Anda di halaman 1dari 21

PAPER

ACHRODRONPLASIA

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah Orthopaedic Royal Prima Medan

Disusun Oleh :

Yulia Valentina 133307010124

Pembimbing :

DR.dr.Adrian Khu,Sp.OT,FICS

Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)

Departemen Ilmu Bedah Ortopedi dan Traumatologi

Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia

RSU. Royal Prima

Medan

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
Rahmat -Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Acrodronplasia”.
Adapun tujuan tugas laporan kasus ini adalah sebagai salah satu persyaratan
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) bagian ilmu orthopedi di Rumah
Sakit Royal Prima Medan .

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada DR.dr.Adrian Khu,Sp.OT,FICS
atas bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan
tugas ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi kita semua

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2

2.1.Drfinisi Acrodronplasia ....................................................................................... 2

2.2. Etiologi ............................................................................................................... 2

2.3.Epidemiologi ...................................................................................................... 3

2.4.Anatomi & Fisiologi Tulang ............................................................................... 6

2.6.Patofisiologi ......................................................................................................... 7

2.7.Diagnosa dan Diagnosa Banding......................................................................... 12

2.9.Penatalaksanaan .................................................................................................. 14

2.10.Komplikasi ........................................................................................................ 14

2.10.Progmosa ........................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Achondroplasia merupakan bentuk dwarfism terbanyak yang


memberikan gambaran perawakan tubuh yang pendek. Achondroplasia
dialami oleh lebih dari 250.000 orang di seluruh dunia. Dimana 95% pasien
memiliki mutasi yang sama pada gen Fibroblast Growth Factor Receptor 3
(FGFR3) dan sekitar 80% merupakan mutasi baru.(1,2)
Achondroplasia sudah diketahui sejak berabad-abad yang lalu,
hal ini dapat dilihat pada lukisan bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi.
Sejak dahulu, orang hanya mengetahui bahwa Achondroplasia merupakan
perawakan pendek saja namun, dengan adanya perkembangan ilmu dan
penelitian tentang Achondroplasia yang berkembang pesat 40 tahun
belakangan ini maka, pemahaman baru dalam hal temuan klinis, gambaran
radiologi, patofisiologi, dan komplikasi telah didapatkan. (1)

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Achondroplasia adalah gangguan pertumbuhan tulang yang ditandai dengan
tubuh kerdil (dwarfisme) dan tidak proporsional. Penderita achondroplasia memiliki
ukuran tulang dada normal, namun ukuran lengan dan tungkai pendek. Rata-rata tinggi
badan penderita achondroplasia laki-laki dewasa adalah 131 cm, sedangkan untuk
wanita dewasa adalah 124 cm. Meskipun kondisi fisiknya tidak normal, penderita
achondroplasia memiliki tingkat inteligensi yang normal.

2.2 Etiologi
Adanya mutasi pada gen yang mengode Fibroblast Growth Factor Receptor 3
(FGFR3) dan bersifat autosomal dominan. Sekitar 80% mutasi merupakan mutasi baru
yang terjadi sejak masa embrional. Mutasi pada gen FGFR3 menyebabkan protein
tidak berfungsi secara normal, sehingga mengganggu perubahan tulang rawan menjadi
tulang. Kondisi ini menyebabkan tulang tumbuh lebih pendek dan memiliki bentuk
abnormal, terutama tulang di bagian lengan dan tungkai.
Ada dua penyebab terjadinya mutasi gen FGFR3 pada penderita achondroplasia, yaitu:
 Mutasi yang terjadi spontan. Sekitar 80% achondroplasia disebabkan oleh
mutasi gen yang tidak diturunkan dari orang tuanya. Mutasi terjadi secara
spontan, namun belum diketahui pemicunya.
 Mutasi yang diturunkan. Sekitar 20% kasus achondroplasia diturunkan dari
orang tua. Jika salah satu orang tua memiliki kondisi achondroplasia, maka
persentase anak menderita achondroplasia sebesar 50%. Jika kedua orang tua
memiliki kondisi achondroplasia, maka risiko yang mungkin terjadi adalah
sebagai berikut:
 25% kemungkinan bertubuh normal.
 50% kemungkinan memiliki satu gen yang cacat, sehingga
menyebabkan achondroplasia.
 25% kemungkinan mewarisi dua gen yang cacat, sehingga
menyebabkan achondroplasia yang bersifat fatal.

