Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William
Little pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu
membingungkan yang menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang
menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami
kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak
bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah
memburuk. Kondisi tersebut disebut little 's disease selama beberapa tahun, yang
saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari
penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam
terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP. Cerebral Palsy adalah suatu
keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada
waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta merintangi perkembangan otak normal
dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukan kelainan
dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan
spastis, gangguan ganglia basal dan serebelum juga kelainan mental.1-5
Beberapa ahli mengartikan Cerebral palsy sebagai kondisi yang ditemukan
pada anak berupa kejang atau kekakuan disertai mobilitas dan kemampuan bicara
yang rendah. Cerebral merujuk pada otak, yang merupakan wilayah yang terkena
dampak dari otak (meskipun kemungkinan besar melibatkan gangguan koneksi
antara korteks dan bagian-bagian lain dari otak seperti serebelum), dan palsy
mengacu pada gangguan pergerakan, suatu kondisi yang ditandai dengan tremor
pada tubuh yang tidak dapat terkontrol.6,7
Angka kejadian cerebral palsy terus meningkat seiring berjalannya waktu,
setiap 100.000 kelahiran, terdapat 7 kasus paralisis otak. Satu diantaranya akan
meninggal sebelum berumur 6 tahun. Cerebral palsy dapat terjadi selama
kehamilan (75 %), selama persalinan (5 %) atau setelah lahir (15 %) sampai sekitar
usia tiga tahun. Cerebral palsy merupakan kelainan pada anak yang paling sering
1
memberikan masalah sosial, psikologis dan pendidikan. Cerebral palsy tidak dapat
diprediksikan secara pasti akan mengenai siapa, serta tidak dapat menular dari
seseorang ke orang lain.1,4,6
Etiologi Cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan.
Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan
mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop Phelps
menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam penanganan penderita
Cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf,
psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa. Di
samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam
susunan saraf pusat, bersifat kronik dan non progresif akibat kelainan atau cacat
pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.8
Cerebral palsy terjadi pada usia dini sehingga mengganggu perkembangan
otak dan menunjukkan kelainan posisi, tonus otot dan koordinasi motorik, serta
kelainan neurologis lainnya. Kelainan motorik yang disebabkan oleh cerebral
palsy berupa gangguan persepsi, kognisi, komunikasi, kebiasaan yang diakibatkan
oleh epilepsi dan masalah muskuloskeletal sekunder.8

B. Epidemiologi
Meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka
kelahiran di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat mampu
membuat angka kejadian Cerebral palsy lebih menurun. Namun di negara-negara
berkembang, kemajuan teknologi kedokteran selain menurunkan angka kematian
bayi risiko tinggi, belum dapat menurunkan jumlah anak-anak dengan gangguan
perkembangan.8
Beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi
yang diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi Cerebral palsy
di Eropa sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Skandinavia
sebanyak 1,2 - 1,5 per 1000 kelahiran hidup. Gilroy memperoleh 5 dari 1000 anak
memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan Cerebral palsy, 50% kasus
termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud ringan ialah
penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat
ialah penderita yang memerlukan perawatan khusus; 25% mempunyai intelegensi
rata-rata (normal), sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70, 35%
3
disertai kejang, sedangkan 50% menunjukkan adanya gangguan bicara. Laki-laki
lebih banyak daripada wanita (1,4 : 1). Insiden relatif Cerebral palsy yang
digolongkan berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut: spastik 65%,
atetosis 25%, dan rigid, tremor, ataktik sebesar 10%.8

C. Etiologi
Cerebral palsy disebabkan oleh perkembangan yang abnormal atau kerusakan
pada daerah di otak yang mengontrol fungsi motorik. Beberapa hal yang
menyebabkan Cerebral palsy, dapat dibagi berdasarkan:
1. Prenatal
Proses perkembangan otak yang kompleks sebelum lahir rentan
terhadap perubahan yang dapat menyebabkan abnormalitas dengan derajat
yang berbeda-beda. Beberapa dari abnormalitas ini menunjukkan anomali
pada struktur otak. Masih belum diketahui secara pasti apakah abnormalitas
ini terjadi secara genetik (herediter) ataupun idiopatik.1
Stroke sebagai penyebab kerusakan neurologik pada orang dewasa,
dapat juga terjadi pada fetus, dimana pembuluh darah pada otak pecah
diikuti oleh perdarahan yang tidak terkontrol (koagulopati) atau pembuluh
darah otak yang mengalami obstruksi akibat emboli (clot), yang dikenal
dengan perdarahan intraserebral yang menyebabkan fetal stroke. Kelainan
ini dapat diturunkan secara herediter oleh ibu yang memiliki kelainan faktor
koagulasi.2,4
Angiopati amiloid dapat menyebabkan perdarahan intraserebral
spontan, kelainan angiopati amiloid ini khas yaitu terbentuknya deposit
fibril amiloid pada tunika media dan tunika intima arteria kecil dan sedang.
Perdarahan terjadi akibat robeknya dinding pembuluh darah yang lemah
atau mikro aneurisma.5
Ibu dengan autoimmune anti-thyroid atau anti phospholipid antibodies
(APA) dapat meningkatkan resiko Cerebral palsy pada bayinya. Terjadi

4
akibat tingginya level sitokin dalam sirkulasi darah ibu dan janin yang dapat
menjadi salah satu faktor resiko potensial terjadinya Cerebral palsy.
Sitokin merupakan protein yang berhubungan dengan inflamasi,
misalnya oleh sebab infeksi atau penyakit autoimun, yang dapat bersifat
toksik pada neuron-neuron otak janin.5,9
Rendahnya oksigenasi pada otak janin akibat abnormalitas struktur
plasenta seperti abruptio plasenta (pelepasan prematur plasenta dari dinding
uterus), chorioamnionitis (infeksi pada plasenta), ataupun plasenta previa
(plasenta letak serviks) dapat menyebabkan anoksia janin.9

