2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu empat kejadian
yaitu:
a. Thrombosis yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.
b. Embolisme serebral yaitu bekuan darah atau material lain yang di bawa ke otak dari bagian
tubuh yang lain.
c. Iskemia yaitu penurunan aliran darah ke area otak
d. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Akibat dari keempat kejadian diatas maka terjadi penghentian suplai darah ke otak, yang
menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara, atau
sensasi.
Faktor resiko terjadinya stroke menurut Mansjoer (2000) adalah:
a. Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, riwayat stroke, penyakit
jantung koroner, dan fibrilasi atrium.
b. Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan
obat, kontrasepsi oral, dan hematokrit meningkat.
3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada
stroke di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang
terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering
terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak
melalui empat mekanisme, yaitu :
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan sehingga aliran darah dan
suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-
perubahan iskemik otak.
b. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan
(hemorrhage).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
d. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran
darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan
darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area
dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik
berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal
yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena,
penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan
terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak
berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah
arteri.. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen.
4. Manifestasi Klinik
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit
stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh,
hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat
pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang
jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak
mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh dan hilangnya
pengendalian terhadap kandung kemih.
5. Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan medis menurut menurut Smeltzer & Bare (2002) meliputi:
a. Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5
hari setelah infark serebral.
b. Antikoagulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam
sistem kardiovaskuler.
c. Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan
thrombus dan embolisasi.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit stroke menurut Smeltzer & Bare (2002)
adalah:
a. Hipoksia serebral, diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi
otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen
suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima
akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral, bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intrvena) harus menjamin
penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi dan hipotensi
ekstrim perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi
meluasnya area cedera.
c. Embolisme serebral, dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat
berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan
selanjutnya akan menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah
jantung tidak konsisten dan penghentian trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Doenges dkk, 1999) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penyakit
stroke adalah:
a. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri atau adanya titik oklusi/ ruptur.
b. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
c. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis, emboli
serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak sepintas.
Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik
subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus
thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, dan malformasi arteriovena.
e. Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena.
f. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang otak
dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari
massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian primer
Airway: pengkajian mengenai kepatenan jalan. Kaji adanya obstruksi pada jalan napas
karena dahak, lendir pada hidung, atau yang lain.
Breathing: kaji adanya dispneu, kaji pola pernapasan yang tidak teratur, kedalaman napas,
frekuensi pernapasan, ekspansi paru, pengembangan dada.
Circulation: meliputi pengkajian volume darah dan kardiac output serta perdarahan.
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, warna kulit, nadi, dan adanya perdarahan.
Disability: yang dinilai adalah tingkat kesadran serta ukutan dan reaksi pupil.
Exposure/ kontrol lingkungan: penderita harus dibuka seluruh pakaiannya.
2) Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe) termasuk
reevaluasi pemeriksaan TTV.
Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan.
Riwayat “AMPLE” (alergi, medikasi, past illness, last meal, event/environment) perlu
diingat.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan evaluasi kepala akan adanya luka, kontusio atau fraktuf.
Pemeriksaan maksilofasialis, vertebra sevikalis, thoraks, abdomen, perineum,
muskuloskeletal dan pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan dalam secondary survey.
Reevaluasi
Monitoring tanda vital dan haluaran urin penting dilakukan.
Tambahan pada secondary survev
Selama secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti foto tambahan dari tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada,
abdomen dan prosedur diagnostik lain.
3. Mekanisme Cedera
Trauma kepala disebabkan karena adanya daya/kekuatan yang mendadak dikepala. Ada 3
mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu akselerasi, deselerasi, dan
deformitas.
Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau terlempar batu.
Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya pada saat kepala
terbentur.
Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma,
misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
Pada saat terjadinya deselerasi ada kemungkinan terjadi rotasi kepala sehingga dapat
menambah kerusakan. Mekanisme cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan pada
daerah dekat benturan (kup) dan kerusakan pada daerah yang berlawanan dengan benturan
(kontra kup).
4. Patofisiologi
Adanya trauma kepala dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan struktur misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan
biokimia otak seperti penurunan adenosine tripospat dalam mitokondria, perubahan
permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala otak
primer dan cedera kepala otak sekunder. Cedera kepala otak primer merupakan suatu proses
biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan berdampak cedera
jaringan otak. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera primer misalnya adanya hipoksia,
iskemia, dan perdarahan.
