Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian


derajat kesehatan yang optimal diantaranya melalui mengurangi angka
kematian dan angka kesakitan dari suatu penyakit, baik yang tergolong
penyakit menular maupun penyakit tidak menular (PTM). Awal abad ke-21,
diperkirakan terjadi peningkatan insiden dan prevalensi PTM (penyakit tidak
menular) secara cepat, yang merupakan tantangan utama masalah kesehatan
dimasa yang akan datang . WHO memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan
menyebabkan 73% kematian di dunia dan Negara berkembang adalah Negara
yang banyak terkena dampaknya (WHO, 2005). Salah satu penyakit yang
tidak menular adalah penyakit jantung atau kardiovaskuler yang timbul akibat
perubahan gaya hidup. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15
juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung setiap tahun, sama
dengan 30% total kematian di dunia (WHO, 2009).
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
yang adekuat, untuk memenuhi kebutuhan jaringan oksigen dan nutrisi
(Brunner and Suddarth, 2002). Penyakit kardiovaskuler tersebut merupakan
penyakit keempat menyebabkan kematian setelah penyakit hipertensi, stroke,
gagal ginjal. Persentase penyakit kardiovaskuler khususnya gagal jantung
yang menyebabkan kematian adalah 27% (Lingamanaicker, 2009).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular yang salah
satunya adalah Decompensasi Cordis masih menduduki peringkat yang cukup
tinggi, ini dibuktikan data dari WHO (World Health Organisation) yang
menunjukkan bahwa insiden penyakit dengan sistem kardiovaskuler terutama
kasus gagal jantung memiliki prevalensi yang cukup tinggi (Rahmawati dalam
Harjani, 2012).
2

Gagal jantung menjadi masalah utama dalam bidang kardiologi karena


bertambahnya jumlah penderita dan kejadian rawat ulang serta kematian dan
kecacatan. Masalah gagal jantung disebabkan : (1) keberhasilan penanganan
serangan akut miokard infark yang berhasil menyelamatkan nyawa namun
kecacatannya menyebabkan gagal jantung (2) bertambahnya jumlah orang
yang mencapai usia lanjut sedangkan pada usia lanjut akan terjadi gagal
jantung karena perjalanan usia (3) masih tingginya kejadian infeksi di
Indonesia yang dapat meyebabkan penyakit jantung reumatik pasca infeksi
streptococcus beta hemolitikus, infeksi virus yang menyebabkan miokarditis,
infeksi yang menyebabkan endokarditis serta tuberkulosis yang menyebabkan
perikarditis tuberkulosa (4) masih seringnya ditemukan faktor-faktor resiko
penyakit jantung koroner seperti banyaknya perokok, diabetes,
hiperkolesterolemia, hipertensi, dan obesitas. Indonesia ikut dalam pendataan
international multi senter pada tahun 2006. Acute Decompensated Heart
Failure Registry adalah suatu pendataan international menggunakan web yang
mendata pasien dengan acute decompensated heart failure yang masuk dan
dirawat di unit gawat darurat (Med J Indonesia, 2012).
Dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit (SIRS, Sistem
Informasi Rumah Sakit) menunjukkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi
terjadi pada gagal jantung yaitu sebesar 13,42%. (Riskesdas, 2007). Gagal
jantung (Heart Failure) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang
menjadi masalah serius di dunia. Di dunia, gagal jantung telah melibatkan
setidaknya 23 juta penduduk. Dari hasil penelitian pada tahun 2009
menunjukkan angka kematian dalam 5 tahun terakhir sebesar 62 % pada pria
dan 42% pada wanita, berdasarkan data di Amerika terdapat 3 juta penderita
decompensasi cordis dan setiap tahunnya bertambah dengan 400.000 orang.
American Heart Association (AHA) melaporkan bahwa terdapat 5,8 juta
orang dengan gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2010 dan juga
terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di seluruh dunia (Ramachandran,
2010). Sekitar 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika (1,5-2% dari
total populasi), dengan tingkat insiden 550.000 kasus per tahun. Dari sejumlah
3

pasien tersebut, hanya 0,4-2% saja yang mengeluhkan timbulnya gejala


(Irnizarifka, 2011). Sekitar 3-20 per 1000 orang mengalami decompensasi
cordis, angka kejadian decompensasi cordis meningkat seiring pertambahan
usia (100 per 1000 orang pada usia diatas 60 tahun) (Gray dkk, 2008).
Menurut World Health Organisation (WHO, 2007), penyakit
kardiovaskuler akan segera menjadi penyebab terbanyak kasus kematian di
seluruh dunia. Bahkan di Indonesia, penyakit ini telah menjadi pembunuh
nomor satu. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun
1986 yang dilakukan di 7 provinsi dengan menghasilkan prevalensi penyakit
jantung iskemik dan lainnya pada golongan umur 15-24 tahun adalah 18,3 per
100.000 penduduk. Angka ini meningkat dengan tajam pada golongan umur
45-54 tahun, yakni 174,6 per 100.000 penduduk dan 461,9 per 100.000
penduduk pada usia 55 tahun ke atas. Sedangkan kematian yang disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler adalah 17,5 per 100.000 penduduk dengan
kematian yang berkaitan dengan penyakit tersebut adalah 27,4 per 100.000
penduduk. SKRT 1992 mengukuhkan bahwa penyakit kardiovaskuler
merupakan penyakit yang masih menduduki persentase tertinggi yang
menyebabkan kematian (33,2%) (Ruhyanudin, 2007).
Hasil rekam medik di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo, jumlah pasien
baru rawat inap decompensasi cordis mengalami peningkatan dalam tiga
tahun terakhir, yaitu sebanyak 338 pasien pada tahun 2008, 448 pasien pada
tahun 2009, dan sebanyak 595 pasien pada tahun 2010. Di rumah sakit Stella
Maris pasien baru rawat inap dengan gagal jantung juga cukup banyak pada
tahun 2010 yaitu sebanyak 614 pasien. Pernyataan diatas menunjukkan bahwa
kejadian gagal jantung di Indonesia terjadi peningkatan setiap tahunnya
(Riskerdas 2010 dalam vani 2011).
Di provinsi Bengkulu data yang didapat dari rekam medik RSMY
Bengkulu terdapat peningkatan jumlah pasien yang mengalami kejadian
decompensasi cordis dari tahun 2012 hingga tahun 2014, 232 orang pada
tahun 2012 dengan jumlah penderita laki-laki sebanyak 114 orang dan
4

penderita perempuan sebanyak 118 orang, 385 orang pada tahun 2013 dengan
jumlah penderita laki-laki sebanyak 219 orang dan penderita perempuan
sebanyak 166 orang, 405 orang pada tahun 2014 dengan jumlah penderita
laki-laki sebanyak 231 orang dan penderita perempuan sebanyak 174 orang
yang terdiagnosa decompensasi cordis (Medical Record RSUD Dr. M Yunus,
2015).
Gagal jantung merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskular yang
terus meningkat insiden dan prevalensinya. Resiko kematian akibat gagal
jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan
meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Gagal jantung
merupakan penyakit yang paling sering memerlukan pengobatan ulang di
rumah sakit, pengobatan rawat jalan harus dilakukan secara optimal (Miftah,
2004 dalam Scribd 2010).
Perawat sebagai tenaga professional di bidang pelayanan kesehatan
memiliki konstribusi yang besar dalam perawatan kesehatan khususnya klien
dengan gagal jantung kongestif baik saat dirawat, akan pulang dari rumah
sakit. Peran perawat disini dapat menyiapkan discharge planning, yang
dilakukan setelah klien sembuh. Salah satu unsur penting dalam discharge
planning adalah health education atau penyuluhan kesehatan. Penyuluhan
kesehatan pada pasien dengan gagal jantung bertujuan agar dapat belajar dan
mengerti sehingga mampu mengatur aktivitas dan istirahat sesuai respon
individu serta mengerti dan memahami bagaimana upaya untuk
memperlambat perkembangan penyakit dan perkembangan gagal jantung.
Penyuluhan kesehatan dapat efektif dan diterima serta terjadi internalisasi baik
oleh klien maupun keluarga, perawat perlu mengetahui permasalahan-
permasalahan yang dihadapi klien saat dirumah agar kejadian rawat inap
ulang dapat diminimalkan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Survei yang dilakukan di rumah sakit M. Yunus Bengkulu dalam
penanganan pasien dalam melakukan asuhan keperawatan dimana asuhan
keperawatan yang ada meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan hanya berfokus dalam pemberian
5

obat saja tanpa melakukan pemeriksaan fisik secara utuh dengan pasien,
sehingga sulit bagi pasien untuk mencapai kesembuhan yang optimal. Maka
dari itu dalam kasus ini penulis ingin melakukan tindakan keperawatan
holistik yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Decompensasi Cordis Di Ruang ICCU RSUD M. Yunus Bengkulu Tahun
2016”.