Gambar 1. Proses terjadinya anoksia ataupun asfiksia pada bayi5


Sumber : Rosenbaum P, Rosenblom L In: Rogers L, Wong E. Cerebral palsy. London.
2012 (cited at July 31, 2017). Available at: http://www.pathophys.org/cerebralpalsy/

Infeksi prenatal dapat menghambat perkembangan dari neuron-neuron


otak pada masa fetus. Infeksi-infeksi yang dimaksud dapat berupa sindrom
TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo Virus, Herpes) dan HIV-
AIDS.1
Selain hal tersebut beberapa sebab lain dapat menyebabkan Cerebral
palsy yaitu malformasi kongenital dari otak, ibu yang mengalami malnutrisi

5
berat pada saat kehamilan ataupun mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol
yang juga dapat mempengaruhi perkembangan otak janin. Alkohol, merokok
dan kokain menyebabkan peningkatan resiko kelahiran prematur dan berat
badan lahir rendah yang merupakan salah satu resiko terjadinya Cerebral
palsy.9
Perbedaan rhesus antara ibu dan anak seperti pada penyakit
eritoblastosis foetalis di mana terjadi kerusakan sel-sel saraf basalis yang
menyebabkan atetosis.4

2. Perinatal
Prematuritas dianggap penyebab tersering pada masa kelahiran, akan
tetapi hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti apakah prematuritas
yang menyebabkan Cerebral palsy atau karena bayi yang lahir prematur
sudah memiliki kelainan otak sejak awal yang justru menyebabkan Cerebral
palsy.4
Banyak bayi yang dilahirkan prematur dapat mengalami perdarahan
otak dan perdarahan intraventrikular. Frekuensi tertinggi perdarahan otak ini
terutama terjadi pada bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah,
sedangkan pada bayi prematur dengan berat badan lahir lebih dari 2000
gram, kelainan perdarahan ini jarang ditemukan. Perdarahan ini dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian otak yang mengontrol fungsi motorik
yang akhirnya berkembang menjadi Cerebral palsy. Jika perdarahan otak
menghasilkan gambaran kerusakan pada jaringan otak normal yang
dinamakan periventrikular leukomalacia (cystic periventricular
leukomalacia) yang merupakan kista kecil di seputar ventrikel dan region
motorik pada otak maka kemungkinan untuk menderita Cerebral palsy
menjadi lebih tinggi.2,4
Trauma mekanis otak pada waktu lahir, biasanya penggunaan forsep
yang tidak adekuat, kontraksi uterus yang berlebihan, bahkan asfiksia selama
proses kelahiran yang terus berkelanjutan pada waktu lahir misalnya akibat
6
tali pusat yang melilit leher bayi, prolaps tali pusat (tali pusat keluar
mendahului bayi) dapat menyebabkan asfiksia saat lahir. Anoksia dapat
terjadi akibat pemberian analgetik dan anastetik.4,5
3. Postnatal
Biasanya paling rentan terjadi pada usia 0-3 tahun. Terdapat penyebab-
penyebab antar lain:1
1. Infeksi pada selaput otak atau pada jaringan otak.
Umumnya bayi usia muda sangat rentan dengan penyakut, misalnya
ensepalitis pada usia setahun pertama. Ada kemungkinan penyakit tersebut
menyerang selaput otak bayi sehingga menimbulkan gangguan pada
perkembangan otaknya. Bila infeksi terjadi dibawah tiga tahun umumnya
akan mengakibatkan cerebral palsy, sebab pada waktu itu otak sedang
dalam perkembangan menuju sempurna.1
2. Kejang
Dapat terjadi karena bayi terkena penyakit dan suhu tubuhnya tinggi
kemudian terjadi kejang. Kejang dapat pula karena infeksi yang dialami
anak. Kemungkinan lain juga bisa menderita epilepsi.1
3. Trauma
Bayi yang seering mengalami jatuh dan menimbulkan luka dikepala,
hingga bagian dalam kepala atau perdarahan pada otak dapat menyebabkan
kerusakan jaringan otak. Akibatnya, sebagian kecil jaringan otak rusak.1

D. Anatomi
Serebrum dilapisi oleh lapisan yang terdiri dari kumpulan sel-sel yang disebut
korteks serebri. Lapisan ini terdiri dari 6 lamina. Korteks serebri mempunyai
fungsi-fungsi motorik untuk pergerakan (presentralis), sensorik (post sentralis),
bicara (area Broca), auditorik (temporalis) dan visual (oksipitalis).10

7
Gambar 2. Korteks Serebri10
Sumber : Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2 nd Ed. . Saunders, An
Imprint of Elsevier. USA. 2012.p.31-50.

Korteks Motoris dan Sistem Piramidal


Pergerakan berpusat di korteks presentalis (motorik) pada lobus
frontalis, mulai dari sel-sel yang berada di lamina ke-3 dan ke-5 (lamina
piramidalis eksterna dan interna). Sistem ini mempunyai penataan
somatotopik di korteks motorik primer, yaitu sebagai manusia terbalik
(homunkulus motorik).10

Gambar 3. Homunkulus Motorik10


Sumber : Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2 nd Ed. .
Saunders, An Imprint of Elsevier. USA. 2012.p.31-50.

8
Homunkulus motorik memperlihatkan pengaturan somatotropik pada
korteks motorik primer disepanjang girus presentralis lobus frontalis.10
Dari sel-sel motorik dilanjutkan oleh traktus piramidalis yang menuju
ke subkorteks dan batang otak, menyilang garis tengah di medulla oblongata
akhir, kemudian menuju ke otot tubuh sisi kontralateral. Kerusakan area
motorik hemisfer kiri menyebabkan hemiparesis kanan (kontralateral).10

Gambar 4. Traktus Piramidalis11


Sumber : Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 87-8.

