Anda di halaman 1dari 7

Pada era reformasi sekarang ini perubahan tentang prinsip-prinsip penentuan suatu

rencana pembangunan mulai dilakukan. Penerapan model bottom up yang ”benar” mulai dirintis.
Aspirasi masyarakat maupun daerah mulai jadi pertimbangan utama dalam penentuan
pembangunan di daerah yang bersangkutan. Terutama dengan pemberlakuan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan momen awal pelaksanaan otonomi
daerah, yakni kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 6).
Implementasi dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut merupakan pelaksanaan desentralisasi
pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang
bertumpu pada keterlibatan, kemampuan, dan peran serta masyarakat di daerah.
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan maka banyak aspek atau hal-hal yang harus
diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi
para pakar yang berpendapat semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-
proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semakin tinggi tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang
akan dicapai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama
dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat
diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya. (Easterly, 2007)
Agar tercapainya keberhasilan pembangunan tersebut maka segala program perencanaan,
pelaksanaan serta evaluasi pembangunan harus melibatkan masyarakat, karena merekalah yang
mengetahui permasalahan dan kebutuhan dalam rangka membangun wilayahnya serta mereka
juga yang nantinya akan memanfaatkan dan menilai tentang berhasil tidaknya pembangunan di
wilayah mereka.
Tjokroamidjojo (1995) menyimpulkan bahwa pembangunan nasional merupakan: (1) proses
pembangunan berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya; (2) proses
perubahan sosial yang merupakan proses perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupannya
ke arah yang lebih baik, lebih maju, dan lebih adil; (3) proses pembangunan dari, oleh dan untuk
masyarakat atau adanya partisipasi aktif masyarakat.
Uraian mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan
sejalan dengan pendapat Conyers (1991) yang lebih lanjut mengemukakan 3 (tiga) alasan utama
mengapa partisipasi masyarakat dalam perencanaan mempunyai sifat yang sangat penting :
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan dan sikap masyarakat setempat.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai program kegiatan pembangunan apabila mereka
dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui
seluk beluk program kegiatan tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program
kegiatan tersebut.
3. Mendorong partisipasi umum karena akan timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak
demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Pendekatan top-down dan partisipatif dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 terwujud dalam bentuk
rangkaian musrenbang yang dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat desa
(musrenbangdes), kecamatan (musrenbang kecamatan) dan kabupaten (musrenbang kabupaten).
Rangkaian forum ini menjadi bagian dalam menyusun sistem perencanaan dan anggaran untuk
pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap tahun. Melalui musrenbang, masyarakat berpeluang
menyampaikan aspirasi mereka dan berpartisipasi dalam menghasilkan dokumen perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian musrenbang sebagai bentuk proses perencanaan pembangunan merupakan
wahana publik (public event) yang penting untuk membawa para pemangku kepentingan
(stakeholders) memahami isu-isu dan permasalahan daerah mencapai kesepakatan atas prioritas
pembangunan, dan konsensus untuk pemecahan berbagai masalah pembangunan daerah.
Musrenbang juga merupakan wahana untuk mensinkronisasikan pendekatan “top down” dengan
“bottom up” pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community need assessment) dengan
penilaian yang bersifat teknis (technical assessment), resolusi konflik atas berbagai kepentingan
pemerintah daerah dan non government stakeholder untuk pembangunan daerah, antara
kebutuhan program pembangunan dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana
untuk mensinergikan berbagai sumber pendanaan pembangunan.
Pada penjelasan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) menjelaskan pada tahap perencanaan pembangunan yang diawali proses penyusunan
rencana yang berbunyi: “Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana
pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah
perencanaan pembangunan. Diawali dengan penyelenggaraan musrenbang tingkat desa,
musrenbang tingkat kecamatan hingga musrenbang tingkat kabupaten.
Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan penelitian terdahulu ada fenomena menarik dalam
proses perencanaan pembangunan khususnya yang dilaksanakan di Kecamatan Sidikalang
Kabupaten Dairi, antara lain adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting
pelaksanaan proses perencanaan pembangunan yang belum diketahui dan dimengerti oleh
sebagian besar peserta terutama mengenai bagaimana proses musrenbang, kegiatan seperti apa
yang harus diusulkan, untuk kepentingan apa dan sebagainya.
Mekanisme perencanaan pembangunan yang seharusnya diawali mulai dari musrenbang desa/
kelurahan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masing-masing desa atau kelurahan sehingga
belum melibatkan masyarakat untuk pengusulan kegiatan bahkan pada pelaksanaan musrenbang
kecamatan ada kecenderungan bahwa usulan yang diajukan merupakan rumusan elite
desa/kelurahan, sehingga partisipasi masyarakat yang sesungguhnya masih jauh dari harapan
yang ditandai dengan tidak adanya acara penentuan prioritas kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama dalam forum musrenbang.
Selain itu dalam proses perencanaan pembangunan belum diawali dengan kegiatan pendahuluan
atau penyelidikan untuk mendapatkan data yang valid mengenai potensi, masalah, dan kebutuhan
masyarakat sedangkan hal menarik lainnya adalah adanya kecenderungan tingkat kehadiran
pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan seperti tokoh masyarakat, tokoh adat,
dan tokoh pemuda relatif rendah, dan tingkat keaktifan peserta relatif rendah serta tim delegasi
desa belum mempunyai kemampuan untuk negosiasi pada musrenbang kecamatan.
Hal menarik lainnya adalah adanya kecenderungan tingkat kehadiran pemangku kepentingan
dalam perencanaan pembangunan seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh pemuda
relatif rendah, dan tingkat keaktifan peserta relatif rendah serta tim delegasi desa belum
mempunyai kemampuan untuk negosiasi pada musrenbang kecamatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, sebagai bahan masukan kepada seluruh pemangku
kepentingan dalam perencanaan pembangunan di daerah, maka pada kesempatan ini akan
dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan proses perencanaan pembangunan di wilayah
Kecamatan Sidikalang yang notabene merupakan ibukota kabupaten. Adapun alasan pemilihan
lokasi selain karena keterbatasan waktu dan tenaga juga karena kecamatan ini memiliki
heterogenitas baik dari latar belakang profesi, suku, agama maupun tingkat pendidikan
dibandingkan dengan kecamatan yang lain.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), segera merealisasikan rencana
pembangunan terowongan dari Balingka ke Batang Sianok, Kabupaten Agam, terowongan
ersebut direncanakan akan memiliki panjang kilometer dari Balingka ke Batang Sianok, dengan
total pembangunan jalan dan terowongan ini sekitar tujuh kilometer
Bentuk Partisipasi

