Anda di halaman 1dari 16

Asma Bronchiasi

Kiki rizki paramita lestari

102015178

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6 - Jakarta Barat

E-mail: kikirizkiparamitalestari@gmail.com

Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap mengganggu
aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas menurun akibat mangkir kerja atau sekolah,
dan dapat menimbulkan disability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivitas
serta menurunkan kualitas hidup.1
Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di
seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih
tinggi lagi pada masa akan datang.

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak
dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.

Anamnesis
Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,
‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.
Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian perkembangan
gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas untuk
penyakit bersangkutan.1
1
Anamnesis yang dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:
- Identitas Pasien
 Nama, umur, alamat, pekerjaan (bisa secara alloanamnesis).
- Keluhan Utama
- Riwayat Penyakit Sekarang
 Apakah sedang mengalami suatu penyakit tertentu atau tidak
- Riwayat Penyakit Dahulu
 Sebaiknya, ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama seperti
sekarang.
- Riwayat Penyakit Keluarga
 Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama.
- Riwayat Pengobatan
 Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat pengobatan apa dan
apakah keadaan membaik atau tidak.
- Apakah anak tersebut pernah kontak dengan penderita lainnya

Selain itu, ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan terkait dengan batuk si
anak:1
 Sesaknya sudah berapa lama?
 Ada waktu tertentu sesaknya muncul?
 Apakah ada batuknya?
 Jika produktif apa warna cairan/sputum? Apakah purulen?
 Apakah ada nyeri di dada?
 Adakah faktor pencetus terjadinya sesak?
 Adakah alergi obat atau antigen lingkungan?
 Apakah pasien sebelumnya punya riwayat alergi?

PemeriksaanFisik
Melihat pasien apakah tampak sakit ringan atau berat? Apakah jalan nafasnya
adekuat? Jika tidak, betulkan posisi kepala, pasang alat bantu jalan nafas oral, masker laring,
atau intubasi endotrakea. Apakah pasien bernafas?Jika tidak, pastikan jalan nafas terbuka,
berikan oksigen tambahan dan ventilasi.Apakah sirkulasinya adekuat?
Melihat pasien apakah pasien sianosis (perifer atau sentral)?Jika ada sianosis,
hipoksemia pada oksimetri nadi, distress pernapasan, atau pasien tampak sakit berat, berikan
2
oksigen melalui masker wajah. (penggunaan oksigen konsentrasi tinggi hanya relevan pada
pasien PPOK yang mungkin memiliki dorongan ventilasi hipoksik).
Bagaimana laju dan pola pernafasan?Adakah sesak nafas saat istirahat, saat bergerak,
berpakaian, atau berjalan menuju sofa?Bagaimana penampilan umum pasien (kaheksia,
kurus, tanda-tanda obstruksi SVC (kenaikan JVP menetap, dilatasi vena superfisialis dada,
bengkak pada wajah)?Apakah pasien nyaman, kesakitan, lelah, ketakutan, atau tertekan?
Periksa tanda-tanda distress pernafasan : pernafasan cepat, penggunaan otot bantu
pernafasan, rasa tertarik di trakea, retraksi interkostalis, gerakan abdomen paradoksal,
mengerucutnya bibir, atau menurunnya laju pernafasan saat pasien merasa lelah. Adakah
suara mengi yang terdengar jelas (terumata saat eskpirasi) atau stridor (terutama inspirasi)?
Periksa adakah jari seperti tabuh atau nyeri tekan pada pergelangan tangan
(osteoartopati hipertrofik), pewarnaan nikotin pada jemari, atau flap (konsisten dengan retensi
karbondioksida).Periksa denyut nadi pasien dan JVP, tanda-tanda limfadenopati, mulut, dan
hidung.Bagaimana posisis trakea, apakah ada deviasi?
1. Dada
Periksa dada bagian anterior dan posterior dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.Bandingkan sisi kiri dan kanan.
- Inpeksi
 Bentuk dinding dada dan tulang belakang
 Jaringan parut (radioterapi atau pembedahan)
 vena menonjol (obstruksi SVC)
 laju dan irama pernafasan
 pergerakan dinding dada (simetris? Hiperekspansi?)
 retraksi interkostalis
- Palpasi
Periksa adanya nyeri tekan, posisi denyut apeks, dan ekspansi dinding dada.
- Perkusi
Periksa adanya bunyi tumpul atau hiper resonansi.
- Auskultasi
Gunakan bagian diafragma stetoskop. Dengarkan suara nafas, pernafasan bronkial, dan
suara tambahan (ronki, gesekan, mengi).Suara nafas yang menurun atau tidak terdengar
terjadi pada efusi, kolaps, konsodilatasi dengan hambatan jalan nafas, fibrosis,