Traktus piramidalis (traktus kortikospinalsis) berakhir di kornu


anterior medulla spinalis (neuron motorik sentral, upper motor neuron).
Terjadi sinaps dengan neuron motorik perifer (lower motor neuron) yang
menuju ke otot-otot.11
1. Upper Motor Neuron (UMN)
Yaitu semua neuron yang menyalurkan impuls dari area
motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik saraf kranial di
batang otak (traktus kortikobulbaris) atau sampai kornu anterior di
medulla spinalis (traktus kortikospinalis).10,11

9
Tanda-tanda lesi UMN:11
− Kelumpuhan (paralisis) atau kelemahan (paresis) dengan tonus
otot yang meningkat (spastik)
− Refleks tendon fisiologik meningkat (hiperrefleksi)
− Adanya refleks-refleks patologik
− Tidak dijumpai atrofi pada otot
2. Lower Motor Neuron (LMN)
Yaitu semua neuron yang menyalurkan impuls motorik dari
motor neuron sampai akhir perjalanannya ke otot. Disebut juga final
common pathway10,11
Tanda-tanda lesi LMN:11
− Paralisis atau paresis dengan tonus otot menurun (flaksid)
− Refleks tendon fisiologis menurun (hiporefleksia) atau hilang
sama sekali (arefleksia)
− Tidak dijumpai refleks patologik
− Atrofi pada otot-otot

Sistem Ekstrapiramidal dan Ganglia Basalis


Menggambarkan sistem ekstrapiramidalis (seluruh serabut motorik
yang tidak melalui piramidal) secara anatomi tidaklah mudah. Bila sistem
dipandang sebagai suatu unit anatomis, maka sistem itu terdiri dari (1) ganglia
basalis dan sirkuit-sirkuitnya, (2) area pada korteks yang mempunyai proyeksi
pada ganglia basalis, (3) daerah serebelum yang mempunyai proyeksi pada
ganglia basalis, (4) bagian dari formasio retikularis yang berhubungan dengan
ganglia basalis dan korteks serebri, dan (5) nukleus thalamus yang
menghubungkan ganglia basalis dan formasio retikularis.12

10
Fungsi utama sistem ekstrapiramidalis adalah mengatur secara kasar
otot-otot voluntary (sistem piramidalis dan sistem kortikospinalis mengatur
secara halus).11,12

Gambar 5. Traktus Ekstrapiramidalis11


Sumber : Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 87-8.

Ganglia basalis adalah massa yang terdiri dari sekumpulan inti-inti di


substansia abu-abu pada bagian dalam hemisfer otak. Terdiri dari nukleus
kaudatus, putamen, globus palidus, dan amigdala. Secara umum, ganglia
basalis berperan dalam dua aktivitas umum: pengaturan tonus motorik tubuh
dan gerakan-gerakan yang bertujuan yang kasar. Pengaruh umum eksitasi
ganglia basalis adalah penghambatan sinyal yang menuju daerah fasilitasi
bulboretikularis, dan sinyal-sinyal eksitasi yang menuju ke daerah inhibisi
bulboretikularis. Bila ganglia basalis tidak berfungsi secara adekuat, daerah

11
fasilitasi menjadi terlalu aktif sedangkan daerah inhibisi menjadi kurang aktif.
Hal ini mengakibatkan seluruh tubuh menjadi kaku.11,12

Gambar 6. Ganglia Basalis11


Sumber : Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 87-8.

Pada gangguan sistem ekstrapiramidal didapatkan gangguan pada


tonus otot (rigid), gerakan otot abnormal yang tidak dapat dikendalikan,
gangguan pada kelancaran gerakan otot volunter dan gangguan gerak otot
asosiatif.12

Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh
durameter yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium, yang memisahkannya
dari bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah (vermis)
dan dua hemisfer lateral. Semua aktivitas serebelum berada dibawah
kesadaran.10,11

12
Gambar 7. Serebelum11
Sumber : Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p. 87-8.

Tiga lobus serebelum:11


1. Lobus anterior (paleoserebelum)
Mempunyai peran penting dalam mengatur tonus otot.
2. Lobus posterior (neoserebelum)
Mempunyai peran penting dalam koordinasi gerakan.
3. Lobus flokulonodularis (arkiserebelum)
Mempunyai peran penting dalam mengatur tonus otot,
keseimbangan dan sikap tubuh.

Tiga fungsi penting dari serebelum ialah keseimbangan tubuh,


pengatur tonus otot, dan pengelolaan serta pengkoordinasi gerakan volunter.
Gangguan pada serebelum mengakibatkan gangguan gerak berupa gangguan
sikap dan tonus. Selain itu, juga terjadi ataksia, dismetria, dan tremor
intensi.11

13
E. Patofisiologi
Cerebral palsy terjadi karena adanya kerusakan pada sel-sel otak yang
berfungsi untuk mengontrol pergerakan otot. Ketika sel-sel tersebut mati, maka
tidak ada lagi impuls yang diteruskan ke sel otot. Ataupun hilangnya kontrol pada
otot dapat terlihat pada gejala-gejala yang terdapat pada penderita Cerebral palsy.4
Lesi otak pada suatu paralisis otak walaupun bersifat permanen tetapi tidak
progresif. Hilangnya fungsi neuron otak menyebabkan terjadinya pelepasan sistem
kontrol yang menyebabkan beban berlebihan dan disebut release phenomenon.
Gambaran lesi otak pada anak-anak dibagi berdasarkan luas dan lokasi lesi,
termasuk pada korteks motoris serebral, ganglia basalis atau serebelum.1

Gambar 8. anatomi otak1


Sumber : Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue; 2012.
p. 255-8.

Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu


induksi dorsal yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral
yang berlangsung pada minggu ke 56 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini
bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital seperti kranioskisis totalis,
anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya8
Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi
bulan ke 2-4. Gangguan pada fase ini bisa mengakibatkan mikrosefali,
makrosefali.8
14
Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi
bulan 3-5. Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu (1) secara radial, daerah
periventrikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam korteks serebri. (2)
sedangkan migrasi secara tangensial zona germinal menuju ke permukaan korteks
serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti
polimikrogiri, agenesis korpus kalosum.8
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa
tahun pasca natal. Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi
genetik, gangguan metabolisme.8
Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal.
Pada stadium ini terjadi proliferasi neuron, dan pembentukan selubung myelin.8
Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya
kerusakan Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus
yang bisa mengenai korteks motorik traktus piramidalis daerah paraventrikuler
ganglia basalis, batang otak dan serebelum.8
Anoksia serebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan
subependim. Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan iskemi yang bisa
menyebabkan nekrosis.8
Kerniktrus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh
dan akan menempati ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa
menyebabkan Cerebral palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental
retardasi.8
Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi
obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan dalam otak
bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.8
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder.
Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang irreversibel. Lesi irreversibel lainnya
akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu
ammonis, yang akan bisa mengakibatkan bangkitan epilepsi.8

15
F. Gejala Klinik
Beberapa tipe paralisis otak tidak menunjukkan gambaran klinis yang nyata
pada satu bulan pertama setelah kelahiran, oleh karena adanya gambaran release
phenomenon dan juga karena kecilnya aktivitas serebral pada awal kelahiran. Pada
Cerebral palsy perkembangan pergerakan terlambat sering disertai dengan
retardasi mental. Penilaian intelegensia sulit dilakukan karena adanya penurunan
fungsi sensoris dan motorik13
1. Gejala Dini
Secara pasti penyebab dari sebagian besar kasus Cerebral palsy belum
diketahui. Akan tetapi bayi yang beresiko menderita Cerebral palsy dapat
diperkirakan dari tanda-tanda klinis dini yang bermanifestasi antara lain:13
a. Sesaat setelah lahir bayi tampak terkulai lemah tetapi tidak jarang
juga terlihat normal seperti biasa.
b. Bayi lahir rendah yang tidak menangis pada 5 menit pertama
kelahirannya, dan biasanya berubah menjadi biru atau tampak anoksia.
c. Bayi yang membutuhkan ventilator lebih dari 4 minggu setelah
kelahiran.
d. Bayi yang lahir dengan kelainan kongenital.
e. Kejang-kejang pada bayi baru lahir juga dapat meningkatkan resiko
Cerebral palsy.
f. Bayi yang mengalami pendarahan otak, hal ini dikarenakan
perdarahan dapat merusak bagian otak yang berfungsi mengatur fungsi
motoric.
g. Pergerakannya lambat dibandingkan dengan anak seusianya, dimana
anak tersebut terkesan terlambat untuk bisa menegakkan kepala,
duduk, ataupun bergerak ke sekitarnya.

h. Anak tersebut tidak menggunakan kedua tangannya, ataupun hanya


menggunakan satu dari tangannya untuk menggenggam atau meraih
sesuatu.
16
i. Timbul masalah pada intake, karena bayi tersebut mengalami
kesulitan dalam hal mengisap, menelan ataupun mengunyah. Ia akan
sering tersedak atau batuk secara tiba-tiba. Walaupun anak tetap akan
tumbuh besar teapi masalah intake ini akan terus berlanjut.
j. Timbul kesulitan dalam merawat anak tersebut, hal ini dikarenakan
tubuhnya yang kaku ketika digendong, dikenakan pakaian,
dimandikan, atau saat ia bermain. Di kemudian hari ia tidak juga
belajar bagaimana cara berpakaian sendiri, makan, mandi ataupun ke
kamar kecil bahkan ia tidak tahu cara bermain dengan orang lain. Hal
ini mungkin disebabkan kekakuan yang tiba-tiba ataupun kelemahan
yang menyebabkannya sering terjatuh atau terkulai kapanpun dan di
mana saja.
Gambaran klinik Cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya jaringan
otak yang mengalami kerusakan:8
a. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia,
triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau
campuran.8
b. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus
yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran. 8
c. Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum.
Penderita biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni),
dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai
berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung.8
d. Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal. Selama kejang, aktivitas elektrik
dengan pola normal dan teratur diotak mengalami gangguan karena
letupan listrik yang tidak terkontrol. Pada penderita Cerebral Palsy
17
dan epilepsi, gangguan tersebut akan tersebar keseluruh otak dan
menyebabkan gejala pada seluruh tubuh, seperti kejang tonik-klonik
atau mungkin hanya pada satu bagian otak dan menyebabkan gejala
kejang parsial. Kejang tonik-klonik secara umum menyebabkan
penderita menjerit dan diikuti dengan hilangnya kesadaran, twitching
kedua tungkai dan lengan, gerakan tubuh konvulsi dan hilangnya
kontrol kandung kemih. Kejang parsial diklasifikasikan menjadi
simpleks atau kompleks. Pada tipe simpleks, penderita menunjukkan
gejala yang terlokalisir misalnya kejang otot, gerakan mengunyah,
mati rasa atau rasa gatal. Pada tipe kompleks, penderita dapat
mengalami halusinasi, berjalan sempoyongan, gerakan otomatisasi
dan tanpa tujuan, atau mengalami gangguan kesadaran atau
mengalami kebingungan.8
e. Gangguan perkembangan mental
Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan
Cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan
ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada
umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga
terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat
diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh
dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter.
Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota
gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.8

18
G. Klasifikasi
Cerebral palsy dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis yang
nampak yaitu berdasarkan pergerakan:1

Gambar 9. Tipe pada Cerebral palsy1


Sumber : Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue; 2012.
p. 255-8.

1. Tipe Spastik
Tipe spastik merupakan tipe dari Cerebral Palsy yang paling banyak
ditemukan (65%). Pada tipe ini gambaran khas yang dapat ditemukan adalah
paralisis spastik atau dengan paralisis pada pergerakan volunter dan
peningkatan tonus otot (hipertoni, spastisitas, peningkatan refleks tendo dan
klonus). Gangguan pergerakan volunter disebabkan kesulitan dalam
mengkoordinasi gerakan otot. Bila anak menggapai atau mengangkat sesuatu,
terjadi kontraksi otot secara bersamaan sehingga pada pergerakan terjadi
retriksi dan membutuhkan tenaga yang banyak.1
Paralisis akan mengenai sejumlah otot-otot, tetapi derajat paralisis
berbeda-beda, sehingga didapat ketidakseimbangan dalam tarikan otot dan
akan menghasilkan suatu deformitas tertentu, sehingga pada spastik Cerebral

