Anda di halaman 1dari 21

REFRAT PENGGUNAAN ERITROPOETIN

PADA PASIEN ANEMIA DENGAN KANKER


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan
Klinik Senior SMF Penyakit Dalam

Nurul Annisatussholeha, S.Ked


(17360125)

Pembimbing :
dr. Juspeni Kartika, Sp.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF INTERNA
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
KOTA BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan karunia, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami

mendapatkan kesempatan dan keberanian dalam menyelesaikan makalah kami

yang berjudul “” yang bertujuan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinis

Senior dan untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu interna. Shalawat serta

salam kepada Nabi Muhammad saw serta keluarga yang telah menjadi suri

tauladan sampai akhir jaman.

Pada kesempatan ini juga kami berterimakasih atas bimbingan dari dr.

Juspeni Kartika, Sp.PD dan semua pihak yang telah memberi kami bantuan untuk

dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik secara langsung maupun tidak

langsung.

Akhir kata, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini, baik dari segi isi maupun penyajiannya. Untuk itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembimbing yang

berangkutan dan rekan-rekan semuanya demi kesempurnaan makalah ini dan

makalah-makalah selanjutnya.

Bandar Lampung, Februari 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eritropoetin (Epo) adalah hormon glikoprotein 30,4 kDa yang merupakan
regulator utama produksi eritrosit sebagai respons terhadap penurunan oksigenasi
jaringan. Produksi Epo terutama terjadi di ginjal dan sebagian kecil di hati, juga
oleh sel-sel jaringan dan tumor. Efek Epo pada sel diperantarai oleh reseptor
eritropoetin (EpoR). Aktivasi EpoR dimulai saat Epo berikatan dengan EpoR dan
membentuk dimerisasi EpoR yang kemudian mengaktivasi jalur pensinyalan
JAK2.
Aktivasi JAK2 menyebabkan aktivasi jalur-jalur pensinyalan intraseluler,
seperti STAT, Ras/MAPK, dan PI3-K. Pada sel-sel kanker, aktivasi jalur-jalur
pensinyalan tersebut diduga mengakibatkan peningkatan proliferasi sel dan
penurunan apoptosis. Ekspresi EpoR pada sel-sel kanker masih merupakan
kontroversi. Penelitian dengan Epo-binding assay tidak dapat mengkonfirmasi
keberadaan EpoR di membran sel kanker dan aktivasinya. Hubungan antara
ekspresi EpoR dan progresivitas kanker diduga terjadi melalui efek parakrin ke
sel-sel lain dalam lingkungan mikrotumor, seperti endotel dan trombosit. Efek
Epo pada EpoR di sel-sel endotel dan trombosit tersebut dapat memicu
angiogenesis dan mikrometastasis, sehingga menyebabkan perburukan kanker.
Peran Epo dan EpoR pada progresivitas sel-sel kanker masih kontroversial dan
memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Sejauh ini pedoman penatalaksanaan anemia terkait kanker yang
dikeluarkan oleh NCCN dan ASCO tetap merekomendasikan penggunaan
eritropoetin untuk pasien kanker dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
Eritropoetin adalah hormon yang terutama diproduksi oleh ginjal untuk
meningkatkan produksi eritrosit. Hipoksia meningkatkan produksi hormon Epo
sedangkan hiperoksia menurunkan hormon Epo dan menurunkan produksi
eritrosit
Epo bersirkulasi dalam plasma dan mengikat reseptor spesifik di sel-sel
progenitor eritrosit sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi seldarah
merah. Tujuan produksi eritropoetin adalah untuk menjaga massa sel darah merah
yang optimal dalam kondisi fisiologis. Produksi eritropoetin (Epo) dikendalikandi
level transkripsional, dan hipoksia merupakan satu-satunya regulator fisiologis
untuk ekspresi gen eritropoetin.

