Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Status Asmatikus


Istilah status asmatikus belakangan ini terutama di Eropa mulai ditinggalkan,
cukup menggunakan istilah asma akut berat karena antara keduanya sebenarnya tidak
berbeda. Status asmatikus sendiri juga suatu serangan asma berat, namun demikian
istilah ini masih tetap relevan dipergunakan untuk membedakan serangan asma akut
berat yang memerlukan rawat inap di rumah sakit dan yang tidak.
Per Definisi, status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medic berupa
serangan asma berat kemudian bertambah berat yang refrakter bila setelah 1 sampai 2
jam pemberian obat untuk serangan asma akut seperti adrenalin subkutan, aminofilin
intravena atau agonis β-2 tidak ada perbaikan atau malah memburuk.
Status asmatikus merupakan serangan asma yang tidak dapat diatasi dengan
pengobatan konvensional dan ini merupakan keadaan darurat medis, bila tidak segera
diatasi akan terjadi gagal napas. Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten
yang tidak merespons terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24
jam. Infeksi, kecemasan, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan
nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergik, dan iritan nonspesifik dapat
menunjang episode ini. Episode akut mungkin dicetuskan oleh hipersensitivitas
terhadap penisilin (Muttaqin, 2008).

B. Etiologi
1. Mekanisme pemacu serangan akut terjadi bermacam-macam : alergen, kerja fisik,
insfeksi virus pada jalan nafas, ketegangan emosional, perubahan iklim dan
beberapa janis obat sepreti aspirin.
2. Ketidak seimbangan modulasi adenergic dan kolinergic dari broncus.
3. Sering terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, anak laki-laki sering terkena dari
pada anak perempuan.
4. Biasanya mempunyai alergi dengan kadar IgE meninggi (asma atopic/aksentrik
berkaitan dengan keadaan alergi lain sperti eksema fifer).
5. Asma instrinsik terjadi pada penderita non atopic yang lebih tua.

4
C. Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial, pembengkakan
mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi diameter bronchial dan nyata
pada status asmatikus. Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan
hipoksemia dan respirasi alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.
Terhadap penurunan PaO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan
PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus,
PaCO2 meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi asidosis.
Proses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu alergi dan
psikologis, kedua faktor tersebut dapat meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot
polos, meningkatnya sekret abnormal mukus pada bronkiolus dan adanya kontraksi
pada trakea serta meningkatnya produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi
penyempitan pada jalan nafas dan penumpukan udara di terminal oleh berbagai macam
sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti gangguan ventilasi (hipoventilasi),
distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru, gangguan difusi gas
di tingkat alveoli.
Tiga kategori asma alergi (asma ekstrinsik) ditemukan pada klien dewasa yaitu
yang disebabkan alergi tertentu, selain itu terdapat pula adanya riwayat penyakit atopik
seperti eksim, dermatitis (radang kulit), demam tinggi dan klien dengan riwayat asma.
Sebaliknya pada klien dengan asma intrinsik (idiopatik) sering ditemukan adanya
faktor-faktor pencetus yang tidak jelas, faktor yang spesifik seperti flu, latihan fisik,
dan emosi (stress) dapat memacu serangan asma.
Pathway

Allergen masuk ke dalam tubuh

Merangsang sel plasma

Ig E

Sejumlah mediator (histamine, neokotrien, factor pengaktifasi platelet, bradikinin dll)

5

Permeabilitas kapiler meningkat

Produksi mucus meningkat (pembengkakan mukosa bronchial dan pengentalan sekresi)

Diameter bronchial menurun

Abnormalitas ventilasi perfusi

Hipoksemia dan respirasi alkalosis

Respirasi asidosis

(Brunner & Suddart. 2002. hal 614).

D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik status asmatikus adalah sama dengan manifestasi yang
terdapat pada asma hebat – pernapasan labored, perpanjangan ekshalasi, perbesaran
vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan serangan.
Dengan makin besarnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi
pertanda bahaya gagal pernapasan.
Mengenal suatu serangan suatu asma akut pada dasarnya sangat mudah.
Dengan pemeriksaan klinis saja diagnosis sudah dapat ditegakkan, yaitu dengan adanya
sesak napas mendadak disertai bising mengi yang terdengar diseluruh lapangan paru.
Namun yang sangat penting dalam upaya penganggulangannya adalah menentukan
derajat serangan terutama menentukan apakah asam tersebut termasuk dalam serangan
asma yang berat.
Asma akut berat yang mengancam jiwa terutama terjadi pada penderita usia
pertengahan atau lanjut, menderita asma yang lama sekitar 10 tahun, pernah mengalami
serangan asma akut berat sebelumnya dan menggunakan terapi steroid jangka panjang.

6
Asma akut berat yang potensial mengancam jiwa, mempuyai tanda dan gejala sebagai
berikut.
1. Bising mengi dan sesak napas berat sehingga tidak mampu menyelesaikan
satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak.
2. Frekuensi napas lebih dari 25 x / menit
3. Takikardi, Denyut nadi lebih dari 110x/menit
4. Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi
yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit
5. Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih
dari 10 mmHg.
6. Gejala yang menonjol,sukar bernafas, yang timbul intermiten dan wheezing pada
waktu inspirasi, lebih sering terutama pada malam hari.
7. Batuk-batuk dengan lendir yang lengket : kesulitan pada ekspektoransi
8. Gelisah, usaha bernafas dengan keras.
9. Bernafas melalui sela-sela bibir
10. Sianosis
11. Takipnea
12. Retraksi dada
13. Berkeringat
14. Cuping hidung
15. Pembesaran vena leher

E. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh status asmatikus adalah
1. Atelaktasis
2. Hipoksemia
3. Pneumothoraks Ventil
4. Emfisema
5. Gagal napas
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum pada
penderita asma akan didapati :
a. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

7
1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal
eosinopil.
2) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
4) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka
dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :

8
a. perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
5. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
6. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan
FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak
saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Perawatan awal; agonis beta2-adrenergik, kortikosteroid, oksigen pelengkap
dan cairan IV untuk melembabkan pasien. Gabungan dikontraindikasikan.
b. Oksigen pelengkap arus tinggi paling baik disampaikan dengan menggunakan
masker non-rebreather parsial atau lengkap (pao2 minimal saturasi 92 mm Hg
atau O2 lebih besar dari 95%).
c. Magnesium sulfat, antagonis kalsium, mungkin diberikan untuk mendorong
relaksasi otot polos
d. Rawat inap jika tidak ada respon terhadap pengobatan yang berulang atau jika
kadar gas darah memburuk atau fungsi paru rendah.
e. Fentilasi mekanik jika pasien kelelahan atau mengalami gagal napas atau jika
kondisi tidak merespons pengobatan.

9
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Fokus utama manajemen keperawatan adalah untuk menilai jalan napas secara
aktif dan pasien merespons pengobatan. Perawat harus bersiap menghadapi
intervensi berikutnya jika pasien tidak menanggapi pengobatan.
a. Terus memantau pasien selama 12 sampai 24 jam pertama, atau sampai status
asthmaticus terkendali. Pemberian darah dan rhythm jantung harus dipantau
secara terus menerus selama fase akut dan sampai pasien menstabilkan dan
merespons theraphy.
b. Menilai tugor kulit pasien untuk tanda-tanda dehidrasi; asupan cairan sangat
penting untuk melawan dehidrasi, untuk melonggarkan sekresi, dan untuk
memudahkan ekspetasi.
c. Berikan cairan iv seperti yang ditentukan, sampai 3 sampai 4 l/per hari, kecuali
kontraindikasi.
d. Dukung pasien untuk berani
e. Pastikan ruang pasien cukup dan bebas dari iritasi pernafasan (misalnya, bunga,
asap rokok, parfum, atau bau agen pembersih); bantal nonalergenik harus
digunakan.

H. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Status Asmatikus


1. Pengkajian
a. Primary Assessment
1) Airway
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan
sputum pada jalan napas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan
napas sehingga status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien
yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat
diperoleh.
2) Breathing
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan
bertambahnya usaha napas pasien untuk memporeh oksigen yang
diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami
napas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan
bahwa usaha ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising
mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu

10
menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam
bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih
dari 25x / menit. Pantau adanya mengi.
3) Circulation
Pada kasus asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh
oksigen maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan
tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut nadi lebih
dari 110x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada
waktu inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg. Arus puncak
ekspirasi (APE) kurang dari 50% nilai dugaan atau nilai tertinggi yang
pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan
oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap
circulation ini.
4) Disability
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status
asmatikus mengalami penurunan kesadaran. Disamping itu pasien
yang masih dapat berespon hanya dapat mengeluarkan kalimat yang
terbata-bata dan tidak mampu menyelesaikan satu kalimat akibat usaha
napas yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kelelahan.
Namun pada penurunan kesadaran semua motorik sensorik paien
unrespon.
5) Exposure
Setelah tindakan pemantauan airway, breathing, circulation, disability,
dan exposure dilakukan, maka tindakan selanjutnya yakni transportasi
ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan yang lebih
intensif (ENA, 2007).

b. Secondary assessment
Survei sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami
syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

11
1) Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat
medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga :
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester
,makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
2) Pemeriksaan Head to Too
Memeriksa pasien dari kepala sampai kaki (Head to Toe) dengan teliti
untuk menilai adakah perubahan bentuk, tumor, luka, dan sakit (BTLS).
3) Pemeriksaan Tanda – tanda Vital
Memeriksa tanda –tanda vital pasien yaitu pernapasan, tekanan darah,
suhu, nadi dan skala nyeri pasien. Pemeriksaan TTV ini penting karena
untuk mengevaluasi respon pasien terhadap tindakan yang kita berikan
sebelumnya (ENA, 2007).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada sataus asmatikus menurut Astutu & Rahmat, 2010
adalah :
a. Kerusakan bertukaran gas berhubungan dengan kontriksi bronchial.

12
b. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
c. Fatique berhubungan dengan hipoksia
d. Resiko terjadi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kesulitan
intake cairan, kehilangan cairan dan diapoiresis.

3. Tindakan keperawatan
a. Penanganan pada pre-hospital
Yang pertama dan utama bagian dari penilaian pasien pada saat pre-hospital
dengan trauma disebut survei primer. Tahap pertama dari survei utama
adalah sebagai berikut :
1) Untuk menilai jalan napas. Jika pasien mampu berbicara, jalan napas
cenderung jelas. Jika pasien tidak sadar, pasien mungkin tidak dapat
mempertahankan jalan napas sendiri. Untuk mempertahankan jalan
napas, dapat menggunakan teknik head tilt- chin lift atau jaw thrust.
Airway tambahan berarti diperlukan.Jika jalan nafas tersumbat
(misalnya, dengan darah atau muntah atau lidah yang jatuh ke belakang),
cairan harus dibersihkan dari mulut pasien dengan bantuan alat
penyedotan (suction).
2) Pemeriksaan dada-thorak bisa dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi. Identifikasi jika ada Emphysema Subkutan dan
deviasi trakea.
3) Selama survei utama dilakukan, dibuat penilaian neurologis dasar,
dikenal dengan AVPU (alert, verbal stimuli response, painful stimuli
response, unresponsive). Sebuah evaluasi neurologis cepat dan tepat
dilakukan pada akhir survei primer. Ini menetapkan tingkat kesadaran
pasien. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah cara cepat untuk
menentukan tingkat kesadaran pasien. Jika tidak dilakukan dalam survei
primer, hal itu harus dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan
neurologis yang lebih rinci dalam survei sekunder. Tingkat kesadaran
yang berubah mengindikasikan perlunya segera re-evaluasi oksigenasi
pasien, ventilasi, dan status perfusi.

13
4) Memotong pakaian pasien jika perlu. Kemudian selimuti pasien untuk
mencegah hipotermi pada saat dilakukan rujukan dan agar privasi pasien
tetap terjaga.
5) Ketika survei primer selesai, upaya resusitasi, dan tanda-tanda vital mulai
normal, survei sekunder dapat dilakukan. Survei sekunder merupakan evaluasi
head-to-toe dari pasien trauma, termasuk riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik, kemudian dilakukan penilaian ulang terhadap semua tanda-tanda
vital.Setiap bagian tubuh harus diperiksa sepenuhnya.

b. Penanganan pada saat hospitalisasi


Penatalaksanaan status asmatikus semua penderita yang dirawat inap di
rumah sakit menunjukkan keadaan obstruktif jalan napas yang berat.
Perhatian khusus harus diberikan di dalam perawatannya, sedapat mungkin
dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan harus
dilakukan secara ketat, berpedoman pada klinis, uji faal paru (APE) untuk
dapat menilai respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk.
Perburukan mungkin saja terjadi baik oleh karena konstriksi bronkus yang
lebih hebat lagi maupun sebagai akibat terjadinya komplikasi seperti infeksi,
pneumothoraks, pneumomediastinum yang sudah barang tentu memerlukan
pengobatan yang lainnya. Efek samping obat yang berbahaya dapat terjadi
pada pemberian drip aminofilin.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah
dikirim dari UGD dilakukan penatalaksanaan sebagai berikut :
1) Pemberian oksigen diteruskan
2) Agonis β2
Dilanjutkan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis setiap jam, kemudian
dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan
yang jelas. Sebagai alternatif lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi
dengan nebuhaler/volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan,
diberikan drip salbutamol atau terbutalin.
3) Aminofilin
Diberikan melalui infuse atau drip dengan dosis 0,5-0,9 mg/kgBB/jam.
Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila
belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita

14
dengan penyakit hati, gagal jantung atau bila penderita menggunakan
simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada
perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu diperhatikan. Bila
terjadi mual,muntah atau anoreksia dosis harus diturunkan. Bila terjadi
konvulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena
terjadi gejala toksik yang berbahaya.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intravena diberikan setiap 2-8 jam tergantung
beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah
hidrokortison 200-400mg dengan dosis keseluruhan 1-4 gr/24 jam.
Sediaan lain yang juga dapat diberikan sebagai alternatif adalah
triamisinolon 40-80 mg, deksametason/betametason 5-10 mg. dalam
tersedianya kortikosteroid intravena, dapat diberikan kortikosteroid
peroral yaitu prednisone atau prednisolon 30-60 mg/hari.
5) Antikolinergik
Iptropium bromide dapat diberikan baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan agonis β2 secara inhalasi nebulisasi, penambahan ini
tidak diperlukan bial pemberian agonis β2 sudah memberikan hasil yang
baik.
6) Pengobatan lainnya
a) Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan
elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer
laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk rehidrasi dan pada
keadaan asidosis metabolic diberikan natrium bikarbonat.
b) Mukolitik dan ekspektorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi
jalan napas berat, ekspektoran seperti obat batuk hitam dan gliseril
guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin
maupun N-asetilsistein.
c) Fisioterapi dada
Drainase postural, vibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi
lainnya hanya dilakukan pada penderita dengan hipersekresi mucus
sebagai penyebab utama eksaserbasi akut yang terjadi.

15
d) Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda-tanda infeksi seperti demam,
sputum purulen dengan neutrofil leukositosis.
e) Sedasi dan antihistamin
Obat-obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang
perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti
bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat, malahan dapat
menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan
bronkus.
Penatalaksanaan lanjutan adalah sebagai berikut :
Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat
terhadap respons pengobatan dengan menilai parameter klinis: sesak
napas, bising mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu
napas. APE, foto toraks, analisis gas arteri, kadar serum aminofilin,
kadar kalium dan gula darah diperiksa sebagai dasar tindakan
selanjutnya.
Indikasi Perawatan Intensif :
Penderita yang tidak menunjukkan respons terhadap terapi intensif yang
diberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke Unit
Perawatan Intensif. Penderita dengan keadaan berikut biasanya
memerlukan perawatan intensif sebagai berikut :
a) Terdapat tanda-tanda kelelahan
b) Gelisah, bingung, kesadaran menurun.
c) Henti napas membakat (PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg)
sesudah pemberian oksigen.

Penatalaksanaan Lanjutan di Ruangan :


Pada penderita yang telah memberiakn respons yang baik terhadap
pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari. Pada 2-5
hari pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral
dan aminofilin oral serta agonis β2 dengan inhaler dosis terukur 6-8 kali
per hari atau preparat oral 3-4 kali perhari.
Pada hari 5-10, steroid oral (prednisone, prednisolon) diturunkan, obat
β2 dan aminofilin diteruskan.

16
Penatalaksanaan Lepas Rawat :
Kapan penderita dapat dipulangkan, belum ada criteria pasti yang dapat
dipergunakan. Sebagai patokan, penderita dapat dipulangkan, apabila :
a) Tidak ada sesak waktu istirahat
b) Bising tidak ada atau minimal
c) Retraksi otot bantu napas minimal
d) Tidur sudah normal
e) APE > 70% dari nilai normal atau nilai terbaik

Selama minggu pertama penderita dipulangkan, diberikan pengobatan


yang sama dengan hari-hari terakhir perawatan di rumah sakit. Yang
terpenting adalah mengenai penggunaan steroid. Penurunan dosis
steroid 5mg/hari baru dilakukan pada minggu kedua pasca perawatan.
Pada penderita asma kronik yang tergantung steroid penurunan steroid
dilakukan sampai dosis rendah yang masih ditoleransi penderita,
sebaiknya diberikan dosis tunggal pagi hari setiap hari atau selang
sehari. Kalau memungkinkan, lebih baik diberikan steroid aerosol.
Pendidikan terhadap penderita juga penting, diberikan pengetahuan
tentang obat-obat yang harus dipergunakan, cara menggunakan inhaler,
mengenal tanda-tanda perburukan asmanya dan kapan harus segera
mencari pertolongan medic ke unit pelayanan kesehatan.

17
EVIDENCE BASED

JUDUL JURNAL :
APLIKASI TERAPI ‘GUIDED IMAGERY’ UNTUK PASIEN ASMA DENGAN STATUS
ASMATIKUS PADA UNIT GAWAT DARURAT

OLEH :
Nurma Afiani
Dari Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada Volume 02/ Nomor 01/ September 2013

Asma merupakan suatu penyakit pada sistem pernafasan yang dapat disebabkan oleh
multifaktor. Stress psikologis dapat menjadi salah satu pencetus serangan asma. Salah satu
terapi psikologis yang dapat dilakukan pada pasien dengan asma adalah guided imagery.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature review sebagai dasar bagi
penelitian yang akan dilakukan. Hasil studi literature menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
positif terapi guided imagery terhadap salah satu parameter fungsi paru yakni kapasitas
ekspirasi paksa paru (Force Expiratory Volume/ FEV). Terapi komplementer guided imagery
dilakukan sejalan dengan terapi medis oleh tim kesehatan yang lain untuk mencapai kondisi
optimal pasien.

KESIMPULAN :

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terapi guided imagery yang dilakukan pada
pasien asma dapat meningkatkan kapasitas ekspirasi paksa paru (Force Expiration Volume/
FEV) serta dapat menurunkan kadar IgE dalam serum.

Guided imagery sebagai salah satu intervensi mandiri perawat dapat diaplikasikan pada pasien
dengan status asmatikus di Unit Gawat Darurat. Kolaborasi antara terapi medis dengan terapi
komplementer yang dilakukan oleh tim medis diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan
kepada pasien.

18

Anda mungkin juga menyukai