19
palsy deformitas akan berupa: fleksi, aduksi, dan internal rotasi. Gambaran
khas spastic gait berupa kekakuan dan kejang-kejang yang mengenai anggota
gerak yang terjadi di luar kontrol karena adanya deformitas posisi dan tampak
nyata pada saat penderita berjalan ataupun berlari. Paralisis spastik yang
mengenai otot bicara menyebabkan kesulitan pengucapan kata secara jelas.
Paralisis spastik pada otot menelan menyebabkan hipersekresi saliva yang
berlebihan sehingga air liur tampak menetes.1,2,6
Tergantung dari luasnya lesi pada korteks serebral dapat terjadi spastik
paralisis, yang dapat di bagi menjadi :4,9
 Monoplegia : mengenai salah satu anggota gerak
 Hemiplegia : mengenai anggota gerak atas dan bawah pada
salah satu sisi
 Diplegia : mengenai anggota gerak bawah
 Quadriplegia/tetraplegia : mengenai seluruh anggota gerak
Pasien dengan tipe spastik biasanya mengalami kerusakan pada korteks
motorik ataupun traktus piramidalis.6,13

2. Tipe Atetoid
Gambaran khas atetosis adalah gerakan involunter yang tidak
terkontrol pada otot muka dan seluruh anggota gerak. Gerakan otot atetotik
menyebabkan perputaran, gerakan menggeliat pada anggota gerak dan muka
sehingga penderita tampak menyeringai dan bila mengenai otot yang
digunakan untuk berbicara maka akan timbul kesulitan berkomunikasi untuk
menyampaikan keinginan ataupun kebutuhannya.1,2,6
Tipe atetosis pada pergerakan tangan dan lengan nampak sebagai
getaran yang bersifat regular atau spasme yang tiba-tiba. Terkadang
pergerakan tidak mempunyai tujuan, ataupun ketika ingin melalukan sesuatu
maka anggota badannya akan bergerak terlalu cepat dan terlalu jauh.
Keseimbangannya juga sangat buruk sehingga ia juga akan mudah terjatuh.

20
Pada tipe ini kerusakan terjadi pada sistem motorik ekstrapiramidal atau
hingga ke ganglia basalis.6,13,14
3. Tipe Ataksia
Gambaran khas berupa ataksia serebral karena adanya gangguan
koordinasi otot dan hilangnya keseimbangan. Cara berjalan pada anak bersifat
tidak stabil dan sering terjatuh walaupun telah menggunakan tangan untuk
mempertahankan keseimbangan. Pada lesi sereberal primer terjadi spastisitas
dan atetosis tanpa disertai gangguan intelegensi. Anak yang menderita tipe
ataksia mengalami kesulitan ketika mulai duduk atau berdiri. Lesi biasanya
mengenai serebelum, sehingga intelegensia tidak terganggu.1,13,14
4. Tipe Tremor
Pada tipe tremor biasanya ditandai dengan adanya otot yang sangat
kaku, demikian juga pada gerakannya. Otot-otot seluruh tubuh terlalu tegang,
cenderung menyerupai robot waktu berjalan seperti ditahan-tahan dan
kaku.13,14
5. Tipe Rigiditas
Gambaran khas pada tipe rigiditas adalah adanya gerakan-gerakan
yang kecil tanpa disadari, dengan irama gerakan yang tetap. Jika bagian yang
digerakkan akan muncul tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun
antagonis. Menggambarkan adanya gerakan membongkokkan “pipa timah”
(lead pipe rigidity).1,13
6. Tipe Campuran
Tipe ini merupakan tipe campuran anak yang memiliki beberapa
kelainan Cerebral Palsy.13,14
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional, dibagi atas:8
1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari-hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan
khusus.8

21
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam
bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri,
dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan
penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat
bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.8
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya
penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah
perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat,
atau yang akan menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi
keluarganya maupun lingkungannya.8

Klasifikasi fungsional menurut tingkat keparahan gangguan motorik/ Gross


Function Classification System (GMFCS). GMFCS dibedakan berdasarkan
kelompok umur dan terbagi menjadi 5 tingkatan, yaitu:1,13
Tingkat I : berjalan tanpa hambatan
Tingkat II : berjalan dengan hambatan
Tingkat III : berjalan dengan menggunakan alat bantuan pegangan tangan
Tingkat IV : bergerak sendiri dengan hambatan, kadang menggunakan alat
bantu mobilitas
Tingkat V : berpindah tempat dengan menggunakan kursi roda
GMFCS dapat digunakan untukk menentukan pemilihan terapi yang tepat
sesuai dengan usia pasien dan tingkatan fungsi motorik, serta memprediksi
prognosis fungsi motorik kasar pada anak dengan Cerebral Palsy.1,8

