Editor:
Dr. Asep Karsidi, M.Sc
Dr. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc
Prof. Dr. Aris Poniman
SAINS PRESS
Sarana Komunikasi Utama
2013
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
iv
Hak cipta dilindungi Undang-undang
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
NKRI dari Masa ke Masa
Bogor: SAINS PRESS
Sarana Komunikasi Utama
xxii + 220 halaman, 17 cm x 25 cm
ISBN: 978-979-1291-47-7
BAGIAN I
KAJIAN HISTORIS NKRI DALAM PERSPEKTIF GEOSPASIAL ................................. 1
I Dinamika Persoalan Batas Wilayah Laut Dalam Sejarah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ..................................................................................... 2
1.1. Pendahuluan ............................................................................ 2
1.2. Negara Bahari: Geografis dan Historis .............................................. 3
1.3. Konsep Batas Laut pada Masa Kolonial Belanda ................................... 7
1.4. Pemikiran Batas Wilayah Laut Masa Pergerakan Nasional ........................ 9
1.5. Konsep Batas Laut dalam Kemelut Konflik pada Masa Kemerdekaan ............ 12
1.6. Penutup .................................................................................. 18
1.7. Daftar Pustaka ......................................................................... 19
II Yurisdiksi Perairan Indonesia Dalam Rangka Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia ........................................................................ 21
2.1. Pendahuluan ........................................................................... 21
2.1.1. Sejarah perkembangan Teritorial dan Yurisdiksi Kedaulatan NKRI .............. 21
2.1.2. Implementasi UNCLOS ................................................................ 22
2.2. Deskripsi Geografi Indonesia ........................................................ 23
2.3. Garis Pangkal Kepulauan ( Archipelagic Baselines) .............................. 24
2.4. Wilayah Laut NKRI dan Hak-Hak Berdaulat ....................................... 25
2.5. Batas –Batas Maritim ................................................................. 29
2.6. Batas maritim yang sudah ditetapkan ............................................. 30
2.7. Batas maritim yang sedang dirundingkan ......................................... 32
2.8. Batas Maritim yang belum dirundingkan .......................................... 32
2.9. Batas yang tidak perlu dirundingkan ............................................. 33
2.10. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) .............................................. 33
2.11. Penguasaan dan Pemajuan Iptek .................................................... 33
2.12. Meningkatkan Kualitas SDM dalam Pembangunan Kelautan ..................... 36
2.13. Penutup ................................................................................. 37
2.14. Daftar Pustaka ......................................................................... 38
vi
BAGIAN II
ASPEK TEKNIS PEMETAAN BATAS WILAYAH .................................................... 61
V Peran Badan Informasi Geospasial Dalam Penataan Batas Wilayah ................... 62
5.1 Pendahuluan .............................................................................. 62
5.2. Peran BIG dalam Penetapan Wilayah Antar Negara ................................. 63
5.3. Peran BIG dalam Penetapan Wilayah administrasi Propinsi, Kabupaten/Kota .. 65
5.4. Peran BIG dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan .................................. 66
5.4.1. Peran BIG dalam Pembinaan Pembangunan IG Tematik (IGT) ................ 67
5.4.2. Peran BIG dalam menunjang penambahan luas wilayah ZEE ................. 70
5.4.3. Indonesia dan Zona Maritimnya ................................................... 70
5.4.4. Submisi parsial landas kontinen Indonesia ...................................... 71
5.5. Penutup ..................................................................................... 73
5.6. Daftar Pustaka ............................................................................. 74
VI Aspek Teknis Pemetaan Batas Batas Wilayah Dalam Upaya
Percepatan Penyelesaian Batas Daerah .................................................... 75
6.1. Pendahuluan ......................................................................... 75
6.2. Mewujudkan Referensi Tunggal .................................................... 77
6.3. Mewujudkan Informasi Geospasial Dasar ........................................ 78
6.4. Informasi Geospasial Tematik ..................................................... 80
6.5. Percepatan Penyelesaian Batas Daerah ......................................... 80
6.6. Penutup ............................................................................... 84
6.7. Daftar Pustaka ....................................................................... 84
BAGIAN III
BATAS WILAYAH, PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM & DAYA DUKUNG BUDAYA ...... 87
VII Daya Dukung Budaya Terhadap Kesinambungan Sumberdaya Alam ................... 88
7.1. Kebudayaan, Kesejahteraan dan Daya Dukung Alam ........................... 88
7.2. Integritas Penduduk pada Masyarakat Metro Island ............................ 91
7.3. Penutup ................................................................................ 92
7.4. Daftar Pustaka ........................................................................ 92
vii
BAGIAN IV
HARMONISASI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM KERANGKA NKRI ............................... 149
XII Tanah Untuk Rakyat: Strategi Menjaga Harmoni Sosial & Keutuhan NKRI ............ 150
12.1. Pendahuluan ........................................................................... 150
12.2. Realitas Pertanahan di Negeri Agraris ............................................. 151
12.3. Konflik Tidak Kunjung ‘Padam’ ..................................................... 155
12.4. Reforma Agraria: Peluang Menyelesaikan Berbagai Persoalan ................. 159
12.5. Informasi geospasial: Prakondisi Utama Implementasi reforma Agraria ...... 161
12.6. Penutup ................................................................................ 164
12.7. Daftar Pustaka ........................................................................ 164
XIII Diaspora Dan Urgensi Pemetaan Etnis Maritim Nusantara:
Sebuah Perspektif Historis .................................................................. 167
13.1. Pendahuluan ........................................................................ 167
13.2. Kepulauan Indonesia: Sebuah Zone Terbuka ................................... 168
13.3. Diaspora Austronesia ............................................................... 170
13.4. Diaspora Internal ................................................................... 173
viii
EPILOG
PERKEMBANGAN PEMAHAMAN WILAYAH NKRI DAN TANTANGAN KE DEPAN .................. 209
ix
xi
P
uji syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat
dan kemudahan sehingga tersusun
buku “NKRI dari Masa ke Masa”. Buku
ini menggambarkan perjuangan
pemerintah Indonesia di dalam
mewujudkan cita-cita sebagai
negara yang berwawasan nusantara.
Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 berbunyi Negara
Indonesia ialah negara kesatuan
yang berbentuk Republik. Dalam
Amandemen UUD 1945 Bab IX A
tentang Wilayah Negara, Pasal 25A
tercantum Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Mengapa wilayah NKRI harus diperjuangkan sampai hari ini? Perlu diketahui,
ketika 67 tahun yang lalu, Indonesia diproklamirkan sebagai negara yang
merdeka, batas wilayah laut Indonesia mengikuti “Territoriale Zee en Marieteme
Kringen Ordonnantie 1939” (Staatsblad. 1939 No. 442). Dalam peraturan zaman
Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di
sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil
xii
xiii
xiv
P
uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatNya buku
NKRI dari Masa ke Masa ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan bunga
rampai penelitian dan pengkajian informasi geospasial yang menyajikan
dinamika wilayah NKRI mulai dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 sampai masa kini dan upaya untuk mengembangkan
visi kedepan yang lebih baik.
Pada awal buku ini diungkapkan secara historis bagaimana bangsa Indonesia
berhasil mengembangkan pemahaman wilayah NKRI yang sebagian besar berupa
laut yang ditaburi pulau-pulau. Sejarah membuktikan bahwa konsep batas
wilayah NKRI merupakan perjuangan putra-putri terbaik bangsa. Perjuangan
tersebut dilandasi semangat menyatukan wilayah daratan dan lautan, mulai dari
konsep tanah-air, wawasan nusantara, negara kepulauan sampai benua maritime,
termasuk perjuangan menambah wilayah landas kontinental melebihi 200 mil
laut berbasiskan iptek informasi geospasial.
Beberapa bagian dari buku ini juga mengungkapkan diaspora masyarakat
maritim yang mengarungi lautan luas dan tersebar di berbagai pulau di wilayah
NKRI, dengan pengetahuan dan kearifan lokalnya, mengembangkan budaya
maritim dan pengelolaan sumber daya alam serta lingkungan hidupnya.
Beberapa masyarakat maritim secara tradisional mampu mengembangkan
diri dalam kehidupannya di pulau-pulau kecil. Mereka dapat menikmati dan
mengembangkan kehidupan mandiri dengan suasana kebaharian. Namun
diantara mereka juga masih ada yang belum dapat menikmati kehidupan yang
layak karena terjadinya disparitas hasil pembangunan antar wilayah. Dengan
memahami kondisi geografis sebagai negara kepulauan berwawasan Nusantara,
diharapkan dapat menginpirasi untuk mensinergikan kekuatan mandiri bangsa
dan mensintesiskan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan
kebhinekatunggalikaan budaya beserta sumberdaya alam dan lingkungan
hidupnya.
xv
November 2012
Editor
xvi
S
ejarah membuktikan, konsep wilayah Negara Indonesia dan batas-
batasnya adalah hasil perjuangan putra putri terbaik bangsa. Diawali
dengan Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957 konkritnya,
para pendiri bangsa berusaha menerapkan asas negara kepulauan kepada dunia
internasional.
Wilayah kepulauan tersebut mencakup perairan kepulauan, perairan
pedalaman, dan laut teritorial selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-
pulau terluar pada saat air surut terendah. Tekad tersebut dilandasi semangat
menyatukan wilayah daratan dan lautan yang tak pernah dilakukan kolonial
Belanda.
Konsep negara kepulauan ini akhirnya diterima oleh masyarakat internasional
seperti tertuang pada Bagian IV UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum
Laut)1982. Sejak saat itulah luas laut wilayah Indonesia bertambah 10 kali, dari
sekitar 300.000 km2 menjadi 3.000.000 km2. Indonesia yang tadinya tidak memiliki
perairan kepulauan berubah menjadi mempunyai perairan kepulauan. Indonesia
juga berhak memiliki perairan pedalaman yang sebelumnya tak dimilikinya.