Pada makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang penggunaan


eritropoetin pada pasien anemia dengan kanker

1.1 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui struktur eritropoetin
2. Mahasiswa mengetahui fungsi eritropoetin
3. Mahasiswa mengetahui struktur reseptor eritropoetin (EpoR)
4. Mahasiswa mengetahui mekanisme aktivasi reseptor eritropoetin
5. Mahasiswa mengetahui anemia pada penyakit kanker
6. Mahasiswa mengetahui klasifikasi anemia pada kanker
7. Mahasiswa mengetahui gangguan produksi eritropoetin
8. Mahasiswa mengetahui penggunaan Eritropoetin pada pasien kanker
dalam praktik klinis

1.2 Manfaat
1.2.1 Bagi Ilmu pengetahuan
Untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang interna,
khususnya tentang penggunaan eritropoetin pada pasien anemia
dengan kanker
1.2.2 Bagi Masyarakat
Untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
penggunaan eritropoetin pada pasien anemia dengan kanker.
1.2.3 Bagi Penulis
Untuk memberikan informasi dan menambah ilmu pengetahuan
mengenai tentang penggunaan eritropoetin pada pasien anemia dengan
kanker
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Eritropoetin

Eritropoetin adalah suatu hormon glikoprotein berukuran 30,4 kDa yang


merupakan regulator utama produksi sel darah merah sebagai respons eritropoetik
akibat penurunan oksigenasi jaringan. Susunan asam amino Epo berhasil dipurifi
kasi tahun 1977 dan gen Epo kemudian berhasil dikloning tahun 1985.
Selanjutnya, identifikasi kompleks faktor transkripsi hypoxia-inducible factor
(HIF)-1 dan regulasinya dapat menguak mekanisme dasar penginderaan oksigen
seluler yang mengatur ekspresi Epo. Gen Epo terdiri dari regio promoter (Prom),
lima ekson dan hypoxia-response element (HRE) di dalam enhancer (Gambar 1).

Gambar 1 Regulasi gen eritropoetin (EPO) yang tergantung oksigen

Promoter gen Epo tidak mempunyai elemen TATA atau CAAT untuk
aktivasi transkripsi. Elemen-elemen regulator transkripsi utama adalah hypoxia
responsive element (HRE) untuk pengikatan HIF-1/2 α/β dan faktor transkripsi
lain (misalnya hepatic nuclear factor [HNF]-4). Elemen regulator DNA lainnya
adalah kidney inducible element (KIE), negative regulatory element (NRE), liver-
inducible element (LIE), dan negative regulatory liver element (NRLE). Pada
manusia, mRNA Epo menyandi suatu protein dengan 193 asam amino. Namun,
selama modifi kasi pascatranslasional terjadi pemecahaan asam-asam amino di 27
N-terminal dan arginin C-terminal sehingga struktur Epo matur hanya
mengandung 165 asam amino (Gambar 2). Molekul Epo mengandung dua ikatan
disulfi da di antara asam amino 7 dan 161 serta asam amino 29 dan 33 untuk
menstabilkan strukturnya.

Gambar 2 Struktur eritropoetin

Kehilangan salah satu ikatan berikut akan mengakibatkan hilangnya


bioaktivitas Epo. Selain itu, molekul Epo memiliki tiga gugus gula terikat-N di
posisi 24, 37, dan 83 serta satu gula terikat-O pada posisi 126.21 Gula terikat-O
tidak memiliki fungsi penting, tetapi gula terikat-N penting untuk stabilitas
molekul Epo di sirkulasi.
2.2 Fungsi Eritropoetin

Pada keadaan hipoksia berat, Epo dapat meningkat sampai 1000 kali lipat.
Hormon ini kemudian bersirkulasi dalam darah mengikat reseptor-reseptor spesifi
k di sel-sel progenitor eritroid, memacu viabilitas, proliferasi dan diferensiasi
prekursor-prekursor eritroid sehingga menghasilkan peningkatan sel darah merah.
Peningkatan kapasitas oksigen darah yang bertambah kemudian meningkatkan
tekanan oksigen jaringan dan menjadi mekanisme umpan balik negatif terhadap
produksi Epo.

Pada orang dewasa, eritropoetin yang diproduksi di ginjal berfungsi


sebagai pengatur produksi sel darah merah pada keadaan normoksia. Eritropoetin
yang di-produksi di hati terlibat dalam produksi sel darah merah pada janin atau
pada orang dewasa dalam keadaan hipoksia. Selain di dua organ tersebut,
produksi Epo ternyata juga ditemukan di berbagai jaringan, antara lain di sistem
saraf pusat dan organ reproduktif. Eritropoetin yang diproduksi di luar ginjal (dan
hati) bekerja secara parakrin dan/atau autokrin, dan tidak tergantung pada sistem
Epo endokrin untuk eritropoesis. Di sistem saraf pusat, produsen Epo adalah
astrosit dan EpoR diekspresikan di neuron-neuron. Penelitian memberi kesan
bahwa Epo pada berbagai jenis sel berfungsi sebagai modifi er apoptosis untuk
melindungi sel dari potensi cedera baik secara langsung maupun tidak langsung,
sehingga dianggap sebagai sitokin protektif jaringan.

Sel-sel yang mengekspresikan EpoR antara lain sel-sel endotel vaskuler,


miosit jantung, neuron, dan makrofag.Di luar fungsi eritropoesis, Epo
memperlihatkan aktivitas biologis yang bervariasi seperti proteksi terhadap cedera
anoksik di otak dan sistem kardiovaskuler, stimulasi angio-genesis fisiologis pada
sistem reproduksi perempuan, dan ketika penyembuhan luka.
2.3 Struktur Reseptor Eritropoetin (EpoR)

Reseptor Epo termasuk dalam superfamili reseptor sitokin, yang meliputi


faktor pertumbuhan hematopoetik lain seperti hormon pertumbuhan, prolaktin,
trombo-poetin, dan sebagainya. Reseptor dalam famili ini memiliki ciri-ciri
tertentu, yaitu domain pengikat ligan ekstraseluler dengan dua pasang gugus
sistein motif WSXWS, satu domain transmembran, dan domain intraseluler tanpa
aktivitas katalitik.

Gambar 3 Model perakitan faktor-faktor transkripsi di regio enhancer gen Epo


untuk mengaktivasi transkripsi gen Epo

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa reseptor eritropoetin terdapat


dalam beberapa bentuk. EpoR yang utuh dan fungsional di membran sel (F-EpoR)
ter-dapat dalam bentuk homodimer. Bentuk ini adalah bentuk terbanyak yang
ditemukan di sel-sel progenitor eritroid. Selain itu, EpoR pada sel-sel
hematopoetik terdapat juga dalam dua isoform alternatif, yaitu isoform terpancung
(truncated) atau T-EpoR di transmembran dan bentuk tersekresi (secreted) atau S-
EpoR. Di luar reseptor-reseptor ini, ada bentuk EpoR lain, yang bergabung
dengan βCR atau CD131 membentuk heteromultidimer, di sel-sel jaringan non-
hematopoetik. Reseptor ini diduga bertanggung jawab atas efek protektif jaringan
terutama di otak dan susunan saraf. βCR adalah komponen reseptor bersama β
pada reseptor-reseptor interleukin-3, granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor, dan interleukin-5. Kompleks EpoR dan βCR memiliki afi nitas terhadap
Epo yang lebih rendah.

2.4 Mekanisme Aktivasi Reseptor Eritropoetin

Reseptor Epo tidak memiliki aktivasi tirosin kinase intrinsik untuk


mengaktivasi pensinyalannya. Dimerisasi reseptor ter-jadi ketika reseptor
berikatan dengan Epo dan mengaktivasi diferensiasi eritroid intraseluler. Domain
sitoplasmik EpoR dapat dibagi menjadi dua regio yang mana sekitar separuh
domain sitoplasmik, yang berada dekat membran plasma, dibutuhkan untuk
membangkitkan sinyal-sinyal proliferasi dan diferensiasi seperti induksi sintesis
globin, Sementara separuh lainnya dibutuhkan untuk menghentikan sinyal.

Langkah pertama aktivasi EpoR adalah dimerisasi, kemudian JAK2 kinase


yang sudah ada sebelumnya di regio transmembran EpoR diaktivasi dengan
transfosforilasi. Setelah itu, terjadi fosforilasi gugus tirosin pada domain
sitoplasmik EpoR sehingga menyediakan tempat berikatan protein-protein pen-
sinyalan intraseluler yang memiliki domain Src homology 2 (SH2). Pensinyalan
Epo-EpoR mengaktivasi protein tirosin kinase non-reseptor yang berada di
sitoplasma, yaitu JAK2 dan signal transducer and activator of transcription
(STAT)5, yang diaktivasi dengan fosforilasi dan ditranslokasi ke nukleus,
sehingga mengenali sekuens spesifik di regio promotor gen target, dan
menginisiasi transkripsi. Jalur pensinyalan sitosolik Epo melalui F-EpoR
mengatur ketahanan hidup dan proliferasi sel. Terikatnya sebuah molekul Epo
pada dimer F-EpoR di permukaan sel menyebabkan perubahan konformasi yang
mengakibatkan transfosforilasi dan aktivasi JAK2, serta fosforilasi gugus residu
tirosin di domain sitoplasmik EpoR oleh JAK2. Untuk mengatur ketahanan hidup
sel, kompleks EpoR/JAK2 memfosforilasi molekul STAT5 sehingga
bertranslokasi ke nukleus dan memicu transkripsi gen antiapoptosis Bcl-xL.

Aktivasi EpoR/JAK2 juga mengaktivasi heat shock protein (Hsp) 70 yang


kemudian mengikat dan meng-inaktifkan faktor-faktor proapoptotik seperti
apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan apoptosis-inducing factor
(AIF). Aktivasi jalur fosfatidilinositol-3-kinase (PI3K) menyebab-kan fosforilasi
protein kinase B (PKB atau AKT) yang memfosforilasi dan meng-inaktivasi
regulator proapoptotik seperti Bad, caspase.

2.5 Anemia pada Penyakit Kanker

Anemia pada penyakit keganasan, merupakan suatu komorbiditas yang


sering terjadi dan dapat memperberat kondisi penyakit keganasan itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi anemia pada penyakit keganasan sangat
beragam. Secara umum terbagi atas 2 kelompok besar penyebab anemia pada
keganasan, yaitu yang terkait tumor secara langsung seperti proses inflamasi,
kehilangan darah, hemolisis dan invasi sel ganas ke sumsum tulang dan yang
kedua adalah terkait dengan terapi seperti kemoterapi dan radiasi. Anemia
merupakan kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin
per unit volume pada darah perifer sehingga tubuh tidak bisa mengangkut oksigen
yang cukup ke dalam sel terutama pada jaringan.

Anemia terkait kanker ini merupakan kondisi yang terjadi akibat


perkembangan atau terapi dari kanker itu sendiri. Dari patofisiologinya sendiri,
anemia pada penyakit kanker dapat terjadi akibat penurunan produksi dan
destruksi yang berlebihan dari sel darah merah, kehilangan darah, juga berbagai
faktor kompleks seperti diet yang buruk dan asupan besi yang tidak adekuat.
Ketidakcukupan produksi sel darah merah dapat disebabkan oleh defek pada sel
eritropoetin, gangguan sintesis hemoglobin, gagal ginjal dan supresi sumsum
tulang atau gagal ginjal. Destruksi sel darah merah juga berhubungan dengan
banyak penyebab seperti faktor internal atau obat kemoterapi, autoimun hemolitik
yang diinduksi oleh sel ganas itu sendiri contohnya pada leukemia limfositik
kronis atau sitokin inflamasi. Kehilangan darah mungkin terjadi pada kasus
perdarahan akut atau koagulopati terkait tumor pada kasus disseminated
intravascular coagulation. Pada pasien keganasan, sering juga terjadi kondisi
defisiensi besi, menurunnya eritropoesis di perifer akibat menurunnya kadar
vitamin B12 dan menurunnya produksi asam.
2.6 Klasifikasi Anemia pada Kanker

1. Anemia terkait kemoterapi


Supresi sumsum tulang merupakan salah satu efek samping dari suatu
kemoterapi dan radioterapi pada pasien kanker. Penggunaan obat
sitotoksik terutama golongan platinum, merupakan faktor penting
terjadinya anemia terkait terapi tumor, dan munculnya regimen
kemoterapi baru dan kombinasi dalam penggunaannya menyebabkan
semakin meningkatnya tantangan dalam penanganannya. Obat
kemoterapi merangsang terjadinya apoptosis pada sel eritroid dan
menyebabkan gangguan melalui kerusakan sel tubulus renal, dimana
akan menurunkan eritropoetin endogen sehingga terjadi kondisi
anemia.
2. Anemia tidak terkait kemoterapi
Terjadinya anemia pada penderita keganasan, dapat disebabkan karena
aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan
peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti interferon, TNF dan
interleukin yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan
oleh sel kanker sendiri.

Anemia akibat kanker secara langsung dapat dipengaruhi beberapa hal


antara lain perdarahan terkait kanker itu sendiri, invasi sel tumor pada sumsum
tulang, malnutrisi akibat tumor, metabolisme besi yang abnormal, gangguan
fungsi ginjal dan fungsi sumsum tulang yang terganggu akibat pengaruh sitokin
inflamasi. Pada sebagian besar kasus, terjadi kondisi anemia normokromik
normositer dengan penurunan besi serum dan saturasi transferin sedangkan feritin
serum bisa normal atau meningkat. Pada beberapa tahun terakhir ini, inflamasi
terkait kanker merupakan topik yang menarik dan banyak dibahas. Inflamasi
terkait kanker dapat dipicu oleh pelepasan sitokin inflamasi seperti TNF, IL 1,
Interferon gammma (IFNγ), yang mana tidak hanya menekan produksi
eritropoetin tetapi juga menghambat pelepasan besi yang disimpan dan proliferasi
dari sel progenitor eritroid. TNF α sendiri memiliki peran yang hampir sama
dengan IFNγ dan IL 1 pada terganggunya metabolisme besi dan proliferasi
eritroid. Namun sebagai tambahan, TNF α berperan pada penekanan produksi
eritropoetin dan meningkatkan terjadinya proses eritrofagositosis.

Gambar 4. Jalur patofisiologi terjadinya anemia pada kanker yang

tidak terkait kemoterapi

Patogenesis penting saat ini adalah inflamasi sitokin yang dapat


meningkatkan hepsidin. Hepsidin dapat menghalangi lepasnya besi yang berikatan
dengan makrofag ke transporter yaitu transferin sehingga menyebabkan sistem
hematopoesis menjadi tumpul.

2.7 Gangguan produksi eritropoetin

Pada anemia penyakit kronik, dijumpai penurunan produksi eritropoetin


yang diduga diinduksi oleh sitokin, dimana TNF-α dan IFN-ɤ akan menghambat
produksi eritropoetin di ginjal (Weiss dan Goodnough, 2005). Pada suatu studi
dari 70 pasien dewasa dengan keganasan, termasuk keganasan hematologi,
ditemukan hubungan terbalik antara derajat anemia dengan kadar Eritropoetin
endogen yang diperiksa dengan metode immunoassay Selain itu, juga ditemukan
adanya pengaruh regulasi negatif dari hepsidin terhadap perkembangan prekursor
eritroid in vitro.

1. Penurunan respon terhadap eritropoetin


Eritropoetin berperan mengatur proliferasi sel eritroid, dimana pada
anemia penyakit kronik, respon eritropoetin dikatakan tumpul atau
tidak adekuat untuk sebagian besar derajat anemia, namun tidak pada
seluruh kondisi. Setelah terikat pada reseptornya, eritropoetin akan
merangsang jalur transduksi signal dan selanjutnya mengaktifkan
fosforilasi mitogen dan tirosin kinase, proses inilah yang dipengaruhi
oleh sitokin. Sitokin-sitokin TNF-α dan IL-1 secara langsung
menghambat ekspresi eritropoetin in vitro, suatu kondisi yang
kemungkinan disebabkan oleh pembentukan spesies oksigen reaktif
yang diperantarai sitokin, yang selanjutnya mempengaruhi afinitas dari
faktor transkripisi yang diinduksi eritropoetin. Pada anemia penyakit
kronik proliferasi dan diferensiasi dari sel progenitor ertrosit menurun.
Suatu studi in vitro memperlihatkan makrofag pada pasien anemia
penyakit kronik akan menekan pembentukan sel induk eritrosit. Sitokin
pro inflamasi khususnya interferon C akan menghambat pembentukan
Burst-Forming Units-Erythroid (BFU-E) dan Colony-Forming Units-
Erythroid.
Hambatan terhadap proliferasi sel induk eritroid bukan merupakan efek
toksik langsung dari sitokin tetapi melalui efek pro-apoptotik dari
sitokin. Hal ini ditunjukkan dengan kembali normalnya pertumbuhan
sel induk eritroid setelah pemberian eritropoetin dosis tinggi pada
percobaan menggunakan kultur sel sumsum tulang tikus dan manusia.
Sel induk eritroid yang lebih sensitif terhadap kondisi ini adalah CFU-
E dibandingkan dengan BFU-E.
Gambar 5. Patofisiologi yang mendasari terjadinya anemia penyakit kronis

2.8 Penggunaan Eritropoetin pada Pasien Kanker dalam Praktik


Klinis

Terlepas dari teori mengenai eritropoetin, guideline dari NCCN dan


ASCO (America Society of Clinical Oncology) tetap merekomendasikan
penggunaan ESA pada pasien kanker.

