Anda di halaman 1dari 70

TUGAS CLINICAL REASONING

SKENARIO 3

NAMA : RIZKY AMELIA

NPM : 118170156

KELOMPOK : 9B

BLOK : 4.1

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

CIREBON

2020
 SKENARIO 3

Seorang laki-laki berusia 61 tahun datang Instalasi Gawat Darurat RS dengan keluhan
dada berdebardebar disertai sesak nafas.

 STEP 1

Dada berdebar-debar dan sesak nafas

 STEP 2

Sesak nafas
Berdebar-debar

1. Aritmia
1. Pneumonia 1. Hipertensi
2. Gagal jantung
2. Asma bronchial
3. Kardiomiopati
3. Emboli paru
4. Gagal napas
4. TB Paru
5. Pneumothorax
6. Stenosis mitral
7. Defek septum

 STEP 3

1. 1.) Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia) adalah pneumonia yang disebabkan oleh
terbawanya bahan yang ada diorofaring padasaat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat
menimbulkan kerusakan parenkim paru. Secara spesifik, pneumonia aspirasi didefinisikan
dengan ditemukannya bukti radiografi berupa penambahan infiltrat di paru pada pasien dengan
faktor risiko aspirasi orofaring.
2. Etiologi
Pneumonia terjadi saat kuman mengalahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga
menimbulkan peradangan pada paru-paru. Infeksi yang paling sering terjadi disebabkan oleh
bakteri dan virus dalam udara yang kita hirup. Berdasarkan kuman penyebabnya, pneumonia
dapat digolongkan menjadi:

 Pneumonia akibat bakteri. Bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah
Streptococcus pneumoniae. Sedangkan bakteri lainya adalah Chlamydophila pneumonia.
 Pneumonia akibat virus. Sebagian virus penyebab batuk pilek atau flu juga bisa
menyebabkan pneumonia. Beberapa jenis virus yang dapat menyebabkan pneumonia di
antaranya, Adenovirus, virus Corona, yang menyebabkan SARS, MERS, dan Covid 19,
virus Influenza, serta Hantavirus. Umumnya, pneumonia karena virus menimbulkan
gejala yang lebih ringan dan lebih singkat dibanding pneumonia karena bakteri. Namun
ada juga yang bisa memburuk dengan cepat.

 Pneumonia akibat virus. Sebagian virus penyebab batuk pilek atau flu juga bisa
menyebabkan pneumonia. Pneumonia karena virus menimbulkan gejala yang lebih
ringan dan lebih singkat dibanding pneumonia karena bakteri.

 Pneumonia akibat jamur. Orang dapat terjangkit kondisi ini jika menghirup spora jamur
dalam jumlah banyak, yang bisa didapat dari tanah atau kotoran burung. Pneumonia
akibat jamur lebih rentan terkena pada orang yang memiliki penyakit kronis atau orang
yang memiliki sistem kekebalan tubuh rendah

 Pneumonia mikoplasma. Mikoplasma adalah organisme yang bukan termasuk virus atau
bakteri, tetapi memiliki ciri yang menyerupai keduanya. Pneumonia jenis ini tergolong
ringan, dan lebih banyak diderita oleh anak-anak dan remaja.

3. Patofisiologi

Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di orofaring, kebocoran
melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang mengalami kolonisasi di
pipa endotrakeal.

4. Penegakan Diagnosa
- Hasil Anamnesis (Subjective)

Kejadian aspiration pneumonia biasanya tidak dapat diketahui waktu terjadinya dan palingsering
pada orang tua. Keluhannya berupa : Batuk, Takipnea

2 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan fisik serupa pada pneumonia umumnya. Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung
dari luas lesi di paru.

Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas

Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit

Perkusi : redup di bagian yang sakit

Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto toraks
2. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
5. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat
badan, peningkatan suhu dan derajat dehidrasi.
3. Pemberian antibiotik tergantung pada kondisi :
a. Pneumonia komunitas : levofloksasin (500 mg/hari) atau seftriakson (1-2 gr/hari)
b. Pasien dalam perawatan di rumah sakit : levofloksasin (500 mg/hari)ataupiperasilin
tazobaktam (3, 375 gr/6 jam)
atau seftazidim (2 gr/8 jam)
c. Penyakit periodontal berat, dahak yang busuk atau alkoholisme : piperasilin-tazobaktam (3,
375 gr/6 jam) atau imipenem (500 mg/8 jam sampai 1 gr/6 jam) atau kombinasi dua obat :
levofloksasin (500 mg/hari) atau siprofloksasin (400 mg/12 jam) atau seftriakson (1-2 gr/hari)
ditambah klindamisin (600 mg/8 jam) atau metronidazol (500 mg/8jam)

2. Asma

1. Definisi
Asma adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat
reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.

2. Etiologi

Asma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversibel yang disebabkan oleh:

1. Kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.

2. Pembengkakan membran bronkus.

3. Terisinya bronkus oleh mukus yang kental.

3. Klasifikasi Asma

Asma dibagi atas dua kategori, yaitu ekstrinsik atau alergi yang disebabkan oleh alergi
seperti debu, binatang, makanan, asap (rokok) dan obat-obatan. Klien dengan asma alergi
biasanya mempunyai riwayat keluarga dengan alergi dan riwayat alergi rhinitis, sedangkan non
alergi tidak berhubungan secara spesifik dengan alergen.

Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran pernafasan, latihan fisik, emosi dan
lingkungan dengan polusi dapat menyebabkan atau sebagai pencetus terjadinya serangan asma.
Jika serangan non alergi asma menjadi lebih berat dan sering dapat menjadi bronkhitis kronik
dan emfisema, selain alergi juga dapat terjadi asma campuran yaitu alergi dan non alergi.

4. Patofisiologi Asma
Proses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu alergi dan psikologis,
kedua faktor tersebut dapat meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot polos, meningkatnya
sekret abnormal mukus pada bronkiolus dan adanya kontraksi pada trakea serta meningkatnya
produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi penyempitan pada jalan nafas dan penumpukan
udara di terminal oleh berbagai macam sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti
gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah
paru, gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Tiga kategori asma alergi (asma ekstrinsik) ditemukan pada klien dewasa yaitu yang
disebabkan alergi tertentu, selain itu terdapat pula adanya riwayat penyakit atopik seperti eksim,
dermatitis, demam tinggi dan klien dengan riwayat asma. Sebaliknya pada klien dengan asma
intrinsik (idiopatik) sering ditemukan adanya faktor-faktor pencetus yang tidak jelas, faktor yang
spesifik seperti flu, latihan fisik, dan emosi (stress) dapat memacu serangan asma.

5. manifestasi klinik

Gejala utama asma meliputi sulit bernapas (terkadang bisa membuat penderita megap-
megap), batuk-batuk, dada yang terasa sesak, dan mengi (suara yang dihasilkan ketika udara
mengalir melalui saluran napas yang menyempit). Apabila gejala ini kumat, sering kali penderita
asma menjadi sulit tidur.
Tingkat keparahan gejala asma bervariasi, mulai dari yang ringan hingga parah.
Memburuknya gejala biasanya terjadi pada malam hari atau dini hari. Sering kali hal ini
membuat penderita asma menjadi sulit tidur dan kebutuhan akan inhaler semakin  sering. Selain
itu, memburuknya gejala juga bisa dipicu oleh reaksi alergi atau aktivitas fisik.
Gejala asma yang memburuk secara signifikan disebut serangan asma. Serangan asma
biasanya terjadi dalam kurun waktu 6-24 jam, atau bahkan beberapa hari. Meskipun begitu, ada
beberapa penderita yang gejala asmanya memburuk dengan sangat cepat kurang dari waktu
tersebut.
Selain sulit bernapas, sesak dada, dan mengi yang memburuk secara signifikan, tanda-tanda lain
serangan asma parah dapat meliputi:

 Inhaler pereda yang tidak ampuh lagi dalam mengatasi gejala.


 Gejala batuk, mengi dan sesak di dada semakin parah dan sering.

 Sulit bicara, makan, atau tidur akibat sulit bernapas.

 Bibir dan jari-jari yang terlihat biru.


 Denyut jantung yang meningkat.

 Merasa pusing, lelah, atau mengantuk.

 Adanya penurunan arus puncak ekspirasi.

6. Penegakan Diagnosa

- Hasil Anamnesis (Subjective)

Gejala khas untuk Asma, jika ada maka meningkatkan kemungkinan pasien memiliki Asma,
yaitu :

1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya pada dewasa muda

2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari

3. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya

4. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan cuaca, tertawa atau iritan
seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang sangat tajam

- Pemeriksaan Fisik

Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak
terddengan selama eksaserbasi asma yang berat karena penurunan aliran napas yang dikenal
dengan “silent chest”.

- Pemeriksaan Penunjang

1. Arus Puncak Ekspirasi (APE) menggunakan Peak Flowmeter

2. Pemeriksaan darah (eosinofil dalam darah

7. Penatalaksana Asma
Biasanya obat-obatan asma diberikan melalui alat yang disebut inhaler (obat hirup untuk
asma). Alat ini dapat mengirimkan obat ke dalam saluran pernapasan secara langsung dengan
cara dihirup melalui mulut. Menggunakan obat asma dengan cara dihirup dinilai efektif karena
obat tersebut langsung menuju paru-paru. Kendati begitu, tiap inhaler bekerja dengan cara yang
berbeda..
Selain inhaler, ada juga yang disebut sebagai spacer. Ini merupakan wadah dari logam
atau plastik yang dilengkapi dengan corong isap di satu ujungnya dan lubang di ujung lainnya
untuk dipasangkan inhaler. Saat inhaler ditekan, obat akan masuk ke dalam spacer dan dihirup
melalui corong spacer itu sendiri. Spacer juga dapat mengurangi risiko sariawan di mulut atau
tenggorokan akibat efek samping dari obat-obatan asma yang dihirup.
Spacer mampu meningkatkan jumlah obat-obatan yang mencapai paru-paru dan mengurangi
efek sampingnya. Beberapa orang bahkan merasa lebih mudah memakai spacer ketimbang
inhaler saja. Pada kenyataannya karena dapat meningkatkan distribusi obat ke dalam paru-paru,
penggunaan spacer sering disarankan.
elain dengan inhaler, penanganan asma juga bisa dilakukan dengan obat-obatan seperti:

 Steroid oral. Tablet steroid mungkin akan diresepkan dokter jika asma Anda masih
belum bisa dikendalikan. Pengobatan ini biasanya dipantau oleh dokter spesialis paru
yang menangani penderita asma karena jika digunakan secara jangka panjang (misalnya
lebih dari tiga bulan), berisiko menyebabkan efek samping tertentu, seperti hipertensi,
kenaikan berat badan, otot melemah, pengeroposan tulang, kulit menipis dan mudah
memar. Selain itu, efek samping yang lebih serius yang bisa saja terjadi adalah katarak
dan glaukoma. Oleh karena itu pengobatan dengan steroid oral hanya dianjurkan jika
Anda telah melakukan cara pengobatan lainnya, namun belum berhasil. Sebagian besar
orang hanya perlu menggunakan steroid oral selama 1-2 minggu dan sebagai obat
tambahan untuk menangani infeksi tambahan (seperti infeksi pada paru). Biasanya
mereka akan kembali ke pengobatan sebelumnya setelah asma dapat dikendalikan.
Sebaiknya Anda rutin memeriksakan diri agar terhindar dari osteoporosis, diabetes, dan
tekanan darah tinggi.
 Tablet theophylline. Obat yang bisa difungsikan sebagai obat pencegah gejala asma ini
bekerja dengan cara membantu melebarkan saluran napas dengan melemaskan otot-otot
di sekelilingnya. Pada sebagian orang, tablet theophylline diketahui menyebabkan efek
samping, seperti mual, sakit kepala, muntah, insomnia,dangangguan perut. Namun hal ini
biasanya dapat dihindari dengan penyesuaian dosis.
 Tablet leukotriene receptor antagonist (montelukast). Obat ini bekerja dengan cara
menghambat bagian dari reaksi kimia yang menyebabkan radang di dalam saluran
pernapasan. Sama seperti theophylline, obat ini digunakan untuk mencegah gejala asma.
Leukotriene receptor antagonist dapat menimbulkkan efek samping berupa sakit kepala
dan gangguan perut.

 Ipratropium. Meski lebih banyak diresepkan pada kasus bronkitis kronis dan emfisema,
ipratropium juga bisa digunakan untuk menanggulangi serangan asma. Obat ini mampu
memperlancar aliran pernapasan dengan cara melemaskan otot-otot saluran pernapasan
yang mengencang ketika gejala asma kambuh.