22
H. Diagnosis
Menegakkan diagnosis pasti dari Cerebral palsy tidaklah begitu mudah,
terutama pada bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Pada kenyataannya untuk
mendiagnosis Cerebral palsy hanya mengamati apakah kerusakan motorik bersifat
permanen dan spesifik. Banyak anak yang menderita Cerebral palsy dapat
didiagnosis pada usia 18 bulan, akan tetapi 18 bulan merupakan waktu yang sangat
lama bagi orang tua pasien untuk mengetahui diagnosa penyakit anak tersebut.14,15
1. Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat
kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya
Cerebral palsy.1
Cerebral palsy biasa didiagnosis atau dicurigai pada bayi atau anak dengan
riwayat mengalami keterlambatan dalam perkembangan pergerakan seperti
tengkurap (5 bulan), duduk (6 bulan), belajar berdiri (9 bulan), berdiri sendiri (14
bulan), berjalan (15 bulan). Dalam menegakkan diagnosis Cerebral palsy seorang
dokter biasanya memperhitungkan keterlambatan gerakan-gerakan tersebut. 1,14,15
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat kelainan tonus otot, kelainan gerak, dan
kelainan refleks pada bayi.1
Pemeriksaan fisik lengkap dilakukan dengan memperhatikan perkembangan
motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang masih menetap. Pada bayi
yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena gejala
dapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan
perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua Cerebral palsy melalui fase
hipotoni.8
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dari Cerebral palsy tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan darah ataupun pemeriksaan radiologi (X-Ray, CT-
Scan, dan MRI), namun demikian pemeriksaan tersebut dapat saja dilakukan untuk
menyingkirkan kecurigaan-kecurigaan mengenai penyakit yang lainnya. MRI dan
23
CT Scan merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada pasien
dengan kecurigaan Cerebral palsy. Pemeriksaan ini memberi kecurigaan berupa
Hidrocephalus atau pun dapat menyingkirkan penyakit lain yang juga
menyebabkan gangguan motorik. Akan tetapi pemeriksaaan ini tidak dapat
membuktikan bahwa seorang anak menderita Cerebral palsy.4,15
Menurut data, pada sekelompok anak yang menderita Cerebral palsy
ditemukan kelainan pada hasil CT Scannya, baik berupa skar, pendarahan, ataupun
kelainan-kelainan lainnya yang tidak ditemukan pada anak normal. Maka dari itu
pada anak-anak dengan hasil CT Scan yang menunjukkan suatu kelainan dan
didukung dengan pemeriksaan fisis yang mengarah kepada Cerebral palsy, dapat
didiagnosis sebagai Cerebral palsy.4,15
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala,
pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada pendenita yang
memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena
sering disertai kejang. Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat
kemampuan intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa
atau sekolah luar biasa.8
I. Penatalaksanaan
Terapi bersifat simptomatik, yang akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi
yang sangat dini dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk
menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan
keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan Cerebral palsy
berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat.8
Tujuan terapi pasien Cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya
memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian
emosional dan pendidikan sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan
pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri.8
Penatalaksanaan pada anak membutuhkan kerjasama antara keluarga, ahli
rehabilitasi, ahli neurologi, ahli ortopedi, ahli psikologi, terapi bicara, pekerja

24
medis, sosial dan guru. Sebaiknya pengobatan ini diarahkan pada suatu
tempat/pusat khusus.15,16
Medikamentosa
Beberapa obat yang digunakan untuk mengatasi spastisitas seperti
benzodiazepin dan baclofen. Obat-obatan ini memberikan efek yang
menguntungkan pada beberapa pasien, namun juga dapat memberikan efek
samping seperti sedasi pada benzodiazepin dan menurunkan ambang kejang pada
baclofen. Obat-obatan yang dapat digunakan termasuk diazepam oral (0.5-7.5mg,
2 kali atau 4 kali perhari), baclofen (0.2-2 mg/kg/hari, 2 kali atau 3 kali perhari)
dengan dosis maksimal 20mg atau 60 mg/hari atau dantrolene (0.5-10mg/kg/hari,
2 kali perhari). Levodopa dosis rendah (0.5-2 mg/kg/hari) dapat digunakan untuk
mengobati distonia. Reserpine dapat digunakan untuk gangguan gerak hiperkinetik
termasuk atetosis atau korea.8
Baclofen intratekal terbukti sukses dalam mengibati pasien dengan spastisitas
berat. Botulinum toksin yang diinjeksikan kepada otot spesifik menunjukkan
respon yang positif pada beberapa pasien. Botulinum toksin tipe A mengganggu
pengeluaran asetilkolin pada neuromuskularjunction, sehingga mengganggu
kontraksi otot dan membuat otot menjadi lemah sementara. Botulinum toksin yang
diinjeksikan pada kelenjar saliva juga dapat mengurangi drooling yang berlebihan.
Pasien dengan rigiditas, distonia dan spastik kuadriplegia kadang memberikan
respons terhadap levodopa dan pemberian karbamazepin dan levodopa dapat
menguntungkan pada anak dengan distonia. 8,17
Non Medikamentosa
1. Terapi fisik dan okupasional (Occupational therapy)
Terapi fisik dan okupasional berfungsi untuk relaksasi otot, memperbaiki
koordinasi otot dan meningkatkan kontrol otot volunter sehingga pergerakan
dapat dikontrol. Terapi fisik bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan
mobilitas, hal ini diusahakan melalui latihan-latihan, berusaha untuk
memperbaiki posisi dan belajar jalan sendiri atau belajar untuk menggunakan