• Pasien kanker dan penyakit ginjal kronik


• Pasien yang menjalani terapi paliatif
• Pasien anemia yang mendapat kemo-terapi mielosupresif yang
penyebab anemianya tidak teridentifikasi.
Disebutkan pula bahwa analisis 8 studi pada pasien kanker menemukan
adanya penurunan harapan hidup pada pasien yang mendapat eritropoetin untuk
koreksi anemia dan target Hb > 12 g/dL. Sementara itu, studi meta-analisis lain
menunjukkan bahwa penggunaan ESA tidak mempengaruhi mortalitas atau
progresivitas penyakit secara bermakna.

Dalam guideline ASCO terkini (tahun 2010) disebutkan bahwa pada


pasien yang menjalani kemoterapi mielosupresif dengan kadar Hb < 10 g/dL,
klinisi dapat mempertimbangkan manfaat dan risiko penggunaan ESA dan
membandingkannya dengan manfaat dan risiko transfusi.62 ESA di-berikan
dengan dosis terendah yang masih memungkinkan, hingga mencapai tingkat Hb
terendah untuk menghindari transfuse.

Parameter NCCN ASCO

Perhatian khusus pada pasien Perhatian khusus pada pasien


Umum dengan risiko dengan risiko
trombosis, pemeriksaan &
pemantauan tinggi tromboemboli
tekanan darah, laporan kejang
dan pure red
cell aplasia

Kadar Hb saat
memulai Kurang dari 10 g/dL Kurang dari 10 g/dL
ESA

Hb terendah untuk
Target Kurang dari 12 g/dL menghindari transfusi
(bervariasi antar pasien)

Penghentian terapi
ESA jika 8-9 minggu tidak respons 6-8 minggu tidak respons
tidak ada respons
Tabel 1 Perbandingan antara NCCN dan ASCO

Baik NCCN maupun ASCO memiliki perhatian yang sama pada keadaan
trombosis. Uji klinik awal ESA melaporkan bahwa target hematokrit yang tinggi
(42 ± 3%) me-ningkatkan kejadian vaskuler (arteri dan vena). Pasien dengan
faktor risiko trombosis sebelumnya, berisiko mengalami trombosis pada
penggunaan ESA. Faktor risiko trombosis antara lain riwayat tromboemboli,
mutasi yang diturunkan, hiperkoagula-bilitas, peningkatan kadar trombosit
sebelum kemoterapi, hipertensi, penggunaan steroid, pemanjangan imobilisasi,
baru manjalani pembedahan, terapi tertentu multipel mieloma, dan agen
hormonal.

Terapi ESA membutuhkan setidaknya 2 minggu untuk dapat


meningkatkan jumlah sel darah merah. Kadar Hb sebaiknya di-pantau setiap
minggu. Dosis diturunkan jika kadar Hb meningkat ≥ 1 g/dL dalam 2 minggu atau
jika Hb mencapai kadar yang cukup untuk menghindari transfusi
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

1. Sel-sel tumor diketahui dapat mem-produksi eritropoetin (Epo) yang


bekerja secara autokrin atau parakrin.
2. Pengaruh Epo pada sel diperantarai oleh dimerisasi dan aktivasi
reseptor eritropoeitin (EpoR) di membran sel serta aktivasi jalur-jalur
pensinyalan intraseluler, seperti JAK-2/ STAT, Ras/MAPK, dan PI3-
K.
3. Ekspresi EpoR dan aktivasi jalur pensinyalan Epo-EpoR masih
merupakan kontroversi. Progresivitas kanker diduga terjadi akibat efek
parakrin ke endotel dan trombosit, serta efek autokrin pada sel kanker
yang menyebabkan proliferasi dan antiapoptosis.
4. Pedoman internasional (NCCN dan ASCO) masih merekomendasikan
peng-gunaan ESA untuk pasien kanker dengan pembatasan-
pembatasan tertentu.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Krantz SB. Erythropoietin. Blood 1991;77:419-34.


