Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di
bawah lobus kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan
diproduksi secara terus-menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol,
bilirubin dan garam empedu. Cairan empedu ini membantu dalam penyerapan
lemak. Sebagian dari cairan empedu dialirkan secara langsung dari hati ke dalam
duodenum melalui kanalikuli (saluran-saluran kecil) yang kemudian kanalikuli ini
bersatu dan akhirnya membentuk suatu sistem saluran empedu (Common Bile
Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya disimpan di dalam kandung empedu.
Cairan empedu ini dialirkan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang
bergabung dengan duktus hepatikus dari hati yang membentuk sistem saluran
empedu (Common Bile Duct).

Common Bile Duct berakhir pada sfingter di usus halus dan disini
menerima enzim dari pankreas melalui duktus pankreatikus. Angka kejadian
obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus per 1000 orang
per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier
bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara
klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan
pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran
empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu (kolelitiasis). Berdasarkan jenis
kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria.

Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu.
Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Banyaknya pemeriksaan yang dapat dilakukan padan penderita ikterus
belum tentu dapat menentukan diagnosa yang tepat. Oleh karena itu diperlukan
algoritme pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang sistimatik dan terarah dalam
rangka penentuan diagnosa. Dalam usaha menentukan diagnosa ikterus kolestasis
dilakukan pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran saluran empedu dan
dapat menunjukan letak dari sumbatan. Banyaknya imaging yang dapat dilakukan
dengan memakai alat dari konvensional sampai alat canggih maka pemilihan
pemeriksaan adalah amat penting.

Pada makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang glaukoma

1.1 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui definisi icterus obstruktif
2. Mahasiswa mengetahui etiologi icterus obstruktif
3. Mahasiswa mengetahui patofisiologi icterus obstruktif
4. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis icterus obstruktif
5. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostic icterus obstruktif
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan icterus obstruktif

1.2 Manfaat
1.2.1 Bagi Ilmu pengetahuan
Untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang interna,
khususnya mengenai penyakit icterus obstruktif.
1.2.2 Bagi Masyarakat
Untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai
icterus obstruktif, sehingga masyarakat dapat memeriksakan diri
sedini mungkin ke fasilitas pelayanan kesehatan bila diperlukan.
1.2.3 Bagi Penulis
Untuk memberikan informasi dan menambah ilmu pengetahuan
mengenai icterus obstruktif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ikterus adalah suatu keadaan dimana jaringan berwarna kekuning-
kuningan akibat deposisi bilirubin yang terjadi bila kadar bilirubin darah
mencapai 2mg/dl. Ikterus obstruktif sendiri adalah icterus yang disebabkan oleh
obstruksi sekresi bilirubin yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke
traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut terjadi regurgitasi bilirubin ke
dalam aliran darah, sehingga terjadilah icterus.
Icterus obtruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana
kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri.
Dengan demikian, icterus obstruktif merupakan jaundice/kekuningan yang
disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin ke jejunum.

2.2 Etiologi
Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatic (mengenai sel hati) atau
ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini
terdapat gangguan biokimia yang serupa.

a. Icterus obstruktif intrahepatic


Penyebab tersering icterus obstruktif intrahepatic adalah penyakit
hepatoseluler dengan kerusakan sel parenkim hati akibat virus
hepatitis atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini,
pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan
menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoseluler
biasanya mengganggu semua fase metabolism bilirubin ambilan,
konjugasi, dan eksresi, tetapi eksresi biasanya paling terganggu,
sehingga yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Penyebab icterus obstruktif intrahepatic yang lebih
jarang adalah pemakaian obat-obatan tertentu, dan gangguan
herediter. Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin
melalui membrane hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi
bilirubin dalam sel, obat yang sering mencetuskan gangguan ini
adalah halotan (anastetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid
anabolic, isoniazid, dan klorpromazin.

b. Icterus obstruktif ekstrahepatik


Penyebab tersering icterus obstruktif ekstrahepatik adalah
sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus
koledokus, karsinoma kaput pancreas menyebabkan tekanan pada
duktus koledokus dari luar. Demikian juga dengan karsinoma
ampula vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah icterus pasca
peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe
pada porta hepatis. Lesi intrahepatic seperti hepatoma kadang-
kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.

2.3 Patofisiologi

a. Icterus obstruktif intrahepatic


Pada penderita hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D
yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh melalui
membrane mukosa/merusak kulit untuk mencapai hati. Di hati
replikasi 2-6 minggu/sampai 6 bulan penjamu mengalami gejala.
Beberapa infeksi tidak terlihat untuk yang mengalami gejala :
tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam yang
diikuti dengan kekuningan, atritis, nyeri perut, dan mual. Pada
kasus yang ekstrim dapat terjadi kerusakan pada hati
(hepatomegaly).
b. Icterus obstruktif ekstrahepatik
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun
dari pigmen dan batu yang terutama dari kolesterol
1. Batu pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak
terkonjugasi dalam empedu mengadakan presipitasi
(pengendapan) sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya
batu ini semakin besar pada pasies sirosis, hemolysis dan
infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan
dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi.
2. Batu kolesterol
Kolesterol merupakan unsur normal pembentuk empedu
yang bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya tergantung
pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam
empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu
empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sistesis kolesterol dalam hati, keadaan ini
mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol
yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol
merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan
berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan
dalam kandung empedu.