Dalam UNCLOS didefinisikan bahwa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
hingga sejauh 200 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Dengan ketentuan UNCLOS pula, dengan kondisi tertentu, perluasan batas landas
kontinen (extended continental shelf) dapat melebihi 200 mil laut. Indonesia pun
memanfaatkan ketentuan ini dengan menunjukkan bukti ilmiah berdasarkan
kegiatan survei dan pemetaan yang dikoordinir oleh Bakosurtanal (kini Badan
Informasi Geospasial atau disingkat BIG).
xvii
Gambar 1. Wilayah Kedaulatan dan Yurisdiksi saat Proklamasi 1945 hingga Pra-
Deklarasi Djoeanda 1957.
xviii
xix
xx
xxi
xxii
1.1. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak 17 Agustus 1945 Indonesia telah
menjadi bangsa yang merdeka. Namun demikian pada waktu itu kemerdekan
tersebut lebih bersifat politis. Secara politis sejak saat itu bangsa Indonesia
telah menyatakan dirinya bebas dari belenggu kolonialisme bangsa lain,
namun di bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi dan hukum, Indonesia
masih belum dapat lepas sepenuhnya dari bekas kolonialis Belanda. Di bidang
ekonomi, hampir semua perusahaan besar dan menengah masih dimiliki oleh
orang-orang Belanda ataupun orang asing lainnya. Bahkan Indonesia pada
saat itu belum mampu untuk segera melakukan dekolonisasi sistem ekonomi.
Cita-cita untuk mengganti sistem ekonomi kolonial yang bersifat kapitalistik ke
sistem ekonomi nasional yang berbasiskan keadilan sosial membutuhkan waktu
yang sangat panjang dari yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan gagasan
1
Versi bahasa Inggris makalah ini pernah dipresentasikan pada The 22nd Conference of International
Association of Historian of Asia dengan judul “Ocean Territory Border Concept of Indonesia: A Historical
Perspective (Surakarta: 2-6 July 2012).
2
Staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
C. Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (Honolulu: University of Hawaii
Press, 1989), hlm. 16.
W.F. Wetheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The hague: W. van Hoeve
, 1969), hlm. 16-37. Lihat juga A.S. Walcott, Java and her neighbors: A traveler’s note in Java, Cele-
bes, the Moluccas and Sumatra (New York and London: Knickerbocker Press, 1914), hlm. 1. Lihat juga
Koninklijke Paketvaart Maatschappij, KPM: Official yearbook 1837-1938 (Batavia: De Unie, 1938), hlm.
37. Lihat juga S. Ali, ‘Inter-island shipping’, Bulletin of Indonesian Economic Studies 3 (1966), hlm.
27. Jumlah pulau tersebut merupakan hasil survei dan verifikasi nama rupabumi tahun 2012 oleh Tim
Nasional Pembakuan Nama Rupabumi berdasarkan Perpres Nomor 112 tahun 2006.
T.H. Purwaka, Indonesian interisland shipping: An assessment of the relationship of government
policies and quality of shipping services (Ph.D. dissertation, University of Hawaii, 1989) 3-5. Lihat juga
Laode M. Kamaluddin, Indonesia sebagai Negara Maritimdari Sudut Pandang Ekonomi (Malang: Univer-
sitas Muhamaddiyah Malang, 2005), hlm. 1.
J.W. Christie, “Asian Sea Trade between the Tenth and Thriteenth Centuries and Its Impact on
the States of Java and Bali”, dalam: H.P. Ray (ed.), Archeology of Seafaring: The Indian Ocean in the
Ancient Period (Delhi: Pragati, 1999), hlm. 222-224.
Lihat H. Blink, “De Pacific in haar economisch-geographische opkomst en tegenwoordige beteeke-
nis”, Tijdschrijt voor Economische Geographyvol. 13,(1922), hlm. 325-330.
Lihat D. MacIntyre, Sea Power in the Pacific: A History from the Sixteenth Century to the Present
Day(London: Baker, 1972), hlm. 1-48.
Menurut Ricklefs, sesungguhnya orang Belanda tidak menciptakan Indonesia, mereka hanya me-
nentukan luasnya wilayah Indonesia, lihat M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since ca. 1300,
London: Macmillan, 1981, 138. Sementara itu David Henley mengatakan bahwa dengan menetapkan
batas-batas wilayah Indonesia berarti pemerintah kolonial Belanda telah menetapkan siapa yang men-
jadi bangsa Indonesia dan siapa yang bukan. Lihat D. Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial
Context: Minahasa in the Dutch East Indies(Leiden: KITLV Press, 1996), hlm. 5.
10
Pierre-Ives Manguin, ‘The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleet in Trade and War (Fifteenth
to Seventeenth Centuries), dalam: A. Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power,
and Belief (Ithaca-London: Cornell University Press, 1993), hlm. 198-199.
11
O.W. Wolters, History, Culture and Region in Southeast Asian Perspective (Singapore: Institute of
15
S.J. Villiers, ‘Makassar: The Rise and Fall of an East Indonesian Maritime Trading State, 1512-
1669’, dalam: J. Kathirithamby-Wells & S.J.Villiers (eds), The Southeast Asian Port and Polity: Rise and
Demise, (Singapore: Singapore University Press, 1990), hlm. 154. Lihat juga F.W. Stapel, Het Bongais
Verdrag, (Groningen: Wolters, 1922), hlm. 14.
16
E.L. Poelinggomang, Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada
Abad ke-19, (Disertasi pada Free University Amsterdam, 1991), hlm. 33.
17
Lihat A. Hamzah, Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia: Himpunan Ordonansi, Undang-undang
dan Peraturan Lainnya (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), hlm. 128.
18
J. Kathirithamby-Wells & J. Villiers (eds), The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise
(Singapore: Singapore University Press, 1990), hlm. 154.
19
John G. Butcher, ‘Resink Revisited: A Note on the Territorial Waters of the Self-Governing Realm
of the Netherlands Indies in the Late 1980s’, Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 164-1
(2008), hlm. 1.
20
Susanto Zuhdi, ‘Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia’, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Universitas Indonesia (Jakarta: 25 Maret 2006), hlm. 3.
21
R.E. Elson,The Idea of Indonesia: A History (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hlm.
65.
22
Zuhdi, ‘Perspektif Tanah-Air’, hlm. 4.
23
Zuhdi, Ibid., hlm. 10-12.
1.5. Konsep Batas Laut dalam Kemelut Konflik pada Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata
juga belum menyelesaikan masalah mengenai hubungan-hubungan kolonial
antara Indonesia dan Belanda. Bahkan pernyataan kemerdekaan itu merupakan
awal dari sebuah konflik berkepanjangan antara kekuatan bekas kolonialis
Belanda yang ingin berkuasa kembali dan bekas bangsa terjajah yang ingin tetap
mempertahankan kemerdekaannya. Konflik dan peperangan antara Indonesia
dan Belanda itu terutama bersumber dari ketidakmauan Belanda untuk mengakui
24
Pada than 1962 misalnya KPM membuka pelayaran “through bill of lading” (konosement terusan)
untuk barang dan penumpang dari Papua Barat di Singapura untuk tujuan ke Eropa; lihat “Surat Agent
KPM di Singapura kepada Vertegenwoordiger der NV KPM voor Nieuw Guinea 14 Maret 1961”, dalam
koleksi KPM/KJCPL, Inv. Nr. 675, Nationaal Archief Den Haag.
25
Ketegangan-ketegangan hubungan antara Belanda dan Republik Indonesia yang diuraikan dalam
makalah ini diambil dari disertasi penulis. Lihat Singgih Tri Sulistiyono, The Java Sea Network: Pat-
terns in the Development of Interregional Shipping and Trade in the Process of Economic Integration
in Indonesia, 1870s-1970s (Disertasi Leiden University, 2003), hlm. 224-229.
26
Rupanya Sorong menjadi basis kekuatan Belanda. Pada tanggal 8 Oktober 1962 sejumlah 150
tentara dari Merauke diangkut ke Sorong, demikian juga pada tanggal 15 Oktober 1962 sebanyak 175
tentara dari Fakfak, dan tanggal 22 Oktober 1962 diangkut 205 orang tentara dari Kaimana. Lihat
“Surat Vertegenwoordiger Hollandia (Vert. N.G.) kepada Gezagvoeder Karosa, Kasimbar, Kaloekoe,
31 Agustus 1962 (Strikt Vertrouwelijk)”, dalam koleksi KPM/KJCPL, No. Inv. 675, Nationaal Archief Den
Haag.
27
Dokumen-dokumen mengenai nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dapat dilihat pada
koleksi arsip KPM/KJCPL, No. Inv. 1138, volg. Nummer 3, Nationaal Archief Den Haag.
28
Munadjat Danusaputro, Wawasan Nusantara (dalam Ilmu, Politik dan Hukum) (Bandung: Alumni,
1879), hlm. 85.
1.6. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep batas wilayah negara
yang digunakan oleh pemerintah Indonesia bukan merupakan warisan dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konsep ‘tanah air’, ‘tanah tumpah darah’,
‘nusantara’ merupakan konsep-konsep yang reinvented dan reinterpreted dari
konsep-konsep tradisional yang berakar dari sejarah Nusantara yang dilakukan
oleh para tokoh nasionalis selama masa pergerakan nasional. Kesadaran inilah
yang mengkondisikan mengapa proses dekolonisasi di bidang hukum laut
(maritime law) lebih cepat bila dibandingkan dengan hukum lain seperti hukum
pidana.
Cepatnya proses dekolonisasi hukum laut ini tidak dapat dipisahkan dari
29
Mengenai teks selengkapnya tentang pengumuman ini lihat ‘Pengumuman Pemerinth mengenai
Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia, 13 Desember 1957’, dalam Hamzah, Laut, Teritorial,
hlm. 143-145.
30
‘Pengumuman Pemerintah’, Ibid., hlm. 91-92
31
‘Pengumuman Pemerintah’, Ibid.
2.1. Pendahuluan
2.1.1. Sejarah Perkembangan Wilayah Teritorial dan Yurisdiksi NKRI
Sejak konsepsi Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO)1939
yang memisah-misahkan wilayah Indonesia, yang terdiri dari pulau-pulau dan
kepulauan, oleh selat dan laut, sampai dengan berlaku efektifnya UNCLOS III
pada tanggal 16 November 1994 yang mengakui Indonesia sebagai negara
kepulauan, maka wilayah Indonesia telah mengalami penambahan luas yang
sangat signifikan tanpa sebutir peluru pun yang dimuntahkan. Dengan konsepsi
negara kepulauan ini, tidak hanya menjadikan wilayah Indonesia bertambah luas,
tetapi kemudian diperoleh pengakuan internasional atas hak-hak kedaulatan
penuh di laut wilayah yang terdiri dari perairan teritorial, perairan pedalaman,
dan perairan kepulauan, serta hak-hak berdaulat (yurisdiksi) di wilayah laut yang
terdiri dari zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.
