Anda di halaman 1dari 23

REFRAT

PENANGANAN KRISIS HIPERTENSI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan
Klinik Senior SMF Penyakit Dalam

Nurul Annisatussholeha
(17360125)

Pembimbing :
dr. Toni Prasetya, Sp.PD, FINASIM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF INTERNA
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
KOTA BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019
2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan karunia, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami

mendapatkan kesempatan dan keberanian dalam menyelesaikan makalah kami

yang berjudul “Penanganan Krisis Hipertensi” yang bertujuan untuk memenuhi

tugas Kepaniteraan Klinis Senior dan untuk menambah pengetahuan di bidang

ilmu penyakit dalam. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad saw serta

keluarga yang telah menjadi suri tauladan sampai akhir jaman.

Pada kesempatan ini juga kami berterimakasih atas bimbingan dari dr.

Toni Prasetya, Sp.PD, FINASIM dan semua pihak yang telah memberi kami

bantuan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Akhir kata, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini, baik dari segi isi maupun penyajiannya. Untuk itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembimbing yang

berangkutan dan rekan-rekan semuanya demi kesempurnaan makalah ini dan

makalah-makalah selanjutnya.

Bandar Lampung, Februari 2019

Penyusun
3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT


sedang dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi
dimana tekanan darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg
yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat
dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Angka kejadian krisis HT menurut
laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari
populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak
teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun
belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya
lebih kurang 1% dari 60 juta penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia
belum ada laporan tentang angka kejadian ini.
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara
garis besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini
menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi
(mendesak).
Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi
dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita
dipikirkan suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan
progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan
urgensi perlu dibedakan karena cara penaggulangan keduanya berbeda.
Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi (umumnya TD
diastolik > 120 mmHg) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggidan terjadi dalam
4

waktu yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. (14). Seberapa
besar TD yang dapat menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini
juga bisa terjadi pada penderita yang sebelumnya nomortensi atau HT
ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan dalam pengobatan HT, namu
para kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT, sebab penderita yang
jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila tidak
ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta
intensif lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar
komplikasi krisis HT bersifat reversible. Dalam menanggulangi krisis HT dengan
obat anti hipertensi, diperlukan pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran
darah, pengobatan yang selektif dan terarah terhadap masalah medis, yang
menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral dan oral anti hipertensi, variasi
regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan yang memadai dan efek
samping yang minimal. Dalam makalah ini akan dibahas klasifikasi, aspek klinik,
prosedur diagnostik dan pengobatan krisis hipertensi.
Pada makalah ini, penulis akan menjelaskan tentang krisis hipertensi.

1.2 Tujuan Penelitian


1. Mahasiswa mengetahui definisi dan klasifikasi krisis hipertensi
2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi krisis hipertensi
3. Mahasiswa mengetahui diagnosis krisis hipertensi
4. Mahasiwa mengetahui faktor risiko krisis hipertensi
5. Mahasiswa mengetahui diagnose banding krisis hipertensi
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan krisis hipertensi
7. Mahasiswa mengetahui prognosis krisis hipertensi

1.3 Manfaat Penelitian


1.3.1 Bagi Ilmu pengetahuan
Untuk dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang penyakit
dalam. Khususnya tentang krisis hipertensi
5

1.3.2 Bagi Masyarakat


Untuk dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai
krisis hipertensi, sehingga masyarakat dapat memeriksakan diri sedini
mungkin ke fasilitas pelayanan kesehatan bila diperlukan.
1.3.3 Bagi Penulis
Untuk memberikan informasi dan menambah ilmu pengetahuan
mengenai krisis hipertensi serta pengklasifikasiannya dan
penanganannya.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Krisis Hipertensi

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan


perioritas pengobatan, sebagai berikut :

 Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120


mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh
satu atau lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan
akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus
diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
 Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan
tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus
diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi
parenteral. (tabel II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >


200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple
drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke
fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >
120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal
ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.
Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi
7

essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang


sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini
dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

2.2 Patofisiologi Krisis Hipertensui

Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensefalopati


yaitu :

 Teori “Over Autoregulation”


Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole
mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya
permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler, udema
di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.
 Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation”
bila TD mencapai threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi,
mikoinfark dan oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari
arteriole.

Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami


perubahan bila Mean Arterial Pressure ( MAP ) 120 mmHg – 160 mmHg,
sedangkan pada penderita hipertensi baru dengan MAP diantara 60 – 120 mmHg.
Pada keadaan hiper kapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit dengan batas
tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan yang sedikit saja dari TD menyebabkan
asidosis otak akan mempercepat timbulnya oedema otak.
8

2.3 Diagnosa Krisis Hipertensi

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil


terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal
kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.

Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat.

Hal yang penting ditanyakan :

1. Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.


2. Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.
3. Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.
4. Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).
5. Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).
6. Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan oedem
paru, nyeri dada ).
7. Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.
8. Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

Pemeriksaan fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri )


mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi, payah jantung
kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi dengan
kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif dan oedema paru. Perlu
dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1. Pemeriksaan yang segera seperti :


2. darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.
3. urine : Urinelisa dan kultur urine.
9

4. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.


5. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah pengobatan
terlaksana ).
Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil
pemeriksaan yang pertama ) :
6. sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ),
biopsi renald ( kasus tertentu ).
7. menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT
Scan.
8. Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine,
metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

2.4 Faktor Risiko Krisis Hipertensi

Faktor presifitasi pada krisis hipertensi

Dari anamnese dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan


hipertensi emergensi urgensi dan faktor-faktor yang mempresipitasi krisis
hipertensi. Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi, antara lain :

 Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis essensial (


tersering ).
 Hipertensi renovaskular.
 Glomerulonefritis akut.
 Sindroma withdrawal anti hypertensi.
 Cedera kepala dan ruda paksa susunan syaraf pusat.
 Renin-secretin tumors.
 Pemakaian prekusor katekholamine pada pasien yang mendapat MAO.
Inhibitors.
 Penyakit parenkhim ginjal.
10

 Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depressant trisiklik, MAO Inhibitor,


simpatomimetik ( pil diet, sejenis Amphetamin ), kortikosteroid, NSAID,
ergot alk.
 Luka bakar.
 Progresif sistematik sklerosis, SLE.

2.5 Diagnosa Banding Krisis Hipertensi


Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis
hipertensi seperti :

 Hipertensi berat
 Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
 Ansietas dengan hipertensi labil.
 Oedema paru dengan payah jantung kiri

2.6 Penatalaksanaan Krisis Hipertensi


Dasar-dasar penanggulangan krisis HT :
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,
jantung, dan ginjal. Sampai sejauh mana tekanan darah diturunkan ?. Untuk
menurunkan TD sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai
faktor antara lain keadaan hipertensi sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap,
pengamatan problema yang menyertai krisis hipertensi perubahan dari aliran
darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan pemilihan obat anti hipertensi
yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek samping obat.

AUTOREGULASI

Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh


terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada
11

resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi /


dilatasi pembuluh darah.

Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara


mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi.
Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan.

Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi.


Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean
Arterial Pressure ( MAP ) 60 – 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah
untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal,
maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkope.

Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic


yang disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun
oleh Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam
perubahan metabolisme di otak. Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD
yang cepat sampai batas hipertensi, masih dapat ditolelir.

Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua,


batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva,
sehingga pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi.

Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg


pada 13 penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg
pada orang normotensi.

Penderita hipertensi denga pengobatan mempunyai nilai diantar group


normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi kearah normal.

Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun


hipertensi, ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira
12

25% dibawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi,
pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut
ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30
menit dan bisa lebir rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya.
Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk
pasien dengan infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan
TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih
rendah dari 170 – 180/100 mmHg.

GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI

Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O
) dan systemic vasculer resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke
Volume ( SV ) dan Hearth Rate ( HR ). Resistensi perifer terjadi akibat peripheral
vascular resistensi ( PVRB) dan renal vascular resistence ( RVR ).

Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 – 25%. Pada


hipertensi maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur
hipertensi kronis dan perubahan perubahan vasekonstriksi akut. Secara logika
disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan hemodinamik pada
krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi CO lebih disukai
oleh sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekcualian bagi disecting
aneurysma aorta.

Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa
intrinsic sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah dihindari karena akan
menyebabkan eksaserbasi gangguan hemodinanamik seperti payah jantung,
kongestive dan oedem paru.
13

Status volume cairan

Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai


intravaskuler volume depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika,
kecuali bila secara klinis dibuktikan adanya volume over load seperti payah
jantung kongestif atau oedema paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan
garam ( natrium ) serta diretika pada hipertensi maligna akan menyebabkan
bertambahnya volume depletion sehingga bukannya menurunkan TD malah
meningkatkan TD. Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan
obat anti hipertensi non diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume
retention.

PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI :

Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera


diturunkan. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :

Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial


catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status
volume intravaskuler. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik.

 tentukan penyebab krisis hipertensi


 singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
 tentukan adanya kerusakan organ sasaran

Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD


sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang
menyertai dan usia pasien.

 penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak


kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal :
disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP
ataupun TD yang didapat.
14

 Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal


pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung
dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan,
kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta.
 TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua
minggu.

Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi

Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis
hipertensi tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau
urgensi. Jika hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran
maka penderita dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu
dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).

1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial


maupun venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu :
1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg / menit. Efek samping : mual, muntah, keringat,
foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila
dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 –
5 menit, duration of action 3 – 5 menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara
infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara
i. V bolus. Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit,
duration of action 4 – 12 jam. Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat
diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.Onset of action : oral 0,5
– 1 jam, i.v : 10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam. Dosis : 10 – 20
mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m Pemberiannya bersama dengan alpha
agonist central ataupun Beta Blocker untuk mengurangi refleks takhikardi
15

dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular. Efeksamping :


refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on
action 15 – 60 menit. Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.
Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis
5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m. Onset of action 11 – 2 menit, duration
of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan
menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 – 4 mg / menit
secara infus i.v. Onset of action : 1 – 5 menit. Duration of action : 10
menit. Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest,
glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 –
80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action 5 – 10 menit Efek samping : hipotensi orthostatik,
somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga tersedia dalam
bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan
efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering
dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan
sistem syaraf simpatis. Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset
of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam. Efek
samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with
drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan
kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v
pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc
dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of action 5 –10 menit dan mencapai
maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek samping : rasa ngantuk,
16

sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila dihentikan
secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.

Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat


oral yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah
lebih aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD
dapat diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara
menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD
dapat naik kembali dalam beberapa menit. Demikian juga pemberian labetalol
ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD
turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan
TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting
ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.

Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu


pengawasan yang tepat bagi pasien di ICU. Yang menjadi adalah kebanyakan
obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara komersil di Indonesia. Obat
parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna clonidone untuk krisis
hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika bentuk injeksi
clonidine tidak tersedia. Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine
intra vena 0,15 mg dan bagi pasien yang tidak respons dengan satu kali injeksi,
digunakan clonidine 0,9 – 1,05 mg dalam 500 ml Dekstrose dan disis ditittrasi.
Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang minimal. Penelitian lain
di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg
dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan
efek samping maksimum dalam 30-60 menit.

Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti


pemakaian clonidine pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan
adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam 1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan
dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan
tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD
ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan obat per oral.
17

Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan
penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan. Hasil yang diperoleh
yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam dan respons yang
baik pada 90,5% kasus. Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul
seperti mulut kering, mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi
cerebral ataupun stroke, obat ini akan memperberat gejala.

