
Manifestasi Hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES
ini. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. Organ limfoid lain
yang sering dijupai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh
pembesaran hati.
Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.
Bahkan pernah dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis.
Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit LES ini.
Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang
bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi
besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun
dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun
dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa,
acute hemophagocytic syndrome.
3.6 DIAGNOSIS
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai
terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu
pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun,
mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis,
neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah
ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis
dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak
ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
* Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2 atau
lebih kriteria kewaspadaan SLE.
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
• Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
• Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
• Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)*
• PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
• Serologi ANA Ś, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4)
• Foto polos thorax
Ś pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Diagnosa Banding
• Undifferentiated connective tissue disease
• Sindrom Sjorgen
• Sindrom antibodi antifospolipid
• Fibromialgia (ANA positif)
• Purpura trombositipenia idiopatik
• Lupus imbas obat
• RA dini
• Vaskulitis
• PENGELOLAAN
Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya/diterapkannya
prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja,
namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial.
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah a). Mendapatkan masa
remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c). Mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai
kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau
disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan
berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit
mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
I. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya
dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau
mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi
organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-
butir edukasi pada pasien SLE adalah :
• Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
• Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
• Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
• Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat
kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
• Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya
obat an• tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotik.
• Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung,
yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
3.8 PROGNOSIS
Walaupun pengobatan lupus saat ini telah memiliki angka kelangsungan hidup yang
membaik secara dramatis, remisi-berkepanjangan dan lengkap didefinisikan sebagai 5 tahun
tanpa bukti klinis dan laboratorium penyakit aktif dan tidak ada perawatan-tetap sulit dipahami
untuk sebagian besar pasien. Insiden flare diperkirakan terjadi pada 0,65 pasien per-tahun pada
pasien yang terfollowup. Selain itu, sejumlah besar pasien (10-20% di tersier rujukan pusat) tidak
merespon secara memadai untuk terapi.imunosupresif.
DAFTAR PUSTAKA
ACR Committee in SLE Guidelines. Guidelines for Referral and management of SLE in Adults.
ACR USA: Vol. 42, No. 9, September 1999.
American collage of rheumatology. Systemic lupus erythematosus (Lupus). 2013
Bertsias, George, et.al. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis and clinical features. April
2012. hal. 477
James M. Gill, M.D., M.P.H. et.al. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. AMERICAN
FAMILY PHYSICIAN-www.aafp.org/afp. VOLUME 68, NUMBER 11 / DECEMBER 1,
2003
Sudoyo, Aru W. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Interna
Publishing.. P. 1214 – 26