Perdarah serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma, yaitu
berkumpulnya darah antara lapisan periosteum tengkorak dengan dura meter, subdural
hematoma diakibatkan berkumpulnya darah pada ruang antara dura meter dengan
subarahnoid dan intracerebral hematoma adalah berkumpunya darahpada jaringan serebral.
Kematian pada trauma kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena gangguan pada
autoregulasi. Ketika terjadi gangguan autoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi jaringan
serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak. Karena otak sangat sensitive terhadap
oksigen dan glukosa.
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya
amnesia retrograt, mual dan muntah.
7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :
Defisitnya neurologi fokal
Kejang
Pneumonia
Perdarahan gastrointestinal
Disritmia jantung
Hidrosefalus
Kerusakan kontrol respirasi
Inkontinensia bladder atau bowel
8. Test Diagnostik
Foto tengkorak : mengetahui adanya fraktur tengkorak (simpel, depresi, kommunit), fragmen
tulang
Foto servikal : mengetahui adanya fraktur servikal
CT Scan : kemungkinan adanya subdural hematoma, intraserebral hematoma, keadaan
ventrikel.
MRI : sama dengan CT Scan
Serum alkohol :mendeteksi penggunaan alkohol sebelum cedera kepala, dilakukan terutama
pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas.
Serum obat : mengetahui penyalahgunaan obat sebelum cedera kepala.
Pemeriksaan obat dalam urine : mengetahui pemakaian obat sebelum kejadian
Serum human chorionic gonadotropin : mendeteksi kehamilan
9. Penatalaksanaan Medik
a) Penatalaksanaan Umum
Monitor respirasi : bebaskan jalan napas, monitor keadaan ventilasi, periksa AGD, berikan
oksigen jika perlu.
Monitor tekanan intrakranial (TIK)
Atasi syok bila ada
Kontrol tanda vital
Keseimbangan cairan dan elektrolit
b) Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kranioplasti,
prosedur shunting pada hidrocepalus, kraniotomi.
c) Pengobatan
Diuretik : untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20%, furosemid (lasic).
Antikonvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium
Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edema misalnya dengan dexametason.
Antagonis histamin : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek
trauma kepala misalnya dengan cemetidin, ranitidin.
Antibiotik jika terjadi luka yang besar.
10. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Adapun data pengkajian primer menurut Rab, Tabrani. 2007 :
Airway
Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
Breathing
Ada tidaknya dispnea, takipnea, bradipnea, sesak, kedalaman nafas.
Circulation
Ada tidaknya peningkatan tekanan darah, takikardi, bradikardi, sianosis, capilarrefil.
Disability
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai
GCS. Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat
keparahan cidera :
- Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
- Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau
rinorhea cairan serebrospinal).
- Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
Exposure of extermitas
Ada tidaknya peningkatan suhu, ruangan yang cukup hangat.
2) Pengkajian Sekunder
Data pengkajian secara umum tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
diperlukan oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Marilyn, E Doengoes. 2000)
Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :
Perubahan kesehatan, letargi
Hemiparase, quadrepelgia
Ataksia cara berjalan tak tegap
Masalah dalam keseimbangan
Cedera (trauma) ortopedi
Kehilangan tonus otot, otot spastik
Sirkulasi
Gejala :
Perubahan darah atau normal (hipertensi)
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia disritmia).
Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan impulsif.
Eliminasi
Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.
Makanan/ cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
Neurosensoris
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.
Tanda :
Perubahan kesadaran bisa sampai koma
Perubahan status mental
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
Wajah tidak simetri
Genggaman lemah, tidak seimbang
Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah
Apraksia, hemiparese, Quadreplegia
Nyeri/ Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat, gelisah
tidak bisa beristirahat, merintih.
Pernapasan
Tanda :
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Nafas berbunyi
stridor, terdesak
Ronki, mengi positif
Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/ dislokasi
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh
Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, peningkatan
jumlah sekret.
Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
hasil
Setelah dilakukan 1. Auskultasi bunyi nafas.