Gordon W. Allport (Santoso Sastropoetro, 1988) menyatakan bahwa: “Seseorang yang


berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada
keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, dengan keterlibatan dirinya berarti keterlibatan
pikiran dan perasaannya.” Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka ada tiga buah unsur
penting dalam partisipasi yaitu:
1. Partisipasi merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari semata-mata atau
hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. Ketersediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok, ini
berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk mem-bantu kelompok.
3. Dalam partisipasi harus ada tanggung jawab, unsur tanggung jawab ini merupakan segi yang
menonjol dari rasa menjadi anggota.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa partisipasi menyangkut keterlibatan diri/ego dan tidak semata-
mata keterlibatan fisik dalam pekerjaan atau tugas saja, dan ketiga unsur partisipasi tersebut di
dalam re-alitanya tidak akan terpisahkan satu sama lain, tetapi akan saling menunjang. Dalam
realitasnya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, istilah
partisipasi ini sering dikaitkan dengan usaha di dalam mendukung program pembangunan. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Santoso S. Hamidjoyo (1988), bahwa
partisipasi mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Partisipasi berarti turut memikul beban pembangunan.
2. Menerima kembali hasil pembangunan dan bertanggung jawab terhadapnya.
3. Partisipasi berarti terwujudnya kreativitas dan oto aktifitas.

Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988) prasyarat untuk dapat melaksanakan partisipasi secara
efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya waktu.
2. Kegiatan partisipasi memerlukan dana perangsang secara terbatas.
3. Subyek partisipasi hendaklah berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan
itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatiannya.
4. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam arti kata yang bersangkutan
memiliki pemikiran dan pengalaman yang sepadan.
5. Kemampuan untuk melakukan komunikasi timbal balik.
6. Bebas melaksanakan peran serta sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7. Adanya kebebasan dalam kelompok, tidak adanya pemaksaan atau penekanan.