 Omalizumab. Obat ini mampu menurunkan risiko terjadinya peradangan saluran


pernapasan dengan cara mengikat salah satu protein yang terlibat di dalam respons imun
dan mengurangi kadarnya pada darah. Umumnya, omalizumab direkomendasikan bagi
penderita yang menderita asma karena alergi dan sering mengalami serangan asma.
Sebagai obat yang biasanya hanya diresepkan oleh dokter spesialis, omalizumab
diberikan dengan cara disuntikkan tiap 2-4 minggu sekali. Penggunaan omalizumab harus
dihentikan jika obat ini tidak berhasil mengendalikan asma dalam kurun waktu enam
belas minggu.

Bronchial thermoplasty. Ini merupakan prosedur pengobatan asma baru yang masih terus diteliti
dan belum tersedia di Indonesia. Dalam beberapa kasus, prosedur ini digunakan untuk mengobati
asma parah dengan cara merusak otot-otot sekitar saluran napas yang dapat mengurangi
penyempitan pada saluran pernapasan

3. Emboli Paru
1. Definisi

Emboli paru adalah penyumbatan pada pembuluh darah di paru-paru. Penyumbatan biasanya
disebabkan oleh gumpalan darah yang awalnya terbentuk di bagian tubuh lain, terutama kaki. Pada
umumnya, gumpalan darah yang terbentuk dan menyebabkan emboli paru berjumlah lebih dari
satu. Gumpalan darah ini akan menyumbat pembuluh darah dan menghambat aliran darah ke
jaringan di paru-paru sehingga menyebabkan kematian jaringan paru-paru.

2. Etiologi

Emboli paru paling sering disebabkan oleh gumpalan darah dari bagian tubuh lain yang
menyumbat arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis adalah pembuluh darah yang mengalirkan darah
dari jantung ke paru-paru. Pada sebagian besar kasus, emboli paru disebabkan oleh gumpalan
darah yang terbentuk pada  trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT). DVT sering
terjadi di pembuluh vena di kaki atau panggul.

Selain gumpalan darah, emboli di arteri paru-paru juga bisa disebabkan oleh material
lain, seperti:

 Gelembung udara
 Lemak dari sumsum tulang yang patah

 Kumpulan bakteri, jamur, atau parasit

 Bagian dari tumor

 Cairan ketuban

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang emboli paru, yaitu:

 Pernah menderita emboli paru, DVT, kanker, stroke, atau serangan jantung
 Pernah menjalani kemoterapi atau operasi, seperti operasi tulang, sendi, atau otak

 Memiliki kondisi tidak bisa bangun dari tempat tidur, misalnya karena lumpuh atau tirah
baring yang lama di rumah sakit

 Menderita gangguan pembekuan darah, berat badan berlebih (obesitas), atau patah tulang,
terutama tulang paha atau panggul

 Memiliki keluarga dengan riwayat emboli paru


 Sedang menjalani terapi pergantian hormon

 Sedang hamil atau baru saja melahirkan

 Sedang mengonsumsi pil KB

 Memiliki kebiasaan merokok

 Berusia 60 tahun atau lebih

3. Patofisiologi
patofisiologi emboli paru dimulai dari terlepasnya thrombus yang terbentuk dalam  vena
dalam dan tersangkut di pembuluh darah pulmoner. Derajat keparahan dan manifestasi klinis
emboli paru bergantung pada :
 Lokasi oklusi pada vascular tree dan ukuran dari emboli
 Komorbiditas kardiopulmonal yang dimiliki pasien
 Vasokonstriksi kimia yang disebabkan pelepasan serotonin dan thromboksan dari
thrombosit yang melekat pada embolus, serta fibropeptida B yang merupakan produk dari
penguraian fibrinogen
 Refleks vasokonstriksi yang timbul karena dilatasi arteri pulmonal

4. Gejala Emboli Paru


Gejala emboli paru bisa berbeda-beda pada setiap orang, tergantung pada luasnya bagian
paru yang terkena, ukuran gumpalan darah, serta kondisi jantung dan paru-paru. Beberapa gejala
dan tanda yang umumnya muncul akibat emboli paru adalah:

1) Sesak napas yang muncul secara tiba-tiba


2) Nyeri dada yang bisa menjalar ke rahang, leher, bahu dan lengan atau nyeri dada yang
memberat saat menarik napas (nyeri pleuritik)

3) Batuk berdahak atau berdarah

4) Pusing atau pingsan

5) Sakit yang bisa disertai pembengkakan di kaki, khususnya betis


6) Ujung jari atau bibir membiru (sianosis)

7) Detak jantung yang cepat dan tidak teratur (aritmia)

8) Sakit punggung

9) Keringat berlebih

Diagnosis Emboli Paru


Dokter akan menanyakan gejala yang dialami dan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien.
Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa tanda DVT.
Untuk memastikan apakah pasien menderita emboli paru, dokter akan melakukan pemeriksaan,
seperti:

 Tes darah, untuk mengukur D dimer (protein di dalam darah yang muncul setelah
gumpalan darah terurai) serta mengukur kadar karbondioksida dan oksigen dalam darah.
 Pemindaian dengan USG duplex, CT scan, ventilation-perfusion (V/Q) scan atau MRI,
untuk mendeteksi posisi gumpalan darah di dalam tubuh.

 Pulmonary angiography, atau angiografi paru, untuk melihat aliran darah di arteri paru-
paru. Angiografi paru biasanya dilakukan bila pemeriksaan lain tidak dapat memastikan
emboli paru.

Pengobatan Emboli Paru


Pengobatan emboli paru bertujuan mencegah terbentuknya gumpalan darah baru dan agar
gumpalan darah yang sudah terbentuk tidak membesar. Ada beberapa metode untuk menangani
emboli paru, yaitu:

 Pemberian obat antikoagulan, untuk menghambat pembentukan gumpalan darah, dan


obat trombolitik untuk memecahkan bekuan darah.
 Pemasangan kateter, untuk menghambat gumpalan darah agar tidak masuk ke paru-paru.
Prosedur ini ditujukan pada pasien yang tidak boleh diberikan obat antikoagulan atau
tidak merespons obat antikoagulan.

 Bedah embolektomi, untuk mengeluarkan gumpalan darah. Prosedur ini dilakukan jika
gumpalan darah terlalu besar dan mengancam nyawa pasien.
Komplikasi Emboli Paru
Meski berbahaya, emboli paru dapat disembuhkan. Namun, bila terlambat ditangani, penderita
emboli paru dapat mengalami komplikasi berupa:

 Penumpukan cairan di membran paru-paru (efusi pleura)


 Tekanan darah tinggi di pembuluh arteri paru-paru (hipertensi pulmonal)

 Kematian jaringan paru-paru (infark paru)

 Gangguan irama jantung (aritmia)

 Henti jantung

4. Tuberculosis
1. Definisi

Tuberkulosis Paru (selanjutnya disebut sebagai TB paru) adalah suatu bentuk tersering
dari penyakit Tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi multi sistemik yang paling
umum, dengan berbagai macam manifestasi dan gambaran klinis, dimana paru-paru adalah
lokasi yang paling umum untuk perkembangan penyakit tuberkulosis ini.

Tuberkulosis Paru  adalah penyakit menular paru-paru yang disebabkan oleh


basil Mycobacterium tuberculosis, yang merusak jaringan paru-paru dengan manifestasi berupa
gejala batuk lebih dari 3 minggu yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa, demam,
keringatan malam hari, batuk darah, dan penurunan berat badan.
2. Etiologi
Etiologi Tuberkulosis paru (TB paru) adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
ini berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil tahan asam, intraseluler,
dan bersifat aerob.
Basil ini berukuran 0,2-0,5 µm x 2-4 µm, tidak berspora, non motil, serta bersifat
fakultatif. Dinding sel bakteri mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik, kaya akan
asam, dan fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman terhadap serangan sel
liposom tubuh dan juga dapat menahan zat pewarna fuchsin setelah pembilasan asam (pewarna
tahan asam).
Diketahui bahwa manusia adalah sebagai inang (host) terhadap pertumbuhan dan
perkembangbiakan basil tersebut. Transmisi organisme ini secara primer terjadi melalui droplet
di udara yang berasal dari individu yang mengidap TB aktif, atau dalam stadium infeksius TB. 
Walaupun pernah pula dilaporkan penularan melalui transdermal dan gastrointestinal.
3. Patofisiologi
Patofisiologi Tuberkulosis paru (TB paru) melibatkan inhalasi Mycobacterium
tuberculosis, suatu basil tahan asam (acid-fast bacilli). Setelah inhalasi, ada beberapa
kemungkinan perkembangan penyakit yang akan terjadi, yaitu pembersihan langsung dari bakteri
tuberkulosis, infeksi laten, atau infeksi aktif.
Ketika seorang pengidap TB paru aktif batuk, bersin, menyanyi, atau meludah, orang ini dapat
mengeluarkan titik-titik air liur kecil (droplets) ke udara bebas.  Droplets yang
berisi Mycobacterium tuberculosis ini, apabila terinhalasi orang lain akan masuk sampai di
antara terminal alveoli paru.
Organisme kemudian akan tumbuh dan berkembang biak dalam waktu 2-12 minggu
sampai jumlahnya mencapai 1000-10.000. Jumlah tersebut akan cukup untuk mengeluarkan
respon imun seluler yang mampu dideteksi melalui reaksi terhadap tes tuberkulin. Namun, tubuh
tidak tinggal diam, dan akan mengirimkan pertahanan berupa sel-sel makrofag yang memakan
kuman-kuman TB ini. 
Selanjutnya, kemampuan basil tahan asam ini untuk bertahan dan berproliferasi dalam
sel-sel makrofag paru menjadikan organisme ini mampu untuk menginvasi parenkim, nodus-
nodus limfatikus lokal, trakea, bronkus (intrapulmonary TB), dan menyebar ke luar jaringan paru
(extrapulmonary TB).
Organ di luar jaringan paru yang dapat diinvasi oleh Mycobacterium tuberculosis
diantaranya adalah sum-sum tulang belakang, hepar, limpa, ginjal, tulang, dan otak.  Penyebaran
ini biasanya melalui rute hematogen.

4. Gejala dan Penegakan Diagnosa

Gejala Tuberkulosis
Selain menimbulkan gejala berupa batuk yang berlangsung lama, penderita TBC juga akan
merasakan beberapa gejala lain, seperti:

 Demam
 Lemas
 Berat badan turun

 Tidak nafsu makan

 Nyeri dada

 Berkeringat di malam hari

Diagnosis tuberkulosis paru (TB paru) ditegakkan berdasarkan gambaran klinis klasik,
Mantoux test atau tuberculin skin test (TST), pemeriksaan foto rontgen dada, sputum
BTA, kultur sputum, ataupun interferon-gamma release assay (IGRA) spesific antigen.

Anamnesis

Pada TB paru sebaiknya menggali adanya faktor-faktor risiko yang menjadikan


seseorang terkena TB, riwayat imunisasi, dan riwayat tes tuberkulin positif. Gejala klasik
TB paru yang dapat timbul adalah batuk-batuk berdahak lebih dari tiga minggu yang
tidak sembuh dengan pengobatan biasa, demam, berkeringat di malam hari, anoreksia dan
penurunan berat badan, hemoptisis, rasa lemas, nyeri pada dada, dan kedinginan.

Pemeriksaan BTA dapat dilakukan menggunakan sampel selain dahak, untuk kasus TBC yang
terjadi bukan di paru-paru. pemeriksaan kultur BTA, yang juga menggunakan sampel dahak
penderita. Tes kultur BTA dapat mengetahui efektif atau tidaknya obat TBC yang akan
digunakan dalam membunuh kuman. Namun, tes ini memakan waktu yang lebih lama.

Selain pemeriksaan BTA, dapat melakukan serangkaian pemeriksaan lain sebagai pendukung
diagnosis, meliputi:

 Foto Rontgen
 CT scan

 Tes kulit Mantoux atau Tuberculin skin test

 Tes Darah IGRA (interferon gamma release assay)

5. Pengobatan
Penyakit ini dapat disembuhkan dan jarang berakibat fatal jika penderita mengikuti saran
dari dokter. Prinsip utama pengobatan TBC (tuberkulosis) adalah patuh untuk minum obat
selama jangka waktu yang dianjurkan oleh dokter (minimal 6 bulan).
Apabila berhenti meminum obat sebelum waktu yang dianjurkan, penyakit TBC yang Anda
derita berpotensi menjadi kebal terhadap obat-obat yang biasa diberikan. Jika hal ini terjadi, TBC
menjadi lebih berbahaya dan sulit diobati.
Obat yang diminum merupakan kombinasi dari isoniazid, rifampicin, pyrazinamide dan
ethambutol. Sama seperti semua obat, obat TBC juga memiliki efek samping, antara lain:
 Warna urine menjadi kemerahan
 Menurunnya efektivitas pil KB, KB suntik, atau susuk

 Gangguan penglihatan

 Gangguan saraf

 Gangguan fungsi hati

Untuk penderita yang sudah kebal dengan kombinasi obat tersebut, akan menjalani pengobatan
dengan kombinasi obat yang lebih banyak dan lebih lama. Lama pengobatan dapat mencapai 18-
24 bulan.
Selama pengobatan, penderita TBC harus rutin menjalani pemeriksaan dahak untuk memantau
keberhasilannya.

Aritmia

1. Definisi

Istilah aritmia mengacu pada perubahan dari mekanisme penjalaran impuls listrik
jantungyang menyebabkan gangguan irama denyut jantung. 2 bentuk mendasar dari aritmia
adalah :

- Takikardi , jika denyut jantung >100x/menit

- Bradikardi, jika denyut jantung <60x/menit

Beberapa aritmia berlangsung secara singkat sehingga denyut jantung keseluruhan tidak
terlalu terpengaruhi. Namun jika aritmia berlangsung cukup lama dapat mengakibatkan denyut
jantung menjadi terlalu lambat ataupun terlalu cepat sehingga kemampuan jantung untuk
memompa darah menjadi kurang efektif. Takikardi mengurangi curah jantung dengan
memperpendek waktu pengisian ventrikel dan volume sekuncup, sedangkan bradikardi
mengurangi curah jantung dengan mengurangi frekuensi ejeksi ventrikel.

Klasifikasi gangguan irama jantung

Berdasarkan mekanismenya, aritmia dibagi menjadi takiaritmia dan bradiaritmia, sedangkan


berdasarkan letaknya aritmia dibagi menjadi supraventrikular aritmia dan ventrikular aritmia

Berikut ini merupakan beberapa jenis gangguan irama jantung :

a. Supraventrikular Takikardi (SVT)

Supraventrikular takikardi adalah seluruh bentuk takikardi yang muncul dari berkas HIS
maupun di atas bifurkasi berkas HIS. Pada umumnya gejala yang timbul berupa palpitasi, kepala
terasa ringan, pusing, kehilangan kesadaran, nyeri dada, dan nafas pendek. Gejala-gejala tersebut
muncul secara tiba-tiba (sudden onset) dan berhenti secara tiba-tiba (abrupt onset).
Gambar 2. Klasifikasi Supraventrikular Takikardi

1. Sinus Takikardi

Sinus takikardi adalah irama sinus dengan kecepatan denyut jantung >100x/menit.
Terdapat 2 jenis sinus takikardi, yaitu fisiologis dan non fisiologis. Sinus takikardi fisiologis
menggambarkan keadaan normal atau merupakan respon stress fisiologis (aktivitas fisik, rasa
cemas), kondisi patologis (demam, tirotoksikosis, anemia, hipovolemia), atau stress farmakologis
untuk menjaga curah jantung tetap stabil. Sedangkan sinus akikardi non fisiologis terjadi akibat
gangguan pada sistem vagal, simpatik, atau pada nodus SA sendiri.
Gambar 2. Interpretasi EKG pada Sinus Takikardi

2. Atrial Fibrilasi

Atrial fibrilasi adalah bentuk aritmia yang paling sering terjadi.Pada atrial fibrilasi,
impuls listrik tidak dimulai dari nodus SA, melainkan dari bagian lain di atrium atau di dekat
v.pulmonalis. Hal ini akan menimbulkan impuls yang cepat dan tak beraturan sehingga atrium
akan berdenyut secara tepat dan tak beraturan pula. Ketika impuls listrik sampai di nodus AV,
nodus AV akan meneruskan impuls tersebut walaupun tidak secepat impuls awalnya sehingga
ventrikel juga akan berdenyut cepat namun tidak secepat atrium. Oleh karena itu, atrium dan
ventrikel tidak lagi berdenyut bersamaan. Hal ini menyebabkan darah di atrium tidak terpompa
menuju ventrikel sebagaimana seharusnya. Resiko terjadinya atrial fibrilasi akan meningkat pada
keadaan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit jantung rematik, defek
struktur jantung (contoh : Mitral Valve Prolapse), pericarditis, penyakit jantung kongenital,
hipertiroidisme, obesitas, diabetes, dan penyakit paru.

Komplikasi yang dapat ditimbulkan berupa stroke dan gagal jantung. Stroke terjadi akibat
terlepasnya gumpalan darah (trombus) di atrium yang kemudian menyumbat pembuluh darah
otak. Gagal jantung terjadi jika jantung tidak dapat memompa darah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Pada EKG didapatkan gambaran gelombang tidak teratur, komples QRS
sempit, dan kecepatan >300x/menit.

3. Atrial Flutter

Atrial flutter dapat disebabkan karena adanya perlukaan pada jantung akibat penyakit
jantung atau prosedur operasi jantung. Namun atrial flutter dapat pula terjadi pada pasien tanpa
gangguan jantung. Kondisi ini disebut sebagai Lone Atrial Flutter . Pada atrial flutter impuls
listrik tidak dimulai dari nodus SA melainkan dari atrium kanan dan melibatkan sirkuit besar
yang meliputi daerah dekat katup trikuspid. Hal ini akan menyebabkan atrium berdenyut cepat
dan memacu ventrikel untuk berdenyut cepat pula. Atrial flutter pada umumnya terjadi pada
penderita penyakit jantung, seperti penyakit jantung kongestif, penyakit katup rematik, penyakit
jantung kongenital atau kondisi medis lainnya, seperti emfisema paru dan hipertensi. Resiko
terjadinya atrial flutter akan meningkat padapasien post operasi jantung akibat terbentuknya
perlukaan pada bagian atrium.

5. Atrial Ekstrasistol

Atrial ekstrasistol sering muncul pada jantung normal, namun pada umumnya berhubungan
dengan penyakit jantung struktural dan frekuensinya meningkat seiring pertambahan usia. Pada
gambaran EKG ditandai dengan adanya gelombang P yang timbul sebelum gelombang P pada
sinus normal muncul. Pada APC yang terjadi terlalu dini dapat menyebabkan pemanjangan
interval PR dan beberapa dapat pula tidak dikonduksikan ke ventrikel sehingga denyut menjadi
tidak teratur.
b. Ventrikel Takikardi

Ventrikel takikardi adalah ventrikel ekstrasistol yang timbul ≥ 4x berturut-turut. Merupakan


salah satu aritmia lethal (berbahaya) karena mudah berkembang menjadi ventrikel fibrilasi dan
dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Ventrikel takikardi disebabkan oleh keadaan
yang mengganggu sistem konduksi jantung, seperti kekurangan pasokan O2 akibat gangguan
pada pembuluh darah koroner, kardiomiopati,sarcoidosis, gagal jantung, dan keracunan
digitalis.Diagnosis ditegakkan jika ditemukan denyut jantung 150-210x/menit dan ditemukan
gejala berupa sakit kepala, kepala terasa ringan, kehilangan kesadaran, dan henti jantung yang
muncul secara tiba-tiba dan tidak pernah terjadi sebelumnya.Pemeriksaan EKG menunjukkan
adanya kompleks QRS lebar yang timbul berturut-turut dan terus menerus dengan kecepatan
>150x/menit.

d. Ventrikel Ekstrasistol

Ventrikel Ekstrasistol adalah gangguan irama berupa timbulnya denyut jantung prematur yang
berasal dari 1 atau lebih fokus di ventrikel. Merupakan kelainan irama jantung yang paling sering
ditemukan. Ventrikel ekstrasistol dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infark miokard akut,
gagal jantung, sindrom QT memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovascular accident,
keracunan digitalis, hipokalemia,miokarditis, kardiomiopati. Namun dapat juga timbul pada
jantung yang normal. Gambaran EKG menunjukkan komples QRS lebar dan bizzare serta tidak
didahului dengan gelombang p

e. Bradikardi

Bradikardi adalah gangguan irama jantung di mana jantung berdenyut lebih lambat dari normal,
yaitu 60x/menit. Bradikardi disebabkan karena adanya gangguan pada nodus SA, gangguan
sistem konduksi jantung, gangguan metabolik (hipotiroidisme), dan kerusakan pada jantung
akibat serangan jantung atau penyakit jantung.28 Gejala yang timbul bervariasi, dari asimtomatik
hingga muncul gejala sinkop/hampir sinkop, dispneu, nyeri dada, lemah, dan pusing

Penyebab Aritmia
Aritmia terjadi ketika impuls listrik yang berfungsi mengatur detak jantung tidak bekerja dengan
baik. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh sejumlah kondisi di bawah ini:

 Konsumsi obat pilek atau obat alergi


 Sleep apnea

 Hipertensi
 Diabetes

 Gangguan elektrolit, seperti kelebihan atau kekurangan kalium.

 Gangguan tiroid, misalnya hipertiroidisme

 Kelainan katup jantung

 Penyakit jantung bawaan

 Penyakit jantung koroner

 Serangan jantung

Selain kondisi medis, aritmia juga dapat dipicu oleh gaya hidup yang tidak sehat, seperti:

 Tidak dapat mengelola stres dengan baik


 Kurang tidur

 Merokok

 Konsumsi minuman beralkohol atau berkafein secara berlebihan

 Penyalahgunaan NAPZA

Diagnosis Aritmia
Untuk menentukan apakah pasien menderita aritmia, dokter akan menanyakan gejala yang
muncul dan mendengarkan detak jantung pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan beberapa
pemeriksaan berikut:

 Elektrokardiogram (EKG), untuk merekam aktivitas listrik jantung dalam kondisi


berbaring. Guna merekam aktivitas listrik jantung ketika pasien beraktivitas selama
seharian, dokter akan memasang alat EKG portabel yang disebut holter monitoring pada
pasien.
 Uji latih jantung, untuk mengukur aktivitas jantung saat pasien melakukan latihan fisik,
misalnya mengayuh sepeda statis atau berjalan di atas treadmill.

 Echo jantung, untuk melihat struktur dan fungsi jantung. Prosedur ini dilakukan dengan
bantuan gelombang suara.
Dokter juga dapat menjalankan pemeriksaan lain, guna melihat kemungkinan adanya penyakit
yang mendasari aritmia, yaitu:

 Pengukuran kadar elektrolit


 Pengukuran kadar gula darah

 Pencitraan

 Katerisasi jantung

 Biopsi

Pengobatan Aritmia
Pengobatan aritmia bertujuan untuk mengatasi irama jantung yang tidak teratur. Metode yang
digunakan tergantung pada jenis gangguan irama jantung yang dialami, apakah terlalu cepat atau
terlalu lambat.
Metode pengobatan aritmia meliputi:
Obat-obatan
Obat-obatan yang diresepkan dokter untuk mengatasi aritmia adalah obat antiaritmia. Dokter
juga akan meresepkan warfarin untuk menurunkan risiko terjadinya penggumpalan darah.
Ablasi
Dokter melakukan tindakan ablasi jantung dengan cara memasang satu atau lebih kateter di
pembuluh darah yang menuju ke jantung. Elektroda yang terdapat di ujung kateter akan
menghancurkan sebagian kecil jaringan di jantung yang menyebabkan gangguan irama jantung,
sehingga irama jantung menjadi normal kembali.
Alat pacu jantung
Dokter akan memasang alat pacu jantung di bawah kulit, tepat di bawah tulang selangka. Alat
pacu tersebut berfungsi mengembalikan irama jantung yang terlalu lambat menjadi normal.
ICD
Implantable cardioverter-defribilator (ICD) adalah alat kecil yang dipasang di dada. Alat ini
digunakan pada penderita yang berisiko mengalami henti jantung mendadak. Implan alat ini akan
mendeteksi tanda henti jantung dan otomatis mengalirkan listrik untuk mengatasinya.
Komplikasi Aritmia
Pada beberapa kasus, aritmia dapat memburuk dan menyebabkan komplikasi serius, seperti:

 Demensia
 Penyakit Alzheimer
 Stroke

 Gagal jantung

 Henti jantung

 Kematian mendadak pada bayi (SIDS)

5. Gagal Jantung

1. definisi

Gagal Jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang dikarakteristikkan sebagai
disfungsi ventrikel kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan
pengaturan neuruhormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi aktivitas, etensi
cairan dan upaya untuk bernafas normal.2

2. Etiologi

Gagal Jantung disebabkan oleh disfungsi miokardial dimana jantung tidak mampu untuk
mensuplai darah yang cukup untuk mempertahankan kebutuhan metabolik jaringan perifer dan
organ tubuh lainnya. Gangguan fungsi miokard terjadi akibat dari miokard infark akut. 2

Penyebab Gagal jantung dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri dari:

1. kerusakan kontraktilitas ventrikel

2. peningkatan afterload,

3. dan kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan pengisian diastolik). Kerusakan
kontraktilitas dapat disebabkan coronary arteri disease (miokard infark dan miokard iskemia),
chronic volume overload (mitral dan aortic regurgitasi) dan cardiomyopathies. Peningkatan
afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi, hipervolemia, defek septum ventrikel,
defek septum atrium, paten duktus arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat.
Sedangkan kerusakan pengisian diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel
kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosi miokard, transient myocardial ischemia, dan kontriksi
perikardial.

