Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun makalah ini berjudul “Makalah
Etika Dan Hukum”.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas modul P2K2 Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Mardhia sebagai salah satu dosen pada modul P2K2 Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Tanjungpura Pontianak.
2. Orang tua serta sanak saudara yang memberikan dukungan moril dan materil.
3. Teman-teman PSPD 2010 yang memberikan kritik dan saran yang membangun.
Kami telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan makalah ini. Namun,
mengingat terbatasnya pengetahuan dan pengalaman, untuk itu kami senantiasa
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan
memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
4.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 46
4.2 Saran.................................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 47
BAB I
PENDAHULUAN
Bioetika
Terkena fibrilasi ventrikel
Medikolegal
Dilakukan defibrilasi eksternal tanpa
persetujuan pihak keluarga pasien
Profesionalisme
Dilakukan otopsi
\\
1.4 Hipotesis
Ditinjau dari segi bioetika, medikolegal, dan profesionalisme, ada beberapa tindakan
pertolongan pertama yang melanggar kode etik kedokteran dan hak pasien.
Pingsan dapat dicetuskan oleh ketakutan, nyeri tiba-tiba, atau imobilitas pada posisi
tegak. Mekanisme kehilangan kesadaran sangat kompleks, tetapi dasarnya adalah anoksia
serebri yang terjadi karena kekurangan aliran darah otak sementara. Kehilangan sirkulasi ke
otak ini disebabkan oleh bradikardia yang diperantarai n. vagus, sehingga terjadi
pengurangan curah jantung bersamaan dengan vasodilatasi pembuluh darah.
Apabila seseorang tidak sadarkan diri dan tidak diketahui penyebabnya, lakukan segera
pemeriksaan berikut ini:
1. Apakah pernapasannya baik? Jika tidak dongakkan kepalanya ke belakang dan tarik
rahang dan lidahnya keluar. Jika ada sesuatu yang menyumbat di dalam tenggorokannya,
keluarkanlah. Jika penderita tidak bernafas, segera lakukan pernafasan mulut ke mulut.
2. Apakah orang itu kehilangan banyak darah? Jika ya, hentikan perdarahannya.
3. Apakah orang itu berada dalam keadaan syok (kulit pucat, lembab, nadi cepat, dan
lemah)? Jika ya, baringkan dia dengan kaki lebih tinggi daripada kepala, dan longgarkan
pakaiannya.
4. Mungkinkah keadaan ini disebabkan oleh pingsan karena kepanasan (heat sroke) (tidak
ada keringat, panas tinggi, kulit panas dan merah). Jika demikian, jagalah agar prnderita
tidak terkena sinar matahari, dan jagalah juga agar kepalanya lebih tinggi daripada kedua
kakinya. Segera basahi tubuhnya dengan air dingin (jika dapat dengan air es).
2.1.1 Pingsan Biasa (Simple Fainting)
Pingsan jenis ini biasanya dijumpai pada orang-orang yang berdiri berbaris di terik
matahari, atau orang-orang yang pergi tanpa makan pagi terlebih dahulu, atau pada
orang-orang tua yang berdiri sesudah berbaring lama di tempat tidur. Orang yang
cenderung untuk pingsan seperti ini ialah orang yang anemi (kurang darah), lelah, takut,
atau tidak tahan melihat darah.
Tindakan pertolongan:
1. Baringkan penderita di tempat yang teduh dan datar. Jika mingkin dengan kepala
diletakkan agak lebih rendah.
2. Buka baju bagian atas, serta pakaian lain yang menekan leher.
3. Bila penderita muntah, letakkan kepalanya dalam kedudukan miring untuk mencegah
muntahan terselak masuk ke paru-paru.
4. Kompres kepalanya dengan air dingin.
5. Jika ada, hembuskan uap ammonia di depan lubang hidungnya.
2.1.2 Pingsan karena Panas
Pingsan jenis ini terjadi pada orang-orang sehat yang bekerja di tempat yang sangat
panas.Biasanya penderita mula-mula merasa jantungnya berdebar-debar, mual, muntah,
sakit kepala, dan pingsan. Keringat yang beercucuran pada orang pigsan di udara yang
sangat panas merupakan gejala petunjuk adanya pingsan jenis ini.
Tindakan pertolongan:
1. Baringkan penderita di tempat yang teduh dan perlakukan seperti hal-hal tersebut
pada pingsan biasa.