5
2.3 Epidemiologi
Insiden kelahiran dengan Achondroplasia diperkirakan sekitar 1/10.000
sampai 1/30.000 kelahiran dan lebih dari 90% kasus bersifat sporadik.
Achondroplasia merupakan penyebab perawakan pendek terbanyak.
Adapun angka kejadian lahirnya anak dengan Achondroplasia meningkat
seiring dengan meningkatnya usia ayah pada saat terjadi konsepsi dimana, hal ini
dihubungkan dengan kualitas dari sperma.

2.4 Anatomi & Fisiologi Tulang


Tulang dalam garis besarnya dibagi atas :

1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, fibula, ulna dan humerus
dimana daerah batas disebut diafisis dan yang berdekatan dengan garis epifisis
disebut metafisis. Didaerah ini merupakan suatu daerah yang sangat sering ditemukan
adanya kelainan atau penyakit, oleh karena di daerah ini merupakan daerah metabolik
yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan
perkembangan pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan
pertumbuhan tulang.
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula dan tulang pelvis.
Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut korteks
dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan diluarnya dilapisi
periosteum. Periosteum pada anak lebih tebal daripada orang dewasa, yang
memungkinkan penyembuhan tulang pada anak akan lebih cepat dibandingkan orang
dewasa. Pada tulang panjang terdapat bagian-bagian khas antara lain diafisis atau
batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari
tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. (4)

6
Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas
untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifis adalah daerah
pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, dan bagian ini akan menghilang pada
tulang dewasa. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteri nutrisi khusus. Lokasi
dan keutuhan dari arteri-arteri inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses
penyembuhan tulang yang patah.
Berdasarkan histologis, maka dikenal (Gambar 2) (4):
1. Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone)
Tulang ini pertama-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada suatu
perkembangan embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang
yang imatur dan pada umur satu tahun tulang imatur kemudian secara perlahan-
lahan menjadi tulang yang matur.
2. Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cotical bone, dense bone, compacta bone)
o Tulang trabekuler (cancellous bone, trabecular bone, spongiosa)

Proses pembentukan tulang imatur telah dimulai pada usia gestasi 8 minggu.
Dimana pada saat tersebut tulang telah dibentuk dari struktur tulang rawan
(kondrosit). Seiring dengan waktu, terbentuklah vaskularisasi sehingga
memungkinkan suplai darah ke tulang imatur dan mengaktifkan fungsi osteoblast
untuk menyekresikan kompenon osteoid sehingga terjadi ossifikasi (proses
pengkakuan) primer dan menjelang kelahiran, osteoclast mengalami aktivasi untuk
membuat kanal-kanal medular. Setelah lahir, proses ossifikasi terjadi pada daerah
diafisis & kondrosit epifisis yang mengalami ossifikasi terus-menerus hingga
mencapai tinggi maksimum.(4)

7
Gambar 1: Pertumbuhan dan perkembangan tulang sejak embrional hingga dewasa
(dikutip dari kepustakaan 4).
Secara histologik, pada masa pertumbuhan, lempeng epifisis memiliki
zonazona yang berbeda berdasarkan maturitas tulangnya (Gambar 2)(5). Tulang matur
ditandai dengan sistem Havers yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui
korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi
semen dan mineral dibanding tulang imatur (Gambar 3 & 4). (4)

Gambar 2 : Gambaran histologi pada lempeng pertumbuhan tulang yang mengalami


proses ossifikasi enchondral. (1) Zona cadangan (2) Zona proliferasi (3) Zona
hipertrofi (4) Zona mineralisasi (5) Zona spongiosa primer (dikutip dari kepustakaan
5).

8
Gambar 3 : Gambar 4 :
Makrostruktur tulang matur Mikrostruktur tulang matur
(dikutip dari kepustakaan 4) (dikutip dari kepustakaan 4)
2.5 Patofisiologi
Achondroplasia terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang mengode
Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3). Pada mamalia, FGFRs terdiri dari 4
macam reseptor Tirosin Kinase (FGFR1-4) yang memiliki afinitas yang berbeda-beda
terhadap Fibroblast Growth Factors (FGFs). Adapun FGF 1,2, 4, 8, dan memiliki
afinitas tinggi untuk mengaktifkan FGFR3. FGFs terdiri dari 18 protein struktural
misalnya, heparin-binding polypeptides yang memegang peranan pada pertumbuhan
dan differensiasi berbagai jenis sel yang berasal dari mesenkim dan neuroektodermal.
Selain itu, FGFs juga memenggaruhi kemotaksis, angiogenesis, dan apoptosis sel
tersebut. (1,2)
Pada keadaan normal, adanya akitivasi pada FGFR3 membuka jalur STAT1,
MAPK-ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya untuk menginhibisi proliferasi kondrosit,
sintesis matriks post-mitotik, dan diferensiasi akhir (hipertrofi) sel. Dengan
teraktvasinya FGFR3 maka, teraktivasi pula C-type Natriuretic Peptide (CNP)
melalui interaksi dengan reseptornya, Natriuretic Peptide Receptor B (NPR-B). CNP
menginduksi Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) sehingga menginhibisi jalur
MAPK yang akhirnya akan menyebabkan proliferative dan pra-hipertrofi pada zona
lempeng pertumbuhan (1,2).

