PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di
bawah lobus kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan
diproduksi secara terus-menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol,
bilirubin dan garam empedu. Cairan empedu ini membantu dalam penyerapan
lemak. Sebagian dari cairan empedu dialirkan secara langsung dari hati ke dalam
duodenum melalui kanalikuli (saluran-saluran kecil) yang kemudian kanalikuli ini
bersatu dan akhirnya membentuk suatu sistem saluran empedu (Common Bile
Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya disimpan di dalam kandung empedu.
Cairan empedu ini dialirkan dari kandung empedu melalui duktus sistikus yang
bergabung dengan duktus hepatikus dari hati yang membentuk sistem saluran
empedu (Common Bile Duct).
Common Bile Duct berakhir pada sfingter di usus halus dan disini
menerima enzim dari pankreas melalui duktus pankreatikus. Angka kejadian
obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus per 1000 orang
per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier
bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara
klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan
pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran
empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu (kolelitiasis). Berdasarkan jenis
kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria.
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di
dalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu.
Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara Barat.
Banyaknya pemeriksaan yang dapat dilakukan padan penderita ikterus
belum tentu dapat menentukan diagnosa yang tepat. Oleh karena itu diperlukan
algoritme pemeriksaan yaitu pemeriksaan yang sistimatik dan terarah dalam
rangka penentuan diagnosa. Dalam usaha menentukan diagnosa ikterus kolestasis
dilakukan pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran saluran empedu dan
dapat menunjukan letak dari sumbatan. Banyaknya imaging yang dapat dilakukan
dengan memakai alat dari konvensional sampai alat canggih maka pemilihan
pemeriksaan adalah amat penting.
1.1 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui definisi icterus obstruktif
2. Mahasiswa mengetahui etiologi icterus obstruktif
3. Mahasiswa mengetahui patofisiologi icterus obstruktif
4. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis icterus obstruktif
5. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostic icterus obstruktif
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan icterus obstruktif
1.2 Manfaat
1.2.1 Bagi Ilmu pengetahuan
Untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang interna,
khususnya mengenai penyakit icterus obstruktif.
1.2.2 Bagi Masyarakat
Untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai
icterus obstruktif, sehingga masyarakat dapat memeriksakan diri
sedini mungkin ke fasilitas pelayanan kesehatan bila diperlukan.
1.2.3 Bagi Penulis
Untuk memberikan informasi dan menambah ilmu pengetahuan
mengenai icterus obstruktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus adalah suatu keadaan dimana jaringan berwarna kekuning-
kuningan akibat deposisi bilirubin yang terjadi bila kadar bilirubin darah
mencapai 2mg/dl. Ikterus obstruktif sendiri adalah icterus yang disebabkan oleh
obstruksi sekresi bilirubin yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke
traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut terjadi regurgitasi bilirubin ke
dalam aliran darah, sehingga terjadilah icterus.
Icterus obtruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana
kondisi ini akan menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri.
Dengan demikian, icterus obstruktif merupakan jaundice/kekuningan yang
disebabkan oleh obstruksi yang menghalangi bilirubin ke jejunum.
2.2 Etiologi
Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatic (mengenai sel hati) atau
ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini
terdapat gangguan biokimia yang serupa.
2.3 Patofisiologi
I. Penatalaksanaan Nonbedah
a. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut
biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Suplemen
bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu
skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat
menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa
lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk
gas, roti, kopi atau teh.Penatalaksanaan diet merupakan bentuk
terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi
terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala
gastrointestinal ringan.
b. Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu
radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam
kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat
diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek
yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu.
c. Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu
dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (Monooktanion atau
Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam
kandung empedu; melaui selang atau drain yang dimasukan
melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan pada saatpembedahan; melalui endoskop ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau kateter
bilier transnalas.
d. Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu
yang belum terangkat pada saat cholesistektomy atau yang terjepit
dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai jaring
yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat
fistule yang terbentuk pada saat insersi T-tube, jaring digunakan
untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam
duktus koledokus.
e. Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu
empedu tanpa pembedahan. Prosedur noninvasif ini menggunakan
gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada batu
empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.
f. Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung
empedu atau duktus koledokus dapat dipecah dengan
menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi
hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung
pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan
cara irigasi dan aspirasi.
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin
dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl, dimana ikterus obstruktif
merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada sekresi bilirubin
pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke
traktus gastrointestinal. Umumnya, ikterus non-obstruktif tidak membutuhkan
intervensi bedah, sementara ikterus obstruktif biasanya membutuhkan intervensi
bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan, sehingga sering juga
disebut sebagai “surgical jaundice”, dimana morbiditas dan mortalitas sangat
tergantung dari diagnosis dini dan tepat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
keadaan fisiologi, disertai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang yang tepat diharapkan dapat menegakkan diagnosis yang
tepat sehingga dapat ditentukan tatalaksana apa yang terbaik untuk pasien.