B. Batasan Masalah
Ruang lingkup penulisan makalah ini terbatas pada pemberian asuhan
keperawatan pada pasien dengan decompensasi cordis di Ruang ICCU RSUD
M. Yunus Bengkulu meliputi tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada klien dengan
decompensasi cordis secara komprehensif meliputi aspek biologis,
psikososial, sosial, dan spiritual.
2. Tujuan Khusus
Melalui pendekatan proses keperawatan aspek biologis, psikologis,
sosial, dan spiritual diharapkan mahasiswa :
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian terhadap klien dengan
decompensasi cordis.
b. Mendeskripsikan perumusan diagnosa keperawatan sesuai dengan
prioritas masalah pada pasien dengan decompensasi cordis.
c. Mendeskripsikan perencanaan dan rasional dalam praktek nyata sesuai
dengan masalah yang diprioritaskan pada pasien dengan decompensasi
cordis.
d. Mendeskripsikan implementasi dalam praktek nyata sesuai dengan
masalah yang diprioritaskan pada pasien dengan decompensasi cordis.
6

e. Mendeskripsikan evaluasi hasil dari tindakan yang telah dilaksanakan


pada pasien dengan decompensasi cordis.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu menerapkan konsep pembelajaran teoritis ke
dalam proses pemberian asuhan keperawatan yang tepat pada klien
dengan decompensasi cordis.
2. Bagi Keluarga
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam
merawat anggota keluarga dengan dengan decompensasi cordis.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan / Rumah Sakit
Dapat memberikan informasi tentang penerapan asuhan
keperawatan yang tepat pada pasien decompensasi cordis.
Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan
praktek pelayanan keperawatan khusunya dengan decompensasi cordis.
4. Bagi Akademik / Profesi Keperawatan
Dapat memberikan masukan bagi mahasiswa perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang tepat dengan decompensasi cordis
dan laporan studi kasus ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
informasi tentang asuhan keperawatan pada klien dengan decompensasi
cordis.
7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi
Decompensatio cordis atau gagal jantung, sering juga disebut
gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan
nutrisi (Brunner and Suddarth, 2002: 805). Gagal jantung adalah sindrom
klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik
(saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur
atau fungsi jantung. Gagal jantung dapat disebabkan oleh gangguan yang
mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel (disfungsi
diastolik) dan/atau kontraktilitas miokardial (disfungsi sistolik) (Sudoyo
Aru,dkk 2009).
Decompensasi Cordis adalah ketidakmampuan jantung
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan
kebutuhan oksigen jaringan (Doenges, 2000: 48). Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa Decompensasi Cordis adalah
ketidakmampuan jantung memompa darah keseluruh tubuh untuk
memenuhi metabolisme tubuh, sehingga terjadi defisit penyaluran O2 ke
organ-organ tubuh lainnya.

2. Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth gagal jantung dapat disebabkan oleh :
a. Kelainan otot jantung : gagal jantung paling sering terjadi pada
penderita kelainan otot jantung, menyebabkan menurunnya
kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
8

fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan


penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
b. Aterosklerosis koroner : mengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan
asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium
(kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
c. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) :
meningkatkan beban kerja jantung dan mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap
sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan
kontraktilitas jantung. Hipertrofi otot jantung tidak dapat berfungsi
secara normal, dan akhirnya akan terjadi gagal jantung.
d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif : berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
e. Penyakit jantung lain : gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung
mempengaruhi jantung. Mekanisme yang biasanya terlihat mencakup
gangguan aliran darah melalui jantung (misalnya stenosis katup
semilunar), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (misalnya
tamponade perikardium, perikarditis konstriktif, atau stenosis katup
AV). Peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan
darah sistemik (hipertensi “Maligna”) dapat menyebabkan gagal
jantung meskipun tidak ada hipertrofi miokardial.
f. Faktor sistemik : Meningkatnya laju metabolisme (misalnya demam,
tirotoksikosis), hipoksia, dan anemia memerlukan peningkatan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau
anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
(respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit dapat
menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia jantung yang dapat
9

terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder akibat gagal jantung


menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.

3. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Jantung

(Sloane, 1994)

a. Anatomi Jantung
Jantung terletak dalam mediastinum di rongga dada, yaitu
diantara kedua paru-paru. Perikardium meliputi jantung terdiri dari 2
lapisan: lapisan dalam disebut pericardium viseralis dan lapisan luar
disebut pericardium parietalis. Kedua lapisan pericardium ini
dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang berfungsi mengurangi
gesekan pada gerakan memompa jantung itu sendiri. Perikardium
parietalis melekat pada tulang dada di sebelah depan, pada kolumna
vetebralis di sebelah belakang, dan ke bawah pada diafragma.
perikardium viseralis langsung melekat pada permukaan jantung.
Jantung terdiri dari tiga lapisan. Lapisan terluar disebut epicardium,
lapisan tengah merupakan lapisan otot yang disebut miokardium,
sedangkan lapisan terdalam yaitu lapisan endotel disebut endokaridum
(Sylvia A. Price, 2008).
10

Ruangan jantung bagian atas, atrium, secara anatomi terpisah


dari ruangan jantung sebelah bawah ventrikel, oleh suatu annulus
fibrosus. Keempat katup jantung terletak dalam cincin ini. Secara
fungsional jantung dibagi menjadi alat pompa kanan dan alat pompa
kiri, yang memompa darah vena menuju sirkulasi paru-paru, darah
bersih ke peredaran darah sistemik. Pembagian fungsi ini
mempermudah konseptualisasi dari urutan aliran darah secara anatomi
: vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, arteria pulmonalis, paru-
paru, vena pulmonalis, atrium kiri, ventrikel kiri, aorta, arteria,
arteriola, kapiler, venula, vena, vena kava (Sylvia A. Price, 2008).

Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu :

1) Atrium Kanan
Atrium kanan yang tipis dindingnya ini berfungsi sebagai
tempat penyimpanan darah, dan sebagai penyalur darah dari vena-
vena sirkulasi sistemik ke dalam ventrikel kanan dan kemudian
paru-paru. Darah yang berasal dari pembuluh vena ini masuk
kedalam atrium kanan melalui vena kava superior, inferior, dan
sinus koronarius (Sylvia A. Price, 2008).

2) Ventrikel Kanan
Pada kontraksi ventrikel, tiap ventrikel harus menghasilkan
kekuatan yang cukup besar untuk dapat memompakan darah yang
diterima dari atrium ke sirkulasi pulmonari ataupun sirkulasi
sistemik. Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit yang unik, guna
menghasilkan kontraksi bertekanan rendah, yang cukup untuk
mengalirkan darah ke dalam arteria pulmonalis. Sirkulasi pulmonal
merupakan sistem aliran darah bertekanan rendah, dengan
resistensi yang jauh lebih kecil terhadap aliran darah dari ventrikel
kanan, dibandingkan tekanan tinggi sirkulasi sistemik terhadap
aliran darah dari ventrikel kiri. Karena itu beban kerja dari
11

ventrikel kanan jauh lebih ringan daripada ventrtikel kiri.


Akibatnya tebal dinding ventrikel kanan hanya sepertiga dari tebal
dinding ventrikel kiri (Sylvia A. Price, 2008).

3) Atrium Kiri
Atrium kiri menerima darah yang sudah dioksigenasi dari
paru-paru melalui keempat vena pulmonalis. Antara vena
pulmonalis dan atrium kiri tidak ada katup sejati. Karena itu,
perubahan tekanan dalam atrium kiri mudah sekali membalik
retrograde ke dalam pembuluh paru-paru. Peningkatan tekanan
atrium kiri yang akut menyebabkan bendungan paru-paru. Atrium
kiri berdinding tipis dan betekanan rendah. Darah mengalir dari
atrium kiri ke dalam ventrikel kiri melalui katup mitralis.

