Anda di halaman 1dari 8

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Higroma Colli, dikenal juga dengan limfangioma, jugular limfatik obstruktif, dan
higroma colli kistikum. Higroma adalah suatu kantong berisi cairan yang
obstruksi sistem limfatik akibat defek perkembangan sistem limfatik. Higroma
biasanya ditemukan di daerah kepala dan leher pada trigonum colli posterior
tepat di atas klavikula dan jarang ditemukan di aksila dan trungkus, tetapi dapat
pula muncul pada seluruh daerah aliran limfe.
B. Anatomi Fisiologi
Leher merupakan bagian tubuh yang memisahkan kepala dari bagian tubuh
lainnya. Komponen utama yang terdapat di leher adalah vena jugularis, arteri
karotis, saraf-saraf, esofagus, pita suara atau laring, vertebra servikal, dan otot
sternokleidomastoideus.

Vena jugularis terdiri dari vena jugularis interna dan eksterna. Vena jugularis
interna menerima aliran darah dari wajah, otak, dan leher. Sedangkan vena
jugularis eksterna menerima aliran darah dari cranium dan wajah bagian dalam.
Arteri karotis mendistribusikan darah ke kepala dan leher. Terdapat dua
arteri karotis mayor yang terdapat pada masing-masing sisi leher. Arteri karotis
sinistra berasal dari cabang arkus aorta, sedangkan arteri karotis dextra berasal
dari cabang trunkus brachiocephalika. Masing-masing arteri karotis ini
bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna.
Saraf-saraf di daerah leher merupakan cabang-cabang saraf cranial dan
servikal. Faring, laring, trakea dan sebagian esofagus disebut sebagai kolumna
viseralis. Sedangkan tulang-tulang yang terdapat di leher terdiri dari tujuh tulang
vertebra servikal yang berfungsi untuk pergerakan kepala, melindungi korda
spinalis, serta menyokong otot-otot dan ligamen-ligamen leher.
Otot-otot leher merupakan struktur yang rumit, sehingga dibagi menjadi
komponenkomponen segitiga untuk memudahkan dalam memahami anatomi.
Otot sternokleidomastoideus yang berinsersi di prosesus mastoideus tulang
temporal dan berorigo di sternum membagi leher menjadi dua segitiga mayor,
yaitu regio segitiga posterior dan anterior Ilustrasi diagram anatomi segitiga
anterior dan posterior leher
Regio segitiga posterior memiliki komponen otot yang lebih banyak daripada
segitiga anterior. Daerah ini dibatasi oleh otot trapezius (posterior),
sternokleidomastoideus (anterior), dan klavikula (inferior). Sedangkan daerah
segitiga anterior di dibatasi oleh mandibula (superior), midline (medial), dan
sternokleidomastoideus (lateral)
Pada potongan axial daerah anatomi leher dibagi menjadi lima
kompartemen atau ruang utama, yaitu :
1. Ruang visceral
Merupakan ruang sentral yang terdiri dari organ visera seperti laring, tiroid,
hipofaring, dan esofagus servikal.
2. Ruang carotid
Merupakan sepasang ruangan di lateral dari ruang viseral yang terdiri dari
arteri karotis interna, vena jugularis interna, dan beberapa struktur saraf.
3. Ruang retrofaringeal
Merupakan ruangan kecil yang hanya berisi jaringan lemak dan
berhubungan dengan ruang suprahyoid dan mediastinum medial.
4. Ruang Servikal Posterior
Merupakan sepasang ruangan yang terdapat di posterolateral ruang
karotid dan terdiri atas jaringan lemak, nodus limfoid, dan elemen saraf.
5. Ruang Perivertebral
Ruangan ini merupakan ruangan luas yang mengelilingi korpus vertebra
termasuk otot-otot pre dan paravertebral.
C. Etiologi
Higroma dapat terjadi sebagai temuan tunggal atau dapat juga ditemukan
bersamaan dengan defek lainnya sebagai suatu sindrom. Penyebabnya
bervariasi melibatkan faktor lingkungan, genetik, dan faktor yang tidak
diketahui.
1. Faktor lingkungan :
a. Infeksi virus maternal seperti Parvovirus
b. Maternal substance abuse, seperti konsumsi alkohol
selama kehamilan.
2. Faktor genetik yang berhubungan dengan higroma :
a. Sebagian besar diagnosis prenatal dari higroma
berhubungan dengan sindrom Turner, yaitu abnormalitas
kromosom sex pada wanita dimana hanya terdapat satu
kromosom X.
b. Abnormalitas kromosom lain seperti trisomi 13, 18, dan
21.
c. Sindrom Noonan
Higroma yang berupa temuan tunggal dapat diturunkan
sebagai kelainan autosomal resesif dimana orang tuanya
adalah silent carrier. Akan tetapi, banyak kelainanhigroma
ini ditemukan dengan penyebab yang tidak diketahui.
D. Anatomi Fisiologi