Pilihan obat-obatan pada hipertensi emergensi :

Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan


maupun yang sebaiknya dihindari adalah sbb :

 Hipertensi ensenpalopati : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol,


diazoxide. Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
 Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol, Hindarkan : B-
antagonist, Methydopa, Clonidine.
 Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid : Anjuran : Sodiun
nitroprusside Labetalol,. Hindarkan : B-antagonist, Methydopa,
Clonodine.
 Miokard iskemi, miokrad infark : Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol,
Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan loopdiuretuk. Hindarkan :
Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
 Dedem paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, LabetaLol.
 Aorta disseksi : Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist,
Trimethaohaan dan B-antagonist, labetalol. Hindarkan : Hydralazine,
Diaozoxide, Minoxidil
 Eklampsi : anjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist,
sodium nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
 Renal insufisiensi akut : anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-
antagonist Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan KW III-IV : Anjuran :
18

Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist. Hindarkan : B-


antagonist, Clonidine, Methyldopa.
 Mikroaangiopati hemolitik anemia : Anjuran : Sodium nitroprosside,
Labetalol, Caantagonist. Hindarkan : B-antagonist.

Dari berbagai sediaan obat antu hipertensi parenteral yang tersedia,


Sodium nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi
emergensi. Karena pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan
harus dengan monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat
menimbulkan hipotensi berat. Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah
Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan bolus intravena.

Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi


tertentu. Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang
diperukan secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam
jumlah kecil) dan tampaknya memberikan harapan yang baik.

Obat oral untuk hipertensi emergensi :

Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk


menggunakan obat oral seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam
penanganan hipertensi emergensi. Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik
pada 25 penderita dengan dengan pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah
10mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa 4 dari 5 penderita yang diperiksa,
aliran darah cerebral meningkat sedang dengan clonidine yang diselidiki menurun,
walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.

Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek
akut obat oral anti hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60
penderita. Efek akut nifedipine dalam waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan
clonidine dalam waktu 5-35 menit. Dari hasil ini diharapkan kemungkinan
penggunaan obat oral anti hipertensi untuk krisis hipertensi. Pada tahun 1993 telah
diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial pada penderita
hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
19

Captoprial dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam Menurunkan


TD.

Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara


sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60
menit dan juga dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan
nonrespons bila penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian
obat. Respons bila TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan
adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai
secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari
simptom dan sign dari organ sasaran.

Penaggulangan hipertensi urgensi :

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah


sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan
TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka
dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi
dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.

Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan :

1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10


menit).Buccal (onset 5 –10 menit),oral (onset 15-20
menit),duration 5 – 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit
Duration of Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-
0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping : sedasi,mulut
kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart
block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati
dengan tolazoline.
20

3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan


dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping :
angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada penderita
bilateral renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang
perjam bila perlu.Efek samping : first dosyncope, hiponsi
orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit kepala.

Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan


MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin
terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan
katekholamine. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual
dapat menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai
kebatas hipotensi (walaupun hal ini jarang sekali terjadi).

Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi
hipotensi akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark
miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin
biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih
sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita
dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua
dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine
harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah
TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya
orthotatis. Bila ID penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita
dirawat dirumah sakit.
21

2.7 Prognosis

Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita


hanyalah 20% dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah
jantung kongesti (13%), cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif
disertai uremia (48%), infrak Mio Card (1%), diseksi aorta (1%). Prognose
menjadi lebih baik berkat ditemukannya obat yang efektif dan penaggulangan
penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplanta ginjal. Whitworth
melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun berkisar
94% dan survival 5 tahun sebesar 75%.Tidak dijumpai hasil perbedaan diantara
retionopati KWIII dan IV.Serum creatine merupakan prognostik marker yang
paling baik dan dalam studinya didapatkan bahwa 85% dari penderita dengan
creatinite <300 umol/l memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan
penderita yang mempunyai fungsi ginjal yang jelek yaitu 9 %.
22

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar


dapat memilih pengobatan yang memadai bagi penderita. Hipertensi emergensi
disertai dengan kerusakan organ sasaran, sedangkan hipertensi urgensi tanpa
kerusakan organ sasaran /kerusakan minimal. Pada kebanyakan penderita krisis
hipertensi , TD diastolik > 120 – mmHg. Dalam memberikan terapi perlu
diperhatikan beberapa faktor : Apakah penderita dengan hipertensi emergensi atau
urgensi. Mekanisme kerja dan efek hemodinamik obat. Cepatnya TD diturunkan,
TD yang diinginkan dan lama kerja, dari obat. Autoguralsi dan perfusi dari vital
oragan(otak, jantung, dan ginjal) bila TD diturunkan.