2. Bunn HF, Gu J, Huang LE, Park JW, Zhu H. Eryhtropoietin: A model
system for studying oxygen-dependent gene regulation. J Exp Biol.
1998;201:1197-201.
3. Bondurant MC, Koury MJ. Anemia induces accumulation of
erythropoietin mRNA in the kidney and liver. Mol Cell Biol. 1986;6:2731-
3.
4. Semenza GL. Targeting HIF-1 for cancer therapy. Nature Rev Cancer
2003;3:721-32
5. Koury ST, Bondurant MC, Koury MJ. Localization of erythropoietin
synthesizing cells in murine kidneys by in situ hybridization. Blood
1988;71:524-37.
6. Koury ST, Koury MJ, Bondurant MC, Caro J, Graber SE. Quantitation of
erythropoietin-producing cells in kidneys of mice by in situ hybridization:
Correlation with hematocrit, renal rythropoietin mRNA, and serum
erythropoietin concentration. Blood 1989;74:645-51.
7. Eckardt KU, Pugh CW, Meier M, Tan CC, Ratcliffe PJ, Kurtz A.
Production of erythropoietin by liver cells in vivo and in vitro. Ann NY
Acad Sci. 1994;718:50-60.
8. D’Andrea AD, Zon LI. Erythropoietin receptor: Subunit structure and
activation. J Clin Invest. 1990;86:681-7.
9. Farrell F, Lee A. The erythropoietin receptor and its expression in tumor
cells and other tissues. Oncologist 2004;9:18-30.
10. Jelkmann W, Wagner K. Benefi cial and omnious aspects of the
pleiotropic action of erythropoietin. Ann Hematol. 2004;86:673-86.
11. Henke M, Mattern D, Pepe M, Bezay C, Weissenberger C, Werner M, et
al. Do erythropoietin receptors on cancer cells explain unexpected clinical
fi ndings? J Clin Oncol. 2006;24:4708-13.
12. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology - v.2.2015. Cancer and Treatment-Related
Anemia [Internet]. [cited 2014 Oct 13]. Available from:
http://www.nccn.org/professionals/physician_gls/ PDF/anemia.pdf.
13. Jelkmann W. Erythropoietin: Structure, control of production, and
function. Physiol Rev. 1992;72:449-89.
14. Fandrey J. Oxygen-dependent and tissue-specifi c regulation of
erythropoietin gene expression. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol.
2004;286:R977-88.
15. Miyake T, Kung CK, Goldwasser E. Purifi cation of human erythropoietin.
J Biol Chem. 1977;252:5558-64.
16. Lin FK, Suggs S, Lin CH, Browne JK, Smalling R, Egrie JC, et al.
Cloning and expression of the human erythropoietin gene. Proc Natl Acad
Sci USA. 1985;82:7580-4.
17. Semenza GL, Nejfelt MK, Chi SM, Antonarakis SE. Hypoxia-inducible
nuclear factors bind to an enhancer element located 3’ to the human
erythropoietin gene. Proc Natl Acad Sci USA. 1991;88:5680-4.
18. Ebert BL, Bunn HF. Regulation of the erythropoietin gene. Blood
1999;94:1864-77.
19. Stockman C, Fandrey J. Hypoxia-induced eryhropoietin production: A
paradigm for oxygen-regulated gene expression. Clin Exp Pharmacol
Physiol. 2006;33:968-79.
20. Sasaki R, Masuda S, Nagao M. Erythropoietin: Multiple physiological
functions and regulation of biosynthesis. Biosci Biotechnol Biochem.
2000;64:1775-93.
21. Sasaki R. Pleiotropic functions of erythropoietin. Intem Med.
2003;42:142-9.
22. Masuda S, Okano M, Yamagishi K, Nagao M, Ueda M, Sasaki R. A novel
site of erythropoietin production: Oxygen-dependent production in
cultured rat astrocytes. J Biol Chem. 1994;269:19488-93.

Anda mungkin juga menyukai