1. Beberapa derajat spasme bronkus
tindakan keperawatan Catat adanya bunyi nafas terjadi dengan obstruksi jalan nafas
selama 3x24 jam tambahan mis. Mengi, dan dapat/tak dimanifestasikan
diharapkan pasien dapat ronchi, krekels adanya bunyi nafas adventisius, mis,
mempertahankan jalan 2. Pantau frekuensi penyebaran, krekels basah, bunyi
nafas paten dengan pernafasan nafas redup dengan ekspirasi mengi
bunyi nafas bersih/jelas3. Catat adanya dispnea, ataau tidak ada bunyi nafas
dengan kriteria hasil : gelisah, ansietas, distres
2. Takipnea biasanya ada pada
- Tidak ada bunyi pernafasan, penggunaan beberapa derajat. Pernafasan dapat
nafas tambahan otot bantu melambat dan frekuensi ekspirasi
- Tidak ada 4. Berikan posisi yang memanjang dibandingkan inspirasi
penumpukkn sekret nyaman 3. Disfungsi pernafasan adalah
- Tidak ada sesak 5. Pertahankan polusi variable yang tergantung pada tahap
nafas lingkungan minimum
6. Dorong atau bantu proses kronis selain proses akut yang
latihan nafas abdomen atau menimbulkan perawatan di RS
bibir 4. Peninggian kepala tempat tidur
7. Observasi karakteristik mempermudah proses pernafasan
batuk, mis menetap, batuk 5. Pencetus tipe reaksi alergi
pendek, basah bantu pernafasan yang dapat mentriger
tindakan untuk episode akut
memperbaiki keefektifan 6. Memberikan pasien beberapa cara
upaya batuk untuk mengatasi dan mengontrol
8. Tingkatkan masukan dispnea dan menurunkan jebakan
cairan 3000 ml/hari sesuai udara
toleransi jantung 7. Batuk paling efektif pada posisi
9. Berikan obat sesuai duduk tinggi atau kepala dibawah
indikasi setelah perkusi dada
10. Berikan hudifiksi
8. Hidrasi membantu menurunkan
tambahan, mis, nebulizar kekentalan sekret, mepermudah
ultranik, humidifier aerosol pengeluaran.
ruangan 9. Membantu mempercepat proses
penyembuhan
10. Kelembaban menurunkan kekentalan
sekret dan mencegah pembentukan
mucosa tebal pada bronkus.
4. Manifestasi Klinis
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologic
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomotor
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun structural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas
atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma
torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
6. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik.Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera
olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus
dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan
kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau
ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk
memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak
medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau
memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel
multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif
yang tejadi beberapa jam pertama setelah cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien
dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan
masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada
bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil
posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika
merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan
cedera medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya
kadang- kadang tindakan ini tidak benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak
tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur
dibawahnya.
b. Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan
untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai
kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
c. Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
d. Tindakan Respiratori
1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher
bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi
servikal yang tinggi.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan
oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal
ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang
keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas
selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas.
Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal1,3,5,6,7,8.
Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut
nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal,
menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Dissability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
Exposure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan
:Simple head injury bila tanpa deficit neurology
o Dilakukan rawat luka
o Pemeriksaan radiology
o Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran
segera bawa ke rumah sakit
2) Pengkajian Sekunder
Aktivitas/Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum
/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi
tanah /hematemesis.
Integritas Ego
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
Makanan/cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon
dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena
pengaruh trauma spinal.
Nyeri/kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
2) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sensorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan
teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
Rasional : Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan
pasien.
Rasional : Mencegah terjadinya dekubitus.\
Beri papan penahan pada kaki
Rasional : Mencegah terjadinya foodrop
Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
Rasional : Mencegah terjadinya kontraktur.
Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
Rasional : Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
Rasional : Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
Rasional : Memberikan pancingan yang sesuai.
3) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas,
penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada
lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
Rasional : Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
Rasional : Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
Rasional : Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
Rasional : Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan
sirkulasi darah.
Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
Rasional : Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan
gerakan memutar.
Rasional : Meningkatkan sirkulasi darah
Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
Rasional : Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
Rasional : Mempercepat proses penyembuhan
4) Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi,
keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan
Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
Rasional : Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
Kaji intake dan output cairan
Rasional : Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
Lakukan pemasangan kateter sesuai program
Rasional : Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga
perlu bantuan dalam pengeluaran urine
Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
Rasional : Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..
Cek bladder pasien setiap 2 jam
Rasional : Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
Rasional : Mengetahui adanya infeksi
Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
Rasional : Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
5) Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
kaji pola eliminasi bowel
Rasional : Menentukan adanya perubahan eliminasi
Berikan diet tinggi serat
Rasional : Serat meningkatkan konsistensi feses
Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
Rasional : Mencegah konstipasi
Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
Rasional : Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
Hindari penggunaan laktasif oral
Rasional : Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
Rasional : Meningkatkan pergerakan peritaltik
Berikan suppositoria sesuai program
Rasional : Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
Rasional : Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
6) Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alat traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-
cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan
Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya
lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
Rasional : Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung
atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin
sesuai indikasi.
Rasional : Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan,
selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas
dalam.