Faktor klinis lain : obat lain yan gdiberikan , status volum dll. Effek
sqamping obat Besarnya penurunan TD umumnya kira-kira 25% dari MAP
ataupun tidak lebih rendah dari 170-180/100mmHg. Pemakaian oabat parenteral
untuk hipertensi emergensi lebih aman karena TD dapat diatur sesuai dengan
keinginan, sedangkan dengan obat oral kemungkinan penurunan TD melebihi
diingini sehingga dapat terjadi hipoperfusi organ. Drug of choice untuk hipertensi
emergensi adalah Sodium Nitroprusside. Nifedipine, Clinidine, merupakan oral
anti hipertensi yang terpilih untuk hipertensi urgensi. Dari berbagai penelitian
(dalam dan luar negri ) bahwa obat oral Nifedipine dan Captopril cukup efektif
untuk mengatasi hipertensi emergensi. Pemberiaan diuretika pada hipertensi
emergensi dimana dibuktikan adanya volume overload seperti payah jantung
kongestif dan oedema paru. Pemberian Beta Blocker tidak dianjurkan pada krisis
hipertensi kecuali pada aorta disekasi akut
23

DAFTAR PUSTAKA

Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hype tensive Crisis in manual of Cardiovascular


Diagnosis and Therapy, Asean Edition Little Brown and Coy Boston, 149-
60.

Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis


with Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.

Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 : Comparison of sublingual Captopril


and Nifedipine in immediate Treatment of hypertensive Emergencies,
Arch, Intren. Med, 151 : 678-82.

Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi
sedang dan berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.

Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang C : 1983:Nifedipine in


Hypertensive Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.

Calhoun D.A, Oparil . S ; 1990 : Treatmenet of Hypertensive Crisis, New Engl J


Med,
323 : 1177-83.

Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-


45.

Gonzale D.G, Ram C.SV.S., 1988 : New Approaches for the treatment of
Hypertensive Urgencies and Emergencies, Cheast, I, 193-5.

Haynes R.B, 1991 : Sublingual Captopril and Nifedipine on Hipertensive


Emergencies, ACP Journal Clib, 45.

Houston MC ; 1989 : Pathoplysiology Clinical Aspects and tereatment Dis, 32,


99-148.

Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4th Edition, William & Elkins,
Baltimore, 2273-89.

Anda mungkin juga menyukai

  • Terjemahan Jurnal
    Terjemahan Jurnal
    Dokumen13 halaman
    Terjemahan Jurnal
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Resusitasi Jantung Paru
    Resusitasi Jantung Paru
    Dokumen25 halaman
    Resusitasi Jantung Paru
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Anastesi CPR
    Anastesi CPR
    Dokumen17 halaman
    Anastesi CPR
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • HORDEOLUM
    HORDEOLUM
    Dokumen10 halaman
    HORDEOLUM
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Refrat Penggunaan Eritropoetin
    Refrat Penggunaan Eritropoetin
    Dokumen21 halaman
    Refrat Penggunaan Eritropoetin
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen18 halaman
    Referat
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Lapkas DHF
    Lapkas DHF
    Dokumen26 halaman
    Lapkas DHF
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen8 halaman
    Bab I
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Lapkas DHF
    Lapkas DHF
    Dokumen33 halaman
    Lapkas DHF
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Anastesi CPR
    Anastesi CPR
    Dokumen17 halaman
    Anastesi CPR
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Dokumen35 halaman
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Daud Rantetana
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen11 halaman
    Bab I
    Yolanda Silvia Dhani II
    Belum ada peringkat
  • Book 1
    Book 1
    Dokumen2 halaman
    Book 1
    nurul annisa
    Belum ada peringkat
  • Refrat Ikterus
    Refrat Ikterus
    Dokumen15 halaman
    Refrat Ikterus
    nurul annisa
    Belum ada peringkat