2. Beri penderita minum air garam (0,1 persen: 1 gram untuk satu liter air). Air garam
tersebut diminumkan dalam keadaan dingin. Tindakan ini tentu saja dilakukan
setelah penderita sadar kembali.
Pingsan jenis ini merupakan keadaan yang lebih parah dari heat exhaustion.
Sengatan panas terjadi karena bekerja di udara panas jangka waktu yang lama, sehingga
kelenjar keringat menjadi lemah dan tidak mampu mengeluarkan keringat lagi.
Akibatnya, panas yang mengenai tubuh tidak ditahan oleh adanya penguapan keringat.
Tindakan pertolongan:
1. Dinginkan tubuh penderita dengan membawanya ke tempat yang teduh, banyak
angin (jika perlu menggunakan kipas angin), dan kompres badannya dengan air
dingin atau es.
2. Usahakan agar penderita tidak menggigil dengan cara memijat kaki dan tangannya.
3. Setelah suhu badannya menurun 38 oC, hentikan pengompresan dan kirim penderita
ke rumah sakit.
4. Penderita memrlukan perawatan di rumah sakit, karena penyembuhannya memakan
waktu lebih dari satu hari.
2.1.4 Pingsan pada Penderita Kencing Manis (Diabetes)
Oleh karena itu, sebaiknya para penderita kencing manis selalu membawa
keterangan diri yang menyatakan bahwa ia menderita penyakit itu. Dan apabila ia
mendapat suntikan insulin, perlu pula disebutkan dosis dan jenis insulin yang diberikan.
Sehingga apabila pingsan di jalan, para penolong dapat segera menduga penyebabnya.
Gejala-gejala:
Pingsan karena:
1. Kelebihan zat keton.
Tampak sangat sakit, kulit kering, dan kemerahan. Merasa haus, tidak merasa lapar,
nafas bau aseton, dan nafas dalam dan cepat.
2. Kelebihan insulin.
Tampak lemah, lembab, dan pucat. Tidak haus dan sangat lapar. Biasanya nafas tidak
berbau aseton. Pernafasannya biasa saja.
Tindakan pertolongan:
1. Pada pingsan karena kelebihan insulin, penderita ditolong seperti halnya pada
pingsan biasa. Berikan minum gula atau air jeruk yang manis, apabila sudah mulai
sadar. Bila belum sadar, air gula dapat dibeerikan lewat dubur.
2. Pada pingsan karena kelebihan zat keton, penderita harus segera dikirim ke rumah
sakit, sambil diselimuti badannya.
Apabila ragu-ragu apakah karena insulin atau karena zat keton, berikan pertolongan
dengan segelas air gula. Untuk hal yang pertama, tindakan in akan menolong, sedang
untuk hal yang kedua tidak berbahaya. Tetapi sesudah itu segera penderita dikirim ke
rumah sakit.
Pingsan jenis ini biasanya terjadi pada penderita tekanan darah tinggi. Gejalanya
datang secara mendadak. Penderita merasa sakit kepala, mual, kadang-kadang muntah,
dan pingsan.
Setelah sadar, ia akan mengalami gangguan pada beberapa bagian tubuhnya.
Misalnya sulit berbicara dan kelumpuhan separuh badan. Seandainya terjadi kejang-
kejang, hal itu harus dibedakan dari ayan.
Tindakan pertolongan:
Penderita harus segera dikirim ke rumah sakit. Apabila masih sadar, dapat diberi
aspirin atau sejenisnya untuk mengurangi sakit kepalanya.
Tindakan pertolongan:
Seperti pada pingsan biasa. Jika perlu, dokter akan memberinya obat penenang.
Apabila tidak ada tanda-tanda terjadi syok, ditolong seperti pada pingsan biasa.
Untuk mengurangi rasa sakit, Jika perlu dapat diberi obat pelawan sakit.
Orang dapat pingsan setelah mengalamai perdarahan. Karena ia tidak tahan melihat
darah, atau karena terjadi syok. Apabila tidak ada tanda-tanda syok, dapat ditolong
dengan tindakan pada pingsan biasa. Jangan lupa untuk menghentikan perdarahannya.
2.2.1 Definisi
Fibrilasi ventrikular secara elektrikal mirip dengan fibrilasi atrium tetapi Fibrilasi
ventrikular lebih jelek prognosisnya. Pada Fibrilasi ventrikular, ventrikel hanya bergetar dan
menyebabkan kontraksi yang terkoordinir. Karena tak ada darah yang dipompakan dari
jantung , Fibrilasi ventrikular adalah suatu bentuk terhentinya jantung dan akan fatal bila
tidak diobati secepatnya.
