BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
penderita perempuan sebanyak 118 orang, 385 orang pada tahun 2013 dengan
jumlah penderita laki-laki sebanyak 219 orang dan penderita perempuan
sebanyak 166 orang, 405 orang pada tahun 2014 dengan jumlah penderita
laki-laki sebanyak 231 orang dan penderita perempuan sebanyak 174 orang
yang terdiagnosa decompensasi cordis (Medical Record RSUD Dr. M Yunus,
2015).
Gagal jantung merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskular yang
terus meningkat insiden dan prevalensinya. Resiko kematian akibat gagal
jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Gagal jantung
merupakan penyakit yang paling sering memerlukan pengobatan ulang di
rumah sakit, pengobatan rawat jalan harus dilakukan secara optimal (Miftah,
2004 dalam Scribd 2010).
Perawat sebagai tenaga professional di bidang pelayanan kesehatan
memiliki konstribusi yang besar dalam perawatan kesehatan khususnya klien
dengan gagal jantung kongestif baik saat dirawat, akan pulang dari rumah
sakit. Peran perawat disini dapat menyiapkan discharge planning, yang
dilakukan setelah klien sembuh. Salah satu unsur penting dalam discharge
planning adalah health education atau penyuluhan kesehatan. Penyuluhan
kesehatan pada pasien dengan gagal jantung bertujuan agar dapat belajar dan
mengerti sehingga mampu mengatur aktivitas dan istirahat sesuai respon
individu serta mengerti dan memahami bagaimana upaya untuk
memperlambat perkembangan penyakit dan perkembangan gagal jantung.
Penyuluhan kesehatan dapat efektif dan diterima serta terjadi internalisasi baik
oleh klien maupun keluarga, perawat perlu mengetahui permasalahan-
permasalahan yang dihadapi klien saat dirumah agar kejadian rawat inap
ulang dapat diminimalkan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Survei yang dilakukan di rumah sakit M. Yunus Bengkulu dalam
penanganan pasien dalam melakukan asuhan keperawatan dimana asuhan
keperawatan yang ada meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan hanya berfokus dalam pemberian
5
obat saja tanpa melakukan pemeriksaan fisik secara utuh dengan pasien,
sehingga sulit bagi pasien untuk mencapai kesembuhan yang optimal. Maka
dari itu dalam kasus ini penulis ingin melakukan tindakan keperawatan
holistik yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Decompensasi Cordis Di Ruang ICCU RSUD M. Yunus Bengkulu Tahun
2016”.
B. Batasan Masalah
Ruang lingkup penulisan makalah ini terbatas pada pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan decompensasi cordis di Ruang ICCU RSUD
M. Yunus Bengkulu meliputi tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada klien dengan
decompensasi cordis secara komprehensif meliputi aspek biologis,
psikososial, sosial, dan spiritual.
2. Tujuan Khusus
Melalui pendekatan proses keperawatan aspek biologis, psikologis,
sosial, dan spiritual diharapkan mahasiswa :
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian terhadap klien dengan
decompensasi cordis.
b. Mendeskripsikan perumusan diagnosa keperawatan sesuai dengan
prioritas masalah pada pasien dengan decompensasi cordis.
c. Mendeskripsikan perencanaan dan rasional dalam praktek nyata sesuai
dengan masalah yang diprioritaskan pada pasien dengan decompensasi
cordis.
d. Mendeskripsikan implementasi dalam praktek nyata sesuai dengan
masalah yang diprioritaskan pada pasien dengan decompensasi cordis.
6
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu menerapkan konsep pembelajaran teoritis ke
dalam proses pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada klien
dengan decompensasi cordis.
2. Bagi Keluarga
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam
merawat anggota keluarga dengan dengan decompensasi cordis.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan / Rumah Sakit
Dapat memberikan informasi tentang penerapan asuhan
keperawatan yang tepat pada pasien decompensasi cordis.
Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan
praktek pelayanan keperawatan khusunya dengan decompensasi cordis.
4. Bagi Akademik / Profesi Keperawatan
Dapat memberikan masukan bagi mahasiswa perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang tepat dengan decompensasi cordis
dan laporan studi kasus ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
informasi tentang asuhan keperawatan pada klien dengan decompensasi
cordis.