9
Gambar 4: Aktivasi FGFR3 oleh FGF membuka jalur STAT1, MAPK-ERK, MAPK-
p38, dan jalur lainnya serta, induksi CNP yang menghambat jalur MAPK (dikutip dari
kepustakaan 1).
Adanya mutasi pada FGFR3 menyebabkan aktivasi berlebih pada FGRF3
sehingga menyebabkan hambatan pertumbuhan dan diferensiasi pada kondrosit.(1)

2.6 Diagnosa
 Gejala klinis
Achondroplasia ditandai dengan batang tubuh yang panjang dan kecil serta
ektremitas bawah, khususnya bagian proksimal yang pendek. Pada kepala, ukuran
cranium frontal besar sedangkan wajah lebih kecil oleh karena mengalami hipoplastik
karena berasal dari endokondrial dasar cranium. Hiperekstensi terutama pada sendi
lutut dan tangan. Ektremitas atas juga pendek dengan jari-jari membentuk trisula
(1,2,6)
.
Gibbus thorasikhus biasanya telah ada sejak lahir namun, tampak lebih jelas
pada usia 4 bulan. Hipotoni dari ringan hingga sedang sering ditemukan pada bayi
baru lahir. Selain itu, bayi sering memiliki posisi abduksi pada sendi panggul saat
dibaringkan. (1)

10
Gambar 5 : Tampilan fisik pada anak dengan achondroplasia

1. Gambaran radiologi
 Foto konvensional
Pada pemeriksaan foto konvensional, didapatkan (6,7,8) :
 Pelebaran tulang cranium (kalvari) dengan bagian frontal yang menonjol
disertai hipoplasia midface (6).

Gambar 6: Gambar menunjukkan adanya pembesaran kalvaria


dengan bagian basis cranium yang mengecil disertai bagian
frontal cranium yang menonjol (dikutip dari kepustakaan 6).

 Ekstremitas dan tulang rusuk yang lebih pendek dari panjang batang
tubuh (ratio ekstremitas dan costa dibanding trunkus bertambah)(6).

11
Gambar 7 : Gambar menunjukkan adanya pemendekan tulang
rusuk (dikutip dari kepustakaan 6).

 Rongga pelvis yang menyempit dan adanya pemendekan jarak


interpedikular serta tampak gambaran champagne glass-pelvis (6,9).

Gambar 8: Champagne-glass appereance dengan berkurangnya


sudut acetabulum, dan sayap iliaca berbentuk persegi (dikutip
dari kepustakaan 6).

 Adanya tridend hand, dimana tulang-tulang falang yang memendek


dengan jarak antara jari yang melebar (gambaran trisula)(6).

12
Gambar 9 (5) : Tridend hand (dikutip dari kepustakaan 6)

 Berkurangnya jarak interpedicular pada kolumna vertebra dilihat dari arah


caudal dan berkurangnya diameter anteroposterior dari vertebra (6,9,10).

a b
Gambar 10 a : Berkurangnya jarak interpedicular vertebra
dilihat dari arah caudal (dikutip dari kepustakaan 10).
Gambar 10 b : Gambar vertebra dari posisi lateral dimana
menunjukkan gambaran berkurangnya diameter anteroposterior
(AP) tulang belakang (dikutip dari kepustakaan 4).

2. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi biasanya dilakukan saat perawatan
antenatal oleh ibu hamil yang beresiko tinggi memiliki anak dengan
achondroplasia. Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan achondroplasia
yang bersifat homozigot dan heterozigot. (8,11)

13
Pada achondroplasia yang bersifat homozigot, didapatkan panjang
batang tubuh yang normal, tengkorak yang berbentuk daun semanggi
(cloverleaf), dan adanya perbedaan proporsi yang nyata antara ukuran
tengkorak dan/atau diameter biparietal (BPD) dengan panjang tungkai dimana,
panjang femur berada di bawah percentile ke-3 sesuai usia gestasinya.
Gambaran ini sudah dapat dinilai pada usia gestasi 13 minggu. Adapun kasus
ini bersifat letal akibat hipoplasia paru yang dihubungkan dengan hambatan
pertumbuhan rongga dada. (11)
Pada achondroplasia yang bersifat hererozigot, gambaran ultrasonografi
trimester awal kehamilan menunjukkan gambaran normal dan kelainan baru
dapat diamati pada akhir trimester II (usia gestasi >24-28 minggu). Dimana
kelainan dari gambaran ultrasonografi bersifat ringan dengan ekstremitas yang
pendek, ukuran batang tubuh yang kecil, peningkatan lingkar kepala dan BPD,
dahi menonjol, dan jarak interpendikular pada tulang belakang berkurang. (8)

3. CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sering digunakan untuk menilai ukuran foramen
magnum pada penderita achondroplasia. Hal itu dikarenakan, pada 96%
penderita achondroplasia, ukuran foramen magnumnya berada pada 3 standar
deviasi dibawah rata-rata (8) .
Selain itu, periksaan CT-Scan juga digunakan untuk menilai adanya
penjepitan maupun penekanan pada medullaspinalis akibat kompresi dari
corpus vertebra cervical I dengan foramen magnum yang berukuran kurang
dari normal. Adapun komplikasi otitis media yang sering didapatkan pada
penderita achondroplasia dapat pula dinilai melalui pemeriksaan tulang
(8)
temporal pada CT-Scan .
4. MRI
Pemeriksaan MRI yaitu pemeriksaan craniocervical dilakukan untuk
menilai adanya kompresi pada medulla spinalis yang melewati kanal vertebra
cervical I. Selain itu, dengan pemeriksan MRI dapat pula dinilai adanya
penyempitan ruang subarachnoid pada pertemuan cervical dan medulla otak,

14
adanya ventriculomegaly derajat ringan hingga sedang serta anomali-anomali
lain yang sering menyertai achondroplasia (8).

Gambar 11 : Gambaran MRI pada anak berusia 6 tahun yang


merupakan penderita achondroplasia dengan defisit neurologis.
Gambar ini menunjukkan adanya penyempitan foramen magnum
pada cervical I dan penyempitan ruang subarachnoid (dikutip dari
kepustakaan 8).

2.7 Diagnosa Banding


 Hipochondroplasia
Hipochondroplasia merupakan penyakit yang juga disebabkan oleh mutasi gen
FGFR3 yang bersifat autosomal dominan. Penderita hipochondroplasia memiliki
ciri-ciri yaitu berperawakan pendek, micromelia, dan lordosis lumbar tanpa disertai
rhizomelia, mesomelia, atau acromelia. Adapun gejala klinis, gambaran radiologi,
dan gambaran histopatologinya serupa dengan achondroplasia namun, dengan
derajat yang lebih ringan (2) .

15
Gambar 13 : Penderitta hipochondroplasia dengan perawakan tubuh yang pendek
namun, dengan tampilan fisik dan keadaan yang lebih ringan dibanding penderita pada
achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 2)
 Thanatoporic dysplasia
Thanatoporic dysplasia merupakan salah satu bentuk tersering displasia tulang
yang bersifat letal. Adapun thanatoporic dysplasia ini berciri-ciri yaitu, micromelia,
tulang punggung yang pendek, makrosefal, platispondilis, dan menurunnya ukuran
rongga thoraks. Biasanya, penderita thanatoporic dysplasia meninggal pada masa
neonatus (2,12).
 SADDAN dysplasia
SADDAN dysplasia merupakan penyakit yang bersifat fenotip dimana, biasanya
menyerang 3 sistem tubuh yaitu, kulit, tulang, dan otak. Adapun SADDAN dysplasia
berciri-ciri perawakan yang sangat pendek, achantosis nigrans, keterlambatan
perkembangan tubuh dan otak. Penderita dengan SADDAN dysplasia seringkali
memiliki riwayat kejang, hidrosefalus pada masa bayi, dan keterbatasan
perkembangan motorik dan intelektual yang berat (2).

16
Gambar 14 : Gambar ini menunjukkan penderita SADDAN dysplasia yang
berusia 20 tahun. Tampak perawakan yang sangat pendek dan memiliki keadaan yang
lebih berat dibandingkan penderita achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 2).