3
pneumotoraks, dan naiknya diafragma. Pernafasan bronkial bisa ditemukan konsolidasi,
kolaps, dan fibrosis padat di atas efusi pleura.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis
asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas
besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat
digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan
FEV1. 3
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan
asma.
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST)
bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya
tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang
atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%,
HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
4
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam
alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai
ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan
jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.3

Working Diagnosis
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala
episodik berulang dan mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.4

Differential Diagnosis
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari
tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai
faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang
menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang
memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru
seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat
perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu
diperhatikan faktor-faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan
fungsi paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi
beberapa waktu.4

5
Etiologi
Berbagai teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada reseptor beta
adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).2
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh
adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.Serangan asma ini menjadi lebih berat
dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis
kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.2
3. Asma gabungan

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.

1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas.Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan. 2
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
 Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca

6
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma.Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma.Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.5

Epidemiologi
Menurut WHO terdapat 235–300 juta orang di seluruh dunia menderita asma, dan
sekitar 250.000 orang meninggal per tahun karena penyakit ini.. Lebih sering ditemukan
di negara maju dibandingkan negara berkembang.Jadi tingkatnya terlihat lebih rendah di
Asia, Eropa Timur dan Afrika. Di negara maju penyakit ini lebih banyak diderita oleh mereka
yang kurang beruntung secara ekonomi sementara di negara berkembang lebih biasa
ditemukan di kalangan atas. Alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui. Lebih dari 80%
mortalitas terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.6
Walaupun asma dua kali lebih sering ditemukan di kalangan anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan , asma berat terjadi pada keduanya setara. Sebaliknya wanita

7
dewasa memiliki tingkat asma yang lebih tinggi dibandingkan pria dan lebih sering
ditemukan di kalangan orang muda dibandingkan orang tua.6

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan asma alergik
mungkin disertai pilek dan bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembanga selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang - kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya batuk tanpa mengi,
yang dikenal sebagai cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu
dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi
bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering berhubungan antara permajanan alergen dengan gejala asma
tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas
ataupun perubahan cuaca.4
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik apabila pasien dijauhkan dari
lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin dilakukan untuk
menegakkan diagnosis. 4

Patofisiologi
Asma bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5
tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan
lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki
penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.7
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major
Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada
sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
8
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. 7
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma
timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T
pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator.
Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke
arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk
pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase
lambat semakin lama semakin kuat.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar
submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosterteroid.8
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus yang
didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.
1. Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin
D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang
ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos,
pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul
9
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket
pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.8
Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas adalah
kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih
besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. (Gambar 3) Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui jalur
yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan
mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja
sehingga kerjanya menjadi tidak optimal
2. Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan
perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap
kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas
yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.8,9
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian
histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan penurunan Forced
Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat
dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease
(COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun
adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti
histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.9
3. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan ini
disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan otot
polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat
bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos
dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.9
4. Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan karakteristik asma
kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan
10
pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang persisiten pada
serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan bronkodilator.9
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan
sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan
DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.
5. Asma nokturnal

Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil dan makrofag
di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya inflamasi pada saluran
nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila pasien asma tidur dalam
posisi supine.

Tatalaksana
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang
kurang tepat, dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka
panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan
memberikan pengobatan yang tepat. 10,11
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons
pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada
penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-
lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati
hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan
serangan asma. 10,11
Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat
gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan
penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak
tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya
menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma
yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh
dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal. 10,11

11
Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat
tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan
dokternya. Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau fasilitas rumah sakit,
maka dokter wajib menilai beratnya serangan dan memberikan penanganan yang tepat.10
Kondisi di Indonesia dengan fasilitas layanan medis yang sangat bervariasi mulai dari
puskesmas sampai rumah sakit, akan mempengaruhi bagaimana penatalakasanaan asma saat
serangan akut terjadi sesuai fasilitas dan kemampuan dokter yang ada. Serangan yang ringan
sampai sedang relatif dapat ditangani di fasiliti layanan medis sederhana, bahkan serangan
ringan dapat diatasi di rumah. Akan tetapi serangan sedang sampai berat sebaiknya dilakukan
di rumah sakit.10
Tabel berikut ini adalah rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat
serangan dan tempat pengobatan. 10,11