4) Ventrikel Kiri
Ventrikel kiri harus menghasilkan tekanan yang cukup
tinggi untuk mengatasi tahanan sirkulasi sistemik, dan
mempertahankan aliran darah ke jaringan-jaringan perifer.
Ventrikel kiri mempunyai otot-otot tebal dan bentuknya yang
menyerupai lingkaran, mempermudah pembentukan tekanan yang
tinggi selama ventrikel berkontraksi. Sekat pembatas kedua
ventrikel (septum interventrikularis) juga membantu memperkuat
tekanan yang ditimbulkan oleh seluruh ventrikel pada kontraksi
(Sylvia A. Price, 2008).

b. Katup Jantung

Katup jantung memungkinkan darah mengalir hanya ke satu


arah dalam jantung. Katup yang tersusun atas bilah-bilah jaringan
fibrosa, membuka dan menutup secara pasif sebagai respons terhadap
perubahan tekanan dan aliran darah.
12

Keempat katup jantung berfungsi mempertahankan aliran darah


searah melalui bilik-bilik jantung. Ada dua jenis katup : katup
atrioventrikuler (AV), yang memisahkan atrium dengan ventrikel, dan
katup semilunaris, yang memisahkan arteria pulmonalis dan aorta dari
ventrikel yang bersangkutan. Katup-katup ini membuka dan menutup
secara pasif, menanggapi perubahan tekanan dan volume dalam bilik-
bilik jantung dan pembuluh darah (Sylvia A. Price, 2008).

1) Katup Atrioventrikularis

Katup atrioventrikularis adalah katup yang memisahkan


atrium dan ventrikel. Katup trikuspidalis, dinamakan demikian
karena tersusun atas tiga kuspis atau daun, memisahkan atrium
kanan dan ventrikel kanan. Katup mitral atau bikuspidalis (dua
kuspis) terletak diantara atrium dan ventrikel kiri. Daun-daun
katup atrioventrikularis halus tetapi tahan lama. Katup trikuspidalis
yang terletak antara atrium dan ventrikel kanan mempunyai tiga
buah daun katup. Katup mitralis memisahkan atrium dan ventrikel
kiri, dengan dua buah daun katup (Sylvia A. Price, 2008).
2) Katup Semilunaris

Katup semilunaris terletak diantara tiap ventrikel dan arteri


yang bersangkutan. Katup antara ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis disebut katup pulmonalis, katup antara ventrikel kiri
dan aorta dinamakan katup aorta. Katup semilunaris normalnya
tersusun atas tiga kuspis, yang berfungsi dengan baik tanpa otot
papilaris dan kedua tendinea. Tidak terdapat katup antara vena-
vena besar dengan atrium. Kedua katup semilunaris sama
bentuknya, terdiri dari tiga daun katup simetris menyerupai corong,
yang tertambat dengan kuat pada annulus fibrosus. Katup aorta
terletak antara ventrikel kiri dan aorta, sedangkan katup pulmonalis
terletak antara ventrikel kanan dan arteria pulmonalis. Katup
13

semilunaris mencegah aliran kembali darah dari aorta atau arteria


pulmonalis ke dalam ventrikel, sewaktu ventrikel dalam keadaan
istirahat (Sylvia A. Price, 2008).

Tepat diatas daun katup aorta, terdapat tiga kantung yang


menonjol dinding aorta dan arteria pulmonalis, yang disebut sinus
Valsava. Muara arteria koronaria terletak didalam kantung-kantung
tersebut (Sylvia A. Price, 2008).

c. Arteri Koronaria

Arteri koronaria adalah pembuluh yang menyuplai otot


jantung, yang mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap
oksigen dan nutrisi. Jantung menggunakan 70% - 80% oksigen yang
dihantarkan melalui arteri koronaria. Arteri koronaria muncul dari
aorta dekat hulunya di ventrikel kiri. Dinding sisi kiri jantung disuplai
dengan bagian yang lebih banyak melalui arteri koronaria utama kiri,
yang kemudian terpecah menjadi dua cabang besar ke bawah (arteri
desenden anterior sinistra) dan melintang (arteri sirkumfleksa) sisi kiri
jantung.

d. Otot Jantung

Jaringan otot khusus yang menyususn dinding jantung


dinamakan otot jantung. Secara mikroskopis, otot jantung mirip otot
serat lurik (skelet), yang berada dibawah kontrol kesadaran. Namun
secara fungsional otot jantung menyerupai otot polos karena sifatnya
volunter.

e. Sistem Hantaran Jantung / Konduksi Jantung


Anulus fibrosus diantara atria dan ventrikula memisahkan
ruangan-ruangan ini baik secara anatomis maupun elektris. Untuk
menjamin rangsang ritmik dan sinkron, serta kontraksi otot jantung,
14

terdapat jalur konduksi khusus dalam miokardium. Jaringan konduksi


ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1) Otomatisasi : kemampuan menghasilkan impuls secara spontan
2) Ritmisasi : pembangkitan impuls yang teratur
3) Konduktivitas : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4) Daya rangsang : kemampuan untuk menanggapi stimulasi

Impuls jantung biasanya dimulai dan berasal dari nodus


sinoatrialis (SA). Nodus SA ini sebagai pemacu alami dari jantung.
Nodus sinoatrial (SA), yang terletak antara sambungan vena kava
superior dan atrium kanan, adalah awal mula sistem hantaran berfungsi
sebagai pacu jantung ke seluruh miokardium. Nodus SA memulai
sekitar 60 sampai 100 impuls permenit pada saat jantung normal
istirahat, dan dapat berubah frekuensinya sesuai kebutuhan tubuh
(Sylvia A. Price, 2008).

Impuls dari jantung kemudian menyebar dari nodus SA menuju


sistem penghantar khusus atrium dan ke otot atrium. Suatu jalur antar
atrium, yaitu berkas Bachmann, mempermudah penyebaran impuls
dari atrium kanan ke atrium kiri. Jalur intermodal-jalur anterior, tengah
dan posterior menghubungkan nodus SA dengan nodus
atrioventrikularis (Sylvia A. Price, 2008).

Impuls listrik kemudian mencapai nodus atrioventrikularis


(AV). Nodus atrioventrikularis (AV) terletak di atas septum
interventrikularis dalam atrium kanan dekat katup trikuspidalis dan
muara sinus koronaria dengan kecepatan intrinsik sekitar 40-60 impuls
per menit. Nodus AV berkoordinasi dengan impuls listrik yang datang
dari atrium, dan setelah sedikit perlambatan, dan akan
menghantarkannya ke ventrikel (Sylvia A. Price, 2008).
Gelombang rangsangan listrik menyebar dari nodus AV
menuju berkas His, suatu berkas serabut yang tebal yang menjulur
15

kebawah disebelah kanan septum interventrikularis. Impuls tersebut


akan dihantarkan melalui suatu bundel serabut otot khusus (bundle his)
yang berjalan di dalam septum yang memisahkan ventrikel kanan dan
kiri. Bundel his akan bercabang menjadi budel kanan dan kiri, yang
berjalan ke bawah di kiri kanan septum interventrikularis. Cabang kiri
bercabang lagi menjadi dua, yaitu cabang anterior yang tipis dan satu
cabang posterior yang tebal. Cabang-cabang ini berakhir sebagai
jalinan serabut yang kompleks, dikenal dengan sebutan sistem
purkinje, yang menyebar ke seluruh permukaan dalam kedua ventrikel
jantung. Penyebaran gelombang rangsang melalui serabut purkinje ini
berjalan dengan cepat. Bundel kanan menyebar ke otot ventrikel
kanan. Bundel kiri memisah lagi menjadi cabang bundle anterior
sinistra dan posterior sinistra, yang kemudian menyebar ke otot
ventrikel kiri (Sylvia A. Price, 2008).

f. Sirkulasi Sistemik
Sifat-sifat struktural dari setiap bagian sistem sirkulasi darah
sistemik menentukan peran fisiologisnya dalam integrasi fungsi
kardiovaskular. Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga bagian :
lapisan terluar disebut tunika adventisia, bagian tengah yang berotot
disebut tunika media, sedangkan bagian terdalam, yaitu lapisan
endotelnya disebut tunika intima. Sirkulasi sistemik dapat dibagi
menjadi lima, dipandang dari sudut anatomi dan fungsi : (1) arteria, (2)
arteriola, (3) kapiler, (4) venula dan (5) vena (Sylvia A. Price, 2008).
1) Arteria

Dinding aorta dan arteria besar mengandung banyak


jaringan elastis dan sebagian otot polos. Ventrikel kiri memompa
darah masuk ke dalam aorta dengan tekanan tinggi. Dorongan
darah secara mendadak ini meregang dinding arteria yang elastis
tersebut, selama ventrikel beristirahat maka kembalinya dinding
16

yang elastis tersebut pada keadaan semula, akan mememompa


darah ke depan, ke seluruh sistem sirkulasi (Sylvia A. Price, 2008).

2) Arteriola
Dinding arteriola terutama terdiri dari otot polos dengan
sedikit serabut elastis. Dinding berotot ini sangat peka dan dapat
berdilatasi atau berkontraksi untuk mengatur aliran darah ke
jaringan kapiler. Pada persambungan antara arteriola dan kapiler
terdapat sfingter prekapiler yang berada di bawah pengaturan
fisioligis yang cukup rumit (Sylvia A. Price, 2008).