2.8 Penatalaksanaan
Sampai saat ini, penatalaksanaan pada penderita achondroplasia masih dalam
penelitian. Kesulitan penatalaksanaan dikarenakan penyebab yang mendasari
terjadinya achondroplasia adalah mutasi gen. Namun, pada beberapa kasus,
pemberian hormon pertumbuhan (growth hormone) pada penderita achondroplasia
yang masih kecil sering dilakukan karena pada beberapa kasus, terjadi peningkatan
pertumbuhan tulang. Akan tetapi, mekanisme kerjanya belum jelas sehingga belum
direkomendasikan pada pengobatan achondroplasia. (1,2)

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dialami oleh penderita achondroplasia yaitu (1,13) :
1. Hambatan pertumbuhan tulang yang normal, dimana tinggi badan
penderita berada dibawah percentile ke-3 kurva tinggi badan.
2. Apneu spontan dan depresi nafas. Hal ini dikarenakan, hambatan
pertumbuhan tulang dasar tengkorak yang memungkinkan terjepitnya
batang otak dan mengganggu pusat pernafasan sehingga regulasi
pernafasan normal terganggu
3. Defisit neurologis dan retardasi mental oleh karena hambatan
pertumbuhan tulang tengkorak sehingga terjadi pula hambatan dalam
pertumbuhan dan maturasi sel-sel otak.

17
4. Otitis media dan kelainan telinga lainnya. Mekanisme kelainan telinga
dikarenakan posisi telinga secara anatomis berbeda dari normal oleh
karena, gangguan pertumbuhan tulang sehingga meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dapa telinga.

2.10 prognosa
Prognosis hidup penderita achondroplasia bergantung kepada derajat
komplikasinya. Makin berat komplikasi yang dialami maka, makin buruk pula
prognosisnya. Pada penderita achondroplasia homozigot, prognosisnya jauh lebih
buruk dibandingkan achondroplasia heterozigot. Penderita biasanya sudah meninggal
pada masa janin atau beberapa saat setelah dilahirkan. Selain itu, pemantauan berkala
pada bayi yang lahir dengan achondroplasia menjadi sangat penting karena dapat
mengantisipasi bahkan menghindari terjadinya komplikasi yang berat (14,15).

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Horton WA, Hall JG, Hecht JT. Achondroplasia, vol.370. Amerika Serikat:
Lancet, 2007. Hal.162-172.
2. Vajo Z, Francomano CA, Wilkin DJ. The molecular and genetic basis of
fibroblast growth factor receptor 3 disorders: The achondroplasia familiy of
skeletal dysplasias, muenke craniosynostosis, and crouzon syndrome with
achanthosis nigricans. Amerika Serikat: The Endocrine Society, 2000.
Hal.23-36.
3. Horton WA, Hecht JT, The skeletal dysplasias, dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Nelson textbook of pediatrics, ed.17. Amerika
Serikat: Elsevier, 2004.
4. Grant A, The skeleton, dalam: Waugh A, Grant A, Ross & Wilson’s
anatomy & physiology in health & illness, ed.9. London: Elsevier, 2004.
Hal.389-90.
5. Rosenberg EA, Bones, joints, and soft tissue tumors, dalam: Robbins,
Abbas, Fausto, Robbins & Cotran’s pathologic basis of disease, ed.7.
Amerika Serikat: Sanders, 2008.
6. Khan AN. Achondroplasia [online]. 2011. [copied on 11 December 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/941280-
overview#showall
7. Chapman S, Nakielny R. Aids to radiological differential diagnosis, ed.4.
Amerika Serikat: Elsevier, 2003. Hal.525.
8. Khan AN. Achondroplasia radiography [online]. 2011. [copied on 15
December 2011]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/415494-overview#a22
9. Eisenberg, Ronald L. Clinical imaging: An atlas of differential diagnosis,
ed.5. Philadelphia: Lippincott, 2010. Hal.1202-3.
10. Helms CA, Miscellaneous bone lesions, dalam: Brant WE, Helms CA,
Fundamentals of diagnostics radiology, ed.3. Amerika Serikat: Lippincott,
2007.

19
11. Cheema JI, Grissom LE, Harcke HT. Radiographic characteristics of
lower-extremity bowing in children. RSNA, 2003. Hal.871-80.
12. Miller E, Blaser S, Shannon P, Widjaja E. Brain and bone abnormalities of
thanatropic dwarfism. Amerika Serikat: American Journal of
Roentgenology, 2009. Hal.48-51.
13. Collins W, Choi SS. Otolaryngologic manifestations of achondroplasia.
Arch otolaryngol head nec surgery association, 2007. Hal.237-44.
14. Gollust SE, Apse K, Fuller BP, dkk. Community involvement in
developing policies for genetic testing: Assessing the interests and
experiences of individuals affected by genetic conditions. Vol.95. No.1.
Amerika Serikat: American Journal of Public Health, 2005. Hal.35-39.
15. Trotter TL, Hall JG, dkk. Health supervision for children with
achondroplasia vol.116, no.3. Amerika Serikat: American Academy of
Pediatrics, 2005. Hal.771-83.

20
21

Anda mungkin juga menyukai