7
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Decompensatio cordis atau gagal jantung, sering juga disebut
gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan
nutrisi (Brunner and Suddarth, 2002: 805). Gagal jantung adalah sindrom
klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik
(saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur
atau fungsi jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan yang
mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi
diastolik) dan/atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik) (Sudoyo
Aru,dkk 2009).
Decompensasi Cordis adalah ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan
kebutuhan oksigen jaringan (Doenges, 2000: 48). Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa Decompensasi Cordis adalah
ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk
memenuhi metabolisme tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran O2 ke
organ-organ tubuh lainnya.
2. Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth gagal jantung dapat disebabkan oleh :
a. Kelainan otot jantung : gagal jantung paling sering terjadi pada
penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
8
(Sloane, 1994)
a. Anatomi Jantung
Jantung terletak dalam mediastinum di rongga dada, yaitu
diantara kedua paru-paru. Perikardium meliputi jantung terdiri dari 2
lapisan: lapisan dalam disebut pericardium viseralis dan lapisan luar
disebut pericardium parietalis. Kedua lapisan pericardium ini
dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang berfungsi mengurangi
gesekan pada gerakan memompa jantung itu sendiri. Perikardium
parietalis melekat pada tulang dada di sebelah depan, pada kolumna
vetebralis di sebelah belakang, dan ke bawah pada diafragma.
perikardium viseralis langsung melekat pada permukaan jantung.
Jantung terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar disebut epicardium,
lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut miokardium,
sedangkan lapisan terdalam yaitu lapisan endotel disebut endokaridum
(Sylvia A. Price, 2008).
10
1) Atrium Kanan
Atrium kanan yang tipis dindingnya ini berfungsi sebagai
tempat penyimpanan darah, dan sebagai penyalur darah dari vena-
vena sirkulasi sistemik ke dalam ventrikel kanan dan kemudian
paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh vena ini masuk
kedalam atrium kanan melalui vena kava superior, inferior, dan
sinus koronarius (Sylvia A. Price, 2008).
2) Ventrikel Kanan
Pada kontraksi ventrikel, tiap ventrikel harus menghasilkan
kekuatan yang cukup besar untuk dapat memompakan darah yang
diterima dari atrium ke sirkulasi pulmonari ataupun sirkulasi
sistemik. Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit yang unik, guna
menghasilkan kontraksi bertekanan rendah, yang cukup untuk
mengalirkan darah ke dalam arteria pulmonalis. Sirkulasi pulmonal
merupakan sistem aliran darah bertekanan rendah, dengan
resistensi yang jauh lebih kecil terhadap aliran darah dari ventrikel
kanan, dibandingkan tekanan tinggi sirkulasi sistemik terhadap
aliran darah dari ventrikel kiri. Karena itu beban kerja dari
11
3) Atrium Kiri
Atrium kiri menerima darah yang sudah dioksigenasi dari
paru-paru melalui keempat vena pulmonalis. Antara vena
pulmonalis dan atrium kiri tidak ada katup sejati. Karena itu,
perubahan tekanan dalam atrium kiri mudah sekali membalik
retrograde ke dalam pembuluh paru-paru. Peningkatan tekanan
atrium kiri yang akut menyebabkan bendungan paru-paru. Atrium
kiri berdinding tipis dan betekanan rendah. Darah mengalir dari
atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katup mitralis.
4) Ventrikel Kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup
tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik, dan
mempertahankan aliran darah ke jaringan-jaringan perifer.
Ventrikel kiri mempunyai otot-otot tebal dan bentuknya yang
menyerupai lingkaran, mempermudah pembentukan tekanan yang
tinggi selama ventrikel berkontraksi. Sekat pembatas kedua
ventrikel (septum interventrikularis) juga membantu memperkuat
tekanan yang ditimbulkan oleh seluruh ventrikel pada kontraksi
(Sylvia A. Price, 2008).
b. Katup Jantung
1) Katup Atrioventrikularis
c. Arteri Koronaria
d. Otot Jantung
f. Sirkulasi Sistemik
Sifat-sifat struktural dari setiap bagian sistem sirkulasi darah
sistemik menentukan peran fisiologisnya dalam integrasi fungsi
kardiovaskular. Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga bagian :
lapisan terluar disebut tunika adventisia, bagian tengah yang berotot
disebut tunika media, sedangkan bagian terdalam, yaitu lapisan
endotelnya disebut tunika intima. Sirkulasi sistemik dapat dibagi
menjadi lima, dipandang dari sudut anatomi dan fungsi : (1) arteria, (2)
arteriola, (3) kapiler, (4) venula dan (5) vena (Sylvia A. Price, 2008).