3) Kapiler
Dinding pembuluh kapiler sangat tipis, terdiri dari satu
lapis sel endotel. Melalui membran yang tipis dan semipermiabel
inilah nutrisi dan metabolisme berdifusi dari daerah yang tinggi
konsentrasinya menuju daerah yang lebih rendah konsentrasinya.
Dengan demikian oksigen dan nutrisi akan meninggalkan
pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstisial dan sel.
Karbondioksida dan metabpolit berdifusi ke arah yang berlawanan
(Sylvia A. Price, 2008).

4) Venule
Venula berfungsi sebagai saluran pengumpul dengan
dinding otot yang relatif lemah namun peka. Pada pertemuan
antara kalpiler dan venula terdapat sfingter postkapiler (Sylvia A.
Price, 2008).

5) Vena
Vena adalah saluran yang berdinding relatif tipis, dan
berfungsi menyalurkan darah dari jaringan kapiler melalui sistem
vena, masuk ke atrium kanan (Sylvia A. Price, 2008).
17

Gambar 2.2 Anatomi Pembuluh Darah (Sherwood, 2003)

g. Sirkulasi Koroner
Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan
oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliput seluruh permukaan
jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-
cabang intramiokardial yang kecil-kecil. Untuk mengetahui akibat-
akibat dari penyakit jantung koroner, kita harus mengenal terlebih
dahulu distribusi arteria koronaria ke otot jantung dan sistem
penghantar. Morbiditas dan mortalitas pada infark miokardia
tergantung pada derajat gangguan fungsi yang ditimbulkannya, baik
mekanis maupun elektris (Sylvia A. Price, 2008).
h. Arteri Koronaria
Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik.
Muara arteri koronaria ini terdapat didalam sinus valsava dalam aorta,
tepat diatas katup aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari : arteri koronaria
kanan dan kiri. Arteri koronaria kiri mempunyai dua cabang besar,
arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleksa kiri (Sylvia A.
Price, 2008).
18

i. Sirkulasi Pulmonar
Pembuluh pulmonar mempunyai dinding-dinding yang lebih
tipis dan sedikit otot polos. Karena itu sirkulasi pulmonar lebih mudah
teregang dan resistensinya terhadap aliran darah lebih kecil. Besarnya
tekanan dalm sirkulasi pulmonar kira-kira seperlima tekanan dalam
sirkulasi sistemik. Dinding-dinding pembuluh darah pulmonar jauh
lebih kecil reaksinya terhadap pengaruh otonom dan humoral, namun
perubahan kadar oksigen dan kadar karbondioksida dalam darah dan
alveoli, mampu mengubah aliran darah yang melalui pembuluh
pulmonar. Perbedaan-perbedaan ini membuat sirkulasi pulmonar
benar-benar pas untuk memenuhi fungsi fisiologisnya yaitu untuk
mengambil oksigen dan melepaskan karbondioksidanya (Sylvia A.
Price, 2008).

4. Klasifikasi
New York Health Association (NYHA) membuat klasifikasi
fungsional dalam 4 kelas yaitu :
1) Grade 1, Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa
keluhan.
2) Grade 2, Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat
dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
3) Grade 3, Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan.
4) Grade 4, Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring.

Klasifikasi menurut gejala dan intensitas gejala (Morton, 2012) :


1) Gagal jantung akut
Timbulnya gejala mendadak, biasanya selama beberapa hari atau
beberapa jam .
19

2) Gagal jantung kronik


Perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun dan menggambarkan keterbatasan kehidupan sehari-hari.
Klasifikasi gagal jantung menurut letaknya (Morton, 2012) :
1) Gagal jantung kiri merupakan kegagalan ventrikel kiri untul
mengisi atau mengosongkan dengan benar dan dapat lebih lanjut
diklasifikasikan menjadi disfungsi sistolik dan diastolik.
2) Gagal jantung kanan merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk
memompa secara adekuat. Penyebab gagal jantung kanan yang
paling sering terjadi adalah gagal jantung kiri, tetapi gagal jantung
kanan dapat terjadi dengan adanya ventrikel kiri benar-benar
normal dan tidak menyebabkan gagal jantung kiri. Gagal jantung
kanan dapat juga disebabkan oleh penyakit paru dan hipertensi
arteri pulmonary primer.
Menurut derajat sakitnya (Morton, 2012) :
1) Derajat 1 : Tanpa keluhan - Pasien masih bisa melakukan aktivitas
fisik sehari-hari tanpa disertai kelelahan ataupun sesak nafas.
2) Derajat 2 : Ringan – aktivitas fisik sedang menyebabkan kelelahan
atau sesak nafas, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan
pun hilang.
3) Derajat 3 : Sedang – aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan
atau sesak nafas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas
dihentikan.
4) Derajat 4 : Berat – tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-
hari, bahkan pada saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin
berat jika melakukan aktivitas walaupun aktivitas ringan.
20

5. Patofisiologi (WOC)

Penyebab decompensasi cordis atau gagal jantung menurut Smeltzer


(2001), yaitu mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal, bila curah jantung berkurang sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai maka volume sekuncup harus menyesuaikan
diri untuk mempertahankan curah jantung. Tetapi pada gagal jantung
masalah utamanya adalah kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung
dan volume sekuncup itu dipengaruhi tiga faktor yaitu preload,
kontraktilitas dan afterload, jika salah satu dari ketiga faktor tersebut
terganggu maka curah jantungnya akan berkurang. Curah jantung yang
menurun menyebabkan kongesti jaringan yang terjadi akibat peningkatan
tekanan arteri atau vena kongesti paru terjadi karena ventrikel kiri gagal
memompa darah dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke paru, manifestasinya meliputi dispnea,
batuk, mudah lelah, takikardi, bunyi jantung S3, kecemasan dan
kegelisahan. Bila ventrikel kanan gagal mengakibatkan kongesti visera dan
jaringan perifer, sebagai akibat sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan darah secara adekuat. Manifestasinya yaitu edema dependen,
hepatomegali, pertambahan berat badan, asites, distensi vena jugularis.
Menurut Nettina (2002), penurunan kontraktilitas miokardium, pada
awalnya hal ini hanya timbul saat aktivitas berat atau olah raga dan
tekanan vena juga mulai meningkat dan terjadilah vasokontriksi luas, hal
ini kemudian meningkatkan afterload sehingga curah jantung semakin
turun. Menurut Hudak (1997), respon terhadap penurunan curah jantung
untuk mempertahankan perfusi normal yaitu peningkatan tonus otot
simpatis sehingga meningkatkan frekuensi jantung, tekanan darah,
kekuatan kontraksi dan respon fisiologis kedua adalah terjadinya retensi
air dan natrium, akibat adanya penurunan volume darah filtrasi.
21

Patofisiologi decompensasi cordis/gagal jantung menurut Price,


(1995) adalah sebagai berikut:
a. Gagal jantung kiri
Kegagalan dari pemompaan ventrikel kiri mengakibatkan curah
jantung menurun. Akibat ke depan menimbulkan gejala kelemahan
atau kelelahan. Sedangkan akibat ke belakang mengakibatkan toleran
dan volume akhir diastole meningkat sehingga terjadi bendungan vena
pulmonalis, kemudian terjadi di paru-paru. Akibat adanya sisa tekan di
ventrikel kiri mengakibatkan rangsang hipertrofi sel yang
menyebabkan kardiomegali. Beban atrium kiri meningkat dan
akhirnya terjadi peningkatan beban vena pulmonalis, kemudian
mendesak paru-paru dan akhirnya terjadi oedema. Hemoptisis dapat
terjadi pada dekompensasi kordis karena dinding kapiler jantung
sangat tipis dan rentan sehingga dapat mengakibatkan perdarahan.
b. Gagal jantung kanan
Gangguan pompa ventrikel kanan mengakibatkan aliran darah
ke paru-paru menurun mengakibatkan curah jantung menurun.
Tekanan dan volume akhir diastol ventrikel meningkat sehingga terjadi
bendungan di atrium kanan yang mengakibatkan bendungan vena
kava. Akibat bendungan di vena kava maka aliran vena hepatikum,
vena dari limpa terbendung akhirnya timbul hepatosplenomegali,
asites, edema perifer terutama kaki.
22

Gambar 2.3 WOC Decompensasi Cordis (Smeltzer,2001; Nettina,2002; Hudak,1997;


Sudoyo Aru dkk,2009)

Kelainan miokardium

Kontraktilitas jantung
menurun

Tidak dapat
mengakomodasi semua
darah yang secara normal
MK : Penurunan Beban jantung kembali dari sirkulasi vena
curah jantung meningkat

Retensi cairan Pembesaran


Gagal jantung pada vena di
ekstremitas
abdomen
bawah

Gagal pompa Backward Gagal pompa


ventrikel kiri failure ventrikel kanan Anoreksia
Pitting edema dan mual
Tekanan diastol
Forward LVED naik
naik
failure
MK :
Tekanan Vena Bendungan Kerusakan
pulmonalis naik atrium kanan
Suplai darah Suplai O2 Renal flow integritas kulit
ke jaringan otak turun
menurun Tekanan Kapiler Bendungan vena
paru naik sistemik MK :
RAA
sinkop Ketidakseimbang
meningkat
Metabolisme an nutrisi kurang
anaerob Edema
paru lien dari kebutuhan
hepar
Aldosteron tubuh
MK : meningkat
Asidosis Perubahan Ronkhi
metabolik perfusi splenomegali
basah hepatomegali
jaringan
ADH
Peningkatan meningkat Iritasi mukosa
asam laktat & paru
ATP menurun Mendesak MK :
Retensi diafragma Nyeri
Na dan Refleks
H2O batuk
fatigue
Sesak napas
MK :
MK : Kelebihan Edema Ansietas
volume cairan paru
MK : Intoleransi MK : Pola napas
aktivitas tidak efektif MK : Defisit perawatan
MK :
Ketidakefektifan diri
Penumpukan
bersihan jalan MK : Gangguan
sekret
napas pertukaran gas
23

6. Manifestasi Klinis
a. Dispnea
Dispnea atau perasaan sulit bernafas adalah manifestasi yang
paling umum dari gagal jantung. Dispnea disebabkan oleh peningkatan
kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru-paru yang mengurangi
kelenturan paru-paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga
menimbulkan dispnea.
b. Batuk
Batuk nonproduktif juga dapat terjadi sekunder dari kongesti
paru-paru terutama pada posisi berbaring. Terjadinya ronkhi akibat
transudasi cairan paru-paru adalah ciri khas dari gagal jantung.
Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronchial sekunder
dari distensi vena.
c. Kesulitan menelan
Kesulitan menelan disebabkan oleh distensi atrium atau vena
pulmonalis.
d. Peningkatan JVP
Peningkatan JVP disebabkan kegagalan ke belakang pada sisi
jantung kanan.
e. Edema perifer
Edema perifer terjadi sekunder terhadap penimbunan cairan
pada ruang-ruang interstisial.
f. Nokturia
Nokturia disebabkan oleh redsistribuisi cairan dan reabsorpsi
pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal
pada waktu istirahat.
g. Kulit pucat dan dingin
Diakibatkan oleh vasokontriksi perifer, penurunan lebih lanjut
dari curah jatung dan meningkatnya kadar hemoglobin tereduksi
mengakibatkan sianosis.
24

h. Demam ringan dan keringat yang berlebihan


Vasokontriksi kulit menghambat kemampuan tubuh untuk
melepaskan panas.
i. Kelemahan
Disebabkan oleh perfusi yang kurang pada otot-otot rangka.

Menurut Brunner dan Suddarth. edisi 8 :

a. Gagal jantung sisi kiri dan kanan


Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara
terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventrikel
kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut.
Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, kegagalan salah satu
ventrikel dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Tetapi
manifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan
ventrikel mana yang terjadi.
b. Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventriklel kiri, karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru.
Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan
terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang terjadi meliputi :
1) Dispnea terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas. Dispnea dapat terjadi saat istirahat
atau oleh gerakan yang minimal atau sedang. Dapat terjadi
ortopnea, kesulitan bernafas saat berbaring. Pasien yang
mengalami ortopnea tidak akan mau berbaring, tetapi akan
mengunakan bantal agar bisa tegak di tempat tidur atau duduk
dikursi, bahkan saat tidur. Beberapa pasien hanya mengalami
ortopnea pada malam hari, suatu kondisi yang dinamakan
paroximal nokturnal dispnea (PND). Setelah beberapa jam cairan
yang tertimbun di ekstremitas yang berada dibawah mulai
diabsorbsi, dan ventrikel kiri yang sudah terganggu, tidak mampu
25

mengosongkan peningkatan volume dengan adekuat. Akibatnya,


tekanan dalam sirkulasi paru meningkat dan cairan berpindah ke
alveoli.
2) Batuk, yang berhubungan dengan gagal ventrikel kiri bisa kering
dan tidak produktif, tetapi yang tersering adalah batuk basah, yaitu
batuk yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak,
yang kadang disertai bercak darah.
3) Mudah lelah, terjadi akibat curah jantung yang kurang yang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta
menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Terjadi akibat
meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia
terjadi akibat distres pernafasan dan batuk.
4) Kegelisahan dan kecemasan terjadi akibat gangguan oksigenasi
jaringan, stres akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa
jantung tidak berfungsi dengan baik. Begitu terjadi kecemasan,
terjadi dispnea, yang akan memperberat kecemasan.
c. Gagal jantung kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti
viseral dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung
tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga
tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali
dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema
ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan
pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran
hepar), distensi vena leher, asites (penimbunan cairan di dalam rongga
peritonium), anoreksia dan mual, nokturia, dan lemah.
1) Edema dimulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara
bertahap bertambah ke atas tungkai dan paha dan akhirnya ke
genetalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral sering
jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah
sakral menjadi daerah yang dependen. Pitting edema, adalah
26

edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan


dengan ujung jari, baru jelas terlihat setelah terjadi retensi cairan
paling tidak sebanyak 4,5 kg (10 lb).
2) Hepatomegali dan nyeri tekan bawah kuadran kanan atas abdomen
terjadi akibat pembesaran vena di hepar. Bila proses ini
berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat
sehingga cairan terdorong keluar rongga abdomen, suatu kondisi
yang dinamakan asites. Pengumpulan cairan dalam rongga
abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada diafragma dan
distess pernafasan.
3) Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat
pembesaran vena dan stasis vena di dalam rongga abdomen.
4) Nokturia, atau rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena
perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring.
Diuresis terjadi paling sering pada malam hari karena curah
jantung akan membaik dengan istirahat.
5) Lemah yang menyertai gagal jantung sisi kanan disebabkan karena
menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi, dan pembuangan
produk sampah katabolisme, yang tidak adekuat dari jaringan.

7. Komplikasi
Menurut Patrick Davey, 2006 :
a. Tromboemboli : risiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam
atau DVT (deep venous thrombosis) dan emboli paru atau EP) dan
emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan
dengan pemberian warfarin.
b. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi
pemantauan denyut jantung (dengan pemberian digoksin/bloker β) dan
pemberian warfarin.
27

c. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik


dengan dosis yang ditinggikan. Transpalntasi jantung merupakan
pilihan pada pasien tertentu.
d. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau
kematian jantung mendadak (25-50% kematian pada CHF). Pada
pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, bloker β, dan defibrillator
yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG : Hipertropi atrial atau ventrikular, penyimpangan aksis, iskemia,
dan kerusakan pola mungkin terlihat. Pasien gagal jantung jarang
dengan EKG normal, dan bila terdapat EKG normal dianjurkan untuk
meneliti diagnosis gagal jantung tersebut (Doengues, 2000). EKG
sangat penting dalam menentukan irama jantung. Irama sinus atau
atrium fibrilasi, gelombang mitral yaitu gelombang P yang melebar
serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung
tampak gambaran atrium fibrilasi. MI lama, hipertrofi ventrikel kiri
(LVH, misalnya pada hipertensi, stenosis aorta). Gambaran EKG yang
normal sangat jarang dijumpai pada CHF. Aritmia, misalnya fibrilasi
atrium (Patrick Davey, 2006).
7. Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram dopple) : Dapat
menunjukan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktilitas ventricular
(Doengues, 2000).
8. Scan Jantung: (Multigated acquiaition [MUGA]) : Tindakan
penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding (Doengues,
2000).
9. Kateterisasi Jantung dan Sine Angiografi : Tekanan abnormal
merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi
kanan versus sisi kiri, dan stenosis katup atau insufisiensi. Juga
mengkaji patensi arteri koroner. Zat kontras disuntikan dalam ventrikel
menunjukan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan
28

kontraktilitas (Doengues, 2000). Didapatkan gradien tekanan antara


atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat diastolik. Selain itu dapat
dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui
frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara
atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.
Pada semua gagal jantung yang penyebabnya tidak diketahui untuk
menyingkirkan penyakit jantung koroner kritis, atau untuk menilai
keparahan penyakit jantung koroner dan pilihan pengobatan pada
mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung iskemik (ischaemic
heart disease [IHD]) (Patrick Davey, 2006).