25
beberapa alat bantu seperti kursi roda, skuter, sepeda beroda dua atau beroda
tiga, alat bantu berupa penyangga pada kaki.16
Aktivitas yang ringan dapat dipelajari sendiri meskipun memerlukan latihan
yang berulang-ulang. Meregangkan otot spastik secara aktif setiap hari berguna
untuk mencegah deformitas yang ditandai dengan adanya spastisitas dan
ketidakseimbangan otot. Terapi okupasional dirancang untuk aktivitas-aktivitas
tertentu yang menggunakan keterampilan motorik, seperti untuk makan, duduk
dan belajar menggunakan peralatan mandi. 15,16
2. Terapi bicara (speech therapy)
Pengertian terapi bicara adalah memperbaiki pengucapan kata yang kurang
baik sehingga dapat dimengerti.15
3. Penanganan deformitas14,18
a. Pemakaian bidai diperlukan untuk mengatasi deformitas serta mencegah
rekurensi yang telah dikoreksi.
b. Pemakaian penyangga pada anggota gerak bawah diperlukan untuk
membantu anak berdiri dan berjalan dengan bantuan tongkat.
c. Untuk mengoreksi deformitas dan memperbaiki fungsi diperlukan
tindakan operatif sehingga anak dapat terbebas dari pemakaian
penyangga.
4. Penanganan pembedahan
Pengobatan dengan operasi merupakan suatu hal yang penting di mana
penanganan yang dilakukan melalui beberapa pendekatan operasi:19-21
a. Selective Dorsal Root Rhizotomy
Memotong saraf pada tungkai yang paling terpengaruh oleh gerakan
dan kejang. Prosedur ini, yang disebut rhizotomi (dalam bahasa Yunani
“rhizo” yang berarti akar dan “tomy” yang berarti “pemotongan”),
mengurangi spastisitas dan memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dan
kontrol yang terkena anggota badan dan sendi. Teknik ini bertujuan untuk
mengurangi spastisitas di kaki dengan mengurangi jumlah rangsangan yang
mencapai otot-otot kaki melalui saraf (nerve). Dalam prosedur, dokter
26
berusaha untuk menemukan dan secara selektif memutuskan saraf yang
terlalu aktif dalam mengendalikan otot-otot kaki. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa teknik ini dapat mengurangi spastisitas pada beberapa
pasien terutama mereka yang telah spastik diplegia.19-21
b. Chronic Cerebellar Stimulation
Dalam teknik ini, elektroda ditanamkan pada permukaan serebelum,
bagian dari otak yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan
pergerakan, dan digunakan untuk merangsang saraf serebelar tertentu.
Diharapkan bahwa teknik ini dapat menurunkan spastisitas dan
meningkatkan fungsi motoric.19-21
c. Stereotactic Neurosugery
Bedah stereotatik digunakan untuk mempermudah pengelolaan
pergerakan yang abnormal, teknik ini berhubungan dengan penanganan
gejala dan bukan penyakit itu sendiri.19-21
Bergantung pada sisi dan bagian dari tubuh yang ingin diperbaiki, para
ahli bedah saraf dapat mengetahui secara pasti titik target dari otak yang
harus diubah untuk mencapai hasil yang diinginkan.19-21
Teknik ini merupakan teknik tiga dimensi utuk bedah saraf. Terdiri
dari pengambilan sinar-X (atau pencitraan lain) untuk memetakan struktur
dalam otak. Setelah hal tersebut dilakukan, koordinat dipindahkan ke
stereotactic frame yang akan memandu elektroda ke lokasi yang tepat.
Stereotactic frame tetap berada dalam tengkorak dan elektroda didorong
lubang (burr hole) ke dalam otak. Sementara lucutan listrik kecil diterapkan
sebentar-sebentar, ahli bedah dapat melihat respon dari pasien dan sekaligus
mengetahui posisi tepat elektroda dalam otak. Setelah sampai di titik target,
impuls listrik yang lebih besar dikirim melalui elektroda untuk memodifikasi
sel-sel otak di tempat itu.19-21
Sebagian besar waktu, prosedur dilakukan di bawah anastesi lokal,
tergantung pada kondisi pasien. Biasanya pasien dapat pulang sehari setelah
prosedur operasi dilakukan.19-21
27
d. Stereotaxic Thalamotomy
Teknik ini meliputi operasi di area spesifik dari otak, yaitu thalamus
yang merupakan stasiun pada otak yang menerima pesan-pesan dari otot dan
organ-organ indera (organ sensoris). Prosedur ini terbukti efektif hanya untuk
menggurangi tremor hemiparetik.19
e. Bedah pada kontraktur
Operasi yang dilakukan didasarkan atas prinsip penanganan ortopedi
terhadap kelainan neurologi dan trauma.
Secara umum operasi bermanfaat terutama pada tipe spastik, tetapi
tidak diindikasikan sampai anak mencapai perkembangan keseimbangan
tubuh. Orang tua harus diingatkan bahwa operasi bertujuan untuk
memperbaiki fungsi tapi tidak dapat memperbaiki anggota gerak yang spastik
menjadi normal, teknik pembedahan yang dapat dilakukan yaitu
pemanjangan tendon dan pemindahan tendon.21
Pembedahan sering dianjurkan ketika kontraktur yang cukup parah
untuk menyebabkan masalah gerakan. Di ruang operasi, dokter bedah dapat
memperpanjang otot dan tendon yang proporsional terlalu pendek. Pertama,
dokter bedah harus menentukan otot-otot tepat, karena memperpanjang otot
yang salah bisa membuat masalah lebih buruk.19-21
Menemukan masalah otot yang perlu koreksi dapat menjadi tugas
yang sulit. Hal ini disebabkan berjalan dua langkah dengan gaya berjalan
(gait) normal, dibutuhkan lebih dari 30 otot besar bekerja di waktu yang tepat
dan gaya yang tepat. Kelainan dalam salah satu otot tersebut dapat
menyebabkan gaya berjalan abnormal. Sedangkan penyesuaian alami tubuh
untuk mengimbangi dan mengkompensasi kelainan otot tersebut dapat
menyesatkan. Sebuah alat baru yang memungkinkan para dokter untuk
menemukan kelainan gaya berjalan abnormal, kelainan pada otot, dan
memisahkan kelainan yang nyata dari mekanisme kompensasi disebut gait
analysis. Gait analysis menggabungkan kamera yang merekam pasien ketika
sedang berjalan, komputer yang menganalisis setiap porsi gaya berjalan
28
pasien, force plates yang mendeteksi ketika kaki menyentuh tanah, dan
teknik perekaman khusus yang dapat mendeteksi aktivitas otot (yang dikenal
sebagai Elektromiografi). Dengan menggunakan data ini, dokter akan lebih
siap untuk memperbaiki masalah-masalah yang signifikan. Mereka juga
dapat menggunakan gait analysis untuk memeriksa hasil bedah.19-21
Pemanjangan otot membuat otot menjadi lebih lemah, operasi
kontraktur biasanya diikuti dengan bulan pemulihan. Untuk alasan ini, para
dokter berusaha untuk memperbaiki fungsi otot-otot sebanyak mungkin. Jika
lebih dari satu prosedur bedah tidak dapat dihindari, operasi dijadwalkan
berdekatan.21
f. Bedah pada tipe atetoid
Pada tipe athetoid hanya sedikit yang dapat dibantu dengan tindakan
operasi yaitu dengan cara khusus yang bertujuan untuk mengurangi
pergerakan athetoid berupa neurektomi yang selektif.21