2.2.2 Penyebab
2.2.3 Gejala
2.2.4 Diagnosa
2.2.5 Pengobatan
Bila fibrilasi ventrium terjadi kurang dari sejam setelah serangan jantung dan
penderita tidak dalam keadaan shock atau tidak mengalami gagal jantung, usaha kardioversi
rata-rata 95 persen akan sukses, dan prognosis akan baik. Shock dan gagal jantung sebagai
tanda dari kerusakan utama pada ventrium, jika hal itu terjadi, bahkan usaha kardioversi
hanya memiliki kesuksesan rata-rata 30 persen, dan 70 persen kemungkinan meninggal.
2. Jeli
Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan aliran
listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle.
Energi untuk VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan
monophasicdeflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang sama, jika
menggunakan biphasicdeflbrilator energi yang diperlukan berkisar antara 120 - 200 joule.
Sebuah rumah sakit tidak lengkap jika tidak mempunyai sebuah unit yang bisa memberikan
pelayanan bagi pasien yang mengalami keadaan emergency atau gawat darurat. Penanganan
kasus gawat darurat didukung dengan peralatan medis yang memadai. Ambulance siap
selama 24 jam melayani permintaan, dilengkapi dengan alat emergency dan alat-alat medis
untuk pertolongan gawat darurat yang lain.
Kecepatan penanganan adalah menjadi perhatian utama dalam menangani kasus-kasus gawat
darurat. Instalasi Gawat Darurat beroperasi selama 24 jam, dengan dukungan dokter jaga
yang bersertifikasi PPGD, ATLS & ACLS. Faktor penentu keselamatan jiwa dalam keadaan
gawat darurat adalah kecepatan, keterampilan dan kemampuan regu penolong yang terdiri
dari tim medis dan paramedis serta alat pendukungnya.
Tindakan penyelamatan jiwa pada pasien henti napas dan henti jantung;
Pemeriksaan
Pada saat masuk IGD, Perawat akan mengantar pasien ke tempat pemeriksaan dan
menanyakan tentang gejala/gangguan yang diderita, memeriksa nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dll.
Petugas administrasi akan menanyakan mengenai data identitas, nomor rekam medik
dan kartu asuransi (bila ada)
Anda akan diperiksa Dokter Jaga. Berikan informasi yang sejelas-jelasnya agar segera
diketahui penyakit/gangguan yang dialami.
Penunjang Medis
Penanganan
Bila pasien memerlukan perawatan lanjutan maka akan ditempatkan pada Ruang
Perawatan Umum atau Ruang Intensif tergantung keadaan pasien
Penanganan emergency dilakukan secara cepat, akurat dan komprehensif oleh tenaga medik
dan perawat yang profesional dengan didukung peralatan mutahir dan dapat diandalkan.
Penyakit/gangguan yang tidak membahayakan nyawa atau tidak memerlukan penanganan
segera, dapat ditangani di IGD namun pasien emergency tetap didahulukan.
2.5 Autopsi
2.5.1 Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan
terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan adanya
cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab
kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang
ditemukan dengan penyebab kematian(Mansjoer, 2000).
2.5.2 Jenis Autopsi Berdasarkan Tujuan
1. Autopsi Klinik
Dilakukan terhadapat mayat seseorang yan diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti,
menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,
patogenesis penyakit, dan sebagainya. Untuk autopsi ini mutlak diperlukan izin
keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknya autopsi klinik dilakukan secara
lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat juga dilakukan autopsi
parsial atau needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua
keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat (Mansjoer, 2000).
2. Autopsi Forensik/Medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu
sebab tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh
diri. Tujuan pemeriksaan autopsi forensik adalah untuk: 1. Membantu
penentuan identitas mayat 2. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme
kematian, dan saat kematian 3. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti
untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan 4. Membuat
laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum Autopsi forensik harus dilakukan sedini mungkin, lengkap, oleh
dokter sendiri, dan seteliti mungkin (Mansjoer, 2000).
3. Autopsi anatomi
Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh
mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia. Untuk
autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau keluarganya.
Dalam keadaan darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang jenazah tidak ada
keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk autopsi anatomi
(Mansjoer, 2000).