d. Rontgen dada : Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan


mencerminkan dilatasi/hipertropi bilik, atau perubahan dalam
pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal.
Kontur abnormal, misalnya bulging pada perbatasan jantung kiri, dapat
menunjukkan aneurisme ventrikel (Doengues, 2000).
e. Foto thorak : Terdapat hubungan yang lemah antara ukuran jantung
pada foto thoraks dengan fungsi ventrikel kiri. Pada gagal jantung akut
sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung
diagnosis gagal jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus
atas.
f. Proyeksi A-P : konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang,
cefalisasi arteria pulmonalis.
1) Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium kiri
dan pembesaran ventrikel kanan.
2) Pembesaran jantung, kongesti paru (garis Kerley B) atau edema
paru (Patrick Davey, 2006).

g. Hematologi : Peningkatan hematokrit menunjukkan bahwa sesak nafas


mungkin disebabkan oleh penyakit paru, penyakit jantung kongenital,
atau malformasi arteri vena. Kadar ureum dan kreatinin penting untuk
29

diagnosis differential penyakit ginjal. Kadar kalium dan natrium


merupakan prediktor mortalitas.
i. Ekokardiografi : Harus dilakukan secara ruitn untuk diagnosis optimal
gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri,
katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi dan abnormalitas gerakan.
Teknik esensial yang sederhana dan non invasif dalam menegakkan
diagnosis etiologi, keparahan dan menyingkirkan penyakit katup
jantung yang penting (Patrick Davey, 2006).

j. Biokimiawi : elektrolit, fungsi ginjal, dan hematologi (anemia), fungsi


tiroid (Patrick Davey, 2006).
k. Scan isotop nuklir : bermanfaat untuk pengukuran fraksi ejeksi yang
akurat (ventrikulografi isotope atau multiple-gated acquisition scans
[MUGA]) atau miokardium yang tidak berfungsi (otot jantung masih
ada, namun tidak berkontraksi akibat stenosis koroner yang hebat pada
arteri yang memberi nutrisi, yang akan berkontraksi bila lairan darah
membaik mislanya dengan angioplasty transluminal perkutan [PTCA]
atau cangkok bypass arteri coroner [CABG] (Patrick Davey, 2006).

9. Penatalaksanaan / Therapy
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi
beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama
dari fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
gabungan dari : 1) beban awal, 2) kontraktilitas,dan 3) beban akhir.
Prinsip penatalaksanaan gagal jantung :
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
1) Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis,
miksedema, dan aritmia.
30

2) Digitalis
Dosis digitalis :
(1) Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5–2 mg dalam 4-6
dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0.5 mg selama 2-4
hari
(2) Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
(3) Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam.
1. Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg
sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis
disesuaikan.
2. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg
3. Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal
akut yang berat :
(1) Digoksin 1-1,5 mg iv perlahan lahan
(2) Cedilanid 04-0,8 mg iv perlahan lahan.
4. Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik
dan vasodilator.
5. Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol (Mansjoer,
Arif dkk : 2007)
Menurut Patrick Davey, 2006 :
a. Terapi Umum : obati penyebab yang mendasari dan aritmia bila ada.
Kurangi asupan garam dan air, pantau terapi dengan mengukur berat
badan setiap hari. Obati faktor risiko hipertensi dan PJK dengan tepat.
b. Diuretik : adalah dasar untuk terapi simptomatik. Dosisnya harus
cukup besar untuk menghilangkan edema paru dan/atau perifer. Efek
samping utama adalah hypokalemia (berikan suplemen K+ atau
diuretik hemat kalium, seperti amilorid). Spironolakton, suatu diuretik
hemat kalium (antagonis aldosteron), memperbaiki prognosis pada
CHF berat.
31

c. Inhibitor ACE menghambat perubahan angiotensin I menjadi


angiotensin II, memotong respon neuroendokrin maladaftif,
menimbulkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Beberapa
penelitian besar acak dengan kontrol menunjukkan obat golongan ini
memperbaiki gejala, kualitas hidup, dan prognosis pada gagal jantung
yang nyata atau kerusakan fungsi ventrikel kiri. Obat ini dapat memicu
gagal ginjal pada stenosis arteri renalis bilateral (periksa ureum dan
kreatinin). Efek samping lain yang paling banyak di jumpai adalah
batuk kering persisten sebanyak 15%.
d. Antagonis reseptor angiotensin II, misalnya losartan, menghambat
angiotensin II dengan antagonism langsung terhadap reseptornya. Efek
dan manfaatnya sama seperti inhibitor ACE.
e. Bloker β, seperti bisoprolol, metoprolol, dan karvedilol, sebelumnya
dianggap kontraindikasi pada gagal jantung. Namun demikian,
ketokolamin yang tinggi dalam sirkulasi dan penuranan regulasi
reseptor adrenergik sangat berbahaya pada gagal jantung. Bloker β
(diberikan hanya pada pasien yang stabil, dengan dosis sangat rendah,
dinaikkan bertahap) membalikkan keadaan ini dan memperbaiki status
fungsional serta prognosis. Menurunkan kegagalan pompa serta
kematian mendadak akibat aritmia.
f. Digoksin memiliki efek inotropic positif pada irama sinus dan
menyebabkan perbaikan simptomatik serta menurunkan tingkat
perawatan di rumah sakit, walaupun tidak mempengaruhi tingkat
mortalitas.
32

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam
menangani masalah-masalah pasien sehingga dapat menetukan tindakan
keperawatan yang tepat (Muttaqin, 2008). Yang harus dikaji pada pasien
dengan gagal jantung menurut Brunner & Suddarth (2002) yaitu :
a. Identitas
l. Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, alamat, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, dan pekerjaan.
m. Identitas penanggung jawab : nama, hubungan dengan klien,
pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Riwayat Masuk Rumah Sakit
1) Keluhan Utama
Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat), palpitasi
atau jantung berdebar-debar, paroxymal nocturnal dyspnea (PND)
atau orthopnea, sesak nafas saat beraktivitas, batuk (hemoptoe),
letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan), insomnia, kaki bengkak
dan berat badan bertambah, serangan timbul mendadak/sering
kambuh.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada pengkajian awal ditemukan adanya suara nafas
wheezing dan krekel, suara jantung S3 dan S4, edema pada
ekstremitas, distensi vena jugularis dan oliguria.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji riwayat penyakit yang pernah diderita klien dengan
menanyakan sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada,
hipertensi, iskemia miokardium, diabetes mellitus, dan
hyperlipidemia. Tanyakan mengenai obat-obatan yang biasa
diminum oleh klien pada masa yang lalu dan masih relevan dengan
33

kondisi saat ini. Obat-obatan ini meliputi obat diuretik, nitrat,


penghambat beta, serta antihipertensi. Catat adanya efek samping
yang terjadi di masa lalu. Alergi obat dan reaksi alergi yang
timbul. Sering kali klien menafsirkan suatu alergi sebagai efek
samping obat.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perawat menanyakan tentang penyakit yang pernah dialami
oleh keluarga, anggota keluarga yang meninggal terutama pada
usia produktif dan penyebab kematiannya. Penyakit jantung
iskemik pada orang tua yang timbul pada usia muda merupakan
faktor resiko utama terjadinya penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas / Istirahat
Gejala : Keletihan/ kelelahan terus menerus sepanjang hari
Insomnia
Nyeri dada dengan aktivitas
Dispnea pada istirahat atau pada pengerahan tenaga
Tanda : Gelisah, perubahan status mental
Tanda vital berubah pada aktivitas
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, penyakit katup jantung, bedah
jantung, endokarditis, anemia, syok septik
Tanda : Tekanan darah mungkin rendah
Tekanan nadi mungkin sempit
Frekuensi jantung Takikardia
Irama jantung disritmia
Bunyi nafas krekels, ronki
Edema mungkin dependen, umum ataupun pitting
3) Integritas Ego
Gejala : Ansietas, kuatir, takut
34

Stres yang berhubungan dengan penyakit/


keprihatinan finansial
Tanda : Berbagai manisfestasi perilaku

4) Eliminasi
Tanda : Penurunan berkemih, urine berwarna gelap
Berkemih malam hari (nokturia)
Diare/Konstipasi
5) Makanan / Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan
Mual/muntah
Penambahan berat badan secara signifikan
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Pakaian/sepatu terasa sesak
Diet tinggi garam/ makanan yang telah diproses
Peggunaan diuretik
Tanda : Penambahan berat badan cepat
Distensi abdomen (asites), edema
6) Higiene
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama beraktivitas
Perawatan diri
Tanda : Penampilan menandakan kelainan perawatan
personal
7) Neurosensori
Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan
Tanda : Letargi, kusut pikir, disorientasi
Perubahan perilaku, mudah tersinggung
8) Nyeri/Ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri dada, angina akut maupun kronis.
Nyeri abdomen kanan atas ( AkaA )
Sakit pada otot
35

Tanda : Tidak tenang, gelisah


Fokus menyempit ( menarik diri )
Perilaku melindungi diri
9) Pernafasan
Gejala : Dispnea saat beraktivitas, tidur sambil duduk atau
dengan beberapa bantal
Batuk dengan/ tanpa sputum
Riwayat penyakit paru kronis
Penggunaan bantuan pernafasan
Tanda : Pernafasan takipnea, nafas dangkal, pernafasan
labored
Batuk kering/nyaring/nonproduktif atau mungkin
batuk terus menerus
Sputum mungkin bersemu darah, merah muda
10) Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental
Kehilangan kekuatan/ tonus otot
Kulit lecet

11) Interaksi sosial


Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang
biasa dilakukan
12) Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Menggunakan obat-obat jantung
Tanda : Bukti tentang ketidakberhasilan untuk meningkatkan
( Doengues, 2000. Hal 52-54 )

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau
potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
36

untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah, dan merubah status


kesehatan pasien (Ralph dan Taylor, 2009). Berdasarkan tanda dan gejala
Decompensasi Cordis, diagnosa keperawatan yang biasa muncul adalah :
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokard
b. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran arteri
vena dengan keterlibatan katup mitral
c. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan pembesaran vena di
hepar
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli
e. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan berkurangnya curah
jantung akibat retensi cairan dan natrium oleh ginjal
f. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot-otot
pernafasan, disfungsi neuromuscular, sindrom hipoventilasi
g. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual dan muntah
h. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret akibat reflek batuk menurun
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat turunnya
curah jantung
j. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pitting edema
k. Ansietas berhubungan dengan kesulitan nafas dan kegelisahan akibat
oksigenasi yang tidak adekuat, penyakit kritis, takut kematian atau
kecacatan, perubahan peran dalam lingkungan sosial atau
ketidakmampuan yang permanen.
l. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kurangnya motivasi dan
kelemahan fisik

3. Intervensi Keperawatan
Setelah mengidentifikasi diagnosa keperawatan dan kekuatannya,
langkah berikutnya adalah perencanaan asuhan keperwatan. Pada langkah ini,
37

perawat menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi pasien serta
mencapai tujuan dan kriteria hasil. (Perry dan Potter, 2010).
Intervensi keperawatan adalah sesuatu yang telah dipertimbangakan
secara mendalam, tahap yang sistematis dari proses keperawatan meliputi
kegiatan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah (Potter & Perry,
2005). Dalam perencanaan keperawatan, perawat menetapkannya berdasarkan
hasil pengumpulan data dan rumusan diagnosa keperawatan yang meruapakan
petunjuk dalam membuat tujuan dan asuhan keperawatan untuk mencegah,
menurunkan, atau mengeliminasi masalah kesehatan klien (Efendy, 2007).
Perencanaan keperawatan adalah rencana keperawatan yang akan
penulis rencanakan pada klien sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan
sehingga kebutuhan klien dapat terpenuhi (Wilkinson, 2011). Dalam teori
perencanaan keperawatan ditulis sesuai dengan rencana dan kriteria hasil
berdasarkan Nursing Intervension Classification (NIC) dan Nursing Outcomes
Classification(NOC).
38

Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 : Perencanaan pada klien dengan Decompensasi Cordis

No Diagnosa Perencanaan Rasional


Keperawatan NOC NIC
1. Penurunan curah NOC : NIC :
Cardiac care
jantung
Indikator status 1. Catat adanya disritmia jantung 1. Frekuensi dan irama jantung
berhubungan Sirkulasi : berespons terhadap obat dan aktivitas
1 : gangguan ekstrem sesuai dengan terjadinya
dengan perubahan
2 : berat komplikasi/disritmia yang
kontraktilitas 3 : sedang mempengaruhi fungsi jantung atau
4 : ringan meningkatkan kerusakan iskemik
miokard
5 : tidak mengalami 2. Catat adanya tanda dan gejala 2. Munculnya tanda dan gejala
gangguan penurunan cardiac output penurunan cardiac output
menunjukkan perlunya intervensi
Dengan kriteria : segera
1. Tekanan darah 3. Monitor status kardiovaskuler 3. Perubahan status kardiovaskuler
sistolik, diastolik, menunjukkan adanya resiko
dan rerata rentang penurunan curah jantung
tekanan darah 4. Monitor status pernafasan yang 4. Gagal nafas menunjukkan harusnya
2. Frekuensi nadi menandakan gagal jantung pemberian intervensi lebih lanjut
karotis kanan dan 5. Hipotensi dapat terjadi sehubungan
kiri 5. Monitor adanya perubahan tekanan dengan disfungsi ventrikel
3. Frekuensi nadi darah 6. Antiaritmia dapat diberikan berlanjut
kanan dan kiri 6. Monitor respon pasien terhadap bila tidak ada komplikasi
(perifer) efek pengobatan antiaritmia 7. Latihan berlebih dapat mengakibatkan
4. Tekanan vena 7. Atur periode latihan dan istirahat keletihan
sentral dan tekanan untuk menghindari kelelahan 8. Istirahat diperlukan untuk klien
baji pulmonal 8. Monitor toleransi aktivitas pasien dengan penurunan terhadap toleransi
5. PaO2 dan PaCO2 aktivitas
6. Status kognitif 9. Monitor adanya dyspnea, fatigue, 9. Gangguan pola nafas menandakan
39

takipnea, dan ortopnea. kurangnya jumlah sediaan oksigen


Indikator status 10. Anjurkan untuk menurunkan stress 10. Menurunkan kerja pompa jantung
Sirkulasi :
1 : gangguan ekstrem Vital sign monitoring
2 : berat 1. Monitor tekanan darah (TD), nadi,
3 : sedang suhu dan Respiration Rate (RR) 1. Hipotensi dapat terjadi sehubungan
4 : ringan dengan disfungsi ventrikel, hipertensi
5 : tidak mengalami dapat terjadi sehubungan dengan
gangguan nyeri, nadi dapat meningkat
Dengan kriteria : 2. Catat adanya fluktuasi tekanan sehubungan dengan nyeri
1. Hipotensi ortostatik darah 2. Hipertensi dapat terjadi sehubungan
2. Suara nafas 3. Monitor TD,nadi, RR, sebelum, dengan nyeri
tambahan selama, dan setelah beraktivitas. 3. Kelebihan latihan mempengaruhi
3. Distensi vena leher 4. Monitor kualitas dari nadi fungsi miokardia
4. Edema perifer 4. Nadi yang inadekuat merujuk pada
5. Asites 5. Monitor frekuensi dan irama ketidakefektifan sirkulasi
6. Bruit pembuluh jantung 5. Frekuensi dan irama jantung
darah besar berespons terhadap obat dan aktivitas
7. Angina sesuai dengan terjadinya komplikasi
6. Monitor bunyi jantung 6. Bunyi jantung tambahan, S3 biasanya
dihubungkan dengan congestive heart
failure tetapi juga terlihat pada adanya
gagal mitral (regurgitasi) dan
kelebihan kerja ventrikel kiri yang
disertai infark berat. S4 mungkin
berhubungan dengan iskemik
miokardia, kekakuan ventrikel dan
hipertensi pulmonal atau iskemik.
Adanya murmur atau gesekan
menunjukkan gangguan aliran darah
normal ke dalam jantung, adanya
gesekan dengan infark berhubungan
dengan inflamasi
40

7. Monitor frekuensi dan irama 7. Dyspnea menunjukkan adanya


pernafasan peningkatan kebutuhan oksigen
8. Monitor suara paru 8. Krekels menunjukkan kongesti paru,
mungkin terjadi karena penurunan
fungsi miokardia
9. Monitor suhu, warna, dan 9. Tanda-tanda dan perubahan perfusi
kelembapan kulit jaringan perifer
10. Monitor sianosis perifer 10. Menandakan kurangnya oksigen ke
jaringan perifer
11. Monitor adanya cushing triad 11. Menandakan penurunan curah jantung
(tekanan nadi yang
melebar,bradikardi, peningkatan
sistolik) 12. Penyebab perubahan tanda-tanda vital
12. Identifikasi penyebab dari ke rentang abnormal perlu diatasi
perubahan vital sign

2. Perubahan perfusi NOC : NIC :


Peripheral sensation management
jaringan
Indikator Status (manajemen sensasi perifer)
berhubungan Sirkulasi :
1 : gangguan ekstrem 1. Monitor adanya daerah tertentu 1. Kepekaan terhadap semua rangsangan
dengan penurunan
2 : berat yang hanya peka terhadap menunjukkan tidak adanya
aliran arteri vena 3 : sedang panas/dingin/tajam/tumpul keabnormalan
4 : ringan 2. Monitor adanya tanda homan (nyeri 2. Indikator adanya thrombosis vena
dengan
5 : tidak mengalami pada betis dengan posisi dalam
keterlibatan katup gangguan dorsofleksi)
Dengan kriteria : 3. Observasi kulit terhadap pucat, 3. Vasokontriksi sistemik diakibatkan
mitral
1. Bruit pembuluh sianosis, belang, kulit oleh penurunan curah jantung
darah besar dingin/lembab
2. Hipotensi ortostatik 4. Gunakan sarung tangan untuk 4. Mengurangi resiko terjadinya infeksi
proteksi 5. Menurunkan statis vena, memperbaiki
Kognisi : 5. Dorong klien untuk melakukan aliran balik vena, menurunkan resiko
1 : ekstrem latihan ROM aktif/pasif pada kaki tromboplebitis
2 : berat 6. Monitor adanya tromboplebitis 6. Akibat dari keterbatasan aktivitas
41

3 : sedang 7. Pantau pemasukan dan catat 7. Penurunan pemasukan oral dapat


4 : ringan haluaran urine mengakibatkan penurunan volume
5 : tidak mengalami sirkulasi
gangguan 8. Kolaborasi pemantauan data 8. Indikator perfusi atau fungsi obat
Dengan kriteria : laboratorium (GDA, BUN,
1. Berkomunikasi kreatinin, elektrolit)
dengan jelas dan 9. Kolaborasi dalam 9. Heparin dapat mencegah
sesuai dengan usia pemberianantikoagulan pembentukan thrombus dan mencegah
serta kemampuan menggunakan heparin pembekuan
2. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi kognitif
3. Menunjukkan
memori jangka
panjang
4. Mengolah informasi
5. Membuat keputusan
yang tepat
42

3. Gangguan rasa Pain level Pain Management


nyaman : Nyeri Memperlihatkan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui perkembangan nyeri dan
berhubungan pengendalian nyeri, yang komprehensif termasuk lokasi, tanda-tanda nyeri sehingga dapat
dengan dibuktikan dengan indikator karakteristik, durasi, frekuensi, menentukan intervensi selanjunya
pembesaran vena : kualitas,dan faktor presipitasi
di hepar 1. Mengenali faktor 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui respon pasien terhadap
penyebab dan ketidaknyamanan nyeri
menggunakan 3. Gunakan teknik komunikasi 3. Mengetahui cara penanganan nyeri
tindakan untuk terapeutik untuk mengetahui yang biasa dilakukan oleh pasien
memodifikasi pengalaman nyeri pasien
faktor tersebut. 4. Kaji kultur yang mempengaruhi 4. Membantu pasien dalam menangani
2. Menggunakan respon nyeri nyeri yang timbul
tindakan 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa 5. Membantu dalam pemberian tindakan
pencegahan lampau yang selanjutnya
3. Melaporkan nyeri 6. Evaluasi bersama pasien dan tim 6. Mengevaluasi tindakan yang diberikan
dapat dikendalikan kesehatan lain tenyang untuk melakukan intervensi selanjutnya
1 : tidak pernah ketidakefektifan kontrol nyeri masa
2 : jarang lampau 7. Dukungan yang cukup dapat
3 : kadang-kadang 7. Bantu pasien dan keluarga untuk menurunkan reaksi nyeri pasien
4 : sering mencari dan menemukan dukungan
5 : selalu 8. Kontrol lingkungan yang dapat 8. Menurunkan rasa nyeri pasien
Nilai yang diharapkan 4 – 5 mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan, dan
Pain control kebisingan
Menunjukkan tingkat nyeri, 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 9. Dapat menurunkan tingkat nyeri pasien
yang dibuktikan oleh
indikator :
1. Ekspresi nyeri pada 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri 10. Menurunkan sensasi nyeri yang dialami
wajah (farmakologi, non farmakologi, dan pasien
2. Gelisah atau interpersonal)
ketegangan otot 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk 11. Mengetahui perkembangan nyeri dan
3. Durasi episode menentukan intervensi menetukan intervensi selanjutnya
nyeri 12. Ajarkan tentang teknik non 12. Menurunkan ketegangan otot, sendi,
4. Merintih dan farmakologi dan melancarkan peredaran sehingga
43

menangis dapat mengurangi nyeri


5. Gelisah 13. Berikan analgetik untuk mengurangi 13. Analgetik berfungsi sebagai depresan
Dengan level : nyeri sistem syaraf pusat sehingga
1 : sangat berat mengurangi atau menghilangkan nyeri
2 : berat 14. Mengevaluasi keberhasilan tindakan
3 : sedang 14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri penanganan nyeri
4 : ringan 15. Istirahat yang cukup dapat mengurangi
5 : tidak ada 15. Tingkatkan istirahat rasa nyeri
Nilai yang diharapkan 4 - 5 16. Menentukan tindakan yang akan
16. Kolaborasikan dengan dokter jika diberikan selanjutnya
Comfort level ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
Kriteria hasil : berhasil 17. Melihat seberapa pasien dapat
1) Mampu mengontrol 17. Monitor penerimaan pasien tentang mengontrol nyeri
nyeri (tahu penyebab manajemen nyeri
nyeri, mampu
menggunakan teknik Analgesic Administration 1. Mengetahui perkembangan nyeri dan
nonfarmakologi untuk 1. Tentukan lokasi, karakteristik, tanda-tanda nyeri sehingga dapat
mengurangi nyeri, kualitas, dan derajat nyeri sebelum menetukan intervensi selanjutnya
mencari bantuan) pemberian obat 2. Memastikan/menghindari terapi obat
2) Melaporkan bahwa nyeri yang salah dalam pemberian pada
berkurang dengan 2. Cek instruksi dokter tentang jenis pasien
menggunakan obat, dosis, dan frekuensi 3. Menentukan obat yang benar
manajemen nyeri 4. Mencegah terjadinya efek samping dari
3) Menyatakan rasa 3. Cek riwayat alergi obat yang terlalu banyak
nyaman ketika nyeri 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau
berkurang kombinasi dari analgesik ketika 5. Memberikan obat yang sesuai dengan
4) Mampu mengenali nyeri pemberian lebih dari satu yang dibutuhkan oleh pasien
(skala, intensitas, 5. Tentukan pilihan analgesik 6. Memberikan obat yang sesuai dengan
frekuensi dan tanda tergantung tipe dan beratnya nyeri yang dibutuhkan oleh pasien
nyeri) 6. Tentukan analgesik pilihan, rute, 7. Memaksimalkan fungsi obat yang
pemberian, dan dosis optimal diberikan pada pasien
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur 8. Mempercepat proses kerja obat yang
8. Monitor vital sign sebelum dan diberikan
44

sesudah pemberian analgesik


pertama kali 9. Melihat efek dari obat yang diberikan
9. Berikan analgesik tepat waktu 10. Memberikan kenyamanan pada pasien,
terutama saat nyeri hebat dan menghindari komplikasi yang lebih
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda parah akibat nyeri
dan gejala

Sumber : (Nanda Nic Noc 2013) (Joanne, 1996) (Doengoes, 2010) (Johnson et al, 2014) (McCloskey et al, 2014) (Wilkinson, 2012)

(MoorHead et al, 2014) (Bulechek et al, 2014) (Doengoes, 2001)


45

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang merupakan komponen dari proses
keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tindakan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2005). Implementasi
menuangkan rencana asuhan kedalam tindakan. Setelah rencana
dikembangkan, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas klien, perawat
melakukan intervensi keperawatan spesifik, yang mencakup tindakan perawat.
Rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi. Tujuan dari
implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan
baik yang dilakukan secara mendiri maupun kolaborasi dan rujukan.
(Bulechek & McCloskey, 1995: dikutip dari Potter, 2005).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana
tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai berdasarkan tujuan yang
telah dibuat dalam perencanaan keperawatan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi
yang digunakan berbentuk S (subyektif), O (obyektif), A (analisis), dan P
(perencanaan terhadap analisis).
Evaluasi adalah proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Tahap
akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan
melihat perkembangan klien. Evaluasi klien Decompensasi Cordis dilakukan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan (Carnevari
& Thomas, 1993: dikutip dari Potter, 2005).

Anda mungkin juga menyukai