2.4 Manifestasi Klinis

a. Ikterus obstruktif intrahepatic


Terdapat 3 fase :
1. Fase pre-ikterik
Periode dimana infektivitas paling besar. Gejala meliputi
mual, muntah, diare, konstipasi, penurunan berat badan,
malaise, sakit kepala, demam ringan, sakit sendi, ruam
kulit.
2. Fase ikterik-jaudice (temuan paling menonjol)
Urine gelap berkabut (disebakan oleh peningkatan kadar
bilirubin), hepatomegaly dengan nyeri tekan, pembesaran
nodus limfa, pruritus (akibat akumulasi garam empedu pada
kulit), gejala fase pra-ikterik berkurang sesuai menonjolnya
gejala.
3. Fase pasca ikterik
Gejala sebelumnya berkurang tetapi kelelahan berlanjut,
empat bulan diperlukan untuk pemulihan komplit.

b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik


Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat
mengalami 2 jenis gejala yaitu gejala yang disebabkan oleh
kandung empedu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi
pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat
akut atau kronis seperti :
1. Gangguan epigastrium seperti rasa penuh, distensi abdomen
dan nyeri samar pada kuadran kanan. Gejala ini dapat
terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang
berlemak atau digoreng.
2. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung
empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi.
Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier
disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang
menjalar ke punggung atau bahu kanan. Rasa nyeri ini
biasanya disertai dengan mual muntah, dan bertambah
hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan
dalam porsi besar.
3. Icterus
Icterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung
empedu dengan persentase yang kecil dan biasanya terjadi
pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran
getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan
penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane
mukosa berwarna kuning. Keadaaan ini sering disertai
dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
4. Perubahan warna urine dan feses
Eksresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine
berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh
pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat
yang disebut “clay-colored”
5. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi
vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak. Karena itu
pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi
vitamin A dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

1. Icterus Obstruktif Intrahepatik


a. Tes fungsi hati : abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan : ini
merupakan batasan nilai untuk membedakan hepatitis virus dan
non virus
b. AST (SGOT) / ALT (SGPT) : awalnya meningkat. Dapat
meningkat dalam 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak
menurun
c. Darah lengkap
d. Leukopenia : trombositopenia mungkin ada (splenomegaly)
e. Diferensial darah lengkap : leukositosis, monositosis, limfosit
atipikal, dan sel plasma
f. Alkali fosfatase : agak meningkat (kecuali ada kolestasi berat)
g. Feses : warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
h. Albumin serum : menurun
i. Gula darah : hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi
hati )
j. Anti HAV IgM : positif pada tipe A
k. HbsAG : dapat positif (tipe B) atau negative (tipe A)
l. Masa protrombin : mungkin memanjang (disfungsi hati)
m. Bilirubin serum : diatas 2,5mg/100ml (bila diatas 200mg/ml,
prognosis buruk mungkin berhubungan dengan peningkatan
nekrosis seluler)
n. Biopsy hati : menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis
o. Scan hati : membantu dalam perkiraan beratnya kerusakaan
parenkim
p. Urinalisa : peningkatan kadar bilirubin, protein/hematuria dapat
terjadi.
2. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
a. Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu dikandung
empedu atau di duktus koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini
dipakai untuk screening, melihat keadaan secara keseluruhan
dalam rongga abdomen.
b. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang
menyebabkan kholestasis. Pemeriksaan USG sangat mudah
melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga
dengan mudah dpat mendiagnosis apakah ada icterus obstruksi
atau icterus non obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus
biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka akan terlihat
duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian
diikuti pelebaran bagian proksimal.
c. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan tindakan yang langsung dan invasive untuk
mempelajari traktus billiaris dan sistem duktus pankreatikus.
d. Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP)
MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus
pankreatikus dengan memakai pesawat MRI. Dengan memakai
heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan
yang menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.
e. Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC)
PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan
ikterus obstruktif ekstra dan intra hepatik serta menentukan lokasi
sumbatan dan juga pada kebanyakan kasus etiologi dari pada
obstruksi lainnya. Gambaran saluran empedu yang diperoleh PTC
tidak hanya memberikan informasi mengenai saluran empedu
tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga dapat
menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.
f. Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD)
Teknik sama dengan PTC hanya di sini kateter masuk sampai
melampaui obstruksi dan bisa sampai duodenum. Lebih ke arah
terapi, karena flow dan cairan empedu masuk ke dalam “side hole”
dari kateter.
g. CT-Scan
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan
untuk melengkapi data suatu pemeriksaan sonografi yang telah
dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan dilakukan guna
menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya
obstruksi/kelainan pada saluran empedu. Dalam hal ini CT Scan
dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif, apakah intra
atau ekstra hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari
duktus biliaris
h. Pemerisaan Laboratorium
I. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4
mg/ml), Normal = 0,1-0,3 mg/ml.
II. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (>
0,8 mg/ml), Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
III. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan
bilirubin urin (konsentrasi tinggi dalam darah).
IV. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung
pada kemampuan hati untuk mengabsorbsi urobilinogen
dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
V. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal
= 40-280 mg/hari, karena tidak mencapai usus.
VI. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak
dapat diekskresi ke kandung empedu secara normal.
VII. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan
level kolesterol mengindikasikan ketidakmampuan hati
untuk mensintesisnya.
VIII. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di
kulit, sehingga menimbulkan pruritus.
IX. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik)
dikarenakan penurunan absorbsi vitamin K
2.6 Penatalaksanaan

a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik


Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepetitis virus akut. Tirah
baring selama fase akut penting dilakukan, dan diet rendah lemak
dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang paling
dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara
intravena mungkin perlu diberikan selama fase akut bila pasien
terus menerus muntah. Aktifitas fisik biasanya perlu dibatasi
hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.

b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik


Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan
tradisional dianggap sebagai carapendekatan yang baku dalam
penatalaksanaan penyakit ini. Namun demikian, perubahan
dramatis telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah
terhadap penatalaksanaan kandung empedu.

I. Penatalaksanaan Nonbedah
a. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut
biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen
bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu
skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat
menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa
lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk
gas, roti, kopi atau teh.Penatalaksanaan diet merupakan bentuk
terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi
terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala
gastrointestinal ringan.
b. Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu
radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam
kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat
diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek
yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu.
c. Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu
dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau
Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan
melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan pada saatpembedahan; melalui endoskop ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau kateter
bilier transnalas.
d. Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu
yang belum terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit
dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring
yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat
fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring digunakan
untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam
duktus koledokus.
e. Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu
empedu tanpa pembedahan. Prosedur noninvasif ini menggunakan
gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada batu
empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.
f. Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung
empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan
menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi
hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung
pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan
cara irigasi dan aspirasi.

II. Penatalaksanaan Bedah


Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu
empedu dilaksanakanuntuk mengurangi gejala yang sudah
berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan
untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau
gejala yang dirasakan klien sudah mereda atau bisa dikerjakan
sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien
mengharuskannya.
a. Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering
dilakukan, di Amerika lebih dari 600.000 orang menjalani
pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung
empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b. Minikolesistektomi
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk
mengeluarkan kandung empedu lewat insisi selebar 4 cm.
c. Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik)
Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka
tusukan melalui dinding abdomen pada umbilikus. Pada prosedur
kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu
pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat
struktur abdomen.
d. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus
untuk mengeluarkan batu.
e. Bedah Kolesistostomi
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak
memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas atau bila
reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin
dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl, dimana ikterus obstruktif
merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada sekresi bilirubin
pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke
traktus gastrointestinal. Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan
intervensi bedah, sementara ikterus obstruktif biasanya membutuhkan intervensi
bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering juga
disebut sebagai “surgical jaundice”, dimana morbiditas dan mortalitas sangat
tergantung dari diagnosis dini dan tepat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
keadaan fisiologi, disertai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang yang tepat diharapkan dapat menegakkan diagnosis yang
tepat sehingga dapat ditentukan tatalaksana apa yang terbaik untuk pasien.

Anda mungkin juga menyukai

  • Terjemahan Jurnal
    Terjemahan Jurnal
    Dokumen13 halaman
    Terjemahan Jurnal
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Resusitasi Jantung Paru
    Resusitasi Jantung Paru
    Dokumen25 halaman
    Resusitasi Jantung Paru
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Anastesi CPR
    Anastesi CPR
    Dokumen17 halaman
    Anastesi CPR
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • HORDEOLUM
    HORDEOLUM
    Dokumen10 halaman
    HORDEOLUM
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Refrat Penggunaan Eritropoetin
    Refrat Penggunaan Eritropoetin
    Dokumen21 halaman
    Refrat Penggunaan Eritropoetin
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen18 halaman
    Referat
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Lapkas DHF
    Lapkas DHF
    Dokumen26 halaman
    Lapkas DHF
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Lapkas DHF
    Lapkas DHF
    Dokumen33 halaman
    Lapkas DHF
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Anastesi CPR
    Anastesi CPR
    Dokumen17 halaman
    Anastesi CPR
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Dokumen35 halaman
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Daud Rantetana
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen11 halaman
    Bab I
    Yolanda Silvia Dhani II
    Belum ada peringkat
  • Book 1
    Book 1
    Dokumen2 halaman
    Book 1
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Krisis Hipertensi
    Krisis Hipertensi
    Dokumen23 halaman
    Krisis Hipertensi
    nurul annisa
    Belum ada peringkat