Anda di halaman 1dari 4

Gangguan kesehatan jiwa merupakan suatu sindrom, pola perilaku atau kondisi

psikologi seseorang yang secara klinik cukup bermakna dan secara khas berkaitan
dengan suatu gejala (distress, impairment, atau disability) di dalam satu atau lebih
fungsinya dalam segi perilaku psikologis atau biologi atau gangguan jiwa dalam

hubungan antara orang itu dengan masyarakat.1 Setiap orang berpotensi mengalami
gangguan kesehatan jiwa yang salah satu faktor risikonya adalah penyakit fisik yang
bersifat kronis sepanjang berinteraksi dengan lingkungan dan terus terlibat dalam

kemajuan zaman.2

Pasien dengan penyakit fisik yang serius mempunyai gangguan psikiatri


sedikitnya dua kali lipat dibanding populasi umum. Semua pasien rawat inap dan rawat

jalan di rumah sakit sebanyak 20 _ 40% mengalami gangguan psikiatri.3

Satu dari sepuluh orang penduduk Indonesia usia 15 tahun atau lebih
mengalami gangguan mental emosional. Sekitar 3,5% penduduk Indonesia usia 15
tahun atau lebih mengalami penyakit kronis. Dari sepuluh penderita penyakit kronis,
dua sampai lima penderita akan mengalami gangguan mental emosional. Risiko
gangguan mental emosional semakin tinggi bersamaan dengan semakin banyak jumlah
penyakit kronis yang diderita oleh responden. Responden yang menderita satu penyakit
kronis berisiko 2,6 kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental emosional, yang
menderita dua penyakit kronis berisiko 4,6 kali, yang menderita tiga penyakit kronis
atau lebih berisiko 11 kali. Risiko gangguan mental emosional lebih besar pada mereka
yang mempunyai riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, jenis kelamin perempuan,
perokok dan peminum alkohol, pendidikan rendah, tidak bekerja, janda/duda yang
cerai mati atau cerai hidup, dan kelompok usia tua atau diatas 55 tahun.

Leonard E (2012) menyatakan bahwa gangguan psikiatri yang paling sering


ditemukan terkait dengan penyakit Diabetes Melitus tipe 2 ialah depresi. Beberapa
penulis juga telah menyatakan bahwa depresi merupakan salah satu faktor pencetus
pada pasien DM. Hal ini disebabkan karena depresi dikatakan dapat menaikkan kadar
glukosa darah (Meta A dan Sri E, 2011). Firdaus A (2013) juga menyatakan bahwa
stres psikologis dapat timbul pada saat seseorang menderita Diabetes Melitus. Depresi
menunjukkan suasana hati yang tertekan, perasaan putus asa, perasaan sedih, tidak
berharga, gangguan tidur dan nafsu makan, kehilangan energi, serta penurunan kualitas
hidup pasien diabetes yang berhubungan dengan tingginya tingkat morbiditas,
mortalitas, dan biaya kesehatan.

Komplikasi-komplikasi Diabetes Melitus yang tidak ditangani dengan baik


akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik komplikasi akut maupun komplikasi
kronik. Bahkan disebutkan dalam sebuah penelitan bahwa depresi dikaitkan dengan
dua kali lipat peningkatan risiko kejadian ulkus diabetikum bagian kaki pada pasien
dengan DM (Lisa HW, Carolyn M, et al. 2011). Pasien dengan ulkus kaki diabetik
sering mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi, takut untuk masa depan, dan
ketidakpuasan yang sangat besar dengan kehidupan pribadi mereka (Mazlina M,
Shamsul A, et al, 2011; Safitri D, 2013).

Penyebab depresi pada orang dengan diabetes berkaitan dengan kontrol


glikemik dan metabolik yang lebih buruk, percepatan timbulnya komplikasi yang lebih
cepat, dan risiko morbiditas dua kali lebih besar dibandingkan dengan penderita DM
tanpa depresi. Selain itu, kualitas hidup penderita DM juga secara signifikan jauh lebih
buruk dibandingkan orang dengan depresi saja, diabetes saja, atau orang tanpa diabetes
maupun tanpa depresi. Ditambah lagi, penderita DM dengan depresi juga menunjukkan
hari sakit yang lebih banyak, hari rawat di rumah sakit yang lebih panjang, dan waktu
rawat yang lebih sering dibandingkan pasien diabetes tanpa depresi (Leonard E, 2012;
Mazlina M and Shamsul A, 2011).

Risiko depresi pada penderita DM disebabkan oleh stresor psikososial kronik


karena mengidap penyakit kronik. Sebaliknya, depresi juga dapat menjadi faktor risiko
DM. Secara teori, hal ini diakibatkan dari proses peningkatan sekresi dan aksi hormon
kontraregulasi, perubahan fungsi transpor glukosa, dan peningkatan aktivasi inflamasi
(Rivandi A and Lisiswanti R, 2015).

Menurut Heeramun A, Lu Z, et al (2012) Kehadiran depresi pada pasien DM


telah dikaitkan dengan dampak negatif dalam perawatan diri, kontrol glikemik, hasil
kesehatan, dan kualitas hidup. Selain itu, ada bukti kuat bahwa depresi berhubungan
dengan peningkatan risiko komplikasi diabetes termasuk ulkus diabetikum dan
disfungsi seksual. Beberapa studi juga telah menetapkan bahwa depresi meningkatkan
risiko kematian pada orang dewasa dengan diabetes.

Saran

Depresi pada orang diabetes berkaitan dengan kontrol glikemik dan metabolik
yang buruk dan timbulnya komplikasi yang lebih cepat, untuk itu dalam menangani
pasien diabetes melitus tidak hanya secara klinis saja, namun diperlukan terapi non
farmakologi seperti pelayanan psikis pada pasien dengan diabetes melitus agar
terciptanya pelayanan yang holistik. Hal ini karena diabetes melitus merupakan
penyakit kronis yang rentan akan adanya gangguan jiwa, khususnya depresi.

Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa disarankan


agar membuat kebijakan program pembinaan pelayanan kesehatan jiwa terkait dengan
upaya promotif maupun preventif dalam pencegahan terjadinya gangguan mental
emosional di Indonesia. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan pembuatan pedoman
atau standar pelayanan tentang penyakit kronis yang terkait dengan penurunan risiko
gangguan mental emosional serta dibentuknya tim bimbingan teknis pelayanan tersebut
di semua pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan rumah sakit. Praktisi kesehatan juga
diharapkan dapat memperhatikan aspek mental emosional dalam pemberian pelayanan
kesehatan (terutama pada pasien penderita penyakit kronis). Namun, bila ditemukan
gangguan mental yang lebih berat, dapat disarankan segera merujuk kepada ahli yang
lebih kompeten.

Anda mungkin juga menyukai