E. Pathofisiologi
Saluran limfe terbentuk pada usia kehamilan minggu keenam. Dari saluran
ini, akan terbentuk sakus yang akan menyediakan drainase ke sistem vena.
Kegagalan drainase ke sistem vena ini akan menyebabkan dilatasi dari saluran
limfe, dan apabila berukuran besar maka akan menjadi suatu higroma. Pada
embrio, drainase sistem limfatiknya menuju ke sakus limfatik jugularis.
Hubungan antara struktur primitif sistem limfatik dengan vena jugularis
terbentuk pada usia 40 hari kehamilan. Kegagalan pembentukan hubungan
struktur ini menyebabkan terjadinya stasis aliran limfe dan sakus limfatik
jugularis akan melebar sehingga terbentuklah suatu kista di daerah leher.
Apabila sistem drainase ke sistem vena tidak juga terbentuk pada masa ini, maka
akan terjadi lymphooedem perifer yang progresif dan dapat menyebabkan
kematian intrauterine.
Aliran limfe yang statis akan menyebabkan kista membesar dan muncul
sebagai suatu massa pada leher bayi baru lahir. Obstruksi napas serius yang
diakibatkan oleh higroma ini jarang terjadi pada bayi baru lahir.. Obstruksi napas
mungkin terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya: a) infiltrasi, dimana pada
beberapa kasus, telah ditemukan perluasan sampai ke linguae frenum dan
region sub-milohyoid, b) makroglossia, dan c) efek dari perdarahan, yang mung
in timbul karena trauma pada saat lahir yang menyebabkan perluasan kista
sehingga terjadi peningkatan tegangan dan tekanan dari trakea.
Pada anamnesis pasien didapatkan keluhan utama berupa tumor di leher
sebelah kanan yang dialami sejak lahir. Tumor ini berasal dari saluran linfatik
leher. Saluran limfe terbentuk pada usia kehamilan minggu keenam. Dari saluran
ini, akan terbentuk sakus yang akan menyediakan drainase ke sistem vena.
Kegagalan drainase ke sistem vena ini akan menyebabkan dilatasi dari saluran
limfe, dan apabila berukuran besar maka akan menjadi suatu higroma. Pada
embrio, drainase sistem limfatiknya menuju ke sakus limfatik jugularis.
Hubungan antara struktur primitif sistem limfatik dengan vena jugularis
terbentuk pada usia 40 hari kehamilan. Kegagalan pembentukan hubungan
struktur ini menyebabkan terjadinya stasis aliran limfe dan sakus limfatik
jugularis akan melebar sehingga terbentuklah suatu kista di daerah leher seperti
yang terdapat pada pasien ini
Aliran limfe yang statis akan menyebabkan kista membesar dan muncul
sebagai suatu massa pada leher bayi baru lahir. Obstruksi napas serius yang
diakibatkan oleh higroma ini jarang terjadi pada bayi baru lahir.. Obstruksi napas
mungkin terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya: a) infiltrasi, dimana pada
beberapa kasus, telah ditemukan perluasan sampai ke linguae frenum dan regio
sub-milohyoid, b) makroglossia, dan c) efek dari perdarahan, yang mungkin
timbul karena trauma pada saat lahir yang menyebabkan perluasan kista
sehingga terjadi peningkatan tegangan dan tekanan dari trakea.
F. Gambaran Klinis
Keluhan adalah adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir
tanpa nyeri atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol,
dan lunak. Permukaannya halus, lepas dari kulit, difus, berbatas tegas, dan
sedikit melekat pada jaringan dasar. Pada palpasi teraba ireguler. Kebanyakan
terletak di regio trigonum posterior colli. Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan
transluminasi positif tampak terang sebagai jaringan diafan (tembus cahaya).
Higroma kecil dan sedang biasanya asimptomatis.Benjolan ini jarang
menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar karena
radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan
saluran nafas seperti trakea, orofaring, maupun laring. Bila lebih besar maka
perluasan terjadi ke arah wajah, lidah, kelenjar parotis, laring, atau dada (15%
meluas ke mediastinum) dan dapat disertai komplikasi-komplikasi lain.
Dapat timbul gangguan menelan dan bernafas, sementara perluasan ke
aksilla dapat menyebabkan penekanan pleksus brakhialis dengan berbagai gejala
neurologik.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen
Radiografi atau foto polos rontgen tidak membantu dalam
mendiagnosahigroma. Massa higromaterdiri dari jaringan lunak sehingga
tidak memberikan gambaran dengan kontras yang baik pada foto polos
rontgen. Tampilan higroma pada foto polos hanya sebagai soft tissue mass
dengan densitas sama dengan jaringan lunak sekitar leher.
Foto polos rontgen bermanfaat bila higroma meluas atau berlokasi
pada rongga tubuh, terutama jika tidak terdapat CT Scan dan MRI. Sebagai
contoh, foto rontgen toraks normal menyingkirkan adanya perluasan
limfangioma servikal yang besar ke mediastinum. Foto rontgen juga berguna
untuk mengevaluasi trakea dan sangat membantu pada tindakan anestesi
dan intubasi trakea.6
2. Ultrasonografi (USG)
Telah diketahui bahwa diagnosis prenatal untuk higroma dapat
dilakukan oleh USG transvaginal.Faktanya, kondisi ini sering didiagnosa
selama penggunaan USG prenatal dan penemuannya bisa tepat dan tidak
diragukan. Karakteristik USG pada higroma dapat dijelaskan dengan gambar
dibawah ini.
3. CT Scan
Computed Tomography (CT) juga menyediakan informasi yang
diberikan oleh USG dan sangat ideal untuk evaluasi jaringan lunak yang
berdekatan dengan pertumbuhan massayang lebih besar yang tidak dapat
seluruhnya divisualisasikan dengan USG. Selain itu, CT sangat baik untuk
mendeteksi kalsifikasi dan vaskularisasi lesi jika ditambahkan penggunaan
bahan kontras dalam pemeriksaan. Bersama MRI, gambaran CT scan lebih
baik digunakan untuk melihat batas massa dan ada atau tidaknya perluasan
kearah mediastinum. Pada gambar CT, higroma kistik cenderung muncul
sebagai poorly circumscribed, multioculated, dan hypoattenuated mass.
Mereka biasanya memiliki karakteristik atenuasi fluida homogen.
Gambar 2.14 Higroma colli pada seorang pria 28 tahun dengan
riwayat 4 minggu pembengkakan menyakitkan dari sisi kiri leher yang tidak
responsif terhadap antibiotik. Aspirasi jarum halus menghasilkan cairan
serosa. Kontras ditingkatkan dan CT scan menunjukkan hypoattenuated
mass (h) dalam ruang servikal posterior yang masuk sampai ke otot
sternokleidomastoid. Pada pembedahan massa itu menempel pada vena
jugularis interna. 16
Gambar 2.15 Sagital CT scan menunjukkan erosi dari mandibula
yang merupakan invasi dari rongga mulut.
Infected lesions menunjukkan higher attenuation daripada yang
terlihat pada simple fluid. Biasanya massa terpusat di segitiga posterior atau
di ruang submandibula. Hal yang tidak lazim terjadi pada beberapa lesi
dimana lesi ini memanjang dari suatu ruang di leher ke ruang lain sebagai
akibat dari sifat infiltrasi mereka.
Gambar 2.16 Gambar CT Scan. Higromaterletak pada lantai kanan
mulut pada seorang pasien dewasa muda.19
Gambar 2.17 Higroma pada seorang gadis 20 bulan dengan bengkak
di bawah rahang kanan dan leher.Kontras-enhanced CT Scan menunjukkan
sebuah massa di sisi kanan leher dengan fluid level (panah) menunjukkan
perdarahan.20 CT scan menggunakan radiasi pengion sehingga merupakan
kontraindikasi pada kehamilan kecuali terdapat pertimbangan utama.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara higroma
dengan jaringan lunak yang berdekatan di leher dan menilai sejauh mana
infiltrasi dari kista ke struktur di sekitarnya. MRIdengan kemampuan
multiplanar dan resolusi kontras yang superior, menunjukkan jangkauan
yang luas terhadap gambaran suatu massa dan memberikan informasi
tambahan yang penting untuk perencanaan pra operatif yang akurat. Hal ini
dapat sangat relevan dalam kasus perluasan ke mediastinum atau ruang
dalam dari leher. Selain itu, pencitraan MRI menawarkan resolusi superior
untuk mengevaluasi massa yang terletak di daerah anatomis yang kompleks,
seperti dasar mulut.
Pola paling umum adalah massa dengan intensitas sinyal rendah
atau menengah pada T1 dan hyperintensity pada T2. Jarang ditemukan lesi
ini hyperintense pada potongan T1, jika ditemukan kemungkinan
berhubungan dengan adanya suatu gumpalan darah atau high lipid (chyle).
Dalam kasus perdarahan,fluid level dapat diamati.
Gambar 2.18 (a) Potongan aksial T1 menunjukkan intensitas sinyal
yang heterogen dalam massa (m), yang mengisi ruang parotis kanan dan
bagian dari ruang mandibula. Wilayah hyperintensity sesuai dengan daerah
perdarahan. (b) Potongan koronal T1 menunjukkan perpanjangan massa ke
dalam ruang submandibula dan sublingual.
Gambar 2.19 Higroma pada wanita 36 tahun dengan massa leher sisi
kiri yang membesar saat virus infeksi saluran pernapasan atas. Potongan T1
koronal menunjukkan massa hypointense besar di sisi kiri leher memanjang
dari ruang submandibula ke cerukan dada. Beberapa septum (panah)
menyilang pada lesi.
Gambar 2.20 Higroma. Potongan Aksial T1 menunjukkan suatu well-
defined mass (m) di ruang kanan serviks posterior yang menggantikan otot
sternokleidomastoid yang berdekatan.