4. Penundaan penguburan
6. Agama
7. Etnik
Perkembangan yang begitu pesat di bidang biologi dan ilmu kedokteran membuat
etika kedokteran tidak mampu lagi menampung keseluruhan permasalahan yang berkaitan
dengan kehidupan. Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran
saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman sejawat.
Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau yang disebut
jugadengan etika biomedis.
Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi interdisipliner tentang masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya memperhatikan
masalah-masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi juga memperhitungkan timbulnya
masalah pada masa yang akan datang.
Bioetika berasal dari kata bios yang berati kehidupan dan ethos yang berarti norma-
norma atau nilai-nilai moral. Bioetika merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang
ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro
maupun makro, masa kini dan masa mendatang. Bioetika mencakup isu-isu sosial, agama,
ekonomi, dan hukum bahkan politik. Bioetika selain membicarakan bidang medis, seperti
abortus, euthanasia, transplantasi organ, teknologi reproduksi butan, dan rekayasa genetik,
membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan
masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan tradisional, lingkungan kerja, demografi,
dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang besar pula terhadap penelitian kesehatan
pada manusia dan hewan percobaan. Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh
Institude for the Study of Society, Ethics and Life Sciences, Hasting Center, New York pada
tahun 1969. Kini terdapat berbagai isu etika biomedik.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang dipelopori
oleh Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta. Perkembangan ini sangat
menonjol setelah universitas Gajah Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan
Bioethics 2000; An International Exchange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan
Humaniora pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah Mada juga
mendirikan center for Bioethics and Medical humanities. Dengan terselenggaranya
Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III
pada tahun 2004 di Jakarta, dan Pertemuan IV tahun 2006 di Surabaya serta telah
terbentuknya Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) tahun 2002,
diharapkan studi bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada
masa datang. Humaniora merupakan pemikiran yang beraitan dengan martabat dan kodrat
manusia, seperti yang terdapat dalam sejarah, filsafat, etika, agama, bahasa, dan sastra.
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah suatu aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus dibersamakan dengan prinsip-prinsip lainnya atau
yang disebut spesifik. Tetapi pada beberapa kasus, kerana kondisi berbeda, satu prinsip
menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Keadaan terakhir disebut dengan Prima Facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan
mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia
mengacu kepada kepada 4 kaidah dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika
kedokteran atau bioetika, antara lain:
1. Beneficence
2. Non-malficence
3. Justice
4. Autonomy
1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat
manusia, dokter tersebut juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam keadaan
kesehatan. Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi
pasien. Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada
pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang
buruk. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu:
a. Mengutamakan Alturisme
b. Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan seorang dokter
c. Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
suatu keburukannya
d. Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
e. Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
f. Meenerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti yang
orang lain inginkan
g. Memberi suatu resep
2. Non-malficence
Non-malficence adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do no harm, tetap berlaku dan harus
diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-ciri:
a. Menolong pasien emergensi
b. Mengobati pasien yang luka
c. Tidak membunuh pasien
d. Tidak memandang pasien sebagai objek
e. Melindungi pasien dari serangan
f. Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
g. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
h. Tidak melakukan White Collar Crime
Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :
a. Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien
b. Minimalisasi akibat buruk
a. Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting
b. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
c. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
d. Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).
3. Justice
Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama
rata dan adil terhadap untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut. Perbedaan
tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial,
kebangsaan, dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Justice mempunyai ciri-ciri :
a. Memberlakukan segala sesuatu secara universal
b. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
c. Menghargai hak sehat pasien
d. Menghargai hak hukum pasien
Dalam kaidah ini, perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan,
serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Kaidah ini bertujuan menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai
mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya : yang-hak dan yang-baik. Tidak ada
pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) contohnya:
4. Autonomy
Autonomy merupakan suatu tindakan menghormati martabat manusia (respect for
person/autonomy). Menghormati martabat manusia, pertama setiap individu (pasien)
harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan
nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang
perlu mendapatkan perlindungan.
Pandangan Kant dalam hal autonomy yaitu otonomi kehendak atau otonomi moral
yakni kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai
dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan
atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip
rasional atau self-legislation dari manusia.
Sedangkan pandangan J. Stuart Mill adalah otonomi tindakan/pemikiran adalah
otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan
keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang
pribadi.
