Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN TEORI TB PARU

1. Definisi

Dalam buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis menjelaskan


bahwa tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis yang dapat menular secara langsung. Predileksi utama
adalah organ paru, tetapi bisa juga menyerang organ lainnya (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Somantri (2009) tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang


menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal,
tulang dan nodus limfe.

Penyakit TB Paru adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularan utama penyakit TB Paru adalah
bakteri yang terdapat dalam droplet yang dikeluarkan penderita sewaktu bersin
bahkan bicara (Muttaqin, 2007).

Hemaptoe (batuk darah) adalah darah berdahak yang dibatukkan yang berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah. Dikatakan batuk darah massif apabila jumlah
darah yang keluar 600 ml dalam waktu 24 jam. Hemaptoe (hemoptysis) adalah batuk
dengan sputum yang mengandung darah yang berasal dari paru atau percabangan
bronkus (Kusmiati & Laksmi, 2011). Hemaptoe diklasifikasikan menjadi: hemaptoe
massif (perdarahan lebih dari 200cc/24 jam), hemaptoe moderate (perdarahan
<200cc/24jam), hemaptoe ringan (sputum dengan bercak darah).

2. Etiologi

Penyebab penyakit TB Paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.


Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4m dan tebal
0,3-0,6m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap
asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob
yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan
oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit
TB Paru (Somantri,2009).
3. Patofisiologi

Menurut Somantri (2009) seseorang yang dicurigai basil Mycobaterium


tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan napas ke alveoli,
dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran
basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal,
tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).

Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melalukan reaksi inflamasi.


Neutrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik
terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi
jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan terjadilah
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu minggu
setelah terpapar (Somantri, 2009).

Massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding.
Garnuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut Ghon Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri
menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
terbentuk klasifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif
(Somantri, 2009).

Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respons
sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksiu
ulang atau aktifnya kembal;i bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini terjadi ulserasi
pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi
mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga
menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis
serta jaringan granulasi yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan fibroblast akan
menimbulkan respons berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi
oleh tuberkel (Somantri, 2009).

4. Manifestasi Klinis

Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam, meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI,
2007).

5. Klasifikasi

Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) klasifikasi TB Paru yaitu:
1) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB Paru dibagi atas:
(1) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
(2) Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis.
2) Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
(1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
(2) Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
a. Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)
b. TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberculosis
(3) Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil
obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
(4) Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
(5) Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik
(6) Kasus Bekas TB:
a. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
b. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi

6. Komplikasi

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut (Depkes RI,
2007):
1) Hempotisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan: kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian, ginjal, dan
sebagainya.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut PDPI (2006), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tuberkulosis
paru adalah sebagai berikut.
1) Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.
2) Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus)
3) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
4) Pemeriksaan khusus
(1)Pemeriksaan BACTEC
(2)Polymerase chain reaction (PCR):
(3)Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
b. ICT
c. Mycodot
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
5) Pemeriksaan Penunjang lain
(1)Analisis Cairan Pleura
(2)Pemeriksaan histopatologi jaringan
(3)Pemeriksaan darah
(4)Uji tuberkulin

8. Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Obat Tuberkulosis (OAT) yang digunakan terdiri dari obat utama
dan obat tambahan. Obat utama atau bisa disebut lini pertama terdiri dari rifampisim
(R), isoniazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z) dan streptomisin (S). Sedangkan
obat tambahan lainnya (lini kedua) yaitu kanamisin, amikasin, kuinolon, dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2011).
Tabel 2.1 Dosis obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama

Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis (Mg)/berat badan


(Kg)
(Mg/ Kg Harian Intermitten Dosis <40 40-60 >60
(Mg/KgBB/hari) (Mg/KgBB/hari)
BB/hari) Maks
(Mg)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 10000 Sesuai 750 1000
BB
Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011
Tabel 2.2 Penggolongan obat Anti Tuberkulosis

Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan


I TB Paru BTA+, 2 RHZE/4RH atau
2 RHZE/6HE atau
BTA-, lesi luas
2RHZE/4R3H3
II -Kambuh -2RHZES/1RHZE/5RHE Bila sterptomisi
-Gagal Pengobatan -2RHZES lalu sesuai hasil uji
dapat diganti
resistensi atau
kanamisin
2HZES/1RHZE/5R3H3E3
II TB paru lalai Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinik,
bakteriologik saat ini atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
III TB paru BTA 2 RHZ/4RH atau
6RHE atau
negatif lesi minimal
2RHZ/ 4R3H3
IV Kronik Sesuai uji resistensi (minimal 3
obat sensitif dengan H tetap
diberikan) atau H seumur hidup
IV MDR TB Sesuai uji resistensi +kuinolon
atau H seumur hidup
Dikutip: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2011

9. WOC TB PARU

Reaksi inflamasi Bakteri Mycobacterium tuberculosis Reaksi Inflamasi


↓ ↓ ↓
Suhu tubuh ↑↑ Terhirup Sekresi bradikinin,
↓ ↓ histamin, prostaglandin
Masuk ke alveoli ↓
MK : ↓
MK : Nyeri
Hipertermi Peradangan di parenkim paru
Akut

Pembentukan jaringan fibrosa eksudat + serosa masuk alveoli


↓ ↓
Berkurangnya luas total lapang paru eritrosit + leukosit mengisi
↓ alveoli
Penurunan kapasitas difusi ↓
MK : Gangguan
Pertukaran Gas
lapang paru konsolidasi paru
↓ ↓
Berkurangnya oksigenasi darah kapasitas paru ↓↓
Gangguan pemenuhan ADL ↓
Gangguan ventilasi, difusi, dan
MK : Intoleransi Transportasi O2

Aktivitas MK : Defisit Sesak napas
Perawatan Diri

Ekspansi paru ↓↓ Produksi sekret ↑↑ ↓↓ Tekanan O2 dan


↓ ↓ CO2
Batuk produktif
Penurunan kemampuan ↓
MK : Pola Napas
pertukaran O2 dan CO2 Aneurisma Rasmussen pecah
↓ Tidak Efektif
↓ Hemoptoe Perdarahan masif

MK : Gangguan Anemia
Pertukaran Gas MK : Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas
MK : Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Perifer
ASKEP TEORI TB PARU

A. PENGKAJIAN
Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :
1. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan
dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Keluhan respiratoris, meliputi:
a) Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah
b) Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya
berupa bloodstreak, berupa garis, atau bercak-bercak darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah
yang dikeluarkan:
a) Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
b) Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.
c) Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
b. Keluhan sistematis, meliputi:
a) Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang
timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa
bebas serangan semakin pendek
b) Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan,
dan malaise.
2) Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam
melengkapi pengkajian.
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak
napas, apakah sesak napas berkurang apabila beristirahat?
Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan
klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi
atau kesulitan dalam mencari posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?
Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam
hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika
itu juga, apakah timbul gejala secara terus-menerus atau hilang timbul
(intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien
pernah menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari
organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB
paru seperti diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum
oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan
antitusif. Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam
tentang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses
penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan
karena meminum OAT.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor
predisposisi di dalam rumah.
5) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif,
dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien
tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan
tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi,
klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan
keluhan yang dialaminya.
6) Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum
per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone)
serta pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system
pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital


Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang
dengan menilai keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum
tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor,
soporokoma, atau koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak
napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti
hipertensi.

B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-
posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti
adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat
bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa
komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,
jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot
bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya
didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi
sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB
paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring
arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang
sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura
masif mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak
didapatkan.

B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.

B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Gangguan pertukaran gas
3. Pola napas tidak efektif
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
5. Hipertermi
6. Nyeri akut
7. Intoleransi aktivitas
8. Defisit perawatan diri

C. INTERVENSI

1. Bersihan jalan napas tidak efektif


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, tidak ada gangguan pada
bersihan jalan napas.
Kriteria Hasil:
1. RR Normal = 16 – 20x /m
2. Tidak ada batuk darah, tidak ada sekret
3. Tidak ada suara napas tambahan: ronchi, crackless, dll
Suara napas = vesikuler
Intervensi:
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg atau posisi kepala lebih rendah dari posisi
kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien, dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dengan kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan pemberian terapi koagulan

2. Gangguan pertukaran gas


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, pertukaran gas tidak
terganggu.
Kritera Hasil:
1. Pasien menunjukkan peningkatan ventilasi dan oksigenasi, dengan indikator
BGA normal (pH 7,35-7,45, pCO2 35-45 mmHg, TCO2 23-30 mmol/l, pO2 80-
100 mmHg, BE -3,5-2,0, HCO3- 22-26 mmol/l)
2. Pasien tidak gaduh-gelisah, kesadaran tidak terganggu, GCS = E4 V5 M6
3. Pasien tidak mengalami sianosis, CRT <2 detik, tidak ada tanda-tanda kebiruan di
bibir atau di permukaan kuku
4. TTV dan pernapasan dalam batas normal :
TD = 100 – 130 / 70 – 90 mmHg
N = 60 – 100x /m
S = 360 C – 37,50 C
RR = 16-20x/menit
Intervensi
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg: posisi kepala lebih rendah dari posisi kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien dg saturasim dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dg kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan untuk melakukan pemeriksaan BGA
7. Anjurkan pasien untuk tidak banyak melakukan aktivitas, sehingga dapat berfokus
pada kebutuhan pemenuhan istirahat.

3. Pola napas tidak efektif


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, intoleransi aktivitas
teratasi.
Kriteria Hasil:
1. TTV dan pernapasan dalam batas normal :
TD = 100 – 130 / 70 – 90 mmHg
N = 60 – 100x /m
S = 360 C – 37,50 C
RR = 16-20x/menit
2. Hb meningkat dan mencapai rentang normal : ≥10 g /dl
Pasien tidak tampak lemah, konjungtiva tidak anemis
Intervensi
1. Kaji TTV, termasuk inspeksi konjungtiva dan Hb.
2. Bantu pasien dalam pemenuhan ADL.
3. Tingkatkan keterlibatan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien.
4. Berikan terapi latihan ambulasi untuk pasien sesuai kemampuan dan batas
toleransi aktivitas: miring kanan kiri.
5. Kolaborasikan pemberian obat anti perdarahan dan transfusi darah.
6. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). USA: Mosby Inc.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Gerdunas-TB. 2007

Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition


and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.

Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit


Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI

Moorhead, Sue et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: Mosby Inc.

Muttaqin, Arif. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

PDPI. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia

Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan,
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika, hal.67

Anda mungkin juga menyukai