H. Penatalaksanaan
1. Eksisi
Eksisi kista ini tidak mudah, karena melibatkan struktur dalam dan
vital. Perawatan ekstrim harus dilakukan untuk menghindari komplikasi
selama operasi. Komplikasi yang mungkin terjadi selama operasi adalah
kerusakan nervus fasialis, arteri fasial, arteri karotid, vena jugularis interna,
duktus torasikus dan pleura, serta eksisi inkomplit. Komplikasi post operasi
yang mungkin terjadi adalah infeksi luka operasi, perdarahan, hypertrophic
scar, dan keluarnya cairan limfe dari luka operasi. Pada 20% kasus,
ditemukan adanya rekurensi setelah eksisi komplit.
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan ini dimaksudkan
untuk mengambil keseluruhan massa kista. Akan tetapi, bila tumor besar
dan telah menyusup ke organ penting, seperti trakea, esofagus, atau
pembuluh darah, ekstirpasi total sulit dikerjakan. Oleh karena itu,
penanganannya cukup dengan pengambilan sebanyak-banyaknya kista,
namun mungkin perlu dilakukan beberapa kali tindakan operasi.
Kemudianpascabedah dilakukan infiltrasi bleomisin subkutan untuk
mencegah kekambuhan. Hal ini merupakan cara penanganan yang paling
baik dan aman. Pada akhir pembedahan, pemasangan penyalir isap sangat
dianjurkan.
2. Aspirasi
Aspirasi perkutan diikuti oleh reakumulasi cepat dari cairan dalam
kista atau oleh perkembangan infeksi.Aspiras ihigroma bisa dilakukan
sebagai penanganan sementara untuk mengurangi ukuran dari kista
sehingga dapat mengurangi efek tekanan terhadap saluran pernafasan dan
pencernaan. Trakeostomi dan gastrostomi dilakukan terutama pada pasien
dengan gangguan menelan dan pernafasan yang berat.