J. Prognosis
Hingga saat ini Cerebral palsy tidak dapat disembuhkan, tetapi berdasarkan
masalah yang timbul menyangkut sistem pernapasan dapat teratasi. Bila seorang
anak mulai bertambah usia ataupun ketika mulai mengikuti kegiatan sekolah, maka
ia akan berlatih untuk tidak terlalu bergantung pada orang lain, akan tetapi ada
juga anak yang membutuhkan bantuan seumur hidupnya.Kerusakan pada otak
yang terjadi pada Cerebral palsy tidak dapat diperbaiki, tetapi setiap anak dapat
mencoba untuk menggunakan bagian lain dari otak yang tidak mengalami
kerusakan untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Seorang anak yang
menderita Cerebral palsy akan menjadi dewasa tetap sebagai penderita Cerebral
palsy. Bantuan yang dapat diberikan yaitu membantunya untuk dapat melanjutkan
hidup dengan kemampuan yang ada tanpa bergantung kepada orang lain selama ia
bisa melakukannya sendiri.Prognosis paling baik pada derajat fungsional yang
ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan retardasi mental,
bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran.13,14,22
29
BAB III
RINGKASAN

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam
susunan saraf pusat, bersifat kronik dan non progresif akibat kelainan atau cacat
pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya.
Angka kejadian cerebral palsy terus meningkat seiring berjalannya waktu,
setiap 100.000 kelahiran, terdapat 7 kasus paralisis otak. Satu diantaranya akan
meninggal sebelum berumur 6 tahun. Cerebral palsy dapat terjadi selama
kehamilan (75 %), selama persalinan (5 %) atau setelah lahir (15 %) sampai sekitar
usia tiga tahun. Cerebral palsy merupakan kelainan pada anak yang paling sering
memberikan masalah sosial, psikologis dan pendidikan.
Menegakkan diagnosis pasti dari Cerebral palsy tidaklah begitu mudah,
terutama pada bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Pada kenyataannya untuk
mendiagnosis Cerebral palsy hanya mengamati apakah kerusakan motorik bersifat
permanen dan spesifik. Banyak anak yang menderita Cerebral palsy dapat
didiagnosis pada usia 18 bulan, akan tetapi 18 bulan merupakan waktu yang sangat
lama bagi orang tua pasien untuk mengetahui diagnosa penyakit anak tersebut.
Terapi bersifat simptomatik, yang akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi
yang sangat dini dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk
menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan
keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan Cerebral palsy
berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat.
Hingga saat ini Cerebral palsy tidak dapat disembuhkan, tetapi berdasarkan
masalah yang timbul menyangkut sistem pernapasan dapat teratasi. Bila seorang
anak mulai bertambah usia ataupun ketika mulai mengikuti kegiatan sekolah, maka
ia akan berlatih untuk tidak terlalu bergantung pada orang lain, akan tetapi ada
juga anak yang membutuhkan bantuan seumur hidupnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue;


2012. p. 255-8.
2. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara;
2014. p. 621-7.
3. Novak I. Evidence-Based Diagnosisi, Health Care, and Rehabilitation for
Children With Cerebral palsy. 2014 (cited at 2017 Aug 10). Available from:
http://www.noahsworldusa.com
4. Nath. Cerebral palsy. 2015 (cited at 2017 Aug 10). Available from:
http://thomsoncorporation.org/health.htm
5. Rosenbaum P, Rosenblom L In: Rogers L, Wong E. Cerebral palsy. London.
2012 (cited at July 31, 2017). Available from :
http://www.pathophys.org/cerebralpalsy/
6. Hamid HZA. Cerebral palsy. 2016 (cited at 2017 July 31). Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1179555-overview#a1
7. Johnston MV. Cerebral palsy In: Kliegman R M, Behrman R E, Jenson H B,
Stanton B F. Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics, 19th ed. Saunders, An
Imprint of Elsevier. USA. 2011.p.2061-9.
8. Adnyana IMO. Cerebral palsy Ditinjau dari Aspek Neurologi. Denpasar: UPF
Neurologi Universitas Udayana; 2009. p. 37-40.
9. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fiscer JE, Galloway AC.
Principle of Surgery. 10th ed. United States: McGraw-Hill Companies; 2014.
Vol 2 p.1922-4.
10. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd Ed. .
Saunders, An Imprint of Elsevier. USA. 2012.p.31-50.
11. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. p.
87-8.
12. Price & Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2006. Vol 2 p. 1026, 1028-30, 1039-42.
31
13. Werner D. Cerebral palsy and Other Neuromuscular Conditions [Online].
2014 (cited at 2017 July 31). Available from: http://doi.org/10.1007/978-1-
4614-1578-7_40
14. Office and Communication of Public Liasion Bethesda. What is Cerebral
palsy. 2006 (cited at 2017 Aug 7). Available from:
http://www.askthelawdoc.com/about-cp.html
15. Hong BY, Jo L, Kim JS, Lim SH, Bae JM. Factors Influencing the Gross
Motor Outcome of Intensive Therapy in Children with Cerebral palsy and
Developmental Delay. J Korean Med Sci. 2017; 32(5): 873-9.
16. Schemier B, Buchanan K. A three-week intensive pediatric physical therapy
plan of care for a child with spastic quadriplegia cerebral palsy: A case report.
2015 (cited at 2017 Aug 2). Available from:
http://dune.une.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=pt_studcrpost
er
17. Shamsoddini A, Amirsalari S, Hollisaz MT, Rahimnia A, Aghida AK.
Management of spasticity in children with cerebral palsy. Iranian Journal of
Pediatric. 2014; 24(4): 345-351.
18. Treathing Cerebral palsy. 2007 (cited at 2017 July 31) Available from:
http://treatmentofcerebralpalsy.com/index.html
19. Anderson RCE. Selective Dorsal Rhizotomy for Spasticity. 2015 (cited at
2017 August 6). Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1890537-overview#a1
20. Park TS, Liu JL, Edward C, Walter DM, Dobbs MB. Functional Outcomes of
childhood selective dorsal rhizotomy. Cureus. 2017. 9(5): 1-13.
21. Madrona LM. Cerebral palsy An Introduction and Overview. 2001 (cited at
2017 Aug 3); Available from:http://www.healing-
arts.org/children/cp/cpoverview.html
22. Polzin SJ. Cerebral palsy. 2006 (cited at 2017 Aug 3). Available from:
http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/cerebral_palsy.html

32

Anda mungkin juga menyukai