Berdasarkan konsepsi TZMKO tahun 1939 Indonesia hanya memiliki laut
wilayah (perairan teritorial) yang lebarnya hanya 3 mil laut saja, yang mengelilingi
setiap pulau atau bagian dari pulau-pulau Indonesia, dan yang diukur dari garis
pantai pulau-pulau tersebut. Diluar 3 mil laut territorial, pada waktu itu tidak
dikenal hak berdaulat atas wilayah laut lainnya (yurisdiksi), akan tetapi yang
ada adalah laut bebas. Sehingga tidak ada kesatuan wilayah tanah-air negara
b.Perairan Pedalaman
Pasal 8 UNCLOS 82 mendefinisikan perairan pedalaman atau internal waters
merupakan perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal yang diukur kearah
daratan. Perairan pedalaman di Indonesia adalah laut yang ditarik dari garis-garis
pangkal ke arah darat, yang tidak memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari
pantai. Kedaulatan Indonesia di perairan ini adalah mutlak dan kapal-kapal asing
pun tidak mempunyai hak lewat di perairan tersebut.
d. Zona Tambahan
Pasal 33 UNCLOS-82 menyatakan bahwa zona tambahan adalah zona maritim
yang berdampingan dengan laut teritorial dan tidak boleh melebihi 24 mil dari
garis pangkal. Status hukum Zona Tambahan adalah merupakan yurisdiksi khusus
negara untuk melaksanakan pengawasan (termasuk kewenangan melakukan
”pengejaran segera” atau Hot Pursuit) yang berkaitan dengan bea cukai/pabean,
fiskal, pengawasan imigrasi dan karantina kesehatan, maupun pengamanan di
wilayahnya.
f. Landas Kontinen
Landas kontinen menurut Pasal 76 UNCLOS 82 meliputi dasar laut dan tanah
di bawahnya (seabed dan subsoil) yang terletak di luar laut teritorial di sepanjang
kelanjutan alamiah wilayah daratnya hingga pinggiran luar tepi kontinen
(continental margin), atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal, apabila
pinggiran luar tepi kontinen tidak melewati jarak tersebut.
Lebih lanjut diatur dalam pasal 76 bahwa batas Landas Kontinen adalah sama
lebar dengan batas ZEE (200 mil-laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil-laut
dari garis pangkal dengan ketentuan- ketentuan tertentu. Selain data bathymetri,
maka data geologi dan geofisik yang relevan sangat diperlukan untuk dapat
menjadi bukti ilmiah apakah kondisi fisik untuk klaim perpanjangan atas landas
kontinen dapat dipenuhi. Penegasan klaim diluar 200 mil laut ini disampaikan
dengan cara mengajukan klaim ke Commission on the Limits of Continental Shelf
(CLCS), antara lain jarak, kedalaman dan ketebalan sedimen.
Secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia dimungkinkan dapat
memiliki tambahan wilayah landas kontinen yang dapat diajukan sesuai dengan
ketentuan Pasal 76 UNCLOS-82. Hasil desktop studies berdasarkan data bathymetry
yang dihasilkan dari pekerjaan “Digital Marine Resources Mapping Project (DMRM
project)“ yang telah dilaksanakan oleh BAKOSURTANAL antara tahun 1996 dan
1999, juga dengan menggunakan data global sedimen thicknes telah memberi
indikasi awal tentang prolongasi dari landas kontinen pada daerah di sebelah
barat Sumatera, selatan Nusa Tenggara dan utara Papua. Sehubungan dengan
konvensi ini, Indonesia telah berupaya untuk melakukan pengumpulan data dan
pengkajian terhadap kemungkinan untuk dapat melakukan submisi (submission)
ke PBB mengenai batas LKI diluar 200 mil laut dengan melakukan pengambilan
data seismic multichannel dan bathymetri di perairan di sebelah barat Sumatera,
selatan Nusa Tenggara dan Utara Papua.
Landas kontinen bukanlah merupakan wilayah kedaulatan nasional Indonesia,
tetapi Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terdapat
di dasar laut dan tanah di bawahnya. Sumber-sumber daya mineral, seperti
minyak, gas dan mineral lainnya yang terdapat di landas kontinen merupakan
kekayaan yang harus diperhatikan untuk diketahui nilai ekonomiknya.
Submisi wilayah Batas LKI di sebelah Barat Sumatera secara parsial telah
disampaikan ke the Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS) pada 16
Juni 2008 dan dipresentasikan pada 24 Maret 2009 oleh Tim Batas landas Kontinen
2.13. Penutup
Sektor kelautan merupakan pilar ekonomi Pembangunan Nasional dan SDM
merupakan satu aspek penting dalam pembangunan kelautan yang menjadi
bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia yang berkesinambungan.
Pembangunan kelautan merupakan pembangunan wilayah perairan Indonesia
sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan nasional bangsa Indonesia.
Perlu perubahan paradigma aparatur maupun non aparatur yang masih
berparadigma darat (land based sosio economic oriented) menjadi ke laut
3.1. Pendahuluan
Pengamanan wilayah NKRI bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan
saja, akan tetapi menyangkut masalah politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya,
kesejahteraan dan dokumentasi informasi geospasial. Layaknya sebuah
lukisan zamrud khatulistiwa yang dibingkai, wilayah NKRI memiliki batas-
batas kedaulatan dan hak berdaulatnya sebagai bingkai. Batas wilayah NKRI
belakangan ini menjadi isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif,
legislatif, aparatur pertahanan, maupun masyarakat umum, termasuk kalangan
elit politik (pusat dan daerah). Sensitivitas tersebut kemudian diikuti dengan
sentimental dan emosional yang kadang dapat membuat kehilangan konteks
terhadap permasalahan yang sebenarnya. Akibatnya pengambil keputusan bisa
keliru.
Menyimak pernyataan Pangdam Udayana yang dikutip oleh harian Kompas
tertanggal 4 Januari 2006, dimana dinyatakan bahwa dukungan undang-
undang khusus perbatasan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau
NKRI kini terasa kian mendesak[1], undang-undang itu ibarat sertifikat tanah
untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya
penyerobotan yang akan dibahas berikut ini. Sentimen dan emosi itu
berkembang sejak diputuskannya kasus Sipadan dan Ligitan oleh Mahkamah
Internasional serta mencuatnya kasus Ambalat beberapa waktu lalu. Hal ini
tentunya merupakan suatu tanda masih adanya kepekaan nasionalisme yang baik
dari setiap anggota masyarakat Indonesia. Tetapi hal ini juga memerlukan suatu
penanganan khusus yang tenang, cermat dan cerdas. Informasi permasalahan
*)
SobarSutisna, Ir., M.Surv.Sc., Ph.D., Peneliti Utama Bakosurtanal, dan praktisi perbatasan.
Status keduapulautersebutmasihmenjadipolemik di masyarakat.Lihat: PanglimaKodamUdayana:
UU PerbatasanMendesak, Kompas, 4 Januari 2006
Kompas, 4 Januari 2006
3.5. Penutup
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa masyarakat Indonesia tidak
perlu ragu atas status kedaulatan dari wilayah Indonesia, terutama yang berada
di perbatasan dengan negara tetangga, karena semuanya telah jelas diatur dalam
peraturan-perundang-undangan yang sah. Yang masih belum tuntas adalah
tinggal sebagaian kecil dari perbatasan laut wilayah saja, seperti di selat Malaka
bagian Selatan, selat Singapura bagian Timur, di sekitar perairan Tanjung Datu,
periran Selat Letti, Selat Wetar, Selat Ombay, dan Laut Sawu, selebihnya yang
belum tuntas adalah di wilayah perairan hak-berdaulat, terutama zona ekonomi
eksklusif (ZEE). Berbagai ketentuan perundangan yang kita miliki telah cukup
menjadi landasan integritas wilayah NKRI. Tinggal persoalan aktual sekarang
ini adalah bagaimana menjaga, mengawasi, mengamankan dan mengelolanya
dengan baik dari berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan.
Dalam pandangan penulis, pada saat ini yang perlu dikedepankan oleh
Hassan Wirajuda, Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
Pandang wilayah Perbatasan Indonesia, Editor: Dr. Sobar Sutisna (Pusat Pemetaan Batas Wilayah,
Bakosurtanal)
4.1. Pendahuluan
Kekayaan alam yang berlimpah di lautan mendorong negara-negara pantai
untuk memperluas garis batas yurisdiksinya, misalnya dengan klaim atas landas
kontinen yang dimungkinkan di dalamnya mengandung kekayaan alam. Klaim
atas landas kontinen pertama kali dideklarasikan oleh Amerika Serikat secara
sepihak melalui Proklamasi Truman pada tanggal 28 September 1945 tentang
“Continental Shelf”. Klaim tersebut segera diikuti oleh negara-negara lain dan
merupakan awal lahirnya pengertian landas kontinen secara yuridis.
Agar tidak terjadi sengketa, dirasakan perlu adanya hukum internasional yang
mengatur tentang landas kontinen. Untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut,
diadakan Konferensi Hukum Laut PBB I di Jenewa tahun 1958 yang menghasilkan
kesepakatan yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS) I, yang didalamnya juga membahas tentang landas kontinen. Pada
tahun 1960 pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan lebih spesifik diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia yang mengacu
pada UNCLOS I.
Ketentuan landas kontinen dalam UNCLOS I yang mendasarkan pada kriteria
“technical exploitability” sudah tidak memuaskan lagi terutama bagi negara-
negara yang sedang berkembang dan tidak mempunyai kemampuan serta
teknologi untuk memanfaatkannya. Hal ini merupakan salah satu alasan untuk
meninjau kembali UNCLOS I.
Pada saat perumusan UNCLOS tahun 1958 teknik pengeboran minyak lepas
pantai belum melebihi kedalaman 50 meter, sehingga penetapan batas terluar
landas kontinen atas dasar ukuran geologis yakni batas kedalaman 200 meter
hingga kedalaman air yang masih memungkinkan eksploitasi kekayaan alamnya
dianggap sebagai penyelesaian yang memuaskan. Para ahli saat itu berpendapat
bahwa kemampuan teknologi untuk melakukan eksploitasi sampai kedalaman
200 meter masih akan terjadi jauh di kemudian hari.
Akan tetapi perkiraan itu keliru, karena perkembangan teknologi pengeboran
maju sedemikian pesatnya. Menjelang tahun 1965, ekspedisi Glomar Challenger
mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam bawah laut hingga
mencapai kedalaman beberapa ribu meter (Hasyim Djalal, dalam Sutisna 2004).