Dengan demikian partisipasi akan ikut mengambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu
proses. Lebih lanjut Hoofsteede (Khairuddin,1992) menyatakan bahwa peran serta berarti ikut
mengambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses. Terkandung makna dalam peran
serta terdapat proses tindakan pada suatu kegiatan yang telah didefinisikan sebelumnya. Dengan
kata lain keadaan tertentu lebih dahulu, baru kemudian ada tindakan untuk mengambil bagian.
Pengertian diatas mengandung maksud bahwa partisipasi merupakan proses keikutsertaan,
keterlibatan dan kebersamaan anggota masyarakat dalam mengambil suatu keputusan.
Keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tersebut sudah dapat
dianggap sebagai suatu peran serta masyarakat dalam berpartisipasi.
Rumusan FAO yang dikutip Mikkelsen (1999) menyatakan bahwa partisipasi adalah keterlibatan
masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri dalam rangka pembangunan diri,
kehidupan dan lingkungan mereka dengan cara memantapkan dialog antara masyarakat setempat
dengan para staf yang melaksanakan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar mereka
memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan
dengan keberadaan proyek tersebut.
Rumusan FAO di atas menunjukkan bahwa masyarakat harus dapat membantu dirinya sendiri
dalam pembangunan. Hal ini dapat dicapai apabila ada kesempatan bagi mereka untuk
melakukan komunikasi dengan pihak terkait, sehingga program apapun yang direncanakan sudah
selayaknya memperhatikan situasi setempat dan kebutuhan masyarakat sebagai kelompok
sasaran, yang selanjutnya merupakan salah satu persyaratan agar kegiatan dapat dilaksanakan
sesuai harapan dan masyarakat secara sukarela melakukan pengawasan guna dapat mewujudkan
tujuan dari kegiatan yang dicanangkan. Semakin mantap tingkat komunikasi yang dilakukan
maka semakin besar pula terjadinya persamaan persepsi antara para stakeholders pembangunan.
Guna dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat sesuai kondisi obyektif yang ada, maka
partisipasi masyarakat dalam berbagai tahapan pembangunan merupakan suatu kebutuhan. Hal
ini sebagaimana dinyatakan Tjokroamidjojo (1996) bahwa guna mencapai keberhasilan
pembangunan maka partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat penting, yang dapat
dilaksanakan dalam kegiatan berikut:
(1) Keterlibatan dalam penentuan arah, kinerja dan kebijakan pembangunan yang dilakukan
pemerintah, (2) Keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, yang termasuk di
dalamnya adalah memikul beban dan tanggung jawab pembangunan, yang dapat dilakukan
dengan sumbangan memobilisasi pembiayaan pembangunan, melakukan kegiatan produktif,
mengawasi jalannya pembangunan dan lain-lain, (3) Keterlibatan dalam menerima hasil dan
manfaat pembangunan secara adil.
Pandangan Tjokroamidjojo di atas mencerminkan bahwa partisipasi masyarakat dalam tahapan-
tahapan pembangunan pada prinsipnya merupakan tahapan pengambilan keputusan tentang
rencana yang dilakukan. Tahapan selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan yaitu
menerima manfaat secara proporsional, dan mengawasi program pembangunan yang
dilaksanakan. Dengan perencanaan pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat,
berarti sudah mempertimbangkan kebutuhan dan situasi lingkungan masyarakat. Hal ini penting
dalam tahapan proses selanjutnya, dimana masyarakat akan melaksanakan program yang
direncanakan. Jika mereka merasa ikut memiliki dan merasakan manfaat program tersebut, maka
diharapkan masyrakat dapat secara aktif melakukan pengawasan terhadap program, sehingga
penyimpangan-penyimpangan dapat lebih dihindarkan, guna mencapai keberhasilan
pembangunan sesuai tujuan yang telah direncanakan.
Disadari bahwa dalam perencanaan pembangunan peran masyarakat sangat penting, namun
kemampuan masyarakat pada umumnya masih relatif terbatas. Masih kurang dapat membedakan
antara kebutuhan dan keinginan sehingga diskusi intensif antara pihak yang berkepentingan
(stakeholders), baik dari unsur pemerintah, akademi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha
terkait perlu diselenggarakan untuk dapat saling melengkapi informasi dan menyamakan persepsi
tentang kebijakan yang akan diputuskan oleh aparat tersebut.
Pusic (Adi,2001) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan tanpa memperhatikan
partisipasi masyarakat akan menjadi perencanaan di atas kertas. Berdasarkan pandangannya,
partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan dilihat dari 2 (dua) hal yaitu:
a. Partisipasi dalam perencanaan
Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah program-program pembangunan yang
telah direncanakan bersama sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat
dihindari pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan
menghambat tercapainya keputusan bersama. Disini dapat ditambahkan bahwa partisipasi secara
langsung dalam perencanaan hanya dapat dilaksanakan dalam masyarakat kecil, sedangkan
untuk masyarakat yang besar sukar dilakukan namun dapat dilakukan dengan sistem perwakilan.
Masalah yang perlu dikaji adalah apakah yang duduk dalam perwakilan benar-benar mewakili
warga masyarakat.
b. Partisipasi dalam pelaksanaan
Segi positif dari partisipasi dalam pelaksanaan adalah bahwa bagian terbesar dari program
(penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Tetapi segi negatifnya
adalah kecenderungan menjadikan warga sebagai obyek pembangunan, dimana warga hanya
dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan
yang mereka hadapi dan tanpa ditimbulkan keinginan untuk mengatasi masalah.
Pandangan Pusic yang menekankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hanya pada
tahap perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan nampaknya belum lengkap guna
menjamin kesinambungan pencapaian tujuan pembangunan. Menurut Adi (2001), dalam
perkembangan pemikiran tentang partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan suatu
komunitas, belumlah cukup hanya melihat partisipasi masyarakat hanya pada tahapan
perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. Partisipasi masyarakat hendaknya pula
meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak diarahkan (non-direktif), sehingga partisipasi masyarakat
meliputi proses-proses:
a. Tahap assessment.
b. Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan.
c. Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan.
d. Tahap evaluasi (termasuk didalamnya evaluasi input, proses dan hasil).