Rasioanl : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium);
analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-
ansietas dan meningkatkan istrirahat.
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM
MUSKULOSKELETAL
2. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara
spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya
jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan
progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul
sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi
kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
3. Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
a. Fase hematum
1) Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
2) Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
b. Fase granulasi jaringan
1) Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
2) Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
3) Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast
dan osteoblast.
c. Fase formasi callus
1) Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
2) Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
d. Fase ossificasi
1) Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
2) Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang
menyatukan tulang yang patah
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
Mengetahui tempat dan type fraktur
Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan
secara periodic
b. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
c. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun (
perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
e. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera
hati (Doenges, 1999 : 76 ).
6. Penatalaksanaan
a. Fraktur Reduction
Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan kembali secara
manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi sebelumnya.
Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan penjajaran insisi pembedahan,
seringkali memasukkan internal viksasi terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates
batang intramedulasi, dan paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Peralatan traksi :
o Traksi kulit biasanya untuk pengobatan jangka pendek
o Traksi otot atau pembedahan biasanya untuk periode jangka panjang.
b. Fraktur Immobilisasi
Pembalutan (gips)
Eksternal Fiksasi
Internal Fiksasi
Pemilihan Fraksi
c. Fraksi terbuka
Pembedahan debridement dan irigrasi
Imunisasi tetanus
Terapi antibiotic prophylactic
Immobilisasi (Smeltzer, 2001).
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan
reflek batuk
Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan /
atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut
2) Pengkajian Sekunder
Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
Keterbatasan mobilitas
Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Cailary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
Neurosensori
Kesemutan
Deformitas, krepitasi, pemendekan
Kelemahan
Kenyamanan
nyeri tiba-tiba saat cidera
spasme/ kram otot
Keamanan
laserasi kulit
perdarahan
perubahan warna
pembengkakan local
5) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur
invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat.
Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya
proses infeksi.
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
2. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya :
a. Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
b. Trauma akibat kecelakaan
c. Trauma akibat pembedahan ortopedi
d. Terjadi infeksi di sekitar sendi
3. Patofisiologi
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang
mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari
adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena
adanya penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut,
menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan
tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi
perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi,
perlu dilakukan adanya reposisi dengan cara dibidai.
4. Klasifikasi
a. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat,
kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan)
5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
b. Perubahan kontur sendi
c. Perubahan panjang ekstremitas
d. Kehilangan mobilitas normal
e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f. Deformitas
g. Kekakuan
6. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya perubahan kontur sendi pada ekstremitas yang mengalami dislokasi
b. Tampak perubahan panjang ekstremitas pada daerah yang mengalami dislokasi
c. Adanya nyeri tekan pada daerah dislokasi
d. Tampak adanya lebam pad dislokasi sendi
7. Pemeriksaan diagnostic
a. foto X-ray
untuk menentukan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur
b. foto rontgen
Menentukan luasnya degenerasi dan mengesampingkan malignasi
c. Pemeriksaan radiologi
Tampak tulang lepas dari sendi
d. Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap dapat dilihat adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan leukosit
8. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan
reflek batuk.
Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan /
atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung
normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut.
b. Pengkajian sekunder
Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
Keterbatasan mobilitas
Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Capilary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera
Neurosensori
Kesemutan
Kelemahan
Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit), spasme
otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / anxietas
Kenyamanan
Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan
tulang, dapat berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat keruisakan syaraf.
Spasme / kram otot (setelah immobilisasi).
Keamanan
• laserasi kulit
• perdarahan
• perubahan warna
• pembengkakan local
b. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka : bedah permukaan
; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret /
immobilisasi fisik.
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.
Kriteria Hasil :
- Penyembuhan luka sesuai waktu.
- Tidak ada laserasi, integritas kulit baik.
Intervensi :
Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional :
Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit dan masalah-masalah yang mungkin
disebabkan oleh penggunaan traksi, terbentuknya edema.
Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat tidur yang kering dan bebas
kerutan.
Rasional :
Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
Rubah posisi selang seling sesuai indikasi.
Rasional :
Mengurangi penekanan yang terus-menerus pada posisi tertentu.
Gunakan bed matres / air matres.
Rasional :
Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh dan untuk anggota tubuh yang kurang gerak efektif
untuk mencegah penurunan sirkulasi.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan
rangka neuromuskuler.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat kenyamanan yang lebih
tinggi.
- Klien mempertahankan posisi /fungsional.
- Klien meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.
- Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
Intervensi :
Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi
pasien terhadap imobilisasi.