Pesatnya perkembangan teknologi pertambangan tersebut membuat konsep
landas kontinen pada UNCLOS 1958 yang mendasarkan pada kemampuan
eksploitasi sumberdaya alam dipertanyakan dan tidak lagi memuaskan semua
pihak.
Ketidakjelasan batasan ini mendapat protes dari negara-negara berkembang
dan kemudian mendapat perhatian PBB dengan ditetapkannya kekayaan alam di
luar batas yurisdiksi nasional sebagai “common heritage of mankind” yang diurus
oleh Badan Internasional untuk kepentingan seluruh umat manusia. Wacana
tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Konferensi Hukum Laut PBB II
Garis Pangkal
Berdasarkan titik dasar dalam PP. 38
Batas Legal
Garis ZEE, 200 mil laut dari garis pangkal dan hasil
perjanjian dengan negara tetangga
Pasal 76 UNCLOS
Menentukan garis Constraint (Cut-Off)
Garis Formula
Pertama-tama menentukan kaki lereng (the Foot of the Slope / FOS
Final Evaluation
Evaluation that all contributing points are <60nm apart
= Garis Formula
Penarikan garis batas terluar landas kontinen harus didasarkan pada
penentuan kaki lereng atau Foot of the Slope (FOS), yang didefinisikan sebagai
perubahan maximum gradien pada permukaan dasar laut. Penarikan garis
formula dapat dilakukan dengan cara salah satu atau kombinasi dari dua cara
sebagai berikut:
= Rumus jarak merupakan garis berjarak 60 mil laut dari FOS
BAB IV Instalasi
Pasal 6 dan 7
= Mengatur tentang pembangunan instalasi untuk kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi di Landas Kontinen.
= Penetapan daerah terlarang (safety zone) yang lebarnya tidak
melebihi 500 meter dihitung dari setiap titik terluar instalasi dimana
kapal pihak ketiga dilarang lewat dan membuang/membongkar
sauh.
= Penetapan daerah terbatas (prohibited area) selebar tidak melebihi
1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang,
dimana kapal-kapal pihak ketiga boleh lewat tetapi dilarang
membuang atau membongkar sauh.
BAB V Pencemaran
Pasal 8
= Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilaksanakan di landas
kontinen berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh
karena itu diwajibkan mengambil langkah-langkah pencegahan
4.7. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yang berkaitan
dengan penetapan Batas Landas Kontinen Indonesia, yaitu:
1. Pengertian landas kontinen berdasarkan istilah geologi (UNCLOS 1958)
dengan pengertian hukum yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982) adalah
berbeda, sehingga Indonesia perlu meninjau kembali Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1973.
2. Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dengan negara
sekitarnya umumnya masih didasarkan pada UNCLOS 1958, sehingga perlu
dikaji secara seksama apakah perlu untuk merevisi perjanjian, terutama
pertimbangan kerugian Indonesia akibat perjanjian yang telah ada.
3. Dari aspek teknis, persoalan utama yang dihadapi berupa masalah biaya
untuk keperluan survei. Semua data dan dokumen terkait (peta dan
keterangan lainnya) yang mengidentifikasikan tepian kontinen terutama
untuk mengklaim batas landas kontinen yang melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal, akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Perlu inventarisasi
ulang semua data yang telah ada, terutama yang telah dikumpulkan oleh
Dishidros, Bakosurtanal, PPGL, dan perusahaan- perusahaan eksplorasi
lepas pantai.
Asep Karsidi
5.1. Pendahuluan
Lahirnya UU Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG)
mengukuhkan pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan kemudahan akses
IG yang dapat dipertanggungjawabkan. Informasi geospasial adalah informasi
menyangkut aspek keruangan yang menunjukkan posisi, letak dan lokasi suatu
objek atau kejadian yang berada dibawah, pada atau diatas permukaan bumi
yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu. Wujud IG disajikan dalam
bentuk peta atau catatan koordinat. IG terdiri dari IG Dasar (IGD) dan IG Tematik
(IGT). Dalam undang-undang tersebut dalam pasal 22 ayat 2 diamanatkan
bahwa penyelenggara IG yang berjenis IGD adalah Badan Informasi Geospasial
(BIG) sebagai lembaga Pemerintah yang menggantikan Badan Koordinasi Survei
dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). BIG lahir sebagai transformasi dari
BAKOSURTANAL yang memiliki tugas dan fungsi lebih antisipasif ke depan yakni
menyambut perkembangan–kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik
teknologi pembangunan IG maupun teknologi ICT. BIG memiliki tugas untuk
membangun IG yang tentunya melalui proses yang selama ini dilaksanakan
yakni melalui kegiatan Survey dan Pemetaan, melakukan pembinaan dan
pembangunan infrastruktur penyebar luasan dan berbagi-pakai IG. IG Dasar
Gambar 5. 1. Peta wilayah NKRI hasil sidang Tim Nasional tentang penetapan Peta NKRI, edisi 17
Agustus 2012
analisis lebih lanjut. Ina-geoportal ini pula menjadi alat pengujian apakah IGT
yang bersangkutan dibangun diatas IGD yang benar. Dalam pembangunan IGT
yang tidak dibangun oleh instansi yang berwenang namun dibutuhkan sebagai
bahagian IGT untuk kepentingan yang lainnya misalnya untuk penyusunan
rencana tata ruang, maka IGT tersebut menjadi kewenangan BIG untuk
membangunnya. IGT lereng misalnya yang menggambarkan kelas kemiringan
lahan, atau upaya pengintegrasian IGT-IGT lainnya, misalnya IGT kemampuan
lahan yang menyajikan gambaran kemampuan kondisi fisik suatu wilayah sebagai
penggabungan layer ketinggian (dari RBI), kemiringan (BIG) dan jenis tanah (IGT
dari Kementerian Pertanian).
Bulan Februari tahun 2012, BIG telah melaksanakan RakorNas Survei dan
Pemetaan dengan tujuan untuk duduk bersama menyusun rencana aksi nasional
survei dan pemetaan pada masing-masing instansi yang berwenang (siapa
melakukan apa sesuai fungsinya masing-masing) dalam satu referensi IG dasar
dan metode prosedur serta standar yang disepakati bersama. Dari hasil rakor ini
pula ada yang dijadikan bahan penyusunan peraturan perundangan turunan
dari UU IG agar UU ini dapat diimplementasikan. Dalam rakor tersebut dilakukan
Gambar 5. 5. Peta batas terluar landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut di sebelah
barat laut Pulau Sumatera yang telah disepakati bersama antara Pemerintah
Indonesia dan UN-CLCS
5.5. Penutup
Masih banyak kasus yang dijumpai di lapangan yang menunjukkan belum
tertata dan terintegrasinya IG tematik, hal ini menunjukkan bahwa masing-
masing instansi masih jalan sendiri-sendiri. Lahirnya UU no 4 tahun 2011
tentang Informasi Geospasial merupakan kesempatan baik untuk menata dan
membangun sistem pemetaan nasional agar terbangun informasi geospasial
yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai mana diamanatkan oleh undang
undang ini.
Jaminan tersedinya IG dasar yang berkualitas merupakan tugas utama BIG
untuk segera dapat memenuhinya, serta menjadikan sumber utama referensi
tunggal untuk penyelengaraan IG tematik. Tentu pekerjaan ini tidak ringan
mengingat luas wilayah NKRI yang hampir mencapai 8 juta km2 termasuk
wilayah perairannya. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut baik pada tingkat
kebijakan maupun teknis sehingga penyelenggaraan IG yang berkualitas dan
mudah diakses dapat cepat terwujud.
Dalam penetapan batas wilayah baik wilayah antar negara maupun wilayah
administrasi di dalam negeri BIG berperan sebagai juru ukur untuk memetakan
delineasi batas wilayah termasuk embarkasinya. Kementerian dalam negeri
merupakan instansi yang berwenang penetapan yuridis untuk batas wilayah
administrasi dalam negeri. Kementerian Luar Negeri sebagai penanggung jawab
perundingan batas wilayah antar negara.
Pembangunan IG tematik diharapkan mengacu kepada norma, standard dan
metode yang baku serta merujuk kepada IG dasar agar IG tematik terbangun
6.1. Pendahuluan
Batas antar daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia
banyak ditemui berupa batas alam. Gunung, punggung bukit, sungai danau,
watershed seringkali dijadikan pemisah wilayah antara daerah satu dengan
daerah yang bertetangga. Hal ini terkait erat dengan kondisi hampir di seluruh
wilayah di Indonesia mudah dijumpai fitur alam yang biasanya dijadikan batas.
Seringkali juga ditemui segmen-segmen batas untuk sebuah daerah bisa berupa
beberapa fitur alam sekaligus misalnya sungai, punggung bukit dan gunung
yang berbatasan dengan beberapa daerah sekaligus.
Masih sering didengar bahwa sengketa antar daerah terjadi karena masalah
batas. Terutama ketika pada daerah sekitar batas, terdapat potensi yang bisa
dimanfaatkan oleh daerah setempat, baik berupa potensi ekonomi maupun
potensi yang lain. Apalagi saat ini di Indonesia terdapat 33 propinsi dan 502
kota/kabupaten dimana kejelasan batas antar masing-masing propinsi dan kota/
kabupaten penting adanya.
memiliki referensi yang sama dengan peta batas daerah yang dipakai sebagai
batas administratif dan pengelolaan sumberdaya alam maka akan terjadi sengketa
antara pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu referensi tunggal
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan untuk menghindari
kemungkinan sengketa di masa mendatang.
Gambar 6. 2. Peta Rupabumi Indonesia merupakan peta dasar untuk acuan peta tematik
= Telah dilaksanakn survei lapangan pada tahun 2011 sebanyak 103 segmen
Untuk batas alam, terutama yang terletak pada terrain yang memiliki
ketinggian, data geospasial berupa peta dapat diperkuat dengan data SRTM
atau citra lain yang memiliki nilai ketinggian. Dengan nilai ketinggian tersebut
dapat dimodelkan kenampakan tiga dimensi dari kondisi di sekitar batas untuk
kemudian dilakukan cek terhadap garis batas yang ditetapkan apakah sudah
sesuai dan memenuhi criteria batas alam. Kriteria tersebut dapat berupa, posisi
garis batas sudah benar berada di watershed, di punggung bukit, di gunung.