Pada serangan ringan obat yang diberikan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi dapat
berbentuk IDT, lebih dianjurkan dengan spacer, DPI atau nebulisasi. IDT dengan spacer
menghasilkan efek yang sama dengan nebulisasi, mempunyai onset yang lebih cepat, efek
samping lebih minimal dan membutuhkan waktu yang lebih cepat, sehingga lebih mudah
dikerjakan di rumah maupun di darurat gawat/rumah sakit. Walaupun pada beberapa keadaan
pemberian nebulisasi lebih superior misal pada penderita asma anak. Bila di rumah tidak
tersedia obat inhalasi, dapat diberikan agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral
12
agonis kerja singkat dan teofilin. Dosis agonis beta-2 kerja singkat, inhalasi 2-4 semprot
setiap 3-4 jam, atau oral setiap 6-8 jam. Terapi tambahan tidak dibutuhkan jika pengobatan
tersebut di atas menghasilkan respons komplet (APE > 80% nilai terbaik/ prediksi) dan
respons tersebut bertahan minimal sampai 3-4 jam. Lanjutkan terapi tersebut selama 24-48
jam. Pada penderita dalam inhalasi steroid, selain terapi agonis beta-2 , tingkatkan dosis
steroid inhalasi, maksimal sampai dengan 2 kali lipat dosis sebelumnya. Anjurkan penderita
untuk mengunjungi dokter. Bila memberikan respons komplet, pertahankan terapi tersebut
sampai dengan 5-7 hari bebas serangan, kemudian kembali kepada terapi sebelumnya. Pada
serangan asma sedang -berat, bronkodilator saja tidak cukup untuk mengatasi serangan
karena tidak hanya terjadi bronkospasme tetapi juga peningkatan inflamasi jalan napas, oleh
karena itu mutlak dibutuhkan kortikosteroid. Dengan kata lain pada keadaan tidak ada
respons dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, atau bahkan perburukan, dapat
dianjurkan menggunakan kortikosteroid oral 0,5-1 mg/kgBB dalam 24 jam pertama.
Algoritme Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi Akut di Rumah (PDPI)10
A. Oksigen
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen >
90% dan dipantau dengan oksimetri. 10,11
B. Agonis beta-2
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang
menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat,
efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat
gawat. Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum
pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit
dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1). Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi
(subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat
(bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin
(adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan dapat ditambahkan
bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan
dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% dengan perbandingan 1:1. Pada
penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan
setengahnya dan untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian
dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam.

13
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma
derajat manapun kecuali serangan ringan, terutama jika :
 Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
 Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
 Serangan asma berat
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih
disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan
oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian
intravena.Kortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai
perbaikan klinis. Penelitian menunjukkan Kortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80
mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita
dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah
adekuat. Kortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari.
Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu
singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu.
D.Antibiotik
Tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia,
bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi
bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri
atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif dan bahkan anaerob
seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik. Antibiotik pilihan
sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik
yaitu makrolid, golongan kuinolon dan alternatifnya yaitu amoksisilin/ amoksisilin
dengan asam klavulanat.
Berikut ini adalah tabel dan sediaan beberapa obat saat eksaserbasi. 10,11

14
Kesimpulan
Perempuan tersebut didiagnosa menderita Asma Bronchiasi

15
Daftar Pustaka
1. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.
2. Gleadle,Jonathtan. A a Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Erlangga.
Jakarta: 2011;h.26-27
3. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK UI. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial.
Jakarta;58(11), Nopember 2008 h.448-449
4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Jakart: Juni 2006.h.248
5. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
6. Kumar Vinay, Abbas AK, Aster JC. Buku Ajar Patologi Robbins. Penerbit Buku
kedokteran Elsevier Saunder. Edisi ke-9. Jakarta: 2013; p.461- 465
7. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
8. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
9. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado,
Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-
induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa,
Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy : 2007
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta, 2008.
11. Global Initiative for Asthma. At a Glance Asthma : Management Reference. 2015.

16

Anda mungkin juga menyukai