1) Arteria
2) Arteriola
Dinding arteriola terutama terdiri dari otot polos dengan
sedikit serabut elastis. Dinding berotot ini sangat peka dan dapat
berdilatasi atau berkontraksi untuk mengatur aliran darah ke
jaringan kapiler. Pada persambungan antara arteriola dan kapiler
terdapat sfingter prekapiler yang berada di bawah pengaturan
fisioligis yang cukup rumit (Sylvia A. Price, 2008).
3) Kapiler
Dinding pembuluh kapiler sangat tipis, terdiri dari satu
lapis sel endotel. Melalui membran yang tipis dan semipermiabel
inilah nutrisi dan metabolisme berdifusi dari daerah yang tinggi
konsentrasinya menuju daerah yang lebih rendah konsentrasinya.
Dengan demikian oksigen dan nutrisi akan meninggalkan
pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstisial dan sel.
Karbondioksida dan metabpolit berdifusi ke arah yang berlawanan
(Sylvia A. Price, 2008).
4) Venule
Venula berfungsi sebagai saluran pengumpul dengan
dinding otot yang relatif lemah namun peka. Pada pertemuan
antara kalpiler dan venula terdapat sfingter postkapiler (Sylvia A.
Price, 2008).
5) Vena
Vena adalah saluran yang berdinding relatif tipis, dan
berfungsi menyalurkan darah dari jaringan kapiler melalui sistem
vena, masuk ke atrium kanan (Sylvia A. Price, 2008).
17
g. Sirkulasi Koroner
Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan
oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliput seluruh permukaan
jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-
cabang intramiokardial yang kecil-kecil. Untuk mengetahui akibat-
akibat dari penyakit jantung koroner, kita harus mengenal terlebih
dahulu distribusi arteria koronaria ke otot jantung dan sistem
penghantar. Morbiditas dan mortalitas pada infark miokardia
tergantung pada derajat gangguan fungsi yang ditimbulkannya, baik
mekanis maupun elektris (Sylvia A. Price, 2008).
h. Arteri Koronaria
Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik.
Muara arteri koronaria ini terdapat didalam sinus valsava dalam aorta,
tepat diatas katup aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari : arteri koronaria
kanan dan kiri. Arteri koronaria kiri mempunyai dua cabang besar,
arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleksa kiri (Sylvia A.
Price, 2008).
18
i. Sirkulasi Pulmonar
Pembuluh pulmonar mempunyai dinding-dinding yang lebih
tipis dan sedikit otot polos. Karena itu sirkulasi pulmonar lebih mudah
teregang dan resistensinya terhadap aliran darah lebih kecil. Besarnya
tekanan dalm sirkulasi pulmonar kira-kira seperlima tekanan dalam
sirkulasi sistemik. Dinding-dinding pembuluh darah pulmonar jauh
lebih kecil reaksinya terhadap pengaruh otonom dan humoral, namun
perubahan kadar oksigen dan kadar karbondioksida dalam darah dan
alveoli, mampu mengubah aliran darah yang melalui pembuluh
pulmonar. Perbedaan-perbedaan ini membuat sirkulasi pulmonar
benar-benar pas untuk memenuhi fungsi fisiologisnya yaitu untuk
mengambil oksigen dan melepaskan karbondioksidanya (Sylvia A.
Price, 2008).
4. Klasifikasi
New York Health Association (NYHA) membuat klasifikasi
fungsional dalam 4 kelas yaitu :
1) Grade 1, Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa
keluhan.
2) Grade 2, Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat
dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
3) Grade 3, Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan.
4) Grade 4, Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring.
5. Patofisiologi (WOC)
Kelainan miokardium
Kontraktilitas jantung
menurun
Tidak dapat
mengakomodasi semua
darah yang secara normal
MK : Penurunan Beban jantung kembali dari sirkulasi vena
curah jantung meningkat
6. Manifestasi Klinis
a. Dispnea
Dispnea atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang
paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan
kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi
kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea.
b. Batuk
Batuk nonproduktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti
paru-paru terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronkhi akibat
transudasi cairan paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronchial sekunder
dari distensi vena.
c. Kesulitan menelan
Kesulitan menelan disebabkan oleh distensi atrium atau vena
pulmonalis.
d. Peningkatan JVP
Peningkatan JVP disebabkan kegagalan ke belakang pada sisi
jantung kanan.
e. Edema perifer
Edema perifer terjadi sekunder terhadap penimbunan cairan
pada ruang-ruang interstisial.
f. Nokturia
Nokturia disebabkan oleh redsistribuisi cairan dan reabsorpsi
pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal
pada waktu istirahat.
g. Kulit pucat dan dingin
Diakibatkan oleh vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut
dari curah jatung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi
mengakibatkan sianosis.
24
7. Komplikasi
Menurut Patrick Davey, 2006 :
a. Tromboemboli : risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam
atau DVT (deep venous thrombosis) dan emboli paru atau EP) dan
emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan
dengan pemberian warfarin.
b. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi
pemantauan denyut jantung (dengan pemberian digoksin/bloker β) dan
pemberian warfarin.
27
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG : Hipertropi atrial atau ventrikular, penyimpangan aksis, iskemia,
dan kerusakan pola mungkin terlihat. Pasien gagal jantung jarang
dengan EKG normal, dan bila terdapat EKG normal dianjurkan untuk
meneliti diagnosis gagal jantung tersebut (Doengues, 2000). EKG
sangat penting dalam menentukan irama jantung. Irama sinus atau
atrium fibrilasi, gelombang mitral yaitu gelombang P yang melebar
serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung
tampak gambaran atrium fibrilasi. MI lama, hipertrofi ventrikel kiri
(LVH, misalnya pada hipertensi, stenosis aorta). Gambaran EKG yang
normal sangat jarang dijumpai pada CHF. Aritmia, misalnya fibrilasi
atrium (Patrick Davey, 2006).
7. Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram dopple) : Dapat
menunjukan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktilitas ventricular
(Doengues, 2000).
8. Scan Jantung: (Multigated acquiaition [MUGA]) : Tindakan
penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding (Doengues,
2000).
9. Kateterisasi Jantung dan Sine Angiografi : Tekanan abnormal
merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi
kanan versus sisi kiri, dan stenosis katup atau insufisiensi. Juga
mengkaji patensi arteri koroner. Zat kontras disuntikan dalam ventrikel
menunjukan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan
28
9. Penatalaksanaan / Therapy
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi
beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama
dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,dan 3) beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis,
miksedema, dan aritmia.
30
2) Digitalis
Dosis digitalis :
(1) Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5–2 mg dalam 4-6
dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4
hari
(2) Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
(3) Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
1. Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg
sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis
disesuaikan.
2. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
3. Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal
akut yang berat :
(1) Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
(2) Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
4. Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik
dan vasodilator.
5. Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol (Mansjoer,
Arif dkk : 2007)
Menurut Patrick Davey, 2006 :
a. Terapi Umum : obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada.
Kurangi asupan garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat
badan setiap hari. Obati faktor risiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
b. Diuretik : adalah dasar untuk terapi simptomatik. Dosisnya harus
cukup besar untuk menghilangkan edema paru dan/atau perifer. Efek
samping utama adalah hypokalemia (berikan suplemen K+ atau
diuretik hemat kalium, seperti amilorid). Spironolakton, suatu diuretik
hemat kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada
CHF berat.
31
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam
menangani masalah-masalah pasien sehingga dapat menetukan tindakan
keperawatan yang tepat (Muttaqin, 2008). Yang harus dikaji pada pasien
dengan gagal jantung menurut Brunner & Suddarth (2002) yaitu :
a. Identitas
l. Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, alamat, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, dan pekerjaan.
m. Identitas penanggung jawab : nama, hubungan dengan klien,
pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Riwayat Masuk Rumah Sakit
1) Keluhan Utama
Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat), palpitasi
atau jantung berdebar-debar, paroxymal nocturnal dyspnea (PND)
atau orthopnea, sesak nafas saat beraktivitas, batuk (hemoptoe),
letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan), insomnia, kaki bengkak
dan berat badan bertambah, serangan timbul mendadak/sering
kambuh.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada pengkajian awal ditemukan adanya suara nafas
wheezing dan krekel, suara jantung S3 dan S4, edema pada
ekstremitas, distensi vena jugularis dan oliguria.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji riwayat penyakit yang pernah diderita klien dengan
menanyakan sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada,
hipertensi, iskemia miokardium, diabetes mellitus, dan
hyperlipidemia. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa
diminum oleh klien pada masa yang lalu dan masih relevan dengan
33
4) Eliminasi
Tanda : Penurunan berkemih, urine berwarna gelap
Berkemih malam hari (nokturia)
Diare/Konstipasi
5) Makanan / Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan
Mual/muntah
Penambahan berat badan secara signifikan
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Pakaian/sepatu terasa sesak
Diet tinggi garam/ makanan yang telah diproses
Peggunaan diuretik
Tanda : Penambahan berat badan cepat
Distensi abdomen (asites), edema
6) Higiene
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama beraktivitas
Perawatan diri
Tanda : Penampilan menandakan kelainan perawatan
personal
7) Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan
Tanda : Letargi, kusut pikir, disorientasi
Perubahan perilaku, mudah tersinggung
8) Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut maupun kronis.
Nyeri abdomen kanan atas ( AkaA )
Sakit pada otot
35
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau
potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
36
3. Intervensi Keperawatan
Setelah mengidentifikasi diagnosa keperawatan dan kekuatannya,
langkah berikutnya adalah perencanaan asuhan keperwatan. Pada langkah ini,
37
perawat menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien serta
mencapai tujuan dan kriteria hasil. (Perry dan Potter, 2010).
Intervensi keperawatan adalah sesuatu yang telah dipertimbangakan
secara mendalam, tahap yang sistematis dari proses keperawatan meliputi
kegiatan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah (Potter & Perry,
2005). Dalam perencanaan keperawatan, perawat menetapkannya berdasarkan
hasil pengumpulan data dan rumusan diagnosa keperawatan yang meruapakan
petunjuk dalam membuat tujuan dan asuhan keperawatan untuk mencegah,
menurunkan, atau mengeliminasi masalah kesehatan klien (Efendy, 2007).
Perencanaan keperawatan adalah rencana keperawatan yang akan
penulis rencanakan pada klien sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan
sehingga kebutuhan klien dapat terpenuhi (Wilkinson, 2011). Dalam teori
perencanaan keperawatan ditulis sesuai dengan rencana dan kriteria hasil
berdasarkan Nursing Intervension Classification (NIC) dan Nursing Outcomes
Classification(NOC).
38
Intervensi Keperawatan
Sumber : (Nanda Nic Noc 2013) (Joanne, 1996) (Doengoes, 2010) (Johnson et al, 2014) (McCloskey et al, 2014) (Wilkinson, 2012)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang merupakan komponen dari proses
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tindakan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005). Implementasi
menuangkan rencana asuhan kedalam tindakan. Setelah rencana
dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien, perawat
melakukan intervensi keperawatan spesifik, yang mencakup tindakan perawat.
Rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi. Tujuan dari
implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan
baik yang dilakukan secara mendiri maupun kolaborasi dan rujukan.
(Bulechek & McCloskey, 1995: dikutip dari Potter, 2005).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai berdasarkan tujuan yang
telah dibuat dalam perencanaan keperawatan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi
yang digunakan berbentuk S (subyektif), O (obyektif), A (analisis), dan P
(perencanaan terhadap analisis).
Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Tahap
akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan
melihat perkembangan klien. Evaluasi klien Decompensasi Cordis dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan (Carnevari
& Thomas, 1993: dikutip dari Potter, 2005).