Atau dengan kata lain, posisi garis batas tidak melenceng dari batas alam yang
dimaksud.
6.6. Penutup
Mengingat peran penting garis batas daerah yang pasti, maka penyelesaian
Batas Daerah perlu segera diselesaikan. Percepatan penyelesaian batas daerah
ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Perubahan Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
penegasan batas daerah sehingga dapat diimplementasikan secara efisien
baik dari segi waktu, tenaga dan biaya.
2. Perkembangan teknologi dan kesediaan data dan informasi geospasial dapat
dioptimalkan untuk membantu melakukan penarikan batas daerah secara
kartometris dengan tidak mengurangi ketelitian hasil yang di dapat.
3. Tanda-tanda alam, seperti punggung bukit (watershed), sungai, danau
dan lain-lain dapat dijadikan acuan untuk menentukan batas, tanpa harus
memasang pilar di lapangan.
4. Tanda-tanda di muka bumi yang merupakan buatan manusia, seperti jalan
raya, jalan kereta, saluran irigasi atau sungai buatan dapat dimanfaatkan juga
untuk mendapatkan titik-titik koordinat batas daerah
5. Pilar batas dapat dibangun di lapangan terutama untuk membuat batas
secara pasti apabila titik-titik koordinat batas daerah tidak dapat diperoleh
secara kartometris dengan ketelitian yang memadai.
6. Survei lapangan dapat dilakukan untuk memastikan titik-titik koordinat batas
daerah yang masih diragukan ketelitiannya.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 87
Jajang Gunawijaya
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 89
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 91
7.3. Penutup
Konsep metro island perlu dikembangkan sebagai salah satu model
pembangunan pulau-pulau kecil baik di wilayah perbatasan maupun di berbagai
wilayah pulau-pulau kecil lainnya yang tersebar di Indonesia.
8.1. Pendahuluan
Baru saja kita sebagai bangsa Indonesia memperingati hari ulang tahun ke-
67 Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus
1945. Suatu negara kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu
kita selama ratusan tahun dengan segala bentuk pengorbanan dan penderitaan
yang begitu besar. Tanpa perjuangan yang penuh dengan pengorbanan dari
para pendahulu , tidak mungkin saat ini kita bisa menikmati kemerdekaan dan
kebebasandalam negara dimana kita bisa menentukan sendiricita-cita apa yang
akan kita gapai. Generasi sekarang dan di masa mendatang sangat berterima
kasih, karena para pendiri bangsa dan negara Indonesia telah meletakkan
landasan, cita-cita, dan tujuan kemerdekaan yang berpandangan jauh ke
depan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Cita-
cita kemerdekaan tersebut pada intinya adalah terwujudnya kesejahteraan
bagi setiap rakyat Indonesia apapun latar belakangnya dan dimanapun mereka
berada. Kesejahteraan tentu saja dalam arti luas yaitu terpenuhinya hak-hak
dasar yang melekat pada setiap manusia yang mempunyai harkat dan martabat.
Secara lebih realistis bentuk kesejahteraan setiap manusia Indonesia adalah
terbebas dari kemiskinan, kebodohan, ketidak adilan, dan keterbelengguan dari
berbagai hal yang bertentangan dengan hakekat dari suatu bangsa yang telah
merdeka.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 93
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 95
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 97
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 99
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 101
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 103
13-Jan-15 12:18:42 PM
diatasi dengan membangun institusi yang baik di semua sektor dan tingkatan
wilayah. Untuk faktor geografi yang menguntungkan dipadukan dengan
berbagai institusi yang baik tentu akan menjadi kekuatan yang sangat efektif
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Juga tidak bisa disangkal pada saat ini masih terjadi perbedaan yang
mencolok yang berkaitan dengan kondisi kehidupan masyarakat antar wilayah
satu dengan wilayah lain. Indikator perbedaan kondisi kehidupan bisa diukur
dari tingkat kemakmuran secara ekonomi, kemudahan akses memperoleh air
bersih, pelayanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, transportasi
dlsb. Terjadi ketimpangan yang cukup lebar antara P. Jawa dan luar Jawa,
antara Kota dan Desa, antara daerah perbatasan dan wilayah non perbatasan,
antara pulau besar dan pulau kecil. Hal tersebut merupakan gambaran adanya
disparitas spasial yang tajam antar wilayah. Disparitas tersebut terrefleksi dari
kontribusi masing-masing wilayah/pulau terhadap PDB nasional. Dari data
yang ada, setidaknya dalam kurun waktu tahun 2006 - Agustus 2012 (sekitar 6
tahun) ternyata disparitas spasial belum mengalami perubahan yang signifikan.
Berdasarkan data BPS yang diolah di bawah ini dapat dilihat tabel tentang luas
daratan masing-masing pulau-pulau besar, % luas masing-masing pulau besar
terhadap luas total daratan, dan kontribusi masing-masing pulau besar terhadap
PDB nasional per triwulan II tahun 2012. Total wilayah daratan Indonesia sesuai
data BPS (2006) adalah 1.910.931, 32 km².
Tabel 9. 1. Pulau Besar, Luas Daratan, % Luas, dan Kontribusi Terhadap PDB Nasional
Kontribusi terhadap
% luas terhadap
Luas daratan PDB Nasional
Pulau wilayah
(dalam km²) (per Triwulan II
darat Indonesia
2012)
1. Sumatera 480.793,28 25,16 23,6
2. Jawa 129.438,28 6,77 57,5
3. Bali , NTB, NTT 73.070,48 3,82 2,4
4. Kalimantan 544.150,07 28,47 9,5
5. Sulawesi 188.522,36 9,86 4,8
6. Maluku & Papua 494.956.85 25,90 2,2
Sumber : Data BPS yang diolah.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kontribusi wilayah Sumatera dan Jawa
yang luasnya hampir 32% memberikan sumbangan terhadap PDB nasional
sebesar 81,1% dari PDB nasional. Sementara wilayah Indonesia yaitu Bali, NTB,
NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua yang merupakan 78% wilayah
Indonesia hanya menyumbang sekitar 18 % terhadap PDB nasional. Bahkan jika
kita simak lebih lanjut untuk Maluku dan Papua yang luasnya mencapai lebih
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 105
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 107
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 109
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 111
8.6. Penutup
Hari Ulang Tahun ke 67 Kemerdekaan Republik Indonesia baru saja
kita peringati. Keberhasilan dari kemerdekaan yang direbut dengan segala
pengorbanan oleh para pendahulu kita, patut kita syukuri. Bagi generasi
penerus sudah seharusnya menyampaikan hormat dan terima kasih kepada para
pendiri bangsa dan para pahlawan yang telah berjasa merebut kemerdekaan
dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekurangan dan
capaian-capaian yang belum memenuhi cita-cita kemerdekaan sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 perlu terus diperjuangkan oleh generasi
penerus.
Salah satu kekurangan yang perlu dicermati dan secara terpola serta
terprogram untuk diatasi adalah adanya masalah disparitas spasial antar wilayah
yang tajam. Ketimpangan yang tajam dalam dimensi spasial tentu saja akan
menimbulkan berbagai komplikasi masalah yang mengancam keutuhan NKRI,
karena akan mengusik salah satu pilar utama bernegara yaitu keadilan sosial.
Data yang ada menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan spasial yang tajam
dalam tingkat kesejahteraan masyarakat antara P. Jawa dan luar Jawa, Kota dan
Desa, pulau besar dan pulau kecil. Hal ini terlihat dari pendapatan per kapita,
ketersediaan infrastruktur, kualitas pelayanan publik, indek pembangunan
manusia, sebaran penduduk kaya dan miskin dan lain sebagainya.
Mengatasi masalah disparitas spasial tentu saja harus melalui pendekatan
yang komprehensif dengan dukungan berbagai disiplin ilmu. Salah satu
pendekatan dan disiplin ilmu yang dapat memberikan masukan adalah
ilmu geografi. Pendekatan ini merekomendasikan beberapa masukan untuk
mengatasi disparitas spasial antar wilayah yang terjadi sampai saat ini. Masukan
yang disampaikan lebih difokuskan pada tataran kebijakan untuk mengatasi
disparitas spasial yang begitu timpang.
Beberapa masukan yang menurut penulis sangat penting untuk diperbaiki
dalam kebijakan pembangunan wilayah selama ini adalah: reorientasi politik
pembangunan yang lebih memihak pada pertimbangan spasial disamping
dimensi lainnya yang telah lebih dahulu dijadikan pertimbangan. Hal penting
lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah, peningkatan dan pemerataan
penyediaan infrastruktur di seluruh pelosok tanah air, meningkatkan peran Dewan
Perwakilan Daerah sebagai penyambung lidah aspirasi daerah, digunakannya
konsep ekoregion sebagai basis pertimbangan pembangunan wilayah, dan
peyediaan serta pendayagunaan informasi geospasial dalam penyelenggaraan
pembangunan wilayah.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 113
9.1. Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah negara perairan yang ditaburi oleh ribuan
pulau. Tidak kurang dari 13.466 pulau terdapat di wilayah Indonesia. Luas
wilayah perairan Indonesia kurang lebih 8 juta km2, yang terdiri dari laut teritorial,
perairan pedalaman, perairan kepulauan dan ZEE. Disamping itu Indonesia masih
memiliki wilayah yurisdiksi di landas kontinen di luar 200 mil laut seluar 4.209
km2.
Sebagai sebuah negara perairan dengan wilayah yang sangat luas, sebagian
penduduk Indonesia tersebar di berbagai kawasan pesisir. Diperkirakan ada
sekitar 40 juta orang penduduk, tersebar di 4.735 desa pesisir yang sebagian di
antaranya terletak di wilayah perkotaan. Desa-desa pesisir tersebut terutama
terkonsentrasi di wilayah pantai Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan
Selat Makassar. Sebagian besar penduduk di desa-desa pesisir itu merupakan
Jumlah pulau tersebut merupakan hasil survei dan verifikasi nama rupabumi tahun 2012 oleh Tim
Nasional Pembakuan Nama Rupabumi berdasarkan Perpres Nomor 112 tahun 2006.
Asep Karsidi, Yurisdiksi Perairan Indonesia dalam Rangka Peningkatan Sumberdaya Manusia, dalam
buku ini, 2012.
Djoko Pramono, op.cit., hlm. 16.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 115
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 267.
Fredrick Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya (Jakarta: UI Press, 1988).
Ricardo Delgado dan Stefanis. Critical Race Theory: an Introduction. (New York: New York
University Press, 2001).
Djoko Pramono, op.cit., hlm. 131-133.
Ibid., hlm. 134-135.
Lihat Ensiklopedi Bebas Wikipedia.
10
Soerjono Soekanto, Sosiologi. Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm. 162.
11
Lihat Ensiklopedi Bebas Wikipedia.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 117
12
Adrian B. Lapian, Orang Laut,Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 77.
13
Akifumi Iwabuchi, “Marine Culturology”. Bahan Kuliah pada Tokyo University of Marine Science
and Technology. Diakses dari www.soi.wide.ad.jp/class/20090061/...for.../ 20090061-03-2in1.pdf.
Dikunjungi pada 4 Juli 2012. Lihat juga Muhammad Ridwan Alimuddin, Mengapa Kita (Belum) Cinta
Laut? (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hlm. 11.
14
Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 78.
15
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya 2: Jaringan Asia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), hlm. 88.
16
Di kawasan Timur Indonesia suku Bajau disebut juga Orang Bajo atau Suku Bangsa Bajo, di kawasan
Barat Indonesia mereka disebut Rakyat Laut, Orang Laut, atau Suku Laut; sedangkan di wilayah Johor
Malaysia, suku Bajau disebut Orang Kuala dan Orang Laut. Sementara Orang Bajau, Suku Asli, Sama
Bajau,Sama di Laut, Bajau Laut, Orang Samal, atau Samal Bajau Laut menjadi panggilan khas bagi
mereka di wilayah Sabah, Brunai Darussalam dan Filipina.
17 Adrian B. Lapian, op. cit.,hlm. 80.
18
François-Robert Zacot adalah seorang antropolog berkebangsaan Perancis yang bersama isterinya
melakukan penelitian tentang kehidupan suku Bajau di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten
Pohuwato, Provisnsi Gorontalo. Mereka tinggal bersama suku Bajau di Torosiaje lebih dari setahun.
Mereka bahkan sudah dianggap Sama Bajo atau orang Bajo, bukan bagai (bukan Bajo/orang asing).
19
François-Robert Zacot, Orang Bajo: Suku Pengembara Laut. Diterjemahkan oleh Fida Mulyono-
Larue dan Ida Budi Pranoto (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 241.
20
Ibid., hlm. 243.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 119
21
Adrian B. Lapian, loc. cit.
22
François-Robert Zacot, op.cit., hlm. 127.
23
Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 92.
24
Ibid.
25
François-Robert Zacot, op.cit., hlm. 395.
26
Muhammad Ridwan Alimuddin, op.cit., hlm. 12.
27
“Kearifan Lokal Manusia Perahu. Diakses dari http://www.koran-jakarta.com. Dikunjungi pada
tanggal 3 Juli 2012
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 121
28
Sudirman Saad, Bajo Berumah di Nusantara (Jakarta: Coremap II, 2009), hlm. 51.
29
Munsi Lampe, “Pengelolaan Laut Kawasan Terumbu Karang dalam Perseptif Budaya Bajo (Kasus
Taka Bonerate, Sulawesi Selatan)”. Makalah disajikan dalam Rapat Pembahasan Buku atas kerjasama
CV Mareto Agri Persada dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta, Juli 2008. Lihat juga
Sudirman Saad, op. cit., hlm. 73-74.
30
Adrian B. Lapian, op. cit., hlm. 78.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 123
31
Iman Brotoseno ,“Perkampungan Suku Bajo – Torosiaje “. Diakses dari blog.imanbrotoseno.
com/?p=1600. Dikunjungi pada tanggan 2 Juli 2012.
32
François-Robert Zacot, passim. Lihat juga “Potret Bajo Torosiaje, Tetap Bertahan Di Atas Laut”.
Diakses dari www.denun.net/potret-bajo-torosiaje... Dikunjungi pada tanggal 2 Juli 2012.
33
Arif Ramdan “Lebih Dekat dengan Etnis Bajo”. Diakses dari http://arif-ramdan.blogspot.
com/2007/07/25. Dikunjungi pada tanggal 3 Juli 2012.
9.6. Penutup
Indonesia adalah negara bahari dengan perairan yang sangat luas dan
sumber daya laut melimpah. Penduduk Indonesia pun terdiri dari beragam suku
bangsa dengan kekhasan masing-masing. Itu semua merupakan modal dasar
bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa besar yang dapat menempatkan diri
sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sebagai bangsa maritim yang dulu pernah jaya dan memiliki pengaruh luas
34
Sudirman Saad, op. cit., hlm. 72.
35
François-Robert Zacot, passim.
36
Herman Haeruman Js., Pengelolaan Lingkungan Laut, Debur Lautan Kita (Jakarta: Meneg KLH,
1987), hlm. 2.
37
Chalida Fachruddin, “Etos Kerja Nelayan Melayu” dalam M. Arif Nasution, dkk. (editor), Isu-isu
Kelautan. Dari Kemiskinan hingga Bajak Laut (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 82.
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 125
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 127
10.1. Pendahuluan
Sangat menarik mengkaji kehidupan etnis maritim di kepulauan Karimunjawa
yang memiliki tingkat keberagaman latar etnis yang sangat tinggi. Pada umumnya
keberagaman etnis disuatu kawasan kepulaun apalagi kepulauan terpencil di
Indonesia menjadi tipical masyarakat etnis maritim yang sangat mobile. Mobilitas
etnis maritim yang sangat tinggi antara lain dipengaruhi oleh cara pandang
tradisional mereka, bahwalaut sebagai ruang terbuka yang merupakancommon
property right, sehingga dapat dimanfaatkan bersama-sama oleh siapapun. Cara
pandang ini juga memiliki legitimasi ketika penguasa tradisional menerapkan
kebijakan laut bebas atau free ocean policy/mare liberum (A.B. Lapian, 2009; J.
Kathirithamby-Wells & J. Villiers (eds), 1990). Dengan kondisi seperti itu, maka
kepulauan terpencil yang berada diantara/dikelilingi laut menjadi tempat
persinggahan dan kemudian tempat hunian menetap yang strategis bagi etnis
maritim.
Demikian juga etnis maritim di kepulauan Karimunjawa, menunjukan tipikal
etnis maritim yang khas, meskipun dalam perkembangannya menunjukkan
kecenderungan semakin termarjinalkan baik secara sosiokultural maupun
ekonomi. Kondisi objektif etnis maritim dimanapun jika itu mengacu pada
komunitas nelayan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 129
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 131
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 133
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 135
10.6. Penutup
Etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa terdiri dari beragam etnis antara
lain; Bugis, Makasar, Mandar, Bajau, Banjar, Buton, Madura, Batak, Jawa dan
beberapa lainnya dalam jumlah kecil. Mereka mendasarkan sumber nafkah yang
utama sebagai nelayan dengan pola dan teknologi sangat sederhana, karena
keterbatasan sumberdaya manusia, akses dan modal dalam memanfaatkan
potensi sumberdaya laut yang ada dilingkungan sekitar. Oleh karena itu,
kondisi etnis maritim di Kepulauan Karimunjawa dewasa ini dapat dikatakan
marjinal baik secara ekonomi, sosial maupun kultural. Kebanyakan dari mereka
kehidupan ekonominya subsisten, meskipun telah melakukan deversifikasi
usaha prroduktif di luar kenelayanan. Tidak sedikit dari mereka justru terjebak
pada pola pengembangan tangkap ikan yang kapitalisik yang menempatkan
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 137
11.1. Pendahuluan
Ribuan tahun lalu, Indonesia – yang secara tradisonal disebut sebagai
Kepulauan Nusantara – sangat strategis di wilayah Asia Pasifik. Kepulauan
Nusantara sebagai persinggahan dan perdagangan laut kapal-kapal asing seperti
Arab, Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, Perancis, dan Swedia. Akan tetapi,
seperti yang diungkapkan Thung Ju Lan dalam artikelnya berjudul “Kebudayaan
dalam Perspektif Bahari Nusantara”, dalam Berita IPTEK, tahun ke-46 Nomor 1,
2007, sejak kemerdekaan Indonesia 1945 (bahkan sebelumnya) karakteristik
kebaharian tersebut tenggelam ditelan ombak globalisasi industri yang lebih
berbasis pada daratan.
Diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di daerah
pantai. Merekalah yang lazim disebut sebagai etnik maritim. Dari sejumlah etnik
maritim di wilayah Nusantara ini, Komunitas Kampung Laut – yang menempati
wilayah selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan bergandengan dengan
Pulau Nusakambangan – bermukim. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
Komunitas Kampung Laut secara umum adalah beretnik Jawa yang berdialek
Banyumasan dan sebagiannya beretnik Sunda berdialek Sunda Pada tahun 2003,
saya bersama Mudjahirin Thohir dari Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Diponegoro, telah melakukan studi kelayakan di wilayah
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 139
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 141
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 143
11.5. Penutup
Komunitas Kampung Laut yang masuk wilayah Kabupaten Cilacap Provinsi
Jawa Tengah, merupakan wilayah yang dikelilingi pohon bakau dan berair payau
itu sejak tahun 2002 resmi menjadi kecamatan dengan empat desa yaitu Desa
Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel dan Klaces. Komunitas yang bereknik Jawa dan
Sunda ini mempunyai karakteristik yang di antaranya sebagai berikut. Pertama,
masyarakat Kampung Laut mengkategorikan diri sebagai masyarakat pejagan,
atau merasa sebagai masyarakat yang menjaga lautan. Selain itu masyarakat
juga mempercayai masih kuatnya tata nilai tradisional dan spiritual, dalam tata
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari adanya upacara sedekah laut
dan sedekah bumi sebagai tanda terima kasih kepada bumi dan laut yang telah
memberikan kehidupan.
Penduduk Kampung Laut sangat menyadari adanya perubahan alam
sekitarnya (laut) yang semakin hari menjadi dangkal dengan adanya sendimentasi,
sehingga dirasa semakin sulit diandalkan sebagai mata pencaharian. Ketiga,
masyarakat Kampung Laut terkenal dengan keras dan pantang mundur dalam
menghadapi segala tantangan. Mereka sangat membanggakan penjaga-nya.
Sifat keras masyarakat sebagai akibat proses sosialisasi nilai-nilai yang erat
kaitannya sebagai nelayan.
Komunitas Kampung Laut, ternyata mengalami permasalahan yang cukup
mendasar seperti: (1) Terbatasnya prasarana dan sarana desa, baik transportasi,
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 145
Batas Wilayah, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Daya Dukung Budaya 147
12.1. Pendahuluan
Indonesia, sebagai sebuah nation state dengan mayoritas penduduknya petani
yang tinggal di perdesaan, telah merasakan menjadi bangsa yang berdaulat sejak
terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan pada tanggal 17 Agustus
1945. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia berkehendak untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan
Negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, jelas merupakan
misi utama Indonesia sebagai negara berdaulat. Perlindungan terhadap segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tidak terbatas pada perlindungan
wilayah/teritori negara dari gangguan musuh & ancaman negara lain, tetapi
juga perlindungan terhadap sumberdaya agraria dan kekayaan yang ada di
dalamnya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Inilah
yang dimaksudkan sebagai tanah untuk rakyat, sebagai sebuah strategi untuk
menjaga harmoni sosial dan mereduksi konflik sekaligus menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tjondronegoro, 2008, Negara Agraris yang Mengingkari Agraria: Pembangunan Daerah dan
Kemiskinan di Indonesia, Yayasan AKATIGA
Makna yang tersirat dalam Pasal 1 (3) UUPA
Diakses pada www.wikipedia.org, 29 Oktober 2012.
Lihat Sutaryono, 2012 ‘Kedaulatan Negara Vs Kedaulatan Pangan’, SKH KR 28 Agustus 2012.
Data Sensus Pertanian Tahun 1983, 1993 dan 2003
Op cit, Sutaryono, 2012
Data Strategis BPS, 2012
Ibid, BPS 2012
Pada tahun 2008 saja angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan US$2 PPP, tercatat 49% dari
seluruh penduduk Indonesia.
10
Lihat Mitchell dkk, 2000, dalam Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, terbitan Gadjah Mada
University Press.
11
Laporan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konf lik Pertanahan pada Rapat
Kerja Nasional BPN RI 2012.
12
Baca Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah karya Ruwiastuti, dkk, 1998:21-71
13
Baca Tabloid Adil No 31/Tahun ke-68, April 2000:20
12.5. Penutup
Apabila reforma agraria dapat diimplementasikan sebagai strategi
pembangunan, maka berbagai persoalan pertanahan di negeri agraris ini dapat
terurai. Redistribusi tanah bagi petani miskin dan petani tidak bertanah, baik
secara langsung ataupun tidak langsung mampu menyediakan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan. Kondisi ini
dipastikan akan mampu mereduksi munculnya konflik, sengketa dan perkara
pertanahan, mengingat salah satu akar penyebab konflik sudah terselesaikan.
Persoalannya adalah, mampukah kita semua mendorong reforma agraria
menjadi satu strategi pembangunan yang diimplementasikan secara nasional.
Tidak sekedar sebatas pada level wacana, tetapi harus dapat diimplementasikan
pada level operasional sebagai sebuah agenda aksi. Kiranya strategi mereduksi
konflik melalui redistribusi tanah yang berorientasi untuk mengurangi angka
kemiskinan dan menjaga keutuhan NKRI dalam bingkai reforma agraria layak
dan sangat perlu untuk diperjuangkan.
13.1. Pendahuluan
Makalah ini akan mencoba untuk mengkaji urgensi pemetaan terhadap
komunitas dan etnis maritim beserta potensinya di kepulauan Indonesia. Namun
demikian mengingat bahwa keberadaan komunitas dan etnis maritim saat ini
merupakan sebuah hasil dari proses dinamika sejarah yang terus berlangsung
hingga saat ini, maka kajian sejarah diaspora komunitas-komunitas dan
kelompok etnis maritim di kepulauan Indonesia itu juga perlu dilakukan untuk
memberikan pemahaman yang baik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi
pada saat ini. Kajian semacam ini perlu dilakukan dalam rangka pemanfaatan
dan pengembangan potensi kebaharian di Indonesia yang selama ini masih perlu
dioptimalkan. Pemahaman komprehensif mengenai sejarah diaspora komunitas
dan kelompok etnis maritim sangat penting sebagai landasan kebijakan negara
dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi kemaritiman di kawasan
pantai dan laut. Selain itu kajian mengenai perspektif historis terhadap diaspora
komunitas dan kelompok etnis maritim dapat dijadikan sebagai bahan pemikian
untuk membuat pemetaan (mapping) potensi kemaritiman dan perumusan
kebijakan teknis lainnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pengembangan
sektor kemaritiman.
*Makalah pernah dipresentasikan pada Workshop Reorientasi Kebijakan Informasi Geospasial
Tematik Pesisir dan Laut yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (Semarang: 11-12 Juli
2012).
Agus Hartoko, “Basis Data Spasial Oseanografi untuk Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan-Kelautan di Indonesia”, paper dipresentasikan pada Sidang Senat Guru Besar Universitas
Diponegoro dalam Rangka Pengusulan Jabatan guru Besar (Semarang: 10 Juli 2012), hlm. 4.
Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Singapore: Cuzon Press, 2000), hlm. 76.
Tomy H. Purwaka, Pelayaran Antarpulau Indonesia: Suatu Kajian tentang Hubungan antara
Kebijaksanaan Pemerintah dengan Kualitas Pelayaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), 4.
Singgih Tri Sulistiyono, “The Java Sea Network: Patterns in the Development of Interregional Ship-
ping and Trade in Process of National Economic Integration in Indonesia, 1870s-1970s” (Ph.D. thesis
Leiden University, 2003).
Singgih Tri Sulistiyono, “Ocean Territory Border Concept of Indonesia: A Historical Perspective”, pa-
per dipresentasikan pada The 22nd Conference of International Association of Historian of Asia (Sura-
karta: 2-6 July 2012).
Sebagian besar informasi mengenai persebaran bangsa Austronesia di kawasan kepulauan Indonesia
pada bagian ini diambil dari Cribb, Historical Atlas.
Lihat Christine Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (Honolulu: University
of Hawaii Press, 1989), hlm. 6.
Lihat juga Thomas Soarez, Early Mapping of Southeast Asia (Singapore: Periplus, 1999), hlm.16.
Lihat juga Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka
(Honolulu: University of Hawaii Press, 2008).
10
Leonard Y. Andaya, ‘ The Bugis-Makassar diasporas’, Journal of the Malaysian Branch of the Royal
Asiatic Society; vol. 68 (1995), afl. 1, hlm. 119-138.
11
W. Cummings, ‘The Melaka Malaydiaspora in Makassar, c. 1500-1669’, Journal of the Malaysian
Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 71 (1998), issue 1, hlm. 107-122
12
Tulisan populer yang singkat mengenai diaspora Bugis-Makassar dalam kaitannya dengan kebangkitan
nasional pernah dibuat oleh Mukhlis Paeni. Ada penemuan yang menarik bahwa dr. Wahidin Sudiro
Hoesodo merupakan yang merupakan tokoh-tokoh pergerakan nasionalmerupakan keturunan Makassar
dan Jawa pada waktu diaspora orang-orang Makassar ke Mataram di bawah pimpinan Karaeng Galesung.
Dr. Wahidin merupakan keturunan diapsora yang dididik dalam lingkungan budaya Jawa. Lihat Mukhlis
Paeni, Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional (Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, 2008), hlm. 44-45.
13
Kajian mengenai diaspora orang-orang Arab (khususnya Hadramaut) di Asia Tenggara termasuk
Indonesia pernah diterbitkan oleh Abushouk dan Ibrahim. Lihat Ahmed Ibrahim Abushouk dan Hassan
Ahmed Ibrahim (eds), The Hadhrami Diaspora in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation?
(Leiden-Boston: Brill, 2009).
14
Masyarakat multietnis merupakan masyarakat yang terdiri ats lebih dari satu kelompok etnis, yang
berbeda dengan masyarakat yang secara etnis homogen. Pada kenyataannya memang hampir semua
negara di dunia merupakan negara multietnis. Pada tahun 1993 misalnya, hanya sekitar 20 dari 180
negara berdaulat di dunia ini merupakan negara nasional dengan etnis yang homogen (etnis minoritas
kurang dari 5 persen dari tolal penduduk). Lihat David Welsh, “Domestic politics and ethnic conflict”,
dalam: Michael E.Brown, Ethnic Conflict and International Security (Princeton: Princeton University
Press, 1993), hlm. 43–60.
15
H.J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 14-17.
16
Lihat Johannes Widodo, The Boat and the City: Chinese Diapora and the Architecture of Southeast
Asian Coastal City (Singapore: Marshall Cavendish Academic, 2004).
17
Pembagian ini bisa dilihat antara lain dalam sumber-sumber statistik seperti Koloniaal Verslag.
18
Cari Lihat Paul van ‘t Veer, Perang Belanda di Aceh (Penerjemah Aboebakar) (Banda Aceh: Dinas P
dan K daerah Istimewa Aceh, 1977), hlm. 205-210.
a. Peta Dasar
Salah satu hal yang paling mendasar yang diperlukan dalam kegiatan
pemetaan komunitas dan etnis maritim adalah peta dasar. Peta dasar merupakan
peta mentah yang dapat diedit untuk kepentingan visualisasi data spasial.19
Dalam hal ini peta dasar yang berbasiskan sistem digital dengan bantuan GIS
(Geographical Information System) merupakan peta yang editable atau dapat
diedit sesuai dengan kepentingan, yang dalam hal ini adalah untuk kepentingan
visualisasi keberadaan komunitas dan kelompok etnis maritim di kepulauan
Indonesia. apa yang disebut sebagai etnis maritim di sini adalah kelompok etnis
dan atau komunitas tertentu yang mendiami kawasan pantai, lepas pantai, dan
pulau-pulau kecil.
Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komputer, peta
dasar yang lebih baik digunakan adalah peta dasar yang sudah diseting dengan
program software komputer. Dengan demikian program peta dasar ini semestinya
merupakan program yang editable. Peta dasar ini akan dapat digunakan untuk
19
Peta dapat didefinikan sebagai salah satu bentuk hasil cetak atau print-out atau hard-copy
dari basis data spasial. Lihat Agus Hartoko, “Basis Data Spasial Oseanografi”, hlm. 4. Peta juga bisa
didefinisikan sebagai representasi visual dari suatu wilayah yang berupa penggambaran simbolik yang
memberikan tekanan pada hubungan di antara elemen-elemen keruangan seperti objek, daerah, dan
tema. Lihat “Map” dalam: http://en.wikipedia.org/wiki/Political_map#Map_types_and_projections
(Dikunjungi tanggal 5 Juli 2012.
Gambar 13. 1. Peta Citra Pulau Miangas, sebagai pulau terluar/beranda depan berbatasan dengan
Filipina. (Sumber Atlas Pulau-pulau Kecil Terluar Indonesia, Bakosurtanal, 2007).
d. Kondisi Sosial-Budaya
Di samping aspek-aspek kewilayahan (space), aspek etnisitas (ethnic group),
dan aspek ekonomi, pemetaan etnis maritim seyogyanya juga perlu memberikan
informasi yang terkait dengan aspek-aspek sosial-budaya sebagai modal sosial
20
Lihat Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pemerintah Kabupaten Jepara, Daftar Isian Po-
tensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa (Jepara, 2011).
13.6. Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa catatan simpulan:
1. Oleh karena memiliki karakter geografis yang terbuka, dalam sepanjang
sejarah wilayah kepulauan dan perairan Indonesia menjadi sasaran diaspora
berbagai ras, bangsa, kelompok etnis dan berbagai komunitas dari berbagai
kawasan. Diaspora merupakan bagian yang inheren dalam sejarah formasi
bangsa Indonesia.
2. Komunitas dan etnis maritim merupakan kaum diaspor yang sangat menonjol
dalam sejarah Indonesia. mereka menempati wilayah pantai, lepas pantai, dan
pulau-pulau kecil di Indonesia. Mereka hidup dengan cara memanfaatkan
SDA bahari yang ada. Tersebarnya komunitas dan etnis bahari di kepulauan
Indonesia sebagaimana keadaan sekarang ini merupakan hasil dari proses
panjang dari sejarah diaspora di Indonesia.
3. Pemetaan terhadap komunitas dan etnis maritim di kawasan pantai, lepas
pantai dan pulau-pulau kecil sangat urgen untuk dilakukan dalam rangka
memposisikan mereka dari ancaman menjadi aset dalam pelestarian dan
pengembangan sumber daya alam bahari.
Lihat Agusyanto, 2007 dan 2010.
Lihat Suparlan, 2007.
Budaya “sasi” dikenal hampir di semua masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia.
Puncak evolusi manusia adalah masyarakat Eropa, Agusyanto dkk, 2006.
Haviland, 1988.
Kroeber, 1931.
In all the regions wherever they lives the significant features of their way of life and the physical
environment which they lived in is fundamentally the same. That is, there exist a close relationship
between man and surrounding; man always tries to maintain balance between his need and the
capacity of the resources (Khatry, 1984).
Agusyanto: 2007 dan 2010.
sehingga tidak mendorong mereka untuk saling bersaing satu sama lain;
tetapi sebaliknya justru tumbuh saling menghormati dan saling kerjasama
satu sama lain;
= Oleh karena teritori sumberdaya mereka tidak saling bersinggungan maka
Satuan entitas yang memiliki daya saing relatif lebih rendah dari entitas yang
lain perlu ditingkatkan daya saingnya agar tidak terdominasi olehentitas
sosial yang lain sebab hal ini menyebabkan terlanggar hak atau “keadilan
subyektif” entitas sosial yang terdominasi; selain itu diperlukan regulasi -
“aturan-aturan” atau “kesepakatan” untuk melindungi hak-hak mereka yang
“lemah” akibat ketimpangan daya saing.
= Ketidak-adilan distribusi sumberdaya dan penguasaan sumberdaya
15.1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang dua pertiga dari wilayahnya merupakan
wilayah perairan dan masih dapat terus bertambah. Sebagai negara maritim,
permasalahan di laut semakin kompleks dan luas, namun kajian dan pembangunan
di wilayah laut masih sangat minim. Hal ini menyebabkan terbatasnya data-data
terkait dengan kehidupan maritim di Indonesia.
Pada Tahun 1939, ketika “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie
1939” (TZMKO 1939) masih berlaku, disebutkan bahwa lebar laut wilayah/
teritorial Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis surut terendah masing-masing
pulau di Indonesiamaka diluar wilayah tersebut merupakan laut bebas. Luas
wilayah Indonesia pada saat itu hanya 352.446km2 atau sepersepuluh dari luas
teritorial Indonesia saat ini. Dengan minimnya penguasaan wilayah laut pada
saat itu, maka orientasi pengelolaan pembangunan pasa saat itumasih bersifat
daratan (continental).
15.4. Pulau Sapeken dan Pulau Panggang Sebagai Prototipe Metro Island
Pulau Sapeken dan Pulau Panggang merupakan pulau - pulau yang
teridentifikasi sebagai metro island. Penelitian ini didesain untuk menganalisa
konsep metro islandmelalui serangkaian observasi langsung di lapangan,
interpretasi dan ekstraksi faktor-faktor sumberdaya fisik melalui data citra satelit
resolusi tinggi, interview terhadap key person, studi literatur, dan mengintegrasikan
parameter-parameter penelitian dengan menggunakan instrumen Sistem
Informasi Geografis. Tekanan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi
kondisi terkini Pulau Sapeken dan Pulau Panggang sebagai prototipe metro
island.Deskripsi kondisi wilayah meliputi penilaian kualitatif sumberdaya
alam, ketersediaan air tawar sebagai syarat mutlak kehidupan, sosial ekonomi,
ketersediaan infrastruktur, demografi, kultur masyarakat, dan relasional konteks
kepulauan melalui analisa geostatistik, yang merupakan analisis standar dalam
pengkajian wilayah yang memiliki label ‘kota’.
c. Sumberdaya Perairan
Etnis maritim, terutama yang menghuni wilayah di pulau – pulau kecil, lebih
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya perairan apabila dibandingkan
dengan sumberdaya daratan. Berdasarkan data dari Potensi Desa dari BPS
tahun 2011, pemanfaatan laut yang ada di pulau – pulau tersebut didominasi
oleh perikanan tangkap dan perikanan budidaya termasuk di dalamnya biota
laut lainnya. Ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang dan rumput
laut, pada umumnya masih terjaga dengan baik. Namun pada metro island,
keseimbangan ekosistem mulai terganggu karena tekanan manusia di pulau
tersebut. Semakin tinggi intensitas pembangunan di pulau tersebut, maka akan
semakin besar pula tekanan terhadap lingkungan.
1 Mangrove 15.692,09
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa kelimpahan terumbu karang di kedua
pulau tersebut masih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tingginya luasan Terumbu
karang di pulau panggang dan pulau sapeken yaitu 142.594,15 meter persegi
dan 192.568,82 meter persegi. Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai
tempat berkembangnya berbagai biota laut seperti ikan,krustasea, moluska,
ekhinodermata, koral(karang batu) dan tumbuhan laut (algae dan lamun).
Sangat sedikit mangrove yang terdapat di pulau sapeken dan tidak
ditemukannya mangrove di Pulau Panggang, karena pembangunan di pulau
tersebut telah mengancam keberlangsungan ekosistem mangrove. Ekosistem –
ekosistem perairan tersebut memiliki fungsi ekonomis dan ekologis yang sangat
tinggi.
15.8. Penutup
Penelitian ini merupakan prototipe pengembangan konsep metro
islandsebagai pengkayaan informasi geospatial tematik keragaman etnis maritim
di seluruh Indonesia dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
yang berbasiskemasyarakatan dan berwawasan lingkungan.Konsep metro island
dapat diterapkan dengan melakukan analisis-analisis penciri dasar sebuah
kota meliputi kondisi demograsi, sosial ekonomi, infrastruktur, serta beberapa
kelengkapan persyaratan hidup yang bersifat alamiah seperti ketersediaan air
tawar pada sebuah pulau. Hal ini menunjukkan bahwa, keberadaan metro island
ini tetap dikontrol oleh kondisi alamiahnya, sementara bentuk artifisial secara
otomatis akan tercipta sejalan dengan adanya dinamika kehidupan pada pulau
tersebut.
Pulau Panggang dan Pulau Sapeken merupakan representasi pulau kota
(metro island), yang kemungkinan masih ada beberapa pulau-pulau kecil yang
serupa di Indonesia. Konsep metro island di Pulau Sapeken menunjukkan adanya
ketergantungan terhadap sumberdaya alam laut sebagai economic driven dan
cultural consistency masyarakat pesisir.Konteks Pulau Sapeken sebagai konsep
metro island dapat digunakan sebagai model untuk mencari prototipe pulau-
pulau serupa di seluruh wilayah perairan nusantara.Berangkat dari hal ini,
penelitian dapat dikembangkan lebih lanjut pada konteks relasional dinamika
masyarakat pesisir, khususnya suku laut nusantara.Peran dan fungsi strategis
para pakar dari berbagai bidang dan pengambil keputusan terutama mengenai
informasi geospasial tematik pulau – pulau kecil bagi kepentingan perencanaan
dan pembangunan daerah.
Konsep metro islandtidak dapat digunakan sebagai indikator demografi
utama, ada beberapa indikator lain yang lebih menguatkan konsep metro
Kesimpulan
Wilayah NKRI yang sangat luas menjadi peluang dan tantangan bagi
bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa maritim yang besar dan sejahtera
diantara bangsa-bangsa di muka bumi ini. Wilayah perbatasan sebagai beranda
depan perlu didukung informasi geospasial yang mudah diakses dan dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga keutuhan
NKRI, perencanaan dan strategi pertahanan-keamanan negara, pengembangan
ekonomi wilayah, peningkatan kesejahteraan rakyat dan ketahanan pangan
nasional, serta sekaligus tentunya dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan
pemantauan implementasi/pelaksanaan kebijakan publik.
Deskripsi geografis wilayah NKRI dari masa ke masa, dengan wilayah laut
yang dua kali lebih luas dibanding daratan, dengan kebhinekatunggalikaan
penduduknya, perlu dikembangkan secara terintegrasi dengan memanfaatkan
fasilitas Jaringan Infrastruktur Informasi Geospasial. Dengan demikian informasi
geospasial yang tersedia benar-benar dapat digunakan sebagai dasar pemikiran
dalam memanfaatkan SDA dan lingkungan hidup secara merata sesuai dengan
daya dukungnya.
Daftar Pustaka
Hatta, Meutia, et al (ed.), 2011, Atlas Nasional Indonesia Vol. 3: Sejarah, Wilayah,
Penduduk, dan Budaya, BAKOSURTANAL.
Niendyawati, M. Sc
Peneliti pada Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta Bogor, KM 46, Cibinong, Bogor
Endang Susilowati
Staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro
Ruddy Agusyanto