Tingkat partisipasi masyarakat


Tingkat pelibatan masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya terbagi dalam 8 (delapan)
tingkatan, dari yang bersifat non-partisipasi sampai pada kekuasaan warga. Menurut Arnstein
(Panudju,1999) tingkatan tersebut adalah:
1. Manipulation atau manipulasi
Merupakan tingkat partisipasi yang paling rendah dimana masyarakat hanya dipakai namanya
saja sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat. Pada tingkat ini tidak ada peran
masyarakat secara nyata karena hanya diselewengkan sebagai publikasi oleh pihak penguasa.
2. Therapy atau terapi
Pada tingkat ini, dengan berkedok melibatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, para
perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi.
Meskipun masyarakat terlibat dalam banyak kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih
banyak untuk mengubah pola pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan
masukan dari mereka.
3. Informing atau pemberian informasi
Tingkat ini merupakan tahap pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak-hak, tanggung
jawab dan berbagai pilihan. Pada tingkat ini, biasanya informasi diberikan secara utuh satu arah
dari penguasa kepada rakyat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik,
sehingga kecil kesempatan rakyat untuk mempengaruhi dalam menentukan suatu rencana.
4. Consultation atau konsultasi
Pada tingkat ini bertujuan untuk mengundang opini masyarakat setelah mereka diberi informasi.
Cara ini tingkat keberhasilannya rendah karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide
masyarakat akan diperhatikan. Tahap ini biasanya dilakukan dengan cara pertemuan lingkungan,
survei tentang pola pikir masyarakat dan dengan dengar pendapat publik.
5. Placation atau perujukan
Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun dalam berbagai hal masih
ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota
masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerjasama
pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya merupakan wakil dari
berbagai instansi pemerintah. Walaupun usul dari masyarakat sudah mendapat perhatian, tetapi
suara masyarakat itu sering tidak didengar karena kedudukannya relatif rendah dan jumlahnya
terlalu sedikit dibanding dengan anggota yang berasal dari instansi pemerintah.
6. Partnership atau kemitraan
Pada tingkatan ini, atas kesepakatan bersama kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara
masyarakat dengan pihak penguasa. Disepakati juga pembagian tanggungjawab dalam
perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijakan dan pemecahan berbagai
permasalahan yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tersebut maka tidak dibenarkan adanya
perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak.
7. Delegated power atau pelimpahan kekuasaan
Pada tingkatan ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada
rencana atau program tertentu. Masyarakat berhak menentukan program-program yang
bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan suatu permasalahan, maka pemerintah harus
mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tanpa memberikan tekanan-tekanan.
8. Citizen control atau masyarakat yang mengontrol.
Pada tingkatan ini masyarakat memiliki kekuatan utnuk mengatur program atau kelembagaan
yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan dan dapat
mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal
ini usaha bersama warga dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk
mendapatkan bantuan ataupun pinjaman dana tanpa melalui pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai