Anda di halaman 1dari 25

Artritis Reumatoid sebagai Penyebab

Nyeri Sendi
Mariza Gautami Siwabessy
102011098
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : nona.nanonano@rocketmail.com

Pendahuluan

Arthritis Rheumatoid merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan inflamasi


sistemik kronik maupun progresif, dimana sendi tersebut merupakan target utama.
Manifestasi klinik klasik dari AR adalah terjadinya poliartritis sistemik yang mengenai
sendi- sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain itu pada lapisan sinovial sendi, AR juga bisa
mengenai organ-organ diluar persendian seperti pada kulit, paru-paru, jantung dan mata.
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi dari kardiovaskular , infeksi, penyakit
ginjal keganasan dan adanya kemorbiditas. Menegakkan diagnosis dan terapi sedini mungkin
dapat menurunkan progresif penyakit dan menyebabkan penyakit tidak menjadi lebih parah.
Metode terapi yang dipakai dalam penatalaksanaan dan terapi untuk AR adalah dengan
piramida terbalik, diberikan DMARD sedini mungkin untuk mengurangi tingkat resiko
penyakit untuk bertambah parah. Pemberian AINS atau OAINS atau NSAID dapat juga
diberikan untuk mengurangi inflamasi.

Pembahasan

Untuk mengetahui penyakit sendi apa yang diderita pasien, kita perlu melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik ataupun kalau perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis difokuskan mengenai profil pasien (umur, pekerjaan), faktor yang


memperberat dan yang meringankan, onset dan durasinya (akut atau kronik), ada tidaknya
inflamasi sendi, lokasi/distribusi sendi yang terkena, gejala sistemik dan ekstra-artikular yang
menyertai, penyakit komorbid, riwayat trauma, ada tidaknya gangguan fungsi sendi dan
disabilitas, dan apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga. Perjalanan keluhan nyeri
sendi apakah bersifat akut atau kronis. Pola keterlibatan sendi apakah bersifat simetris atau
asimetris. Karakteristik nyeri apakah termasuk nyeri ringan, nyeri sedang, atau nyeri berat.
Jumlah dan distribusi sendi yang terlibat apakah berupa mono/oligoartikular atau
poliartikular. Gejala ekstraartikular dan kondisi medik yang menyertai apakah berhubungan
dengan keluhan nyeri sendi tersebut.1

Umur. Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap
penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya, osteoartritis lebih sering
ditemukan pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya, lupus
eritematosus sistemik lebih sering ditemukan pada usia muda dibandingkan dengan kelompok
usia lainnya.1

Tabel 1. Penyakit Reumatik pada Berbagai Kelompok Umur1

Jenis kelamin. Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada
beberapa kelompok penyakit.1

Tabel 2. Perbedaan Jenis Kelamin pada Penyakit Reumatik1


Nyeri sendi. Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pentingnya
untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan
inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul
pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah
berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal
gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Pada artritis reumatoid, nyeri yang paling
berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada malam
hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih
ringan dan membaik pada siang hari. Pada artritis gout, nyeri yang terjadi biasanya berupa
serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam hari sebelumnya
pasien tidak merasakan apa – apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan sangat responsif
dengan pengobatan. Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam) pada tulang
merupakan tanda proses keganasan.1

Kaku sendi. Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk
menggerakan sendi (worn off). Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di
sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi
makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Lama dan beratnya kaku sendi pada pagi
hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada
artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih
lama daripada artritis reumatoid ringan).1

Bengkak sendi dan deformitas. Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada
perubahan warna, perubahan bentuk atau perubahan posisi struktur ekstremitas. Biasanya
yang dimaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi.1

Gejala sistemik. Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak disertai
keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti
peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan
berat badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang.1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi: inspeksi pada saat
diam / istirahat, inspeksi pada saat gerak, palpasi.1
Gaya Berjalan. Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase,
loading/stance phase, toe off phase dan swing phase. Pada heel strike phase, lengan diayun
diikuti gerakan gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi coxae dan
ekstensi sendi lutut. Pada loading/stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur
melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tunngkai pada heel strike phase.
Pada toe off phase, sendi coxae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai. Pada swing
phase, sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi talokruralis.1