4. Patofisiologi Gagal Jantung

Patofisiologi Gagal Jantung diuraikan berdasarkan tipe Gagal Jantung yang dibedakan
atas Gagal Jantung Akut dan Kronik, Gagal Jantung kiri dan kanan, Gagal Jantung dengan output
yang tinggi dan output yang rendah, Gagal Jantung dengan kemunduran dan kemajuan, serta
Gagal Jantung sistolik dan diastolik.1
Gagal Jantung Akut adalah timbulnya gejala secara mendadak,biasanya selama bebarapa
hari atau beberapa jam. Gagal Jantung kronik adalah perkembangan gejala selama beberapa
bulan sampai bebarapa tahun. Jika penyebab atau gejala gagal jantung akut tidak reversibel,
maka gagal jantung menjadi kronis. 1

Gagal Jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengosongkan
dengar benar. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam ventrikel dan kongesti pada
sistem vaskular paru. Gagal Jantung kiri dapat lebih lanjut dklasifikasikan menjadi disfungsi
sistolik dan diatolik. Disfungsi sistolik didefinisikan sebagai fraksi ejeksi kurang dari 40% dan
disebabkan oleh penurunan kontraktilitas. Ventrikel tidak dikosongkan secara adekuat karena
pemompaan yang buruk, dan hasil akhirnya adalah penurunan curah jantung. Sedangkan
disfungsi diastolik sering disebut dengan Gagal Jantung dengan fungsi ventrikel kiri yang
dipertahankan. Pemompaan normal atau bahkan meningkat, dengan fraksi ejeksi kadang-kadang
setinggi 80%. Disfungsi diastolik disebabkan oleh gangguan relaksasi dan pengisian.

Gagal Jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk memompa secara adekuat
Kegagalan jantung kanan sering kali mengikuti kegagalan jantung kiri tetapi bisa juga
disebabkan oleh karena gangguan lain seperti atrial septal defek cor pulmonal. Pada kondisi
kegagalan jantung kanan terjadi afterload yang berlebihan pada ventrikel kanan karena
peningkatan tekanan vaskular pulmonal sebagai akibat dari disfungsi ventrikel kiri. Ketika
ventrikel kanan mengalami kegagalan, peningkatan tekanan diastolik akan berbalik arah ke
atrium kanan yang kemudian menyebabkan terjadinya kongesti vena sistemik. Pada beberapa
kasus gagal jantung ditemukan kondisi penurunan output. Dan sebaliknya peninggian output
pada gagal jantung sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan kondisi hiperkinetik
sistem sirkulasi yang terjadi karena meningkatnya kebutuhan jantung yang disebabkan oleh
kondisi lain seperti anemia atau tiroksikosis. Vasokontriksi dapat terjadi pada kondisi gagal
jantung dengan penurunan output sedangkan pada gagal jantung dengan peningkatan output
terjadi vasodilatasi. Pada tipe gagal jantung dengan kemunduran merupakan kondisi dimana
terjadi peningkatan dalam sistem pengosongan satu atau kedua ventrikel.1

4. Manifestasi Klinis dan Penegakan Diagnosa

Adapun manifestasi klinis yang ditemui pada pasien gagal jantung berdasarkan tipe gagal
jantung itu sendiri, terdiri dari:

Gagal Jantung kiri, dengan tanda dan gejala berupa:


a. Penurunan cardiac output: kelelahan, oliguri, angina, konfusi dan gelisah, takikardi dan
palpitasi, pucat, nadi perifer melemah, akral dingin.

b. Kongesti pulmonal: batuk yang bertambah buruk saat malam hari (paroxysmal noctural
dyspnea), dispnea, krakels, takipnea dan orthopnea. 3

Gagal Jantung kanan, manifestasi klinisnya adalah kongesti sistemik yaitu berupa:
distensi vena jugularis, pembesaran hati dan lien, anoreksia dan nausea, edema menetap, distensi
abdomen, bengkak pada tangan dan jari, poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan
darah atau penurunan tekanan darah karena kegagalan pompa jantung. Adapun hal lain seperti
Demam, Hipertensi, Nocturia, Dypsnea, Paroxysmal atau dypsnea noctural, Batuk, Orthopnea,
Hypoxemia, Pernafasan Cheyne-Stokes, Anorexia, Mual, Kelelahan, Kelemahan, Cemas,
Bingung, Sakit kepala dan Insomnia. 3

Orang dengan gagal jantung kongestif terkadang tidak menduga bahwa dirinya memiliki
masalah dengan jantung atau memiliki gejala tidak enak badan namun tidak mengetahui bahwa
itu disebabkan oleh masalah jantung.2

Gejala awal CHF mungkin termasuk sesak napas, batuk, atau perasaan tidak mampu
untuk tarik napas dalam-dalam, terutama ketika berbaring. Jika seseorang memang sudah
memiliki masalah pernapasan, seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik( PPOK ), atau
emfisema, biasanya mereka menduga bahwa gejala tersebut bersumber dari penyakit yang sudah
ada itu tanpa menyadari adanya gangguan jantung.

Gejala gagal jantung kongestif yang utama adalah sebagai berikut:

Keterbatasan aktifitas fisik

- Seseorang mungkin tidak dapat mentolerir jenis olahraga tertentu seperti jalan cepat atau lari,
bahkan aktivitas fisik ringan yang sebelumnya sering dilakukan sekarang menjadi tidak mampu
untuk melakukannya. Hal ini terjadi karena tubuh membutuhkan oksigen dan nutrisi lainnya
selama aktivitas fisik. Sedangkan pada gagal jantung CHF, jantung tidak dapat memompa cukup
darah untuk memberikan nutrisi bagi tubuh.

- Ketidakmampuan berolahraga, atau bahkan untuk berjalan pada kecepatan normal, mungkin
dibatasi oleh rasa lelah ( fatigue ) dan sesak napas.
Sesak napas

- Jika seseorang memiliki gagal jantung kongestif, ia mungkin mengalami kesulitan bernapas
(dyspnea), terutama ketika aktif secara fisik. Kegiatan biasa, seperti menyapu atau bahkan
berjalan di sekitar rumah, mungkin sulit atau tidak mungkin. Sesak napas akibat CHF seperti ini
biasanya akan lebih baik dengan istirahat.1

- Ketika gagal jantung kongestif memburuk, bisa terjadi penumpukan cairan di dalam paru-paru
dan mengganggu oksigen untuk masuk ke dalam darah, menyebabkan dyspnea pada saat istirahat
dan pada malam hari (ortopnea). Jika seseorang memiliki gagal jantung kongestif, ia bisa
terbangun di malam hari akibat sesak napas dan harus duduk atau berdiri untuk bisa meringankan
sesak. Kondisi ini dikenal sebagai paroxysmal nocturnal dyspnea. Beberapa bantal (bantal tinggi)
dapat membantu untuk tidur lebih nyaman. Terkadang mereka lebih memilih tidur di kursi
daripada di tempat tidur. Ketika penumpukan cairan di paru-paru menjadi sangat parah, maka
bisa terjadi batuk dengan dahak bercampur darah berwarna merah muda.
Dengan memperhatikan setiap gejala yang muncul dan dari pemeriksaan fisik yang
dilakukan, seorang dokter sudah dapat mencurigai bahwa seseorang memiliki CHF, namun untuk
memastikan hal itu, maka diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

- EKG atau rekam jantung yang dapat mendeteksi kelistrikan jantung, pembesaran jantung, dan
otot-otot jantung.

- Rontgen dada; dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan dapat menunjukkan dilatasi /
hipertropi bilik atau perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonalis.

- Kateterisasi Jantung; digunakan untuk mengukur tekanan di dalam ruang jantung. tekanan
abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung kanan versus kiri,
stenosis atau insufisiensi, juga mengkaji potensi arteri koroner.

- Pemeriksaan Elektrolit; untuk mendeteksi perubahan elektrolit dalam tubuh, akan terlihat
perubahan karena adanya perpindahan cairan / penurunan fungsi ginjal.

5. Komplikasi CHF

1) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau deep venous
thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa
diturunkan dengan pemberian warfarin.
2) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan perburukan
dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan
pemberian warfarin).

3) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis ditinggikan.

4) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac death (25-
50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator
yang ditanam mungkin turut mempunyai peranan

6. Penatalaksanaan CHF

Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah:

1) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.

2) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan farmakologis.

3) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi

diuretik diet dan istirahat.9

- Terapi Farmakologi

1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)

Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume berlebihan
seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya
menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga
menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.

2) Antagonis aldosteron

Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat

3) Obat inotropik

Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.

4) Glikosida digitalis

Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan volume


distribusi.

5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)


Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena.

6) Inhibitor ACE

Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi aldosteron


sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor ini juga menurunkan retensi
vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung.

- Terapi non farmakologi

Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti: diet
rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis,
menghindari rokok, olahraga teratur

1) Kardiomiopati

1. Definisi

Kardiomiopati adalah penyakit yang berhubungan dengan miokardium atau otot jantung
di mana terdapat kelainan pada otot jantung secara struktur dan fungsi tanpa adanya penyakit
jantung koroner, hipertensi, atau kelainan katup jantung. Bila penyakit ini terbatas hanya pada
kelainan atau kerusakan otot jantung, maka keadaan ini disebut kardiomiopati primer. Bila
kardiomiopati disebabkan oleh penyakit lain yang mengakibatkan kelainan pada otot jantung,
keadaan ini disebut kardiomiopati sekunder.

Ada empat tipe utama kardiomiopati, yaitu:

 Restrictive cardiomyopathy

Gangguan ini timbul sebagai akibat dari tidak elastis dan kakunya otot jantung, sehingga
jantung tidak dapat mengembang dengan baik dan berujung pada terhambatnya aliran darah ke
dalam jantung. Kondisi yang jarang ini, tidak diketahui penyebabnya, namun dapat merupakan
bagian dari penyakit amiloidosis, sarkoidosis, dan hemokromatosis (penumpukkan zat besi pada
otot jantung). Penyakit ini umumnya terjadi pada orang lanjut usia walau dapat juga terjadi pada
segala usia.

 Hypertrophic cardiomyopathy

Kondisi ini sebagian besar diakibatkan oleh kondisi genetik yang menurun di dalam
keluarga dan dapat terjadi pada segala usia. Gangguan timbul akibat menebalnya otot jantung
secara abnormal, khususnya pada ventrikel kiri jantung, yaitu ruang jantung yang memompa
darah ke seluruh tubuh. Penebalan ini mengakibatkan jantung menjadi sulit untuk memompa
darah.
 Arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy

Tipe kardiomiopati ini tergolong jarang. Sebagian kasus merupakan penyakit turunan
yang sering disebabkan oleh mutasi pada satu gen atau lebih. Gangguan ini timbul karena
terdapat kelainan pada protein yang merekatkan sel otot jantung dan dapat menyebabkan
kematian sel. Sel otot jantung yang mati kemudian digantikan oleh lemak dan jaringan parut,
sehingga dinding ruang jantung menjadi tipis dan meregang. Akibatnya irama jantung menjadi
tidak beraturan serta tidak dapat memompa dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh dengan baik.
Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia.

 Dilated cardiomyopathy

Merupakan tipe kardiomiopati yang paling sering. Gangguan timbul karena ventrikel kiri
jantung membesar dan melebar sehingga menjadi tidak kuat untuk memompa darah ke seluruh
tubuh. Namun kelainan ini tidak disebabkan oleh penyakit jantung koroner. Dilated
cardiomyopathy merupakan penyebab tersering dari gagal jantung dan penyebab tersering orang
melakukan transplantasi jantung. Dilated cardiomyopathy dapat diturunkan secara genetik
maupun didapat. Kondisi lain yang dapat menyebabkan dilated cardiomyopathy adalah infeksi
(miokarditis), penyakit autoimun, kehamilan, racun yang berlebihan (seperti alkohol, kokain,
amfetamin, dan ekstasi), kekurangan nutrisi (zink, selenium, dan vitamin B1),  obat tertentu (obat
kanker, obat penenang), kelainan fungsi kelenjar tiroid, dan gangguan elektrolit (kekurangan
kalsium dan fosfat dalam darah).

2. Etiologi

Penyebab kardiomiopati Idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya , tetapi ada beberapa faktor
yang memungkinkan diantaranya adalah :

 Kelainan genetik.
 Penyakit tiroid.

 Irama jantung cepat yang tidak tertangani.

 Gangguan metabolic, seperti obesitas atau diabetes.

 Kekurangan vitamin dan mineral.

 Komplikasi akhir kehamilan sampai dengan 6 bulan setelah melahirkan (peripartum


cardiomyopathy).

 Konsumsi alkohol berlebihan.


 Penyalahgunaan kokain, amfetamin, dan steroid anabolik (disalahgunakan untuk
membesarkan otot tubuh).

 Pengguna obat kemoterapi dan radiasi.

 Infeksi.

 Hemokromatosis, amiloidosis, sarkoidosis.

3. Patofisiologi

Perubahan Biologi Sel Kardiomiosit

Perbesaran ke empat ruangan jantung merupakan tanda tipikal dari DCM . walaupun
terkadang penyakit ini terbatas pada sisi kanan atau kiri jantung. Ketebalan dari dinding ventrikel
dapat bertambah, tapi dilatasi ruangan jantung melebihi dari proporsi seluruh hipertrofi
konsentrik. Secara mikroskopik, terdapat bukti degenerasi dari miosit dengan hipertrofi yang
ireguler dan atrofi dari miofiber. Fibrosis intersisial dan perivaskular sering terjadi sangat luas.

Sistem Neuroendokrin

Perkembangan gagal jantung konsisten pada pasien dengan etiologi yang berbeda,
dimana hal ini dilakukan oleh molekul aktif biologis yang sangat mirip, terlepas dari penyebab
yang memicunya. Mekanisme kompensasi yang diaktifkan setelah penurunan kapasitas pompa
jantung dapat memodulasi fungsi LV dalam kisaran fisiologis. Oleh karena itu, kapasitas
fungsional pasien di awal hanya tertekan minimal. Aktivasi awal dari sistem saraf simpatis atau
sympathetic nervous system (SNS) dan penahan airgaram renin-angiotensin-aldosteron sistem
(RAAS) menjaga curah jantung dengan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas dan
memperluas volume plasma, dalam rangka untuk mengurangi berkembangnya tekanan hipertrofi
dinding jantung, untuk mencegah vasokonstriksi berlebihan akibat

Gambar 1. Potongan melintang dari jantung normal (kanan) dan jantung dari pasien
dengan DCM. Pada spesimen DCM, trdapat dilatasi buventrikular tanpa

peningkatan yang proposional dari ketebalan dinding. LV, left ventricle: RV, right
ventricle.

peningkatan aktivasi SNS dan RAAS, keluarga molekul vasodilatasi, termasuk peptida
natriuretik, prostaglandin (PGE2,PGEI2) dan oksida nitrat, diaktifkan.17 Namun untuk
waktu yang lebih lama semua mekanisme kompensasi ini menunjukkan pengaruh yang
merugikan, seperti perubahan ekspresi gen, sehingga terjadi perubahan di miosit jantung,
pertumbuhan, remodeling dan apoptosis Angiotensin II melalui deposisi kolagen diduga
meningkatkan fibrosis miokard. Stimulasi adrenergik yang berlebihan memiliki efek
toksik pada miosit dan menyebabkan nekrosis miosit. Telah didokumentasikan, bahwa
pada tikus transgenik pengeluaran berlebih dari beta1adrenoreseptor menyebabkan
hipertrofi miosit, diikuti oleh fibrosis dan gagal jantung, sedangkan pengeluaran
berlebihan dari beta2-adrenoreseptor umumnya lebih dapat ditoleransi dengan baik atau
bahkan bermanfaat, meskipun juga masih kontroversial. Perubahan Pada Tingkat Miosit
Perubahan ekspresi gen menyebabkan cacat pada pengkodean protein atau mekanisme
peraturan dan disfungsi lanjut dari kontraktil miokard. Fenomena ini dapat dibagi
menjadi dua kelompok: perubahan intrinsik dan perubahan termodulasi dari fungsi
jantung. Fungsi instrinsik jantung berarti kontraksi dan relaksasi miokardium pada saat
istirahat, yang tidak dipengaruhi oleh faktor hormonal atau neural. Fungsi jantung
termodulasi dirangsang atau dihambat oleh faktor ekstrinsik (neurotransmitter, sitokin,zat
autokrin / parakrin dan hormon). Hal ini sangat penting untuk menanggapi perubahan
kondisi fisiologis atau rangsangan fisik.

4. Gejala

 Pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, dan tungkai.


 Batuk saat berbaring.

 Perut kembung yang diakibatkan oleh adanya cairan.

 Rasa lelah.

 Sesak, bahkan saat beristirahat.

 Irama jantung tidak beraturan.

 Pusing, rasa melayang, dan pingsan.

 Nyeri dada.

5. Penegakan Diagnosa

Diagnosis kardiomiopati diawali dari kecurigaan adanya gejala gangguan jantung dan
faktor risiko pada anamnesis, misalnya adanya sesak atau nyeri dada, dan temuan pemeriksaan
klinis, misalnya adanya murmur jantung atau ronki pada basal paru.. didalam Anamnesa akan
digali lebih dalam informasi yang terkait keluhan penderita –seperti adanya sesak napas, sulit
beraktivitas, atau rasa nyeri di dada. Penderita juga akan ditanya hal-hal yang berkaitan dengan
riwayat penyakit jantung dalam keluarga.

1. Pemeriksaan EKG :

 Tanda-tanda volta dari hipertrofi miokard pada ventrikel kiri dan atrium kiri;
 gangguan dalam proses repolarisasi ventrikel - tanda paling khas yang ditemukan pada
bentuk HCM non-obstruktif dan obstruktif dimanifestasikan oleh perubahan pada interval ST-T;
Perubahan amplitudo gelombang T terjadi pada tingkat keparahan yang berbeda (dari penurunan
amplitudo sedang, terutama pada lead toraks kiri, sebelum merekam gelombang G negatif yang
dalam); gangguan konduksi di kaki kiri bungkus Hisnia, khususnya, blokade cabang anteriornya
paling sering ditemukan dari semua penyumbatan jantung;
 sindrom overexcitation ventrikel dalam bentuk pemendekan interval P-Q atau fenomena
Wolff-Parkinson-White sering dicatat;
 registrasi gelombang patologis Q di pektoral kiri dan (jarang) petunjuk standar adalah salah
satu tanda elektrokardiografi yang khas

2. Radiografi Thorax

Temuan sinar-X dari jantung dengan kardiomiopati hipertrofik kurang informatif. Pada
beberapa pasien, sedikit peningkatan pada lengkung atrium kiri dan ventrikel kiri dan
pembulatan apeks jantung dicatat, kemungkinan peningkatan pola vaskular yang terkait dengan
luapan tempat tidur vena. Pada anak-anak dengan kardiomiopati hipertrofik, indeks kardiotoraks
berkisar antara 0,50 sampai 0,76.

3.ECG (echogaphy)

 gradien tekanan sistolik antara ventrikel kiri dan aorta dapat bervariasi derajatnya, kadang
mencapai 100 mmHg. Dan lebih;
 gerakan anteroposterior katup anterior katup mitral di tengah sistol dan kontak katup
dengan septum interventrikular;
 penutup katup aorta tengah-sistolik;
 regurgitasi mitral

6. Pengobatan Kardiomiopati
Kardiomiopati memiliki beberapa pilihan pengobatan tergantung dari gejala serta jenis penyakit
yang diderita. Fokus pengobatan penyakit ini adalah untuk mengendalikan gejala dan mencegah
terjadinya komplikasi.
Berikut ini adalah metode-metode pengobatan yang dilakukan berdasarkan tipe kardiomiopati
yang diderita, di antaranya:

 Dilated cardiomyopathy. Kondisi ini dapat ditangani dengan obat-obatan atau


implantable cardioverter-defibrilator (ICD) yang berfungsi untuk mengamati irama
jantung dan bila diperlukan akan memberikan aliran listrik tambahan secara otomatis.
Obat yang diberikan berfungsi untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan aliran
darah, memperlambat irama jantung, mencegah darah menggumpal, dan mengeluarkan
kelebihan cairan dalam tubuh. Pemasangan alat pacu jantung juga dapat
direkomendasikan untuk mempertahankan irama jantung normal.
 Hypertrophic cardiomyopathy. Kondisi ini dapat ditangani dengan tindakan medis
maupun pemberian obat. Obat-obatan dapat mengurangi tenaga pompa jantung,
menstabilkan irama, dan membuat jantung menjadi lebih lemas. Jika pasien mengalami
gangguan irama jantung yang serius, maka ICD dapat digunakan. Tindakan medis
lainnya yang dapat dilakukan adalah tindakan operasi yang bernama septal myectomy,
yaitu memotong sebagian dinding otot jantung yang menebal guna melancarkan aliran
darah. Selain itu, dapat dilakukan ablasi untuk menghancurkan otot jantung yang
menebal agar darah dapat mengalir melalui area tersebut. Prosedur yang disebut dengan
septal ablation ini menggunakan suntikan alkohol pada otot jantung yang ingin
dihancurkan.

 Restrictive cardiomyopathy. Dokter akan memantau asupan garam dan air serta berat
badan setiap hari. Pasien dianjurkan untuk mengonsumsi obat-obatan diuretik yang dapat
menambah frekuensi buang air kecil, bila pasien memiliki masalah dengan natrium dan
air yang tidak dapat keluar melalui urine. Obat lain juga dapat diresepkan untuk
mengurangi tekanan darah atau mengatur irama jantung yang abnormal. Jika penyakit ini
disebabkan oleh penyakit lain, maka pengobatan akan ditujukan untuk mengatasi
penyebabnya.

 Arrhythmogenic right ventricular cardiomyopathy. Kondisi ini dapat ditindaklanjuti


dengan pemberian obat-obatan yang dapat mengatur irama jantung dan pemasangan ICD.
Selain pemasangan ICD, kondisi ini dapat ditangani dengan prosedur radiofrequency
ablation, yaitu dilakukan penghancuran sebagian kecil jaringan jantung yang tidak
normal dengan menggunakan kateter dan elektroda.

Selain itu, pada kardiomiopati dapat juga dilakukan penanganan dengan:

 Ventricular assist devices (VAD). Ini merupakan alat yang dipasang pada tubuh dan
digunakan untuk melancarkan sirkulasi darah di dalam jantung. Alat ini dapat digunakan
dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Misalnya, digunakan selama pasien
menunggu proses transplantasi jantung atau saat prosedur lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan.
 Transplantasi jantung. Prosedur ini adalah pilihan pengobatan terakhir yang diambil
ketika semua prosedur pengobatan tidak efektif atau sudah pada kondisi gagal jantung
tahap akhir.

7. Komplikasi Kardiomiopati
Kardiomiopati dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak segera terdiagnosis dan
ditangani dengan baik. Beberapa komplikasi yang dapat timbul adalah:

 Gagal jantung. Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana jantung tidak dapat
memompa darah sesuai dengan kebutuhan jaringan tubuh. Otot jantung yang rusak akibat
kardiomiopati bisa mengakibakan kondisi tersebut dan dapat membahayakan nyawa.
 Penggumpalan darah. Dikarenakan jantung tidak bisa memompa darah dengan baik, sel
darah penderita kardiomiopati cenderung mudah menggumpal. Gumpalan darah ini dapat
lepas dan menyumbat aliran darah ke organ tertentu, seperti otak.

 Henti jantung Kardiomiopati dapat memicu gangguan irama jantung. Irama jantung
dapat berubah menjadi lebih lambat atau lebih cepat. Apabila kondisi ini berlajut menjadi
henti jantung mendadak, penderita kardiomiopati dapat pingsan atau bahkan meninggal
dunia.

 Gangguan katup jantung. Pembesaran jantung yang dialami oleh pasien kardiomiopati
menyebabkan katup jantung tidak dapat menutup sempurna. Keadaan ini menyebabkan
adanya aliran balik darah di dalam jantung.

6. Gagal Napas
Gagagal Napas Akut

1. Definisi

Gagagal napas akut didefinisikan sebgai kegagalan pernapasan bila tekanan parsial oksigen arteri
( atau tegangan, PaO2) 50 sampai 60 mm Hg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial
karbondioksida (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian
permukaan laut saat menghiru udara ruangan. 1

2. Etiologi

Gagal napas dapat disebabkan oleh banyak hal, di antaranya:1

 Penyakit paru-paru, seperti serangan asma berat, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
pneumonia emboli paru, edema paru, dan sindrom gagal napas akut (acute respiratory
distress syndrome).
 Gangguan pada otak atau saraf yang mengatur fungsi pernapasan, seperti cedera kepala
berat, stroke, tumor otak, herniasi otak, gangguan saraf tulang belakang, sindrom
Guillain-Barré, dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS).

 Penyakit atau kondisi tertentu, seperti syok, perdarahan berat, sepsis, gangguan elektrolit,
dan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis dan alkalosis).

 Cedera pada otot dan tulang dada atau tulang belakang, sehingga sistem pernapasan
terganggu.

 Cedera paru akut, misalnya akibat menghirup asap atau zat kimia berbahaya yang dapat
melukai paru-paru.

 Efek samping obat-obatan, seperti obat antinyeri golongan opioid dan obat penenang.

Selain itu, beberapa kondisi lain, seperti keracunan, overdosis obat, apnea tidur (sleep
apnea), dan ketoasidosis diabetik, juga dapat menjadi penyebab gagal napas.

3. Patofisiologi
Patofisiologi gagal napas adalah ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru yang
menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan
pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia.
Ketidakseimbangan Ventilasi Dan Perfusi
Paru normal memiliki rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) pada nilai tertentu. Kelainan pada
jalan napas, parenkim paru, dan sirkulasi paru akan mempengaruhi rasio ventilasi dan perfusi
sehingga dapat menyebabkan sesak napas hingga gagal napas pada keadaan berat. Secara garis
besar, terdapat empat gambaran klinis paru berdasarkan rasio ventilasi dan perfusi.1
3. Gejala Gagal Napas
Saat seseorang mengalami gagal napas, dapat timbul beberapa tanda dan gejala yang
meliput:1
 Sulit bernapas atau sesak napas, hingga sulit berbicara.
 Napas cepat.

 Dada berdebar.

 Batuk-batuk.

 Nafas berbunyi, misalnya bunyi mengi atau stridor.

 Lemas.

 Kulit pucat dan banyak berkeringat.

 Gelisah dan linglung.

 Jari-jari tangan atau bibir kebiruan (sianosis).

 Hilang kesadaran atau pingsan.

4. Penegakan Diagnosa
1. Ananmnesis
Tanyakan sudah berapa lama terjadi sesak nafas, apakah sesak nafas disertai bunyi atau
tidak, apakah disertai nyeri dada atau tidak
2. Pemeriksaan Fisik
TTV
Status Generalisata :1
1. nadi : meningkat , irregular
2. respiratory rate : 35x / menit
3. suhu :36,8
4. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
3.Pemeriksaan Penunjang :
1. pemeriksaan Fungsi Respirasi. 1
a. Pemeriksaan Fungsi Ventilasi
 Frekuensi pernapasan permenit : didapatkan 35 atau <10 (nilai kritis)
 Volume tidal : didapatkan <350
 Ventilasi semenit : didapatkan >10
 Kapasitas vital (PVC) : didapatkan >15
 Volume ekspirasi terkena dalam 1detik (FEV1) : didapatkan <10
 Daya Inspirasi Maksimum (MIF cm H2O) : 25
 VD/VT: >0,06
 PaCO2 mmHg : >55
2. Pemeriksaan Status Oksigen. 1
 PaO2 ( Udara pernapasan Oksigen)<50-60 mmHg
 P(A-a)O2 atau (A-aD)O2, mmHg (Bernapas dengan oksigen 100%>450

3. Pemeriksaan Status Asam-Basa (AGD).1


 PaCO2 mmHg : 40 +/- 5
 pH dara arteri 7,35-7,45
 HOO3- mEq/L : 24 +/- 3
5. Pengobatan / Penanganan
Saat mengalami gagal napas, penderita kondisi gawat tersebut perlu mendapatkan
bantuan pernapasan melalui: 1
 Terapi oksigen untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah. Pemberian oksigen bisa
melalui selang hidung atau kanul nasal serta masker oksigen.
 Trakeostomi, yaitu prosedur yang dilakukan untuk menempatkan sebuah alat bantu napas
berupa tabung di tenggorokan Anda sebagai jalur napas buatan, sehingga pasien dapat
lebih mudah bernapas.

 Ventilasi mekanis, yakni teknik memberikan bantuan pernapasan dengan menggunakkan


mesin ventilator. Pasien gagal napas umumnya membutuhkan pemasangan alat bantu
napas berupa tabung endotrakeal atau endotracheal tube/ETT melalui tindakan intubasi
atau trakeostomi sebelum dipasangkan mesin ventilator.
Saat pemberian napas bantuan diberikan, dokter juga akan memberikan pengobatan untuk
mengatasi berbagai kondisi atau penyakit yang menyebabkan gagal napas. Misalnya, apabila
gagal napas disebabkan oleh pneumonia atau sepsis, maka dokter akan memberikan antibiotik
guna mengatasi infeksinya. Sementara, jika gagal napas dipicu oleh asma atau penyempitan jalan
napas, maka dokter akan memberikan bronkodilator untuk melegakan pernapasan.
Namun jika gagal napas disebabkan oleh pembengkakan paru, maka dokter dapat
memberikan obat golongan diuretik untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru.Tingkat
kesembuhan pasien tergantung pada beberapa faktor, seperti usia, penyebab yang mendasari
gagal napas, seberapa cepat pasien mendapat penanganan, dan ada tidaknya penyakit atau
komplikasi yang menyertai. 1

6. Komplikasi Gagagal Napas


Kondisi gagal napas yang tidak mendapatkan penanganan sedini mungkin berisiko tinggi
menimbulkan komplikasi atau kerusakan pada berbagai organ tubuh, seperti: 1

1. Paru-paru
Gagal napas bisa menyebabkan fibrosis paru, pneumothorax, dan gagal napas kronis. Pada
pasien gagal napas yang memiliki penyakit paru kronis, alat bantu napas mungkin akan perlu
digunakan seumur hidup untuk membantu mencukupi kebutuhan oksigennya.
2. Jantung
Gagal napas dapat memicu terjadinya serangan jantung, gagal jantung, dan kelainan irama detak
jantung atau aritmia akibat kekurangan oksigen pada jantung.
3. Ginjal
Gagal napas yang membuat kekurangan oksigen dapat dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
Fungsi ginjal yang rusak dan terganggu ini bisa memperparah gangguan elektrolit dan gangguan
asam basa.
4. Otak
Gagal napas yang menyebabkan kekurangan oksigen dapat membuat sel otak mengalami
kerusakan. Kondisi ini bisa berkembang menjadi koma hingga kematian.
5. Sistem pencernaan
Gagal napas dapat memicu terjadinya perdarahan pada saluran pencernaan, serta gangguan pada
lambung dan usus.

2. ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)


1. Definisi
sindrom akut napas akut dewasa adalah bentuk khusus gagal napas ditandai dengan
hipoksemia yang jelas dan tidak dapat ditangani dengan hipoksemia yang jelas dan tidak
dapat diatasi denganpenangan konvensional.1.2
2. Etiologi
Penyebabsindrom gawat napas dewasa diantaranya adalah:
a. syok karena berbagai penyebab (terutama hemoragik), pankreatitis akut hemoragik,
sepsis gram negative). 2
b. pneumonia virus yang hebat
trauma yang berat :
- cedera kepala
- cedera dada yang langsung
Trauma dengan berbagai organ syok hemoragik
c. Cedera inspirasi/ inhalasi
d.Overdosis narkotika

Tabel 1.1 Etiologi ARDS.1

3. Patogenesis dan Patofisiologi

Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan oleh aktivasi
neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru dan di distal alveolus 2.
Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema.

Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi menjadi 3 fase seperti


tampak pada :
Gambar 1 : fase 1 ARDS

1. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif - Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi
neutrofil, makrofag, dan sel darah merah - Kerusakan endotel dan epitel alveolus - Membran
hialin yang menebal di alveoli 2. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif - Sebagian
edema sudah direabsorpsi - Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki
kerusakan - Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen 3. Fase kronis (setelah hari ke-14) =
tahap resolusi - Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli - Fibrosis dapat
terjadi pada fase ini Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru dan
sel epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang terdistribusi
melalui arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas barrier alveolar-kapiler
sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein. 1

1. Kerusakan endotel kapiler paru Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya
ARDS. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga
terjadi akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah terjadinya kerusakan paru melalui
keterlibatan netrofil. Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi) menyebabkan
neutrofil terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil yang teraktivasi akan berdegranulasi dan
melepaskan beberapa mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen species, sitokin
proinflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi tersebut menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi endotel yang normal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di interstitial dan alveoli.
Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga mempunyai peran yang penting. Studi
yang ada membuktikan efek sinergisme antara platelet dengan neutrofil yang menyebabkan
kerusakan paru.

2. Kerusakan epitel alveoli Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup
menyebabkan ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting.
Neutrophil berperan dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada ARDS. Dalam keadaan
normal neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup kembali intercellular junction
sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis
neutrofil dalam jumlah besar dapat merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang dapat
merusak intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau nekrosis sel epitel. Sel
alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli) merupakan jenis sel yang paling mudah
rusak. Kerusakan sel tersebut menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan menurunnya
bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II bersifat tidak mudah rusak dan memiliki fungsi
yang penting dalam memproduksi surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan pada kedua sel tersebut menyebabkan
penurunan produksi surfaktan dan penurunan elastisitas paru.

3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan
pembersihan cairan edema dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke
sistem limfatik paru, mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan edema dari
rongga alveoli membutuhkan transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat gradient
osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS, pembuangan cairan edema dari
alveoli terjadi lebih lambat karena epitel alveoli mengalami kerusakan.

4. Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang berkembang dengan cepat
setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis,
maupun aspirasi. Pada sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada
beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit diidentifikasi.
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat injuri paru,
dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya.

Pada pemeriksaan fisis ARDS akan didapatkan temuan yang bersifat non-spesifik seperti
takipnea, takikardi dan kebutuhan FIO2 yang semakin bertambah untuk menjaga agar saturasi
oksigen tetap normal. Karena ARDS sering terjadi pada sepsis, maka hipotensi dan tanda-tanda
vasokonstriksi perifer (akral dingin dan sianosis perifer) dapat ditemukan. Pada pemeriksaan fisis
toraks dapat ditemukan ronkhi basah bilateral. Suhu pasien dapat febris maupun hipotermia.
Edema paru kardiogenik harus dibedakan dengan ARDS. Pada ARDS tidak didapatkan gejala
dan tanda-tanda gagal jantung (non-cardiac pulmonary edema) Tanda-tanda gagal jantung harus
diperhatikan dengan baik untuk menyingkirkan diagnosis tersebut seperti peningkatan JVP,
murmur, gallops, hepatomegali dan edema tungkai.2

Gambaran foto toraks pada ARDS secara umum berupa opasifikasi bilateral, konsolidasi yang
bisa simetris maupun asimetris disertai dengan air bronchogram (Gambar 3). Diagnosis banding
meliputi pneumonia terutama akibat aspirasi, perdarahan alveolar difus dan edema paru karena
penyebab lainnya.

Gambar 2 Foto Toraks pada ARDS.2

5. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam tatalaksananya adalah

1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi

2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang seperti edema laring
dan stenosis subglotis.3

3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated Pneumonia), ISK,


flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55% kasus ARDS.

4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis

5. Multisystem organ failure

6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang

7. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.

6. Tatalaksana

Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru iatrogenik,
mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi jaringan. Ketiga hal tersebut
harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal ARDS.1
Gambar 3 Algoritma tata laksana ARDS. 1

Terapi Umum

Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya) Sedasi dengan kombinasi opiat
benzodiasepin, karena penderita akan memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka
lama. Berikan dosis minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.

Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan memberikan cairan,


obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretik.

2. Terapi Ventilasi

Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang mendasar pada
penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2
> 60% (dengan menggunakan simple mask) untuk mempertahankan PaO2 sekitar 70 mmHg atau
lebih dalam beberapa jam. Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik
disertai dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang tertimbun di alveoli dan
mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q). Tergantung
tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi non-invasif seperti CPAP, BIPAP
atau Positive Pressure Ventilation. Metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita dengan
penurunan kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai
peningkatan laju nafas dan peningkatan PCO2 darah arteri.

Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg dapat mengakibatkan
kerusakan bagian paru yang masih normal sehingga dapat terjadi rupture alveolus, deplesi
surfaktan dan kerusakan pada membra alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal tersebut maka
digunakan volume tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O,
plateu inspiratory pressure < 30 cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14 cm H2O untuk
mencegah atelektasis dan kolaps alveoli.

Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Control. Pemeriksaan
AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter keberhasilan dan panduan terapi. Restriksi
cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru
dan mengatasi kelebihan cairan paru (lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi
yang berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal ginjal. Prone
position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah sehingga tidak terjadi
atelektasis. Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di paru
sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal dan oksigenasi arteri. Pemberian nitric
oxide tidak akan berpengaruh terhadap tekanan darah sistemik, namun demikian efek samping
subproduk NO berupa peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh
karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi hipoksemia
akut yang refrakter terhadap tindakan suportif yang diberikan.

4. Terapi penyakit dasar ARDS tergantung dari penyebabnya dimana penyebab tersering adalah
infeksi baik di paru maupun di luar paru. Untuk infeksi paru sendiri karena ARDS merupakan
bagian dari kondisi sepsis yang berat maka dalam pemilihan antibiotik dianjurkan dengan
kombinasi dua antibiotik dari golongan yang berbeda yang mempunyai efek antipseudomonas.
Kombinasi tersebut misalnya dari golongan sefalosporin yang mempunyai efek antipseudomonas
(seftasidim, sefoperazon) atau golongan karbapenem (imipenem, meropenem) diberikan bersama
dengan golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) atau dengan golongan aminoglikosid
(Amikin). Untuk meningkatkan angka keberhasilan pengobatan maka antibiotik tersebut harus
diberikan sedini mungkin (< 4 jam) sejak diagnosis pneumonia ditegakkan. Untuk penyakit dasar
lain yang potensial dapat diatasi yaitu pada ARDS akibat overdosis obat yang diatasi dengan
pemberian antidotumnya bila ada, pada TB yang berat, immune reconstitution inflamation
syndrome (IRIS) dan juga pada ARDS akibat infeksi pneumocystic jiroveci, pada semua keadaan
tersebut selain terapi untuk penyakit dasarnya diberikan juga terapi tambahan dengan steroid.

3. Targeted Drug Treatment

Terapi target difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah cairan dalam paru,
namun sayangnya tidak ada bukti objektif akan keberhasilan metode tersebut.

Surfaktan sintetik secara aerosol ternyata bermanfaat untuk ARDS pada neonatus, tetapi
tidak pada ARDS.

- Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi reaksi inflamasi pada jaringan paru terutama pada
ARDS akibat TB yang berat, infeksi pneumocystic jiroveci dan pada IRIS. Pada inflamasi akibat
penyakit dasar yang lain pemberian steroid menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, sehingga
tidak direkomendasikan pada ARDS terutama pada fase awal. Beberapa sumber menyarankan
pemberian metilprednisolon secara pulsed untuk mencegah fase fibrosis yang destruktif.

- Pemberian N-asetil-sistein banyak memberikan harapan namun masih dalam penelitian


Ketokonazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag, tetapi masih
diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar

- Diuretik ditujukan untuk mencegah kelebihan cairan, dan hanya diberikan bila eksresi cairan
oleh ginjal terganggu. Dengan demikian penggunaan diuretik tidak rutin, karena tidak sesuai
dengan patogenesis ARDS.

Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10 gr%, tetapi mengingat
kemungkinan terjadinya TRALI (Transfusion-Related Acute Lung Injury) maka tranfusi hanya
diberikan bila ada oksigenasi jaringan yang inadekuat .

- Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) adalah suatu sistem prolonged


cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru lahir yang mengalami gagal
nafas akibat aspirasi mekonium, hernia diafragma dan infeksi virus yang berat. Penggunaan
EMCO untuk ARDS hasilnya masih kontroversial.

7. Pneumotoraks

1. Definisi

Pneumotoraks adalah kondisi dimana terdapat udara bebas dalam rongga pleura. Insiden
pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui. Umumnya pria
lebih banyak dari wanita.Terdapat 2 jenis pneumotoraks, yaitu:

1. Pneumotoraks spontan primer adalah pneumotoraks yang terjadi tanpa riwayatpenyakit paru
sebelumnya ataupun trauma, dan dapat terjadi pada individu yang sehat.Terutama lebih sering
pada laki, tinggi dan kurus, dan perokok.

2. Pneumotoraks spontan sekunder adalah pneumotoraks yang terjadi pada penderitayang


memiliki riwayat penyakit paru sebelumnya seperti PPOK, TB paru dan lain- lain

2. Etiologi

1. Cidera dada

Cedera tumpul atau tembus ke dada bisa menyebabkan oleh kolaps paru. Beberapa cedera
atau bula paru dapat terjadi akibat cedera misal disebabkan tabrakan mobil, sementara kasus lain
mungkin secara tidak sengaja terjadi saat dilakukan prosedur medis yang menggunakan jarum ke
dalam dada.

2. Penyakit paru-paru

Jaringan paru-paru yang mengalami kerusakan lebih cenderung kolaps. Kerusakan paru-paru
dapat disebabkan oleh beberapa jenis penyakit, termasuk penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), fibrosis kistik, dan pneumonia.

3. Lepuh

Lepuh karena udara kecil (blebs) dapat berkembang di bagian atas paru-paru. Bleb ini terkadang
pecah – memungkinkan udara bocor ke ruang yang mengelilingi paru-paru.

4. Ventilasi mekanis

Jenis pneumotoraks yang parah dapat terjadi pada orang yang membutuhkan penanganan
mekanis untuk bernapas. Ventilator bisa digunakan untuk menciptakan ketidakseimbangan
tekanan udara di dalam dada. Hal yang harus waspadai adalah paru-paru bisa kolaps sepenuhnya.

Faktor Risiko Pneumotoraks


Pria jauh lebih mungkin mengalami pneumothorax daripada wanita. Jenis pneumotoraks yang
disebabkan oleh lepuh akibat udara yang pecah kemungkinan besar terjadi pada mereka yang
berusia antara 20 dan 40 tahun, terutama jika orang tersebut memiliki postur tubuh yang tinggi
dan kurus.

Faktor risiko pneumothoraks adalah:

1. Merokok
Risiko dapat meningkat oleh seberapa lama dan seberapa banyak rokok yang dihisap, bahkan
tanpa emfisema – kantung udara pada paru-paru bisa mengalami kerusakan.

2. Genetika
Jenis pneumotoraks tertentu kemungkinan muncul karena keturunan dari riwayat keluarga.

3. Penyakit paru-paru
Mengalami penyakit paru-paru – terutama penyakit paru obstruktif kronis (COPD) – yang
kemungkinan membuat paru-paru kolaps.

4. Ventilasi mekanis
Orang yang membutuhkan ventilasi mekanis untuk membantu pernapasannya kemungkinan
berisiko lebih tinggi mengalami pneumothorax.

5. Pneumotoraks sebelumnya
Seseorang yang pernah mengalami satu pneumotoraks, akan berisiko lebih tinggi mengalami
jenis pneumothorax lainnya.

3. Patofisiologi

Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui mekanisme
peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal. Komunikasi abnormal ini
dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara ruang dan rongga pleura.

4. Gejala Pneumotoraks

Gejala pneumotoraks traumatis sering muncul pada saat trauma atau cedera dada, atau
tidak lama setelah itu. Sementara timbulnya gejala pneumotoraks spontan biasanya terjadi saat
istirahat. Serangan nyeri dada yang tiba-tiba seringkali merupakan gejala pertama.

Gejala pneumotoraks lainnya mungkin termasuk:


 Rasa sakit yang stabil di dada
 Sesak napas, atau dispnea
 Berkeringat dingin
 Sesak di dada
 Membiru, atau sianosis
 Takikardia berat, atau detak jantung yang cepat

5. Penegakan Diagnosa

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan:

1. Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan yang dapat timbul adalah
sesak napas, yang dapat disertai nyeri dada pada sisi yang sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara
tiba- tiba, dan semakin nyeri jika menarik napas dalam atau terbatuk. Keluhan timbul mendadak
ketika tidak sedang aktivitas.

2. Faktor risiko, di antaranya:

a. Infeksi, misalnya: tuberkulosis,pneumonia

b. Trauma

c. Merokok

Pemeriksaan Fisik (Objektif)


1. Hiperkapnia
2. Hipotensi
3. Takikardi
4. Perubahan status mental
5. Pemeriksaan fisik paru :
a. Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol dan tertinggal pada pernapasan
b. Palpasi paru, suara fremitus menurun disisi yang sakit
c. Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan pergeseran mediastinum ke arah yang
sehat
d. Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh
Pemeriksaan Penunjang:
1. Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru yang sangat halus (pleural line), dan
gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bila disertai darah atau cairan lainnya, akan tampak garis
mendatar yang merupakan batas udara dan cairan (air fluid level).
2. Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini tidak untuk menegakkan diagnosis, namun untuk menilai
apakah telah terjadi gagal napas.
6. Komplikasi
1. Kegagalan respirasi
2. Kegagalan sirkulasi
3. Kematian
7. Penatalaksanaan Komprehensif (Plan).
1. Oksigenasi
2. Jika ada tanda kegagalan sirkulasi, dilakukan pemasangan IV line dengan cairan kristaloid
3. Rujuk

8. Konseling dan Edukasi

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai:

1. Bahaya dan komplikasi pneumotoraks

2. Pertolongan kegawatdaruratan pada pneumotoraks

3. Perlunya rujukan segera ke RS Kriteria Rujukan Segera rujuk pasien yang terdiagnosis
pneumotoraks, setelah dilakukan penanggulangan awal.

8. Stenosis mitral

1 Definisi dan etiologi stenosis mitral

Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel
kiri pada fase diastolik akibat penyempitan katup mitral.1 Penyebab stenosis mitral paling sering
demam rematik, penyebab lain adalah karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid artritis,
mukopolisakaridosis dan kelainan bawaan.2
Patogenesis stenosis mitral

Rematik karditis akut adalah pankarditis yang melibatkan perikardium, miokardium, dan
endokardium. Daerah dengan iklim sedang serta negara maju interval terjadinya rematik karditis
dengan munculnya stenosis mitral berkisar antara 10-20 tahun. Negara tropis, subtropis dan
negara-negara berkembang interval dapat lebih pendek. Tanda khas dari rematik karditis akut
adalah aschoff nodule. Lesi paling sering pada rematik endokarditis adalah mitral valvulitis.
Katup mitral mengalami vegetasi pada garis penutupan katup dan korda. Stenosis mitral biasanya
terjadi akibat episode berulang dari karditis yang diikuti dengan penyembuhan dan ditandai
dengan deposisi jaringan fibrosa.Stenosis mitral terjadi akibat dari fusi dari komisura, kuspis,
korda atau kombinasi dari ketiganya. Hasil akhir katup yang mengalami deformitas terjadi
fibrosis dan kalsifikasi. Lesi tersebut akan berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan
penebalan dari leaflets katup. Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini akan
menyebabkan penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi aliran darah dari LA (Left
Atrium) dan LV (Left Ventricle).

.3 Patofisiologi stenosis mitral

Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2. Adanya obstruksi yang
signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih kurang dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari
atrium kiri ke ventrikel kiri hanya jika didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang
meningkat secara abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium katup mitral
berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output) yang normal. Tekanan atrium kiri yang
meningkat, selanjutnya, meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi
daya kembang (compliance) paru dan menyebabkan dispnea pada waktu pengerahan tenaga
(exertional dyspnea, dyspnea d’ effort). Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh
kejadian klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai beratnya obstruksi,
penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler maupun kecepatan aliran. Gradien
tekanan bergantung tidak hanya pada curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut
jantung memperpendek diastolik secara proporsional

lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang melalui katup
mitral. Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan
gradien transvalvuler dan selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri. Tekanan diastolik
ventrikel kiri normal pada stenosis mitral saja; penyakit katup aorta, hipertensi sistemik,
regurgitasi mitral, penyakit jantung iskemik yang terjadi secara bersamaan dan mungkin
kerusakan sisa yang ditimbulkan oleh miokarditis reumatik kadang-kadang bertanggung jawab
terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel kiri yang terganggu dan/atau menurunkan
daya kembang ventrikel kiri. Disfungsi ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam
berkurangnya fraksi ejeksi dan kecepatan memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada
sekitar seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat berkurangnya preload
kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam miokardium yang berdekatan. Stenosis
mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-rata dan pulmonal artery wedge
pressure biasanya meningkat,denyut tekanan menunjukan kontraksi atrium yang menonjol
(gelombang a) dan tekanan bertahap menurun setelah pembukaan katup mitral (y descent). Pada
pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa peningkatan resistensi vaskuler paru,
tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati batas atas normal pada waktu istirahat dan
meningkat seiring dengan exercise. Pada stenosis mitral berat dan kapan saja ketika resistensi
vaskuler paru naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang istirahat,
dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik. Kenaikan tekanan atrium kiri,
kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan
sistolik arteri pulmonalis melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau
pada keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterloadventrikel kanan
menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan diastolik akhir dan volume ventrikel
kanan biasanya meningkat sebagai mekanisme kompensasi.

Gejala dan tanda stenosis mitral

Gejala yang lazim dirasakan oleh pasien dengan stenosis mitral adalah cepat lelah, sesak nafas
bila aktivitas (dyspnea d’ effort) yang makin lama makin berat. Pada stenosis mitral yang berat,
keluhan sesak nafas dapat timbul saat tidur malam (nocturnal dyspnea), bahkan dalam keadaan
istirahat sambil berbaring (orthopnea).

Irama jantung berdebar terkadang juga dapat didengar apabila terdapat fibrilasi atrium. Keadaan
lebih lanjut bisa ditemukan batuk darah (hemoptysis), akibat pecahnya kapiler pulmonalis karena
tingginya tekanan arteri pulmonalis; keluhan ini bisa disalahartikan sebagai batuk darah akibat
TBC, apalagi pasien stenosis mitral berat biasanya kurus. Pasien stenosis mitral juga kadang baru
diketahui setelah terkena stroke, terutama bila ada fibrilasi atrium yangmempermudah
terbentuknya trombus di atrium kiri dan kemudian lepas menyumbat pembuluh darah otak.

Pemeriksaan fisik dapat dijumpai malar facial flush, gambaran pipi yang merah keunguan akibat
curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis yang meningkat akibat gagal ventrikel kanan.
Kasus yang lanjut dapat terjadi sianosis perifer. Denyut apikal tidak bergeser ke lateral, dorongan
kontraksi ventrikel kanan pada bagian parasternal dapat dirasakan akibat dari adanya hipertensi
arteri pulmonalis. Auskultasi dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya terjadi bila
pergerakan katup mitral masih dapat fleksibel. Bila sudah terdapat kalsifikasi dan atau penebalan
pada katup mitral, S1 akan melemah. S2 (P2) akan mengeras sebagai akibat adanya hipertensi
arteri pulmonalis. Opening snap terdengar sebagai akibat gerakan katup mitral ke ventrikel kiri
yang mendadak berhenti, opening snap terjadi setelah tekanan ventrikel kiri jatuh di bawah
tekanan atrium kiri pada diastolik awal. Jika tekanan atrium kiri tinggi seperti pada stenosis
mitral berat, opening snap terdengar lebih awal. Opening snap tidak terdengar pada kasus dengan
kekakuan, fibrotik, atau kalsifikasi dan katup. Bising diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan
dekresendo, makin berat stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi stenosis mitral
yang terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS interval yang pendek dan
lamanya rumble diastolik.

Pemeriksaan penunjang dari rontgen toraks pada pasien stenosis mitral

didapatkan pembesaran segmen pulmonal, pembesaran atrium kiri, karina bronkus yang melebar
dan bisa didapatkan gambaran hipertensi vena pulmonalis, serta efusi pleura.
Ekokardiografi pada stenosis mitral

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk membantu menegakan diagnosis
stenosis mitral adalah dengan metode noninvasif ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan
metoda yang sangat sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis stenosis mitral. Two dimensional
color Doppler flow echocardiographic imaging dan Doppler echocardiography memberikan
informasi yang kritis, mencakup perkiraan atau penilaian perbedaan transvalvuler dan ukuran
orifisium mitral, adanya regurgitasi mitral serta tingkat keparahan yang menyertai stenosis
mitral, luasnya restriksi daun-daun katup, tebalnya daun katup dan derajat distorsi aparatus
subvalvuler. Ekokardiografi juga memberikan penilaian ukuran ruang-ruang jantung, perkiraan
tekanan arteri pulmonalis dan indikasi mengenai adanya regurgitasi trikuspid dan pulmonal serta
derajat keparahannya yang terkadang menyertai kejadian stenosis mitral

8. Ventricular Septal Defect (VSD)

Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan berupa lubang
atau celah pada septum di antara rongga ventrikal akibat kegagalan fusi atau penyambungan
sekat interventrikel.1 Defek ini merupakan defek yang paling sering dijumpai, meliputi 20-30%
pada penyakit jantung bawaan. Berdasarkan letak defek, VSD dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
defek septum ventrikel perimembran, defek septum ventrikel muskuler, defek subarterial.1
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar kecilnya defek. Pada defek yang
kecil seringkali asimptomatis dan anak masih dapat tumbuh kembang secara normal Sedangkan
pada defek baik sedang maupun besar pasien dapat mengalami gejala sesak napas pada waktu
minum, memerlukan waktu lama untuk menghabiskan makanannya, seringkali menderita infeksi
paru dan bahkan dapat terjadi gagal jantung.

Pada pemeriksaan fisik,

terdengar intensitas bunyi jantung ke-2 yang menigkat, murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri
sternum dan murmur ejeksi sistolik pada daerah katup pulmonal.17 Terapi ditujukan untuk
mengendalikan gejala gagal jantung serta memelihara tumbuh kembang yang normal. Jika terapi
awal berhasil, maka pirau akan menutup selama tahun pertama kehidupan. Operasi dengan
metode transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko rendah (low risk)
9. HIPERTENSI

1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan
darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII,
seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik
90 mmHg atau lebih). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg

2. Etiologi Hipertensi

1. Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang
jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-
lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress
emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan
yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan
hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada
berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas)
memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).

2. Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau
obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi
renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan
hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah

Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit
misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat
3. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-rata pengukuran
dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan
darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan
tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori
penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat
ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua
pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat
tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target.
Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi
emergensi atau hipertensi urgensi (American Diabetes Association, 2003). Pada hipertensi
emergensi, tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang
bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam)
untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut antara lain,
encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting
aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan eklampsia atau hipertensi berat selama
kehamilan

4. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor
pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke
bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks
dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluhdarah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi.
Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon
vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke
ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang
kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua
faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan Perubahaan struktural dan fungsional pada
sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar mengalami
penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer

5. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi
dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan
pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus
optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk,
sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan
pusing . Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung
berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi
yang pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal
dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak
yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang kadang disertai mual dan muntah yang
disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial

6. Faktor- Faktor Risiko

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin dan genetik.

a. Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi
menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu
sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65 tahun (Depkes, 2006b). Pada usia lanjut,
hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut
WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam
menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur
yang disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi
lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik

b. Jenis kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang menderita
hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah
sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah
dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada
wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat
dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia prevalensi
yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2006b).

c. Keturunan (genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko
terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga
dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita
hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi
maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006b).
2. Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita
hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat badan
berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau hiperkolestrolemia, stress dan
komsumsi garam berlebih sangat berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006b).

a. Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks
Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam
meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh
beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama
tekanan darah sistolik. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki
berat badan lebih (overweight) IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk
mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa (Zufry, 2010).
Menurut Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18
tahun). Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas
jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b). Hipertensi pada
seseorang yang kurus atau normal dapat juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin
angiotensin). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga
dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi
air dan garam.

b. Psikososial dan stress

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan
lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara
tuntutan situasi dan sumber daya.Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,
dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah
akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian
sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa
hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit
hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress
atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka
c. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang
masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang
mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan
kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh
darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke
otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darahtinggi semakin meningkatkan risiko
kerusakan pada pembuluh darah arteri

d. Olahraga

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama
melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak,
sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi
dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh Olahraga dapat
menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme penurunan denyut jantung,
tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner, sistem
kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan
LDL (Low Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara
lebih efisien. Frekuensi denyut berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan
kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan
serta menurunkan tekanan darah.Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan
darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan
olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan
turun.

e. Konsumsi alkohol berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan
tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan
darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol
dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila mengkomsumsi
alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya). Di negara barat seperti Amerika,
komsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10%
hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh
baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini
Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki untuk pencegahan
peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih,
direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per hari (Krummel, 2004).

f. Komsumsi garam berlebihan

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar
tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60%
kasus hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi
asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada
masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih natrium adalah kation utama
dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal.
Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam
bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium
glutamate). Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut
menyebabkan edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang
dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium

g. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia

Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolestrol total,
trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol
merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian
tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat. Penelitian Zakiyah (2006)
didapatkan hubungan antara kadar kolestrol darah dengan tekanan darah sistolik dan diastolik
(Zakiyah, 2006). Penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi lemak jenuh
mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak
mengkomsumsi lemak jenuh (Sugihartono, 2007).

7. Komplikasi Hipertensi

Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke, infark miokard, gagal
ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancy- included hypertension (PIH)
1. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam yang
berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran
darah.Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau
perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi.Stroke
dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari
pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah
ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis
dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).

2. Infark miokardium

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat mensuplai
cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah
melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan
oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan
waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan
peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).

3. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible
dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air atau sistem
renin angiotensin aldosteron (RAA) (Chung, 1995). Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi
berisiko 4 kali lebih besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang
tidak mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).

4. Ensefalopati (kerusakan otak)

Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang
meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan saraf pusat.
Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang
juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi,
bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita hipertensi (Corwin, 2005).
.8. Penatalaksanaan Hipertensi

1. Pengendalian faktor risiko

Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha
sebagai berikut :

a. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh
lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan sesorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas
harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006b). Beberapa studi
menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan
hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi (Rahajeng, 2009).

b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan


asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1
sendok teh) per hari pada saat memasak (Depkes, 2006b).

2.2. Terapi Farmakologis

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan


kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan
terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa
kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan
selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung
pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa prinsip
pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.

2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan
memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur hidup.
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin
Receptor Blocker, ARB) dan antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa
adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada
JNC sebelumnya termasuk lini pertama.

Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu:

penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan
di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini
terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif
pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung
akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan
resistensi, penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik
belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus
hipertensi ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi,
maka salah satunya dianjurkan diuretik.

a. Golongan Tiazid

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid,
bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal
ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009). Tiazid seringkali
dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena:

1) dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi lain
sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan (Nafrialdi, 2009).

b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat
kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan
efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang
digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal
jantung.
c. Diuretik Hemat Kalium

Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama


dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).

2. Penghambat Adrenergik

a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)

Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1
dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat
ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga
dapat ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009).

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang
akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-
atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahana

b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)

Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α 1) yang digunakan sebagai
antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan
reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan norefineprin dan
meningkatkan aktivitas Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula
sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik
vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama)
yang menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian
jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya akan
bertahan.

3. Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh
darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini
menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard
yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris,
infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator
juga meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang
tidakdiharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara lain hidralazin, minoksidil,
diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini
adalah pusing dan sakit kepala

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat secara kompetitif


pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada
pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi,
2009).

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain benazepril, captopril,
enalapril, fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil, quinapril, ramipril, trandolapril dan
tanapres.Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACE- Inhibitor. Captopril
cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk
menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis
Inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Depkes, 2006b).

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1 (Angiotensin I) dan AT2
(Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung.
Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua
efek fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2
terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas
(Nafrialdi, 2009). ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan
kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif
pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu
diturunkan (Nafrialdi, 2009).

Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung.
Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).Terdapat beberapa obat yang termasuk
golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan, eprosartan, irbesartan, losartan,
olmesartan, telmisartan dan valsartan (Depkes, 2006a).
6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-
sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan
menurunkan kontraktilitas jantung,menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam
jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh
darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).
Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin
(diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja
antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan
untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).

7. Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf yang bekerja saat
kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah
metildopa, klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik
(kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan
terkadang menyebabkan penyakit hati kronis. Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006b).
DAFTAR PUSTAKA
1. Price Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6
Vol.2.EGC.2012.
2. Sudoyo A . Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing . ed 5.2009
3. LeWinter MM, Tischler MD. Pericardial diseases. In: Bonow RO, Mann DL,
Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2011:chap
75
4. Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG. Buku Panduan Praktik Klinis Pelayanan
primer. Ed 1. 2009 2017
5. Blasi, F. (2018). Lung Diseases: Chronic Respiratory Infections. International Journal
of Molecular Sciences, 19(10), doi:10.3390/ijims19103051.
6. Light RW. Physiological effects of pneumothorax and pleural effusion. In : Pleural
disease, 6th ed. 2013:19-30
7. Riello, F. et. al. (2016). Diagnosis of Mycobacterial Infections Based on Acid-Fast
Bacilli Test and Bacterial Growth Time and Implications on Treatment and Disease
Outcome. BMC Infect Dis. 16, pp. 142.

Anda mungkin juga menyukai