Rasional :
Mengetahui persepsi diri pasien mengenai keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi
dan menentukan informasi dalam meningkatkan kemajuan kesehatan pasien.
Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi dan pertahankan rangsang lingkungan.
Rasional :
Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif pada ekstremitas yang sakit
dan yang tak sakit.
Rasional :
Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan respon kalsium karena tidak
digunakan.
Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk
menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional :
Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul.
Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi dan mencukur).
Rasional :
Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan
meningkatkan kesehatan diri langsung.
Berikan/bantu dalm mobilisasi dengan kursi roda, kruk dan tongkat sesegera mungkin.
Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilisasi.
Rasional :
Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis) dan meningkatkan
penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
Awasi TD dengan melakukan aktivitas dan perhatikan keluhan pusing.
Rasional :
Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan dapat memerlukan
intervensi khusus.
Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam.
Rasional :
Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/pernapasan (contoh dekubitus, atelektasis
dan pneumonia).
Auskultasi bising usus.
Rasional :
Tirah baring, pengguanaan analgetik dan perubahan dalam kebiasaan diet dapat
memperlambat peristaltik dan menghasilkan konstipasi.
Dorong penigkatan masukan cairan sanpai 2000-3000 ml/hari.
Rasional :
Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan resiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan
konstipasi.
Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabilitasi spesialis.
Rasional :
Berguna dalan membuat aktivitas individual/program latihan.
d. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah;
cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi.
- Kulit hangat dan kering.
- Perabaan normal.
- Tanda vital stabil.
- Urine output yang adekuat
Intervensi :
Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari fraktur.
Rasional :
Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan rasa dapat normal terjadi dengan adanya
syndrome comfartemen syndrome karena sirkulasi permukaan sering kali tidak sesuai.
Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik / fungsi sensorik.
Rasional :
Lemahnya rasa/kebal, meningkatnya penyebaran rasa sakit terjadi ketika sirkulasi ke saraf
tidak adekuat atau adanya trauma pada syaraf.
Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki.
Rasional :
Panjang dan posisi syaraf peritoneal meningkatkan resiko terjadinya injuri dengan adanya
fraktur di kaki, edema/comfartemen syndrome/malposisi dari peralatan traksi.
Monitor posisi / lokasi ring penyangga bidai.
Rasional :
Peralatan traksi dapat menekan pembuluh darah/syaraf, khususnya di aksila dapat
menyebabkan iskemik dan luka permanen.
Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan
mental.
Rasional :
In adekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak kontraindikasidengan adanya
compartemen syndrome.
Rasional :
Mencegah aliran vena / mengurangi edema.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan
trauma jaringan.
Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual.
Kriteria Hasil :
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
- Bebas drainase purulen, eritema dan demam.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
Rasional :
Pen atau kawat yang dipasang masuik melalui kulit dapat memungkinkan terjadinya infeksi
tulang.
Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema,
eritema, drainase/bau tak enak.
Rasional :
Dapat mengindikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan dan dapat menimbulkan
osteomielitis.
Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
Rasional :
Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi.
Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainase yang tak enak/asam.
Rasional :
Tanda perkiraan infeksi gangren.
Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional :
Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan oedema lokal/eritema ektremitas cedera.
Rasional :
Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis.
Lakukan prosedur isolasi.
Rasional :
Adanya drainase purulen akan memerlukan kewaspadaan luka/linen untuk mencegah
kontaminasi silang.
Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotik IV/topikal dan Tetanus toksoid.
Rasional :
Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada
mikroorganisme khusus.
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan : Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah.
Kriteria Hasil :
- Menyatakan pehaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional :
Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila
diindikasikan.
Rasional :
Banyak fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses penyembuhan.
Kerusakan lanjut dan pelambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap
ketidaktepatan pengguanaan alat ambulasi.
Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang
memrlukan bantuan.
Rasional :
Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan.
Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dab di bawah fraktur.
Rasional :
Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya aktivitas
sehari-hari secara dini.
Diskusikan pentingnya perjanjian evaluasi klinis.
Rasional :
Penyembuhan fraktur memerlukan waktu tahunan untuk sembuh lengkap dan kerja sama
pasien dalam program pengobatan membantu untuk penyatuan yang tepat dari tulang.
Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa otot kurang).
Anjurkan untuk memberikan sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan
ginakan alat bantu mobilitas, contoh verban elastis, bebat, penahan, kruk, walker atau
tongkat.
Rasional :
Kekuatan otot akan menurun dan rasa sakit yang baru dan nyeri sementara sekunder terhadap
kehilangan dukungan.
DAFTAR PUSTAKA