Gambar 1. Gaya berjalan1

Sikap/postur badan. Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi bagian
badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intra-artikular yang
tinggi, oleh karena itu pasien akan berusaha menguranginya dengan cara mengatur posisi
sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering
diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan cara lengan diaduksi dan
endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka pasien akan merasa sangat kesakitan
karena terjadi peningkatan tekanan intra-artikular. Ditemukannya postur badan yang
membengkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas
spondilitis ankilosa.1

Deformitas. Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan
lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi
(misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi
kapsul sendi atau kerusakan sendi). Berbegai deformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu
varus, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi.
Demikian pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara lain boutonniere finger,
swan neck finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada
ibu jari tangan ditemukan unstable-Z-shaped thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki
bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada
pergelangan kaki terjadi valgue ankle.1

Perubahan kulit. Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit
sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain
psoriasis dan eritema nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi
menunjukan adanya inflamasi periartikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik
atau artritis kristal.1

Kenaikan suhu sekitar sendi. Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan
dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamasi.1

Bengkak sendi. Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang.
Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang
resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut.1

Pergerakan. Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif
dan dibandingkan kiri dan kanan.1

Krepitus. Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan
struktur yang terserang. Krepitus halus merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitarnya. Keadaan ini
ditemukan pada radang sarung tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya
dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang.
Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang.1

Gangguan fungsi. Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal; seperti
bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi coxae, lutut dan kaki.
Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk menilai tangan.1

Nodul. Nodul sering ditemukan pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul
reumatoid).1
Gangguan mata. Gangguan mata meliputi:

 Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis dan polikondritis.


 Iritis pada spondilitis ankilosa dan penyakit Reiter kronik.
 Irdosklitis pada artritis juvenil kronik jenis pausiartikular.
 Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom sika.

Pemeriksaan Penunjang

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan
yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun tatalaksana
penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa dianalogikan seperti pemeriksaan urinalisis
untuk menilai kelainan traktur urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan
makroskopis, mikroskopis, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini
cairan sendi abnormal dapat dikelompokkan jadi 4 kategori, yaitu non inflamasi, inflamasi,
purulen dan hemoragik. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shmerling
menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk
identifikasi infeksi sendi dan diagnosis artropati kristal. Pada umumnya, cairan sendi
diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari sendi – sendi lainnya seperti bahu, siku, dan
pergelangan kaki.2

Jenis – jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis cairan sendi :

 Rutin
o Pemeriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas, potensi terbentuknya
bekuan, volume.
o Pemeriksaan mikroskopis: jumlah leukosit, hitung jenis leukosit, pemeriksaan
sediaan basah dengan mikroskop polarisasi dan fase kontras.
 Khusus
o Mikrobiologi: pengecatan khusus (silver, Periodic Acid Schiff (PAS), Ziehl
Nielson), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis, analisis antigen atau
asam nukleat mikroba (PCR).
 Serologi

o Kadar komplemen hemolitik (CH50), kadar komponen komplemen (C3 dan


C4), autoantibodi (RF, ANA, Anti CCP).
 Kimiawi
o Glukosa, protein total, pH, pO2, asam organik (asam laktat dan asam suksinat),
LDH (lactate dehydrogenase).

Pemeriksaan makroskopis. Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan


bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menemukan cairan sendi tersebut termasuk
dalam kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4) purulen atau 5) hemoragik.
Diagnosis spesifik jarang bisa dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja.2
Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.1

Tabel 3. Gambaran Analisis Cairan Sendi Normal1

Tabel 4. Gambaran Analisis Cairan Sendi Patologis1


Bekuan. Cairan sinovia (cairan sendi) sedikit sekali kandungan protein pembekuan
seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga
cairan sinovia normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi “membran
dialisat” sendi menjadi rusak sehingga protein dengan berat molekul yang lebih besar seperti
protein – protein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan sinovia, sehingga cairan
sinovia pada penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya bekuan
berkorelasi dengan derajat inflamasi sinovia.1,2

Volume. Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi, bahkan
pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3 – 4 ml cairan sinovia. Pada kondisi
sinovitis, yang mengakibatkan rusaknya “membran dialisat” sendi, sejumlah besar cairan bisa
berakumulasi pada ruang sendi. Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan
kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume aspirat pada aspirasi serial
bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya sesuai
dengan perbaikan klinis.1,2

Viskositas. Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya konsentrasi polimer
hyaluronat. Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama cairan sinovia dan
berperan penting pada lubrikasi jaringan sinovia. Pada penyakit sendi inflamasi asam
hyaluronat rusak atau mengalami depolimerisasi, yang menurunkan viskositas cairan sendi.
Viskositas merupakan penilaian tidak langsung dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan
sinovia. Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan “string test”, yaitu
melihat cairan sendi pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi normal
akan dapat membentuk juluran (string out) 7 cm – 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah
dengan menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksaan
untuk menilai konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan
dengan cara menambahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2%. Pada
cairan sendi normal atau kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan sendi
kelompok II atau III (inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang
baik.1,2

Warna dan kejernihan. Cairan sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih telur.
Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit
pada sinovia selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan memberikan warna
kekuningan (xantochrome) pada cairan sendi inflamasi. Leukosit akan membuat warna cairan
sendi menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan berwarna
putih atau krem seperti pada artritis septik. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan
leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis kuman dan kristal yang ada dalam
cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan, serratia
marcescens akan memberikan warna kemerahan dan kristal monosidium urat akan
memberikan warna putih seperti susu.1,2

Gambar 2. Warna beberapa kelompok cairan sendi1

Pemeriksaan mikroskopis.

Jumlah dan hitung jenis leukosit. Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat
membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat
membedakan kelompok inflamasi dan non inflamasi. Pada cairan sendi kelompok II seperti
artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya 3000 – 50.000 sel/ml, sedang pada kelompok III
jumlah leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi normal umumnya PMN kurang
dari 25%, sedang pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70% (inflamasi
kelompok II PMN > 70%, kelompok III > 90%).1,2

Kristal. Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah
aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya
biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan pemeriksaan yang lebih baik
memerlukan mikroskop polarisasi.2

Pemeriksaan mikrobiologi.

Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis inflamasi yang: terjadi
bersama dengan infeksi di tempat lain (endokarditis, selulitis, pneumonia), sebelumnya
terdapat kerusakan sendi serta pada pasien – pasien diabetes dan pasca transplantasi. Pada
pengelompokan cairan sendi, artritis septik termasuk kelompok III, yang biasanya jumlah
leukositnya lebih dari 50.000/ml. Tetapi kadang – kadang cairan sendi septik dapat memberi
gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi kelompok III dapat juga terjadi pada
artritis inflamasi non infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya pemeriksaan
dengan pengecatan gram dan kultur bakteri cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa
pengecatan dan biakan pada media khusus sangat membantu pada kondisi tertentu seperti
misalnya untuk mycobacterium tuberkulosis dan jamur.2

Tidak ada tes yang spesifik untuk mendiagnosis AR. Namun Rheumatoid Factor (RF), yang
merupakan autoantibodi reaktif terhadap bagian Fc dari Imunoglobulin G, ditemukan di lebih
dari 2/3 orang dewasa yang terkena AR. Namun RF sendiri bukan suatu petanda spesifik
untuk AR. RF ditemukan pada setidaknya 5% pada orang normal. RF juga ditemukan dalam
systemic lupus erithematosus (SLE), Sjogren Syndrome, penyakit hati kronik, dan lain-lain.
Anemia normokrom dan normositik juga sering ditemukan dalam AR aktif. Hal ini
merefleksikan inefektivitas dari proses eritropoiesis.3

Untuk mengetahui apakah terapi dalam penyakit sendi itu berhasil atau tidak bisa dilakukan
pemeriksaan LED ataupun CRP, selain rheumatoid factor, bisa juga dilakukan pemeriksaan
anti- CCP yang bisa kita cek karena biasanya pemeriksaan anti CCP ini sangat spesifik untuk
AR karena pada penderita AR terdapat asam citruline yang bisa dijadikan digunakan untuk
pemeriksaan.3

Bisa juga dengn menggunakan pemeriksaan rontgen yang bisa melihat adanya erosi yang
terdapa pada penderita AR.3

Differential Diagnosis/DD

Differential diagnosis adalah penentuan antar dua atau lebih penyakit dengan gejala-gejala
penyakit yang sama yang diderita pasien berdasarkan analisa data klinis. Dalam kasus ini,
pasien mempunyai kemungkinan untuk mengalami salah satu antara beberapa jenis penyakit
yang mempunyai gejala yang sama. Berikut adalah beberapa penyakit yang mempunyai
gejala yang hampir sama.
Artritis Gout

Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraseluler. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal
pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan
ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolisme yang mendasar gout adalah hiperurisemia
yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 mg/dl.
Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun
dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat deposisi yang
progresif kristal urat.1

Diagnosis

Dengan menemukan kristal urat dalam tofi merupakan diagnosis spesifik untuk gout.
Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang sensitif.
Oleh karena itu kombinasi dari penemuan – penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis:

 Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus pada sendi MTP-1;


 Diikuti oleh stadium interkritik di mana bebas simptom;
 Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin;
 Hiperurisemia

Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan
40% pasien gout mempunyai kadar asam urat normal. Hasil penelitian penulis didapatkan
sebanyak 21% artritis gout dengan asam urat normal. Walaupun hiperurisemia dan gout
mempunyai hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang berbeda. Kriteria untuk
penyembuhan akibat pengobatan dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektif inflamasi
pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan artritis pada pasien ddengan
hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan pertama
artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan utama radiografi pada kronik gout adalah
inflamasi asimetri, artritis erosif yang kadang – kadang disertai nodul jaringan lunak.1
Artritis Septik / Artritis Bakterialis

Pasien dengan artritis septik akut ditandai nyeri sendi hebat, bengkak sendi, kaku dan
gangguan fungsi, di samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain seperti demam
dan kelemahan umum. Sendi lutut sering dikenai dan biasanya bersifat indolent monoartritis.
Beberapa faktor resiko antara lain. 1) Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul disertai
infeksi kulit. 2) Infeksi kulit tanpa protesis. 3) Protesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut
tanpa infeksi kulit. 4) Umur lebih dari 80 tahun. 5) Diabetes melitus. 6) Artritis reumatoid
yang mendapat pengobatan imunosupresif. 7) Tindakan bedah persendian. Di Filipina
dilaporkan bahwa pasien – pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan faktor
resiko urutan kelima untuk terjadinya artritis septik.1

Staphylococus aureus merupakan bakteri yang sering menyebabkan artritis bakterialis


dan osteomielitis pada manusia. Artritis bakterialis ditandai oleh nyeri dan pembengkakan
sendi yang akut, biasanya monoartikular, terutama mengenai sendi lutut dan hampir selalu
ada penyakit yang mendasarinya. Pada umumnya pasien akan mengalami demam, tetapi
jarang disertai menggigil.1

Analisis kultur cairan sendi, merupakan prosedur diagnostik yang penting untuk
mendiagnosis artritis bakterialis. Walaupun tidak bersifat diagnostik, kecurigaan infeksi sendi
dapat juga dilihat dari hitung leukosit cairan sendi, yaitu bila didapatkan leukosit lebih dari
50.000/ml dengan jumlah PMN lebih dari 80%. Pada keadaan yang berat, harus dilakukan
kultur darah. Selain itu juga harus dilakukan kultur dari lokal infeksi, seperti kulit, urin dan
lain sebagainya. Perubahan radiologis biasanya terjadi beberapa minggu setelah infeksi.
Magnetic Resonance Imaging merupakan prosedur pemantauan yang dapat digunakan untuk
diagnostik dini, yang akan menampakkan gambaran pembengkakan dan pendesakan jaringan
lunak sendi.1

Lupus Eritematosus Sistemik

Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE),


merupakan prototipe penyakit otoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen – komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinik yang luas. SLE
terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15 – 40 tahun selama
masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki – laki 5 :1. Etiologinya tidak jelas, diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor
klas II, yaitu HLA-DR 2 dan HLA-DR3.1

Gejala konstitusional

Kelelahan. Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini dapat diukur dengan
menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi lain. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktivitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain,
yaitu kadar C3 serum yang rendah.1

Penurunan berat badan. Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.1

Demam. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti infeksi lain
seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.1

Lain – lain. Gejala – gejala lain yang sering dijumpai pada pasien LES dapat terjadi sebelum
ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.1

Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55%. Keluhan
muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada pasien LES,
lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau
merupakan suatu artritis di mana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan
simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan artritis reumatoid di mana pada umumnya LES
tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan
sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya koinsidensi
penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid, Polymyositis, Skleroderma atau menifestasi
klinis penyakit – penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis LES.1
Working Diagnosis/WD

American College of Rheumatology (ACR) telah menyusun 7 kriteria untuk kriteria


diagnostik Arthritis Reumatoid. Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari
kriteria berikut ini :

1. Kaku pagi hari

Definisi : Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya, sekurangnya
selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.1
2. Artritis pada 3 persendian atau lebih
Definisi : Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan
pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang
diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14 persendian yang
memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan, siku pergelangan kaki dan
MTP kiri dan kanan.1
3. Artritis pada persendian tangan
Definisi : Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti
yang tertera diatas.1
4. Artritis simetris
Definisi : Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada
kedua belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima walaupun
tidak mutlak bersifat simetris).1
5. Nodul rheumatoid
Definisi : Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau
daerah juksta-artrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.1
6. Faktor rheumatoid serum
Definisi : Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan
cara yang memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa.1
7. Perubahan gambaran
Definisi : Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi arthritis
reumotoid pada periksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan
yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokalisasi
pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis
saja tidak memenuhi persyaratan).1
Etiologi
Walaupun belum dapat dipastikan sebagai penyebab, faktor genetik, hormonal, infeksi
dan heat shock protein telah diktehaui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas
penyakit ini. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk
kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid
sero positif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4 : 1 untuk menderita penyakit ini.1
Kecenderungan wanita untuk menderita artritis reumatoid dan sering dijumpai remisi
pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Walaupun demikian
karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan
sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor
hormonal memang merupakan penyebab faktor ini.1

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis reumatoid.
Dugaan ini timbul karena umunya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul
dengan disertai gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil
dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang
dapat mencetuskan terjadinya artritis reumatoid. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab artritis reumatoid adalah antara lain bakteri mikoplasma atau virus seperti
retrovirus, parvovirus B19, dan lain-lain.1

Heat Shock Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 – 90
kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stres. HSP tertentu
manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis mempunyai 65% untaian yang homolog.
Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel host.
Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul.1

Faktor resiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan
merokok. Konsumsi kopi lebih dari 3 cangkir sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin
juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral
berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami
perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali
setelah melahirkan.1

Patofisiologi
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi.
Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau
sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang irregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan
dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 4

Peran Sel T

Induksi respon sel T pada AR diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan
share epitope dari major histocompatibility complex class II (MHC II) dan peptida pada
antigen-presenting cell (APC) sinovium atau sistemik. Molekul tambahan yang diekspresikan
oleh APC antara lain ICAM-1 (Intracellular adhesion molecule-1) (CD54), OX40L (CD252),
inducible costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1 (CD-80) dan B7-2 (CD 86),
berpartisipasi dalam aktivasi sel T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated
antigen (LFA)-1 (CD11a/CD18), OX40 (CD134), ICOS (CD278), dan CD 28. Fibroblast-
like synoviocytes (FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam presentasi antigen dan
mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte cell
adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan
CD6. Interleukin (IL)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-β) kebanyakan berasal
dari APC aktif, signal pada sel Th 17 menginduksi pengeluaran IL-17.4

IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflamasi


lainnya (TNF-α dan IL-1β pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin, produksi
metaloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/254), dan osteoklastogenesis.
Interaksi CD40L (CD154) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi monosit/makrofag
(Mo/Mac) sinovial, FLS dan sel B. Walaupun pada kebanyakan penderita AR didapatkan
adanya sel T regulatorCD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol
inflamasi dan mungkin di non-aktifkan oleh TNF-α sinovial. IL-10 banyak didapatkan pada
cairan sinovial tapi efeknya pada regulasi Th-17 belum diketahui.4
Peran Sel B

Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun


sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B.
Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme berikut :

1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting
untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.4
2. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti
TNF-α dan kemokin.4
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor
reumatoid (RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunya prevalensi manifestasi ekstraartikuler yang
lebih tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa
mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan
presentasi antigen kepada sel T, yang pada akhirnya proses ini juga akan
memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi
komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.4
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B.
Berdasarkan mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperanan penting
dalam penyakit AR, sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.4

Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer
pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Walaupun gejala AR dapat timbul
berupa serangan poliartritis akut yang berkembang cepat dalam beberapa hari, pada
umumnya gejala penyakit ini berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu.
Artritis sering kali diikuti kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama 1 jam atau
lebih. Manifestasi klinis RA dibagi jadi 2 yaitu artikular dan non-artikular.1
Manifestasi Artikular
Penderita AR umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi,
meski ada penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Walaupun
tanda kardinal inflamasi (nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan
pada awal penyakit atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat
mungkin tidak dijumpai pada AR kronik. 1
Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu adanya inflamasi pada membran
sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meski pada
presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. 1
Ankilosing tulang (dekstrusi sendi disertai dengan kolaps dan pertumbuhan tulang
yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pergelangan tangan dan kaki.
Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang proksimal
dan metacarpophalangeal. Sendi interfalang distal dan sakroiliaca tidak pernah terlibat.1

Manifestasi Ekstraartikular
Meski artritis merupakan manifestasi klinis utama, tetapi AR merupakan penyakit
sistemik sehingga banyak penderita mempunyai manifestasi ekstraartikular. Manifestasi
ekstraartikular umumnya didapatkan pada penderita dengan titer RF tinggi. Nodul reumatoid
kulit merupakan manifestasi kulit paling sering dijumpai, umumnya di daerah ulna,
olekranon, jari tangan, tendon achilles atau bursa olecranon.1
Pada kulit bisa terjadi nodul rheumatoid, rheumatoid vaskulitis, pyoderma
gangrenosum, intersititial granulomatosis dermatitis, pada mata bisa terjadi sjogren syndrome
atau keratokonjungtivitis, sceleritis; pada kardiovaskular, bisa terjadi pericarditis, efusi
pleura, interstitial fibrosis, nodul rheumatoid pada paru, pada sistem hematologi, bisa terjadi
anemia; pada sistem gastrointestinal bisa terjadi, xerostomia; kemudian pada keadaan
metabolik, AR memicu terjadinya osteoporosis.1

Deformitas

Kerusakan struktur articular dan periartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan


terjadinya deformitas. Bentuk-bentuk deformitas banyak yang bisa ditemukana pada
penderita AR terutama yang paling khas adalah swan neck.1
Tabel 5. Bentuk-Bentuk Deformitas pada Arthritis Rheumatoid 1

Bentuk deformitas Keterangan


Deformitas swan neck Hiperekstensi pada PIP, fleksi pada DIP dan
MCP
Deformitas boutonniere Fleksi PIP, hiperekstensi pada DIP
Deviasi ulna Deviasi MCP dan jari-jari kearah ulna
Deformitas kunci piano Dengan penekanan manual akan terjadi
pengerakan naik turun dari processus styloideus
ulna yang disebabkan oleh kerusakan dari
articulation radio-ulna
Deformitas Z thumb Fleksi dan sublukasasi sendi MCP 1 dan
hiperekstensi dari sendi interphalang
Arthritis mutilans Sendi MCP, PIP, tulang carpal dan kapsul sendi
mengalami kerusakan sehingga terjadi
instabilitas sendi dan tampak mengecil
Hallux valgus MTP 1 terdesak ke arah medial dan jempol kaki
mengalami deviasi kea rah luar yang terjadi
secara bilateral

Komplikasi
 Neuropati perifer. Kondisi ini mempengaruhi saraf, paling sering terdapat ditangan
dan kaki. Hal ini dapat mengakibatkan kesemutan, mati rasa, atau rasa terbakar. 1
 Anemia. Orang dengan AR dapat terkena anemia, yang melibatkan penurunan
produksi sel darah merah.1
 Scleritis. Ini adalah peradangan pembuluh darah di mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan kornea.1
 Infeksi. AR pasien memiliki risiko lebih tinggi untuk infeksi, terutama dari beberapa
obat yang bersifat immunosupresan yang mereka konsumsi.1
 Masalah Kulit. masalah kulit yang umum, terutama pada jari-jari dan di bawah kuku.
Beberapa pasien mengalami komplikasi kulit berat yang termasuk ruam, borok, lepuh
(yang mungkin berdarah dalam beberapa kasus), benjolan di bawah kulit, dan masalah
lainnya. Penyakit kulit yang berat dapat mencerminkan kasus yang lebih serius
tentang AR pada umumnya.1
 Masalah pada Gastrointestinal. Walaupun pasien mungkin mengalami masalah pada
perut dan usus, sebuah studi di tahun 2000 melaporkan angka yang lebih rendah pada
kanker lambung dan kanker kolorektal pada pasien AR.1
 Osteoporosis. Osteoporosis, gangguan di mana kepadatan tulang menurun, lebih
sering daripada rata-rata pada wanita postmenopause dengan AR. tulang pinggul ini
terutama terpengaruh. Risiko osteoporosis juga tampaknya lebih tinggi dari rata-rata
pada laki-laki dengan AR yang berusia lebih dari 60 tahun.1
 Penyakit Paru. Pasien dengan AR rentan terhadap penyakit paru-paru kronis.1
 Penyakit Kardiovaskular. Meningkatnya bukti menunjukkan bahwa AR dapat
meningkatkan risiko penyakit jantung, mungkin karena respon inflamasi di AR, yang
mungkin juga melukai arteri dan jaringan otot jantung. Beberapa studi telah
melaporkan bahwa orang dengan AR adalah 30 - 50% lebih mungkin untuk menderita
penyumbatan pembuluh jantung dan 60 - 70% lebih mungkin meninggal
dibandingkan orang tanpa AR. Sebuah penelitian kecil di Inggris menunjukkan bahwa
sekitar setengah dari pasien AR cenderung mengalami gejala tidak terdeteksi atas
penyakit jantung, dan gejala tersebut cenderung untuk berkembang sekitar 10 tahun
lebih awal dari pada orang tanpa AR.1

Limfoma dan kanker lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan AR adalah
empat kali lebih besar dibandingkan pasien yang sehat untuk mengembangkan limfoma non-
Hodgkin. Ada juga kekhawatiran bahwa beberapa terapi AR dapat meningkatkan risiko
limfoma. Studi dari tahun 2006 menunjukkan bahwa proses peradangan kronis AR mungkin
berperan dalam perkembangan limfoma. Peneliti menemukan bahwa pasien dengan AR
sangat parah dan jangka panjang memiliki resiko besar terhadap pengembangan limfoma.
Penelitian lainnya di tahun 2006 menunjukkan bahwa obat AR, seperti pengubah respon
biologis, tidak meningkatkan risiko limfoma, meskipun mereka meningkatkan resiko kanker
kulit.1

Penatalaksanaan

Destruksi sendi pada AR dimulai dalam beberapa minggu sejak timbulnya gejala.
Terapi sedini mungkin, akan menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat
penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. Seperti biasa,
modalitas terapi, begitu juga dengan AR, dibagi menjadi dua, yakni terapi non-farmakologik,
dan farmakologik. 1
Terapi Non-Farmakologik

Terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi
asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian
suplemen minyak ikan (cod liver oil) bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada
penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin dalam perawatan penderita,
bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture, dan
splinting belum didapatkan bukti yang meyakinkan. Pembedahan harus dipertimbangkan bila:
1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, 2.
Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Adanya ruptur
tendon.1,5,6

Terapi Farmakologik

Farmako terapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi obat anti inflamasi non
steroid (OAINS/NSAID) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau
intraartikular dan disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD). Pendekatan piramid
terbalik paling disukai saat ini, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat
perburukan penyakit. Manfaat DMARD sendiri akan bertambah dan bermakna apabila
diberikan sedini mungkin dan diberikan secara kombinasi.1,5,6

OAINS merupakan terapi awal mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena
obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal.
Prinsip kerja OAINS ialah menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin yang kita tahu menjadi faktor penting tercetusnya rasa
nyeri sebagai respon inflamasi. Untuk AR, ada beberapa OAINS yang biasa digunakan yaitu
piroksikam, meloksikam, dan indometasin. Piroksikam memiliki T1/2 yang panjang, absorbsi
cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma. Obat ini menjalani siklus enterohepatik.
Dosis 10-20 mg sehari diberikan pada pasien yang tidak memberi respons dengan AINS yang
lebih aman. Meloksikam diberikan 7,5-15 mg sekali sehari dengan efek samping terhadap
saluran cerna kurang dari piroksikam. Indometasin yang sudah dikenal sejak 1963 untuk
pengobatan AR merupakan derivat indol-asam asetat. Antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretiknya setara dengan aspirin. Meski terbukti efektif, karena toksik maka penggunaan
obat ini amat dibatasi. 1,5,6
DMARD (disease modifying anti rheumatoid drugs) berfungsi untuk melindungi
rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Mula khasiatnya baru terlihat 3-12
bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses rheumatoid
akan berkurang. Jenis-jenis yang digunakan adalah : Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian berupa
penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis, makulopapular, nausea, diare dan anemia
hemolitik. Sulfasalazin dalam bentuk tablet salut enteric digunakan dalam dosis 1x500
mg/hari, lalu ditingkatkan 500 mg/minggu sampai mencapai dosis 4x500 mg. Setelah remisi
tercapai maka dosis diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai
terjadi remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya maka obat ini
dihentikan dan diganti dengan yang lain atau dikombinasikan. Efek samping : pusing, mual,
muntah, demam, agranulositosis, diskrasia darah. Generiknya : sulcolon. D-penisilamin 250-
300 mg/hari, kemudian ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4x250-300 mg/hari. Efek samping : mobiliformis, stomatitis, dan
pemphigus. Generiknya : cuprimin 250 mg atau trolovol 300 mg. Garam emas (Autro sodium
tiomolat) diberikan IM, dimulai dengan 10 mg, seminggu kemudian diberikan dosis 20 mg.
seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu sampai keadaan
keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritus, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia, dan aplasi sumsum tulang. Generiknya Tauredon ampul 10,20, dan 50 mg.
Obat imunosupresif atau imunoregulator generiknya: metrotreksat 5 - 7,7 mg setiap minggu.
Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang
melebihi 20 mg/minggu. Efek samping: jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan berupa
kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, gengguan fungsi hati dan lain-
lain. Kortikosteroid generiknya Prednison, yang hanya dipakai untuk pengobatan RA dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa. Dalam dosis rendah (seperti prednisone 5-7,5mg sati
kali sehari). Efek samping sangat berat. Jenis-jenis kortikosteroid yang lain ialah
prednisolone. 1,6
 Terapi kombinasi memperlihatkan efikasi yang lebih superior dibandingkan dengan
terapi tunggal, tanpa membesar toksisitas. Regimen terapi kombinasi yang efektif dan
aman digunakan untuk penderita RA aktif yang tidak terkontrol adalah salah satu dari
kombinasi berikut : MTX + Hidroxyklorokuin, MTX + Hidroxyklorokuin +
Sulfasalazine, MTX + Sulfasalazine + Prednisolone, MTX + Leflunomide, MTX +
Etanercept, MTX + Infliximab.5
Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-
1%. Prevalensi yang tinggi di dapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing
sebesar 5,3% dan 6,8 %. Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu
sekitar 0,75%. Sedangkan di China , Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%
baik di daerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk usia diatas 40 tahun
mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6 % di daerah
kabupaten. Di poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru AR
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007
didapatkan sebanyak 203 kasus AR dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 orang
(15,1%). Prevalensi AR lebih banyak pada perempuan dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi
pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade
keempat dan kelima.1

Prognosis

Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang
rendah, status sosioekonomi rendah, tingkat pendidikan, ada riwayat keluarga dekat
menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit,
RF ataun anti CCP positif, ada perubahan radiologist pada awal penyakit, ada nodul
rheumatoid/manifestasi ekstraartikuler lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan
manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah
mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan
memberikan respon yang baik dan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Linqvist dkk pada
penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan
penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6.
Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD
terbaru.1
Pencegahan

Reumatoid artritis tidak memiliki pencegahan diketahui. Namun, seringkali mungkin


untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada sendi dengan pengobatan dini yang tepat.
 Olahraga secara rutin. Semua jenis olahraga dapat dilakukan sejauh nyeri atau
pembengkakkan tidak bertambah.
 Kompres panas atau dingin dapat membantu meredakan nyeri. Kompres panas dapat
meredakan rasa kaku sedangkan kompres dingin menyebabkan daerah yang sakit
menjadi mati rasa. Mandi air panas juga dapat membantu melemaskan otot-otot dan
meredakan rasa nyeri.
 Pertahankan berat badan normal. Berat badan yang berlebihan memberikan tekanan
yang lebih besar pada persendian sehingga meningkatkan risiko nyeri lutut, panggul,
dan punggung.
 Beritahu pasien tentang obat yang diperlukan dan cara penggunaannya: nama obat,
dosis, frekuensi penggunaan, dll.
 Beritahu pasien tentang kemungkinan efek samping dari preparat artritis.
Kesimpulan

Artritis Reumatoid merupakan penyakit autoimun dengan hipersenstivitas tipe 3. Penyebab


belum diketahui secara pasti. Artritis Reumatoid terjadi lebih banyak pada wanita dibandingkan
dengan pria dengan perbandingan 3 : 1. Artritis Reumatoid memiliki ciri yang khas yaitu kaku pagi
hari kurang lebih 1 jam. Artritis Reumatoid bisa diobati dengan menggunakan DMARD untuk
menurunkan progesif penyakit pada AR atau NSAID untuk menghilangkan inflamasi pada AR.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid III. 5th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2009. p. 2496-2509,
2538-44, 2556-59, 2565-69
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. h.
482-4.
3. Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta; 2005.
4. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. 7th ed.
Jakarta: EGC; 2009. h. 1330-4.
5. Wilmana F, Gan S. Farmakologi dan terapi : Analgesik-antipiretik analgesik anti-
inflamasi nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Edisi V. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta;
2007. h. 230-46.
6. Gunawan,Sulistia G. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009. h. 230-46.

Anda mungkin juga menyukai