Autonomy ini erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk
untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang dimaksudkan
(intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die.
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia. Setiap individu
harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak menentukan nasib diri sendiri.
Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan
sendiri. Autonomy bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan
membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Autonomy mempunyai ciri-ciri:
a. Menghargai hak menentukan nasib sendiri
b. Berterus terang menghargai privasi
c. Menjaga rahasia pasien
d. Melaksanakan Informed Consent
Persetujuan Pertolongan
Saat memberikan pertolongan sangat penting untuk meminta izin kepada korban
terlebih dahulu atau kepada keluarga, orang disekitar bila korban tidak sadar. Ada dua macam
izin yang dikenal dalam pertolongan pertama, yaitu :
1) Persetujuan yang dianggap diberikan atau tersirat (Implied consent).
Persetujuan yang diberikan penderita sadar dengan cara memberikan isyarat, atau
penderita tidak sadar atau pada anak kecil yang tidak mampu memberikan persetujuan.
2) Persetujuan yang dinyatakan (Expressed consent)
Persetujuan yang dinyatakan secara lisan maupun tulisan oleh penderita
Persetujuan tindakan medik adalah terjemahan yang sering dipakai untuk istilah
informed consent. Informed consent dirumuskan sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan
pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya
disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Informed consent mempunyai fungsi ganda. Bagi dokter, informed consent dapat
membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat
digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari
pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed
consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan
sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari
maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent).
Pasien sebagai individu mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan terlebih
dahulu terhadap pemeriksaaan medis, pengobatan, atau tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Persetujuan yang diberikan oleh
pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis
tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan), yang diusulkan oleh dokter serta tujuan
yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan).
2) Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang
mungkin timbul.
3) Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi atau untuk
pasien.
4) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung.
5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya
prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaga.
6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu
tersebut.
Persetujuan tindakan medik diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Menurut pasal 45 (1) dinyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada ayat (2) dijelaskan
“Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap”. Lebih lanjut pada ayat (4) dijelaskan “Persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan” dan pada ayat (5) di
jelaskan “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan”. Ketentuan lebih mendalam tentang persetujuan tidakan medik
akan diatur dengan peraturan menteri sebagaimana yang dijelaskan pada ayat (6).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1) dijelaskan
bahwa “Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai
informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran”.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus mengggugurkan
Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat
beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian
hanya pada pasien pingsan atau tidak sadar. Beberapa pakar mengkritisi bagaimana jika
pasien tersebut sadar namun dalam keadaan darurat. Guwandi (2008) mencontoh pada kasus
pasien yang mengalami kecelakaan lalu-lintas dan terdapat perdarahan serta membahayakan
jiwa di tubuhnya tetapi masih dalam keadaan sadar. Contoh lain apabila seseorang digigit ular
berbisa dan racun yang sudah masuk harus segera dikeluarkan atau segera dinetralisir dengan
anti-venom ular.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent,
maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana :
a. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau
anggota keluarga terdekat (next of kin)
b. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
c. Suatu tindakan harus segera diambil
d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal
4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun
pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien
sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada
keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan
pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan
penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat. Adapun beberapa kewajiban yang harus
dilakukan oleh penolong adalah:
a) Menjaga keselamatan diri, anggota tim, penderita dan orang disekitarnya.
b) Dapat menjangkau penderita.
c) Dapat mengenali dan mengatasi masalah yang mengancam nyawa.
d) Menerima bantuan/rujukan.
e) Memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat berdasarkan keadaan korban.
f) Membantu pelaku pertolongan pertama lainnya.
g) Ikut menjaga kerahasiaan medis penderita.
h) Melakukan komunikasi dengan petugas lain yang terlibat.
i) Mempersiapkan penderita untuk di transportasi.
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008, apabila pasien
dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin mengajukan informed consent,
maka KUH Perdata Pasal 1354 juga mengatur tentang pengurusan kepentingan orang lain.
Tindakan ini dinamakan zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu “Apabila seseorang
secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa
sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk
meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya
sendiri”. Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu
persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter
berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka dokter
berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya dan
mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.
Dalam istilah ilmu hukum perdata yang melakukan pengurusan kepentingan orang lain
dinamakan zaakwaarnemer atau gestor (dokter) sedangkan yang mempunyai kepentingan
dinamakan dominus (pasien). Untuk menentukan apakah suatu perbuatan seseorang
merupakan zaakwaarneming atau tidak, perlu dilihat apa yang terdapat di dalam perbuatan
itu. Syarat-syarat adanya zaakwaarneming adalah sebagai berikut:
a. Yang diurus (diwakili) oleh zaakwaarnemer adalah kepen¬tingan orang lain, bukan
kepentingan dirinya sendiri.
b. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan zaakwaarnemer dengan
sukarela, artinya karena kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan/upah apapun, dan
bukan karena kewajiban yang timbul dari undang-undang maupun perjanjian.
c. Perbuatan pengurusan kepentingan orang lain itu harus dilakukan oleh zaakwaarnemer
tanpa adanya perintah (kuasa) melainkan atas inisiatif sendiri.
d. Harus terdapat suatu keadaan yang membenarkan inisiatif seseorang untuk bertindak
sebagai zaakwaarnemer misalnya, keadaan yang mendesak untuk berbuat.
Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan
kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk menyelamatkan jiwa
atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan.
“Barang siapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam keadaan bahanya maut, lalai
memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat
diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan mengkawatirkan, bahwa ia sendiri atau
orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- Jika orang yang perlu ditolong itu mati, diancam dengan:
KUHP 45, 165, 187, 304 s. 478, 525, 566”
Pasal ini berlaku bila pelaku pertolongan pertama dapat melakukan tanpa membahayakan
keselamatan dirinya, dan orang lain.
Penjelasan:
Dalam keadaan bahaya maut = bahaya maut yang ada seketika itu, misalnya orang berada
dalam rumah terbakar, tenggelam di air, seseorang akan bunuh diri dan sebagainya.
Memberikan pertolongan = menolong sendiri.
Mengadakan pertolongan = misalnya memintakan pertolongan polisi atau dokter.
Pasal ini hanya dapat dikenakan apabila dengan memberi pertolongan itu tidak
dikhawatirkan bahwa orang itu sendiri dibahayakan atau orang lain dapat kena bahaya
dan orang yang perlu ditolong itu mati.
Dalam tatanan dunia medis Pelaku Pertolongan Pertama merupakan bagian dari
penyelenggaraan jasa medis sehingga juga harus menjaga kerahasiaan penderita yang
ditolongnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 322 KUH Pidana menegaskan:
“Barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang wajib disimpannya oleh karena
jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang dahulu dipidana dengan pidana
penjara selamalamanya Sembilan bulan atau dengan denda sebanyak-banyaknya Sembilan
ribu rupiah.”
Jika Kejahatan itu dilakukan yang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut
atas pengaduan orang itu. Dalam undang-undang ini tidak disebutkan pihak atau pejabat yang
seharusnya menyimpan rahasia, hanya ancaman kepada pihak yang seharusnya memyimpan
rahasia. Jadi seorang pelaku pertolongan pertama yang terlibat dalam pemeriksaan pasien
yang ditolongnya harus bisa menyimpan rahasia pasien akibat pekerjaan yang dilakukannya.
Blanket consent adalah surat pernyataan secara umum dari pasien pada
waktumasuk rumah sakit untuk menjalani perawatan yang menyatakan bahwa ia setuju
atassegala tindakan medik yang akan dilakukan selama perawatan.
Pro-forma consent adalah formulir persetujuan medik yang ditanda tangani pasien s a a t
ia dibawa masuk ke Kamar Bedah tanpa diberikan informasi terlebih
d a h u l u tentang tindakan medik yang akan dilakukan. Keduanya bukan merupakan
informedconsent dan tidak mempunyai nilai yuridis untuk membebaskan diri dari
tanggungjawab dan tuntutan hukum untuk kesalahan atau kelalaian yang mungkin terjadi.
D a l a m k e a d a a n g a w a t d a r u r a t d o k t e r h a r u s m e m b a t a s i o p e r a s i n ya
h a n ya u n t u k penyelamatan jiwa (life-saving) atau penyelamatan anggota tubuh (limb-
saving) saja.
Tidak boleh diperluas dengan operasi lain yang tidak ada hubungan dengan
penyelamatan jiwa atau anggota tubuh karena untuk tindakan tersebut harus dimintakan
Informed consent.
2 . 8 . 8 I n f o r m e d C o n s e n t P a d a B e d a h M a ya t K l i n i s D a n Transplantasi
Peraturan Pemerintah No, 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan
BedahMayat
Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia,mengharuskan
adanya persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya untuk bedah mayat
klnis setelah penderita meninggal, demikian pula untuk Transplantasi alat dan
jaringan tubuh manusia. Persetujuan tidak diperlukan jika diduga
penderitamenderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat
sekitarnya,atau bila dalam waktu 2 kali 24 jam tidak ada keluarga terdekat dating
ke rumahsakit. Informed consent juga diperlukan pada penelitian biomedik yang
melibatkansubyek manusia.
2.8.9 Informed Consent Tidak Sah
Informed consent menjadi tidak sah jika diperoleh dengan paksaan (duress), dari
seorang yang tidak berwenang, dari seorang yang belum dewasa, diberikan
dengan gambaran yang salah atau berlainan dan dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus tersebut pasien yang mengalami febrilisasi ventrikel dan di larikan ke
ruangan pertolongan IGD dan mendapatkan pertolongan pertama yang cepat oleh tim medis.
Pertolongan berupa pemberiaan defibrilasi.
Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat
termasuk dalam konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter harus
memperhatikan standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan terhadap pasien
gawat darurat harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien mungkin saja
gagal diselamatkan apabila penanganan terlambat.
Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk
memutuskan tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan didasarkan
pada kebutuhan medik pasien.
Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan
suatu kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian ini
akibat dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan medis
yang telah dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal seperti ini,
KTD tidak dapat digolongkan sebagai malpraktik. Dokter dan tenaga kesehatan lain juga
memperoleh perlindungan hukum, sepanjang tindakan yang diambil sudah didasarkan pada
standar profesi dan standar prosedur operasional yang sesuai. Berbagai macam aspek dapat
menjadi dasar pertimbangan keputusan medis, dari etika, hukum (yuridis─pemerintah dan
instansi, maupun agama), dan disiplin profesi.
Autopsi, baik klinis, forensik, maupun anatomi memerlukan berbagai persyaratan
tertentu. Secara klinis, jenazah tanpa identitas dapat diautopsi jika diduga jenazah menderita
penyakit yang berbahaya bagi masyarakat, dan apabila dalam waktu 2×24 jam tidak ada
keluarga yang datang ke rumah sakit. Menurut prosedur autopsi forensik, dokter dalam
mengautopsi harus menerima surat permintaan autopsi terlebih dahulu dari penyidik, dalam
hal ini Kepolisian.
Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk
mengetahui penyebab kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas masih
memerlukan beberapa syarat tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.
Ada beberapa dasar hukum yang mengatur tentang medikolegal kedokteran antara lain:
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam
UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun
secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan
gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah
sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah
terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana
dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang
spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7
UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik
untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sector kesehatan.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena
secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga
kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital
Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah:
An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or
whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate
medical attention. This condition continues until a determination has been made by a health
care professional that the patient’s life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun
sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false
emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah:
A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical
care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to
the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require admission
after work-up and observation.
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi
pasien diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal
adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat
melalui standing order yang disusun rumah sakit.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-
rumah sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang
awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan,
khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan
orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase
pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien.
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on
Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem
koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death)
apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner.
Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk
pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian
(death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit harus
menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan
benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner
diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang
akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD
tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada
POLRI.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas
Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan
Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah
disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian
rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan
kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo
untuk dilakukan visum et repertum.
Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah:
- meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan
- meninggal akibat keracunan
- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara kematiannya
alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban;
Berkaitan dengan praktik kedokteran, maka juga dibuat peraturan menteri mengenai izin
praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran yang membahas mengenai standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, organisasi profesi, serta Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, yang tertuang dalam pasal 1, yaitu :
Pasal 1
8. Standar Pelayanan adalah adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi
dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
10. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar prosedur
operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
11. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter
Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
13. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
Hak Dan Kewajiban Dokter Juga Dibahas Dalam Paragraf 6 UU RI NO 29 TAHUN 2004
Tentang Praktik Kedokteran:
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila Ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Profesionalisme juga menyangkut kedalam pembahasan mengenai sumber daya itu sendiri.
Misalnya yang di atur pada UU No, 36 tahun 2009 pasal 24:
Bab V Uu Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Sumber Daya Di Bidang Kesehatan
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
4. Pembahasan
Dokter merupakan sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang istimewa di
mata masyarakat. Bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tetapi karena jiwa
kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa
orang. Salah satu ciri seorang dokter yang profesional adalah mempunyai tugas dan
tanggung jawab tertentu baik terhadap individu dan masyarakat. Seorang dokter yang
profesional harus mampu mengenal kemampuan-kemampuan apa saja yang dimiliki maupun
tidak dimilikinya.
Kegawatdaruratan kardiovaskular merupakan salah satu kegawatdaruratan yang
sering mengakibatkan kematian. Oleh karena itu sebagai seorang dokter yang profesional,
wajib mengetahui tanda, gejala dan penanganannya. Berdasarkan kasus pada latar belakang,
tindakan dokter tersebut melakukan defibrilasi eksternal sudah sesuai dengan pentalaksanaan
pasien dengan fibrilasi ventrikel. Pasien dengan fibrilasi ventrikel merupakan suatu keadaan
darurat yang harus ditangani dengan cara defibrilasi eksternal agar pompa jantung kembali
adekuat. Tujuan utama tatalaksana ini adalah menghilangkan acaman kematian karena
fibrilasi ventrikel serta mengembalikan irama jantung dan cardiac output yang hilang dan
mengembalikan oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Tatalaksana ini juga mewajibkan dokter
dan tenaga medis lain mengerti akan beberapa hal antara lain anatomi dan fisiologi
kardiovaskuler, interpretasi gambaran EKG, prinsip-prinsip BCLS dan ACLS, serta prinsip-
prinsip keamanan terhadap listrik.
Dalam melakukan tatalaksana ini, seorang dokter benar-benar dituntut agar
profesional dalam menjalankan tugasnya. Bila seorang dokter salah dalam memberikan
tatalaksana terhadap seorang pasien, maka dapat berakibat fatal bagi kesehatan si pasien. Hal
ini juga ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
memenuhi standar profesi. Adapun yang dimaksud dengan standar profesi dalam pasal
tersebut adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik.
Tindakan dokter tersebut dalam tatalaksana pasien dengan kedaruratan kardiovaskular
sudah memenuhi beberapa ciri seorang dokter yang profesional. Namun, dalam hal ini dokter
tersebut tidak meminta persetujuan keluarga. Hal tersebut seharusnya tidak dilakukan kecuali
keluarga pasien tidak ada yang bisa dimintai persetujuan dan pasien benar-benar dalam
keadaan gawat darurat. Salah satu kewajiban dokter yang dikemukakan oleh Pengurus Besar
IDI dalam buku Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter antara lain adalah kewajiban
untuk menolong pasien dalam keadaan gawat darurat tanpa terpengaruh oleh
imbalan/honorarium.dalam hal ini, seorang dokter tidak boleh mendasari tindakannya hanya
karena imbalan yang akan diterima, namun harus lebih kepada rasa kemanusiaan dan empati.
Oleh karena itu, tindakan dokter tersebut sudah benar mengingat kondisi gawat darurat pasien
yang membutuhkan pertolongan segera.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam kasus 2 ini bila dilihat dari segi bioetik telah memenuhi Kaidah Dasar Bioetik
(KDB) yaitu Beneficence yaitu seorang dokter yang berbuat baik terhadap pasiennya. Jika
dilihat dari segi Medikolegal penanganan darurat yang telah dilakukan tim medis tersebut
telah benar. Hal ini harus dilakukan karena mengingat pasien dalam keadaan tidak sadarkan
diri, yang mana ini dapat mengancam nyawa pasien. Penanganan darurat tersebut juga harus
mematuhi hukum yang ada. Dalam hal ini prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, dan ada beberapa bidang juga mengacu kepada
sumpah dokter dan etika kedokteran. Sedangkan dari segi Profesionalisme berdasarkan kasus
pada latar belakang, tindakan dokter tersebut melakukan defibrilasi eksternal sudah sesuai
dengan pentalaksanaan pasien dengan fibrilasi ventrikel.
4.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini adalah Dokter maupun tenaga
medis lain, dalam melakukan pertolongan medis khususnya pada situasi gawat darurat
sebaiknya tetap memperhatikan dan menjalankan kaidah dasar bioetik, prosedur medikolegal
serta sikap profesionalisme yang benar dan sesuai. Agar kedepannya masalah medis yang
terjadi dapat ditangani dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Januar. 2010. Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yogyakarta:
Yayaysan Essentia Medica.
Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.
ONLINE :
www.scribd.com