I. Komplikasi
1. Infeksi pada Lesi
Sumber infeksi dari higroma ini biasanya merupakan sekunder dari
fokus infeksi di traktus respiratorius, meskipun bisa juga bersifat infeksi
primer. Selama proses infeksi, ukuran kista membesar dan menjadi hangat,
merah, dan nyeri. Infeksi bisa melibatkan seluruh kista atau sebagian kista.
Selama infeksi aktif, transiluminasi bisa tidak terlihat lagi dan kadang-kadang
bisa menjadi abses.
2. Perdarahan
Pada perdarahan, kista menjadi keras dan tegang. Ruptur spontan
pada higroma leher yang besar pernah dilaporkan sehingga memerlukan
intervensi bedah segera.
3. Gangguan Pernafasan dan Disfagia
Gangguan ini disebabkan oleh penekanan oleh massa kista pada
saluran pernafasan dan pencernaan.

4. Diagnose Keperawatan
5.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan Preoperatif


1. Pengkajian
a. Riwayat Ksehatan
b. Pola kebiasaan
c. Riwayat tumbuh kembang
d. Pemeriksaan laboratorium
e. Pemeriksaan fisik
f. Persiapan operasi
g. Analisa data
2. Diagnosa keperawatan
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
B. Asuhan Keperawatan Intraoperatif
1. Pengkajian
a. Persiapan perawat
b. Persiapan alat
c. Persiapan klien
d. Persiapan operasi
e. Evaluasi
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
C. Asuhan Keperawatan postoperative
1. Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai