Anda di halaman 1dari 13

Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th.

199912000

STUDI KEBUTUHAN BERBAGAI MACAM OBAT HEWAN


(TERUTAMA VAKSIN) DI INDONESIA
ANNI KUSUMANINGSIH I , SJAMSUL Bahri l , AGUs NURHADI l , ENY MARTINDAH I , dan ELAN MASBULAN2

'Balai Penelitian Veteriner


Jalan R. E. Martadinata 30, P . O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia
1Pusat Penelitian Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kov. E. 59, Bogor 16151, Indonesia

ABSTRAK

Anni Kusumaningsih, Sjamsul Bahri, Agus Nurhadi, Eny Martindah dan Elan Masbulan . 1999/2000 . Studi kebutuhan berbagai
macam obat hewan (terutama vaksin) di Indonesia. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II : 391-
404 .

Kebutuhan bahan biologis (terutama vaksin) untuk unggas yang meliputi ayam ras petelur, ras pedaging dan lokal ; vaksin
untuk ternak non unggas, yang meliputi sapi, kerbau, domba, kambing dan babi, serta vaksin untuk hewan kesayangan kucing
dan anjing, di Indonesia ternyata cukup tinggi . Data primer untuk menghitung kebutuhan vaksin tersebut diperoleh dari
Direktorat Kesehatan Hewan, Gabungan Koperasi Susu Indonesia-Jakarta, Koperasi Peternakan Bandung Selatan dan Koperasi
Peternak Susu Bandung Utara - Bandung, Perusahaan Obat Hewan, Dinas Peternakan Tingkat I dan 11 di Jawa Barat dan
Sulawesi Utara serta beberapa peternak ayam di Jawa Barat. Data sekunder berupa populasi ternak diperoleh dari Buku Statistik
Peternakan Indonesia . Pendekatan analisis untuk menghitung kebutuhan vaksin diperoleh dengan mengalikan antara jumlah
vaksinasi yang dilakukan dalam 1 periode (tahun) dengan populasi ternak terancam dan cakupan vaksinasi dari setiap penyakit .
Dari hasil kajian diketahui bahwa pada ayam ras petelur dilakukan vaksinasi terhadap penyakit New Caste Disease (ND),
Infectious Bronchitis (I13), Infectious Bursal Disease (1131)), Coryza, Pox, Infectious Laryngotracheitis (ILT), Egg's Drop
Syndrome (EDS) dan Swollen Head Syndrome (SHS), pada ayam ras pedaging dilakukan vaksinasi ND, 113 dan IBD serta pada
ayam lokal hanya dilakukan vaksinasi ND . Dari total kebutuhan vaksin ayam, ternyata sebanyak 41,9% untuk ayam petelur,
39,6% untuk ayam pedaging dan hanya 18,5% untuk ayam lokal. Dari ke 8 macam vaksin tersebut, yang paling banyak
dibutuhkan adalah vaksin ND, IB dan IBD yang rata-rata mencapai 63,7%; 15,6% dan 14, I % ( total 93,4%) per tahun dari total
kebutuhan vaksin unggas nasional, sisanya sebanyak 6,6% meliputi vaksin untuk Coryza, Pox, ILT, EDS dan SHS . Dari total
kebutuhan vaksin unggas tersebut, sebanyak 75,I % berasal dari impor dan hanya sebanyak 24,9% produksi dalam negeri . Untuk
vaksin ternak non unggas yang meliputi vaksin Anthrax, SE, Brucellosis dan Hog Cholera, dimana yang paling banyak
dibutuhkan berturut-turut adalah vaksin Anthrax (40%), SE (31,2%), Brucellosis (15,9%) dan Hog Cholera (13%) per tahun.
Namun demikian, dari-jumlah kebutuham masing-masing vaksin tersebut ternyata di lapangan baru terpenuhi masing-masing
sebanyak Anthrax (46,8%), SE (14,6%) dan Brucellosis (5,4%) dari produksi PUSVETMA Surabaya, sedangkan vaksin Hog
Cholera baru terpenuhi sebesar 7,8% per tahun, yang seluruhnya berasal dari impor . Dengan demikian berarti setiap tahunnya
masih ada kekurangan suplai untuk masing-masing vaksin rata-rata SE (53,2%), Anthrax (85,4%), Brucellosis (94,6%) dan Hog
Cholera (92,2%). Vaksinasi untuk hewan kesayangan anjing dan kucing meliputi vaksin untuk Rabies, Distemper, Parvovirus,
Hepatitis dan Leptospirosis . Dimana seluruh kebutuhan vaksin tersebut masih disediakan dari impor. Sedangkan pada anjing dan
kucing liar hanya dilakukan vaksinasi Rabies, dan vaksin tersebut dipenuhi oleh PUSVETMA, Surabaya dan Vaksindo Satwa
Nusantara, Bogor. Dari hasil kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk vaksin unggas (ayam) masih ada kekurangan suplai
rata-rata sebesar 17,7% ; untuk ternak non unggas rata-rata sebesar 80,1% dan hewan kesayangan rata-rata sebesar 87,9% per
tahun dari total kebutuhan masing-masing vaksin secara nasional .
Kata kunci : vaksin, kebutuhan, unggas, ternak non unggas, hewan kesayangan .

ABSTRACT

KUSUMANINGSIH, A., SJAMSUL BAHRI, AGUS NURHADI, ENY MARTINDAH and ELAN MASBULAN. 1999/2000 . Study on vaccine
requirement in Indonesia. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 : 391-404.

Vaccines requirement for livestock's in Indonesia quite high . Especially vaccines for poultry (layer, broiler and local
chicken), non poultry livestock, (cattle, goats,-pigs), and for pet animals (dogs and cats) . Primary data needed for
calculating vaccines requirement in Indonesia were collected from the Directorate of Animal Health, Indonesian' Milk
Cooperation, Southern and Northern Bandung's Milk Cooperation, Vet Drugs Companies, West Java and North Sulawesi
Provincial Livestock Services and some Poultry Farms in West Java . Whilst the secondary data such as livestock population,
were obtained from Indonesian Livestock Statistics. The analytical approach for calculating vaccines requirement was obtained

391
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-H Th. 199912000

intensif jangkauan pelayanan kesehatan hewan, semakin banyak tingkat permintaan obat hewan, 4. Distribusi obat
hewan, 5. Investasi pada industri peternakan clan 6. Tingkat pengetahuan peternak .
Berdasarkan laporan WIRYOSUHANTO (1993) clan SETIAWAN (1994) dari segi kesehatan hewan, yang
clikatakan obat hewan terdiri dari sediaan biologik, farmasetik dan premiks. Yang termasuk premiks adalah pakan
imbuhan clan pakan pelengkap, sediaan farmasetik adalah antibiotika, obat reproduksi dan obat cacing untuk
pengobatan, sedangkan sediaan biologik adalah vaksin, sera clan antigen terutama untuk pencegahan clan diagnosa
penyakit .
Menurut laporan PARTADIREDJA (1999) bahwa kebutuhan vaksin dan bahwn biologik veteriner untuk ternak
besar seperti sapi, kerbau, kambing clan domba, relatif kecil clan ini dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri
(Pusvetma, Surabaya). Begitu juga vaksin Rabies pada anjing di pedesaan cukup dipenuhi oleh Pusvetma dan
Vaksindo Satwa Nusantara. Kebutuhan vaksin untuk unggas, khususnya ayam, cukup besar. Sebelum krisis
moneter, populasi layer diperkirakan 15-20 juta, broiler 700 juta dan ayam lokal 100-150 juta ekor. Jika vaksin New
Castle Disease (ND) diperlukan 3 dosis perekor, maka dalam satu tahun diperlukan 2.160 juta dosis. Berdasarkan
kenyataan tersebut, pasokan vaksin dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan di atas, sehingga sebagian
besar vaksin ND harus diimport (PARTADIREDJA, 1999). Lebih jauh PRONOHARTONO (1999) mengungkapkan
bahwa tidak hanya vaksin ND saja, tetapi sebagian besar produk biologik yang diperlukan masih didatangkan dari
luar negeri, hanya 35% yang dapat diproduksi di dalam negeri .

MATERI DAN METODE

A. Data primer

Data primer yang dibutuhkan pada penelitian ini dikumpulkan langsung dari Direktorat Kesehatan Hewan,
Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) - Jakarta, Koperasi Peternak Sapi Perah di Jawa Barat (KPBS
Pangalengan clan KPSBU Lembang), Perusahaan obat hewan, Dinas Peternakan Tingkat I clan II di Jawa Barat clan
Sulawesi Utara clan beberapa peternak ayam (layer, broiler clan lokal) di Jawa Barat.

B. Data sekunder

Data sekunder yang dibutuhkan berupa populasi ternak, antara lain ayam petelur (layer), ayam peclaging
(broiler), ayam lokal, sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing clan babi, di Indonesia berasal .dari data yang
telah ada yaitu dari Buku Statistik Peternakan Indonesia tahun 1999 (Departemen Pertanian, 1999).

C. Penclekatan analisis

Data kebutuhan berbagai macam vaksin di Indonesia diperoleh dengan cara mengalikan antara jumlah
vaksinasi yang dilakukan dalam satu periode pemeliharaan dengan populasi temak clan cakupan vaksinasi dari
masing-masing vaksin .

Dengan demikian diperoleh perkalian/rumus sebagai berikut:

Y=XxPxZx1dosiS

dimana
Y = Jumlah vaksin yang clibutuhkan dalam dosis
X = Total vaksinasi
P = populasi ternak
Z = Persentase (cakupan) ternak yang divaksinasi oleh setiap jenis vaksin
ANN] KuSUMANINGSIH et al. : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama liaksin) di Indonesia

D. Data kebutuhan vaksin untuk ayam

Data program vaksinasi ayam (layer, broiler dan lokal) diambil dari beberapa Perusahan obat hewan dan
beberapa peternak ayam secara "purposive sampling" (Thrustfield, 1997).

1. Pada peternakan ayam ras petelur (Layer), vaksinasi yang dilakukan adalah New Castle Disease (ND),
Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (1813), Infectious Coryza (Snot), Cacar (Pox), Infectious
Laryngotraeitis (ILT), Egg Drop's Syndrome (EDS) dan Swollen Head Syndrome (SHS). Banyaknya vaksinasi
(ulangan) yang dilakukan untuk setiap jenis vaksin dalam satu periode pemeliharaan, berbeda-beda (Tabel
berikut) .

Diasumsikan untuk ayam ras petelur (layer) rata-rata dilakukan vaksinasi sabagai berikut:

UMUR AYAM ND IB IBD SNOT POX ILT EDS SHS


. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . Vaksinasi . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
0 - 19 minggu 6 3,8 2,6 2 1
. . .. . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . ..Revaksinasi * * . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
> 19 minggu sampai 2-3 bulan 6 6
sebelum diafkir
Total vaksinasi 12 9,8 2,6 2 1
Ayam yang divaksin (%) 100 100 100 89 74
Keterangan : * ND : New Castle Disease
IB : Infectious Bronchitis
IBD : Infectious Bursal Disease (Gumboro)
ILT : Infectious Laryngotracheitis
EDS : Egg Drop's Syndrome
SHS : Swollen Head Syndrome

** Revaksinasi dilakukan setiap 6 - 12 minggu


Dalam keadaan wabah, revaksinasi dilakukan lebih cepat.
Ayam diafkir rata-rata mulai umur 18 bulan (72 minggu), atau tergantung
pertimbangan ekonomis petemakan . Apabila masih menguntungkan,
maka pengafkiran akan ditunda.

2. Pada peternakan ayam potong (broiler) dilakukan vaksinasi ND, IBD dan IB .
Disumsikan rata-rata dilakukan vaksinasi untuk setiap jenis vaksin sbb:

KETER ANGAN ND IBD IB


Vaksinasi (kali) 2 1 1

Ayam yang divaksin (%) 100 74 10

3. Untuk ayam lokal hanya dilakukan vaksinasi New Casile Disease (ND) sebanyak 3 x dosis perekor pertahun
(PARTADIREDJA, 1999).

394
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-H Th . 199912000

E. Kata kebutuhan vaksin ternak non unggas

Vaksinasi yang dilakukan pada ternak besar umumnya hanya terhadap beberapa penyakit strategis saja,
seperti: Septicaemia Epizootica (SE), Anthrax, Brucellosis dan Hog Cholera. Data kejadian/laporan kasus penyakit
di setiap propinsi, sebagai dasar untuk menghitung jumlah kebutuhan vaksin, diperoleh dari Sub-Direktorat
Pengawasan Penyakit Hewan Menular, Direktorat Kesehatan Hewan, Jakarta Tahun 1996-1999. Diasumsikan
apabila di suatu propinsi/daerah pemah dilaporkan adanya kejadian/kasus penyakit tertentu, maka seluruh ternak
peka yang ada di daerah tersebut dikategorikan ke dalam ternak-ternak tertular/terancam. Dengan demikian temak
di lokasi tersebut harus divaksinasi dengan cakupan (coverage vaccination) sebesar 70%.

_,
Dengan demikian diasumsikan kebutuhan vaksin untuk ternak besar di daerah terancam sebagai berikut:

Kasus penyakit Propinsi Ternak yang terserang - Cakupan vaksinasi Frekuensi tiap Tahun
terancam (%) *)
Septicaemia X Sapi potong, sapi perah, 70 1
Epizootica (SE) kerbau
Anthrax X Sapi potong, sapi perah, 70 1
kerbau, domba, kambing,
babi dan burung unta
(ostrich)
Brucellosis X Sapi potong 70 l
Hog Choler a X Babi 70 1
Keterangan : *) ANONIM , 1979 .

F. Kebutuhan vaksin untuk hewan kecil (anjing dan kucing)

Vaksinasi yang dilakukan pada anjing dan atau kucing liar hanya rabies, sedangkan vaksinasi pada hewan
kesayangan anjing dan kucing antara lain Rabies, Distemper, Hepatitis, Leptospirosis, Parvovirus dan Feline
Panleucopenia . Vaksinasi tersebut umumnya dilakukan setahun satu kali dan diharapkan cakupan vaksinasi
mencapai 70%.

G. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara diskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian terhadap permintaan vaksin dan bahan biologik veteriner dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu
pendekatan "permintaan potensial" dan "permintaan aktual". Permintaan potensial yaitu permintan vaksin atas
dasar kasus penyakit dan populasi temak di Indonesia. Dalam hal ini kendala yang dihadapi menyangkut data
mutahir dan lengkap mengenai kasus penyakit di lapangan belum tersedia, sehingga sulit untuk melakukan proyeksi
kebutuhan vaksin dan obat veteriner lain secara akurat (PRONOHARTONO, 1999). Sedangkan permintaan aktual
yaitu permintaan terhadap vaksin sesuai dengan pasokan (suplai) yang ada. Hal tersebut diidentifikasi bahwa
sebagian besar importir obat hewan pada prinsipnya setiap mengimpor didasarkan kepada pesanan yang diminta
oleh konsumen . Dimana permintaan aktual konsumen vaksin sangat dipengaruhi oleh tingkat intensif dari usaha
peternakan, tingkat investasi ke industri petemakan, distribusi obat hewan dan tingkat pengetahuan peternak
(BAHRI, et al., 1999).
ANN] KUSUMAN]NGSIH et al. : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama Vaksin) dt Indonesia

A. Kebutuhan vaksin unggas (ayam)

Kebutuhan vaksin ayam meliputi vaksin untuk ayam ras petelur (layer), ayam ras pedaging (broiler) dan
ayam kampung (lokal). Hasil kajian menunjukkan bahwa permintaan potensial (kebutuhan) vaksin untuk ayam
relatif sangat besar, baik dilihat dari jenis vaksin maupun dari jumlah dosis yang dibutuhkan. Jumlah vaksin ayam
(dalam dosis) yang dibutuhkan setiap tahunnya, dari tahun 1994 - 1999, dapat dilihat pada Tabel 1 .
Tingginya kebutuhan vaksin untuk ayam, berkaitan erat dengan tujuan usaha yang lebih bersifat komersil,
terutama untuk leyer dan broiler. Kegiatan vaksinasi merupakan paket usaha dari usaha ayam ras, baik pada pola
kemitraan maupun usaha mandiri, sehingga merupakan bagian dari biaya produksi . Kegiatan vaksinasi ND dan IBD
pada pola kemitraan ayam broiler merupakan bagian dari rencana usaha selama siklus, dan jumlah dosis yang
dibutubken sangat tergantung dari volume produksi (populasi ayam yang dipelihara) . Dengan demikian biaya
vaksinasi digolongkan sebagai biaya variabel . Pada Tabel 1 . menunjukkan bahwa 81,5% kebutuhan vaksin adalah
pada ayam ras, meliputi 41,9% ayam petelur dan 39,6% ayam pedaging . Sedangkan ayam lokal kebutuhannya
hanya 18,5% dari total kebutuhan vaksin dalam negeri .

Tabel 1. Kebutuhan vaksin ayam Tahun 1994 - 1999


(dosis)

Tahun Layer Broiler Ayam Kampung Total

1994 1 .831 .634 .752 1 .767 .320 .686 729.781 .164 4.328 .736 .602
1995 1 .992 .488 .545 1 .958 .086 .982 750.241 .314 4.700 .816.841
1996 2.276 .192 .778 2.146 .914 .707 782.138 .391 5.205 .244.876
1997 2.045 .410.479 1 .821 .501 .635 782 .504 .094 4.649 .416 .208
1998 1 .109 .987 .515 1 .005 .429 .947 759.400 .314 2 .874 .817 .776
1999 *) 1 .213 .674 .042 1 .189 .791 .057 797.965 .443 3.201 .430 .542
Rata-rata 1 .744 .897 .852 1 .648 .174 .170 767.005 .120 4 .160 .077 .142
(%) _(4 1 ,9%j _ 39,6°/x_ _ (18,5%)
Keterangan : *) angka sementara

Implementasi kegiatan vaksinasi sangat mempengaruhi kinerja produksi ayam ras secara keseluruhan .
Semakin teratur dan terencana program vaksinasi dalam suatu peternakan ayam ras, maka semakin rendah tingkat
mortalitas . Hasil kajian menunjukkan bahwa pada pola kemitraan dimana kegiatan vaksinasi merupakan salah satu
rencana paket usaha dalam satu siklus produksi . Pada peternakan yang melakukan vaksinasi secara teratur, angka
mortalitas dapat ditekan hingga 3,3% jika dimulai dari pullet dan 6,6% jika dimulai dari DOC. Sedangkan pada pola
mandiri, dimana program vaksinasi relatif kurang teratur dan terencana, angka mortalitas relatif lebih tinggi hingga
mencapai 8,2% .
Krisis ekonomi yang diawali dengan gejolak moneter sejak pertengahan tahun 1997, nampaknya
berpengaruh kepada permintaan vaksin di Indonesia. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1998 dan 1999 terjadi
penurunan permintaan vaksin secara nyata pada ayam ras petelur dan pedaging, yang disebabkan oleh sebagian
besar faktor produksi, termasuk vaksin, obat-obatan, pakan dan DOC, tergantung kepada impor; dilain pihak terjadi
penurunan pasar produksi peternakan sebagai akibat lemahnya daya beli masyarakat (BAHRI, etal., 1999).
Kebutuhan vaksin yang tinggi pada ayam ras petelur sebagian besar meliputi vaksin untuk perengahan
penyakit New Castle Disease sebanyak 12 kali, Infectious Bursal Disease (2 x), Infectious Bronchities (9,6 x),
Coryza (Snot sebanyak 2 x), Infectious Laryngotracheitis (1 x), Pox (Cacar sebanyak 1 x), Egg Drop's Syndrome
(1 x) dan Swollen Head Syndrome (1 x) dalam satu periode pemeliharaan yang berkisar antara 70-100 minggu .
Pada ayam ras potong kebutuhan vaksin meliputi vaksin ND (2 x), IBD (1 x) dan IB (lx) dalam satu periode
pemeliharaan yang berkisar antara 4-6 minggu . Sedangkan pada ayam lokal diasumsikam hanya dilakukan
vaksinasi ND sebanyak 3 x dosis perekor pertahun.
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

Tabel 2. Kebutuhan dan ketersedian vaksin ayam Tahun 1994-1999


(000 dosis)
Ketersediaan **)
Tahun Kebutuhan Kekurangan
Impor Dalam Negeri
1994 4 .328 .737 2 .366 .700 1 .421 .200 540.837
1995 4.700 .817 2.671 .300 1.563 .300 466.271
1996 5.205 .245 3.231 .800 813 .900 1.159 .545
1997 4.649 .416 3.420 .840 395.400 833.176
1998 2.874 .418 - - -
1999 *) 3 .201 .431 1.964 .980 335 .847 900.604
Rata-rata (%) - 4.417 .142 - - 2.731 .1 24~61,8 %) - 905.929 (20,5%) 780.089 (17,7%)
Keterangan : *) Angka sementara
**) Sumber Ditkeswan, Jakarta tahun 1999-200
- Data tidak tersedia

Dilihat dari perbandingan antara permintaan potensiai dan permintaan aktual terhadap vaksin ayam, ternyata
ketersediaan vaksin di Indonesia masih belum mencukupi. Hal ini terlihat pada Tabel 2, bahwa masih terdapat
kekurangan suplai vaksin yang cukup besar yang mencapai rata-rata sebanyak 17,7% per tahun . Dari permintaan
aktual (suplai) vaksin tersebut temyata kira-kira sebanyak 75,1% berasal dari impor clan hanya kira-kira sebanyak
24,9% berasal dari produksi dalam negeri (Tabel 3) .

Tabel 3. Ketersediaan vaksin ayam impor clan dalam negeri Tahun 1994-1999
k000 dosis)
Tahun Impor Dalam Negeri Total
1994 2.366 .700 1 .421 .200 3 .787 .900
1995 2.671 .300 1 .563 .300 4.234 .600
1996 3 .231 .800 813 .900 4 .045 .700
1997 3.420 .840 395.400 3.816 .240
1998 *) - - -
1999 1 .964.980 335.847 2.300 .827
Rata-rata (% - 2.731 .124 (75,1%) 905.9299 ( 24,9%) 3 :637 .053 (100%)
Sumber:
Keterangan : Ditkeswan, Jakarta, 1999-2000
*) Angka tidak tersedia

Kenyataan ini ternyata lebih rendah dari yang diasumsikan oleh PARTADIREDJA (1999) yang mengatakan
bahwa 35% kebutuhan vaksin ayam di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan sebanyak 65% berasal dari
impor. Hal ini sebenamya dapat menjadi peluang bagi produsen dalam negeri untuk mengoptimalkan produksinya
dan bersaing dengan produk impor. Di samping itu akan menghemat devisa negara, karena diharapkan vaksin
produksi dalam negeri harganya akan lebih murah.
Dilihat secara keseluruhan dari tahun 1994-1999 bahwa kebutuhan (permintaan potensial) vaksin ayam
terbanyak adalah vaksin ND yang rata-rata mencapai 63,7% pertahun. Kemudian diikuti oleh vaksin IB clan IBD
yang rata-rata mencapai 15,6 % dan 14,1% per tahun dari total kebutuhan vaksin nasional . Sedangkan untuk vaksin
yang lain, kebutuhannya relatif kecil antara 0,1 % - 2,6% per tahun (Tabel 4) .
ANNI KUSUMANINGSIH et al. : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama Vaksin) di Indonesia

Tabel 4. Rata-rata kebutuhan masing-masing vaksin Tahun 1994-1999


dosis)
VAKSIN 1994 1995 1996 1997 1998 1999 RATA-RATA

ND 2.734 .388 2 .955 .935 3 .238 .528 2.912 .725 1 .927 .983 2.139 .446 2.651 .501 (63,7%)
IB 682.908 743.133 846 .919 756.241 411 .579 453.167 648.991 (16,6%)
IBD 625.169 689.337 764.044 661 .236 361.754 419.129 586.778 (14,1%)
SNOT 112.735 122.636 140.098 125.709 68 .319 74 .701 107.366 (2,6%)
POX ., 46 .877 50.983 58 .243 52 .261 28 .402 31 .055 44 .637 (1,1%)
ILT 60 .801 66.141 75 .558 76 .798 36 .846 40 .288 59 .405 (1,4%)
EDS 63 .335 68 .897 78 .706 70 .623 38.381 41 .967 60 .318 (1,5%)
SHS 2.533 2.756 3.148 2.825 1.535 1 .679 2.413 (0 ,1 9/6)

Tingginya kebutuhan vaksin ND disebabkan karena vaksinasi ini mutlak diperlukan, baik pada ayam petelur,
pedaging maupun ayam lokal . Seperti yang dikemukakan oleh DARMMTO (1995) clan TATANG (1999) bahwa
vaksinasi ND pacla ayam lokal menjadi sarat mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar . Vaksinasi dimulai pada ayam
umur 4 hari, clan diulang pada umur 4 minggu . Selanjutnya diulangi setiap 4 bulan untuk memberikan kekebalan
yang optimal. Tetapi pada kenyataannya di lapangan, peternak ayam lokal jarang/tidak melakukannya, maka dapat
diestimasikan bahwa angka kematian (mortalitas)nya sangat tinggi hingga mencapai 50-60% .
Apabila dilihat pada tahun 1999, kebutuhan vaksin ND saja mencapai 66,7% dari total kebutuhan vaksin
nasional, diikuti vaksin 113 sebanyak 14,2% clan vaksin IBD sebanyak 13,1%. Sedangkan untuk vaksin yang lain,
kebutuhannya relatif kecil (Tabel 4). Dari total kebutuhan tersebut, sebanyak 63,7% yang dapat dipenuhi, baik oleh
produsen dalam negeri maupun yang berasal dari impor, sedangkan sisanya sebanyak 36,3% tidak terpenuhi.
Dengan demikian ada sebagian ayam-ayam yang tidak tervaksinasi, clan menjadi sumber infeksi baru untuk ayam-
ayam lain yang telah tervaksinasi .

Tabe15. Kebutuhan dan ketersediaan masing-masing vaksin ayam tahun 1999


(000 dosis)
No . Jenis Vaksin Kebutuhan*) Ketersediaan **) Kekurangan
1. ND 2 .139 .446 (66,7%) 1 .363 .718 (63,7%) ***) 775 .728 (36,3%) ***)
2. IB 453 .167 (14,2%) 381 .455 (84,2%) 71 .712 (15,8%)
3. IBD 419.129 (13,1%) 287.612 (68,6%) 131 .517 (31,4%)
4. Coryza 74 .701 (2,3%) 111.934 (149,8%) + 37 .233 + (49,8%)
5. Pox 31 .055 (1,0%) 344 .158 (1108,2%) + 313.103 + (1008,2%)
6. ILT 40 .288 (1,3%) 30 .629 (76,2%) 9.659 (23,8%)
7. EDS 41 .960 (1,3%) 34 .658 (82,6%) 7 .302 (17,4%)
8. SHS 1.679 (0,1%) 1.710 (101,8%) +31 +(1,8%)
TOTAL 3.201 .431 2 .300 .827 900.604
Keterangan : *) Angka dalam kurung menunjukkan persentase dari total kebutuhan
**) Sumber Ditkeswan, 2000
***) Dst. dalam satu kolom. Angka dalam kolom menunjukkan persentase dari
jumlah vaksin yang tersedia/kekurangannya dibandingkan dengan jumlah
kebutuhan vaksin.

Bila diamati lebih jauh, dari total vaksin ND yang tersedia (permintaan aktual) di pasaran pada tahun 1999,
ternyata hanya sebanyak 14,9% produksi dalam negeri clan sebanyak 85,1% berasal dari impor. Demikian juga
untuk vaksin-vaksin lainnya (Tabel 5). Hanya vaksin Snot (Coryza), dimana produksi dalam negeri (68%) lebih
banyak dibandingkan dengan impor (32%). Tetapi ironisnya, dengan tingginya produksi vaksin dalam negeri,
malahan terjadi kelebihan pasokan vaksin di pasaran sebesar 49,8%. Demikian juga untuk vaksin Pox clan SHS,
terjadi kelebihan suplai vaksin sebesar 1008,2% clan 1,8% . (Tabel 5 dan 6) . Aclanya kelebihan pasokan untuk
vaksin Pox dan SHS disebabkan karena membanjimya vaksin impor.

39 8
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th . 199912000

Tabel 6. Ketersediaan vaksin ayam impor clan dalam negeri Tahun 1999
(0000 dosis)
No. Jenis Vaksin Impor Dalam Negeri Total
1. ND 1 .160 .552 (85,1%) 203 .166 (14,9%) 1 .363 .718
2. IB 323.914 (84,9%) 57 .541 (15,1%) 381 .455

3. IBD 271 .183 (94,3%) 16 .429 (5,7%) 287.612


4. Coryza 35 .838 (32,0%) 76 .096 (68,0%) 111 .934
5. Pox 340.766 (99,0%) 3.392 (1,0%0 344.158
6. ILT 30 .605 (99,9%) 24(0,1%) 30 .629
7' EDS 22 .422 (64,7%) 12 .236 (33,3%) 34 .658
8. SHS 1.710 (100%) - 1 .710
Sumber : DITKESWAN, 2000

Berdasarkan uraian di atas, ternyata hanya 3 jenis vaksin, yaitu vaksin ND, IB dan 11313 yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi dan sangat potensial untuk dikembangkan di dalam negeri, karena permintan potensial
(kebutuhan) nya cukup tinggi .

B. Kebutuhan vaksin ternak non unggas

Prinsip pengendalian dan pemberantasan penyakit ternak non unggas (meliputi sapi potong, sapi perah,
kerbau, domba, kambing clan babi) yang menjadi tugas pemerintah pusat (khususnya) terutama diarahkan pada
penyakit yang berdampak kerugian ekonomi luas oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat
angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi . Prioritas pengendalian diberikan terhadap beberapa penyakit strategis
sesuai dengan SK Menteri Pertanian No . 103 tahun 1998 tanggal 23 Maret 1998, yaitu Septicaemia Epizootica/SE,
Anthrax, Brucellosis dan Hog Cholera (AKOSO, 2000). Penyakit-penyakit tersebut sering berubah sifat dari situsi
yang endemik di suatu daerah, menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian ekonomi secara nasional .

Tabel 7. Kebutuhan vaksin ternak non unggas Tahun 1994-1999


(dosis)
Tahun Septicaemia * Anthrax ** Brucellosis Hog **** Total
Epizootica/Se *** Cholera
1994 5.173 .947 7.044.931 3 .336 .017 - 15 .554 .895
1995 5.384.495 7.373 .632 3 .424 .913 - 16.183 .040
1996 5.393 .836 7.437 .415 3 .561 .996 2.87- .659 19.263 .906
1997 9.271 .866 9.932 .765 3 .704 .369 3 .488 .898 26.397 .898
1998 9.632.631 10.853 .463 3 .956 .769 3 .690 .500 28 .133 .363
1999+) 9.939 .677 14.127 .746 4.012.104 4.974 .405 33 .053 .922
Rata-rata 7.466 .075 9.461 .659 3.666.028 3 .004 .892 23 .097 .837
(31,2%) (40,0%) 15 9% 13%
Keterangan : *) Sapi potong, sapi perah clan kerbau
**) Sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing clan babi
***) Sapi potong
****) Babi
+) Angka sementara

Dari penyakit ternak strategis :tersebut apabila dihitung kebutuhan vaksin (permintan potensial yang
berdasarkan populasi) dikaitkan dengan hewan/temak yang peka terhadap penyakit di atas, maka kebutuhan
tersebut clapat dilihat pada Tabel 7. Pacla tabel tersebut terlihat bahwa jumlah vaksin yang dibutuhkan setiap
tahunnya mengalami peningkatan, baik untuk masing-masing vaksin maupun secara keseluruhan . Hal ini
disebabkan karena setiap tahun jumlah ternak peka yang terancam oleh penyakit tersebut makin bertambah.

39 9
ANNI KUSUMANINGSIH et at : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama Vaksin) di Indonesia

Diasumsikan apabila disuatu lokasi/propinsi dilaporkan adanya kasus penyakit tertentu, maka semua ternak:,
peka dilokasi/propinsi tersebut harus divaksinasi dengan cakupan vaksinasi 70%. Dengan pertimbangan karena lalu
lintas (perdagangan) ternak di suatu lokasi dalam suatu propinsi (daerah yang lebih luas) sangat sulit dikontrol.
Dari keempat penyakit tersebut ternyata permintaan potensial (kebutuhan) vaksin untuk penyakit Anthrax
paling tinggi, yaitu mencapai 40%. Hal ini karena temak yang peka terhadap Anthrax dan harus divaksinasi
mencakup sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing dan babi (ANONIM, 2000). Dengan adanya wabah
Anthrax pada burung Unta (Ostrich) yang terjadi pada akhir tahun 1999 di Purwakarta, Jawa Barat, maka unggas
tersebut harus divaksinasi . Seperfi yang dikatakan para ahli bahwa walaupun burung unta termasuk jenis unggas
tetapi dapat terserang anthrax, dan dikatagorikan ke dalam ternak peka (ANONim, 2000). Selanjutnya diikuti oleh
vaksin SE mencapai 31,2% (mencakup sapi potong, sapi perah dan kerbau); vaksin Brucellosis mencapai 15,9%,
hanya-urtuk sapi potong, sedangkan untuk sapi perah dianjurkan untuk dilakukan "test and slaughter" ; serta vaksin
Hog Cholera hanya untuk babi mencapai 13% (Tabel 7) .

Tabe18 . Kebutuhan dan ketersediaan vaksin ternak non unggas tahun1994-1999


(dosis)
Tahun Kebutuhan Ketersediaan DN + Impor *) Kekurangan
1994 15 .554 .931 6.241 .010 9.313 .937
1995 16 .183 .040 5.640 .730 10 .542 .210
1996 19 .263 .906 5.865 .070 13 .398 .836
1997 26 .397 .898 3 .559 .450 22 .838 .448
1998 28 .133 .363 5.885 .000 22 .248 .363
1999 **) 33 .053 .922 3 .921 .350 29 .132 .572
Rata-rata (%) 23 .097 .843 4.585 .435 ( 19,9%) 17 .912 .394 (80,1%)
Kekurangan : *) Sumber Ditkeswan, 2000 dan Pusvetma, 2000
**) Angka sementara

Hasil kajian menunjukkan bahwa secara garis besar pengadaan vaksin untuk program pengamanan ternak
sebagian besar masih belum mencukupi, baru terpenuhi rata-rata sebesar 19,9% per tahun, sedangkan
kekurangannya sebanyak 80,1% belum terpenuhi (Tabel 8) . Dari jumlah yang tersedia, sebagian besar disubsidi
oleh Pemerintah Pusat yang berasal dari Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA, Surabaya) atau produsen swasta
lainnya, dan kekurangannya diadakan oleh daerah masing-masing atau dari impor. Sedangkan untuk kebutuhan
penyediaan vaksin bagi penyakit-penyakit ekonomis lainnya menjadi tugas Pemerintah Daerah melalui azas
desentralisasi dengan meningkatkan peran swadaya masyarakat dan mengikuti mekanisme pasar yang ada (AKOSO,
2000).

Tabel 9. Kebutuhan dan ketersediaan vaksin SE Tahun1994-1999


(dosis)
Tahun Kebutuhan Ketersediaan *) Kekurangan
1994 5.173 .947 4.313 .250 (83,4%) 860.697 (16,6%)
1995 5.384 .495 3 .825 .750 (71,1%) 1 .558 .745 (28,9%)
1996 5.393 .836 3.637 .300 (67,4%) 1 .756.536 (32,^%)
1997 9.271 .866 2 .697 .450 (29,1%) 6.574 .416 (70,9%)
1998 9.632 .631 3.872 .000 (40,2%) 5 .760 .631 (59,8%)
1999 **) 9.939 .677 2 .599 .350 (26,2%) 7.340 .327 (73,8%)
Rata-rata (%) 7.466.075 3.490 .850 (46,8%) 3 .975 .225 (53,2%)
Keterangan : *) Sumber Pusvetma, Surabaya, 2000 dan Ditkeswan, 2000
**) Angka sementara

Secara keseluruhan untuk masing-masing vaksin SE --" Anthrax dan Brucellosis ternyata hanya
terpenuhi/tersedia rata-rata sebanyak 46,8%, 14,6% dan 5,4% dari total kebutuhan vaksin per tahun (Tabel 9, 10
dan 11). Sedangkan untuk vaksin Hog Cholera hanya tersedia sebanyak 7,8% per tahun, dan semuanya berasal dari
impor (Tabel 12). Pada Tabel 9 dan 10 dapat terlihat bahwa krisis moneter yang terjadi awal tahun 1997 ternyata

400
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARAfP-II Th. 199912000

berpengaruh terhadap subsidi vaksin SE dan Anthrax, yaitu mengalami penurunan penyediaan vaksin dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya (tahun 1994-1996) . Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketersediaan dana baik di Pusat
maupun Daerah untuk memenuhi kebutuhan minimal, serta disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku impor
(AKOSO, 2000 dan PRONOHARTONO, 2000).

Tabel 10. Kebutuhan dan ketersediaan vaksin Anthrax Tahun 1994-1999


(dosis)
Tahun Kebutuhan Ketersediaan *) Kekurangan
1994 7.044 .931 1 .907.750 (27,1%) 5.137.181 (72,9%)
1995 7.373 .632 1 .602.750 (21,7%) 5.770.882 (78,3%)
1996 7.437 .415 2.000.000 (26,9%) 5.436.915 (73,1%)
1997 9.932 .765 602.000 (6,1%) 9.330.765 (93,9%)
1998 10 .853 .463 1 .500.000 (13,8%) 9.353 .463 (86,2%)
1999 **) 14 .127 .746 700.000 (5,0%) 13 .427 .746 (95,0%)
Rata-rata (%) 9.461 .659 1 .385.417 (14,6% 8.076.159 (85,4%)
Keterangan : *) Sumber Pusvetma, 2000 dan Ditkeswan, 2000
**) Angka sementara

Melihat realisasi program vaksinasi di lapangan, terutama SE dan Anthrax, ternyata setiap Dinas
Peternakan kabupaten/kotamadya mempunyai kebijakan yang berbeda. Sebagai contoh di Dinas Peternakan
Kabupaten Bogor bahwa pelaksanaan vaksinasi Anthrax diutamakan di wilayah perbatasan yang padat populasi
temaknya, serta untuk SE selain diperbatasan juga di daerah endemis. Sedangkan di Dinas Peternakan Kabupaten
Bandung, program vaksinasi SE dan Anthrax diutamakan pada sapi perah karena ternak tersebut pupolasinya cukup
padat dan mempunyai nilai ekonomis tinggi . Adanya kebijakan-kebijakan tersebut disebabkan oleh keterbatasan
penyediaan vaksin, baik yang berasal dari Anggran APBD I, APBD 11 maupun subsidi dari Pusat (ANONIM, 1999).

Tabel 11 . Kebutuhan dan ketersediaan vaksin Brucellosis 1994-1999


(dosis)
Tahun Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
1994 3.336.017 20.010 (0,6%) 3 .316 .007 (99,4%)
1995 3.424 .913 212 .230 (6,2%) 3 .212 .683 (93,8%)
1996 3.561 .996 227.770 (6,4%) 3 .334 .226 (93,6%)
1997 3.704 .369 260.000 (7,0%) 3 .444 .369 (93,0%)
1998 3.956 .769 218.000 (5,5%) 3 .738 .769 (94,3%)
1999 **) 4.012 .104 250.000 (6,2%) 3 .762.104 (93,8%)
Rata-tara (%) 3.666 .028 198 .002 (5,4%) 3 .468.026 (94,6%)
Keterangan : *) Sumber Pusvetma, 2000 dan Ditkeswan, 2000
**) angka sementara

Tabel 12 . Kebutuhan dan ketersediaan vaksin Hog Cholera Tahun 1994-1999


(dosis)
Tahun Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
1996 2 .870.659
1997 3.488 .898
1998 3.690.500 295 .000 3.395 .500
1999 **) 4.974 .405 372.000 4.602.405
3.004 .892 7,8% 92,2%
Keterangan : *) Sumber Ditkeswan, 2000
**) Angka sementara
-) Data tidak tersedia

40 1
ANNI KUSUMAN[NOSIH et al. : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama Valrsin) di Indonesia

Walaupun telah dilakukan beberapa kebijakan, tetapi cakupan vaksinasi untuk pencegahan kedua penyakit
(SE dan Anthrax) tersebut masih rendah . Misalnya di Kabupaten Bandung, rata-rata realisasi vaksinasi SE psda sapi
perah hanya sebasar 8,3% dsn Anthrax sebesar 18% per tahun. Sedangkan di kabupaten Bogor, rata-rata realisasi
vaksinasi SE psda ternak sebesar 33,5% dan Anthrax sebesar 4,5% per tahun (Tabel 13 dsn 14). Dengsn demikian
terlihat bahwa permintaan aktual (ketersediaan) vaksin yang ada belum dapat mencukupi kebutuhan minimal di
lapangan .

Tabel 13 . Reslisasi vaksinasi SE dsn Anthrax pada sapi perah di Kabupaten Bandung
Tahun Populasi Sapi Perah Vaksinasi (Dosis)
(Ekor) SE ANTHRAX
1996/1997 39 .460 2.000 (5,1%) 9.000 (22,8%)
1997/1998 41 .434 5 .000 (12,1%) 3.600 (8,7%)
1998/1999 39 .128 850 (2,2%) 5.000 (12,8%)
1999/2000 36 .344 5 .000 (13,8%) 10 .000 (27,5%)
Rata-rata (%) 39 .067 3.213 (8,3%) 6900 (18,0%)
Sumber : Dinas Petemakan Kabupaten Tingkat II Bandung, 1999.

Tidak seimbangnya antara kebutuhan (permintaan potensial) dan ketersediaan (permintaan aktual) vaksin
untuk penegahan dsn pemberantasan penyakit mengakibatkan masih tingginya angka mortalitas dan morbiditas
penyakit . Sehingga wajar bahwa keempat penyakit (SE, Anthrax, Brucellosis dan Hog Cholera) tersebut tetap ada
dan sulit untuk diberantas di Indonesia. Dengan demikian pencegahan dan penanggulangan penyakit tersebut tidak
akan terselesaikan secara tuntas.

Tabel 14 . Reslisasi vaksinasi SE dsn Antrhax di Kabupaten Bogor


Septicaemia Epizootica Anthrax
Tahun Pop.Terancam Realisasi % Pop.Terancam Realisasi
(ekor) *) (dosis) (ekor) **) (dosis)
1996/97 47 .230 18 .200 38,5 268.378 14.500 5,4
1997/98 41 .320 16.000 38,7 242.416 6.500 2,7
1998/99 34 .267 8.000 23,3 229.788 13 .000 5,7
Rata-rata 40 .937 14.067 34,4 246.861 11 .333 4.6
Keterangan : *) Populasi terancam meliputi sapi potong, sapi perah dan kerbau
**) Populasi terancam meliputi sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, babi
dan burung unta

Telah diuraikan di atas, bahwa setiap tahun terjadi kekurangan vaksin yang mencapai rata-rata sebesar
53,3%. Kenyataan ini sebenamya harus menjadikan peluang yang cukup besar untuk meningkatkan kemampuan
produksi vaksin dan obat-obatan veteriner lain di dalam negeri, baik yang berasal dari kegiatan "toll
manufacturing" atau kontrak maupun yang berasal dari produksi lembaga pemerintah (Axoso, 2000). Apabila
dikaitkan dengan vaksin produksi dalam negeri, maka diharapkan vaksin tersebut mempunyai tingkat proteksi yang
lebih tinggijika dibandingkan dengan vaksin impor, karena mikroorganisme (bibit vaksin) yang dipakai adalah
isolat lokal.

C. Kebutuhan vaksin hewan kecil anjing dsn kucing

Selain vaksin untuk tenak tersebut di atas, seperti sapi, kerbau, domba, kambing dan babi, masih ada vaksin
untuk anjing dan kucing yang sangat potensial untuk dikembangkan . Tetapi dilapangan kenyataannya sangat sulit
untuk memprediksi/menghitung permintaan potensial atau jumlah kebutuhan untuk hewan tersebut, baik sebagai
hewan liar maupun sebagai hewan kesayangan, karena sampai sejauh ini data populasinya tidak tersedia .
Berdasarkan laporan PARTADIREDJA (1999) yang mengatakan bahwa kebutuhan vaksin Rabies untuk
pencegahan Rabies pada anjing-anjing kampung di pedesaan, sampai saat ini cukup dipenuhi dari PUSVETMA-
Surabaya dsn PT . Vaksindo Satwa Nusantara, Bogor. Akan tetapi untuk hewan kesayangan, pengadaan vaksinnya
masih banyak bergantung kepada produk impor. Apabila diasumsikan bahwa jumlah kucing dan anjing yang
dipelihara sebagai hewan kesayangan sebanyak kira-kira 4 dsn 3 juts ekor, dengan vaksinasi yang umum
dilaksanakan adalah Rabies, Canine Hepatitis, Canine Distemper, Leptospirosis, Canine Parvovirus dan Feline

402
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

Panleucopenia, maka vaksin yang dibutuhkan mencapai 16 .100 .000 dosis tiap tahunnya . Dari jumlah kebutuhan
tersebut, ternyata baru dapat dipenuhi sebanyak 5,8% dari produksi dalam negeri dan sebanyak 6,2% dari impor.
Sedangkan sisanya sebanyak 87,9% vaksin belum dapat terpenuhi, baik oleh impor maupun dari produksi dalan
negeri (Tabel 15).

Tabel 15. Kebutuhan dan ketersediaan vaksin hewan kesayangan(kucing dan anjing) Tahun 1999
dosis
Vaksin Hewa Kebutuhan Ketersediaan Kurang
*) Dalam Negeri Impor
Rabies Anjing, kucing 4.900 .000 939.390 14 .850 3 .945 .760
Parvovirus Anjing 2.100 .000 - 28 .300 2.071 .700
Distemper Anjing 2.100.000 - 317.300 1 .682 .700
Canine Anjing 2.100.000 . - 317.300 1 .682 .700
Hepatitis
Leptospirosis Anjing 2.100.000 - 317.300 1 .682.700
PRC Kucing 2.800 .000 - 6.480 2.793 .580
TOTAL 16 .100 .000 939 .390 1.001 .530 14 .159 .080
(5 ,8°/4) (6,2%) (87,9%)
Keterangan : Sumber : Ditkeswan, 2000
*) : cakupan vaksinasi 70%

Dengan masih banyaknya pemakaian vaksin impor yang mencapai 6,2%, dimana sudah pasti memanfaatkan
bahan/biang vaksin (dalam hal ini virus) dari luar negeri, maka dapat dipastikan bahwa virus tersebut belum tentu
spesifik dengan virus serupa di alam Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa beberapa penyakit dari
hewan kesayangan ini masih bisa berjangkit, walaupun hewan tersebut telah divaksinas ., Hal ini menunjukkan
bahwa vaksin impor tidak selalu memberikan perlindungan efektif terhadap infeksi alam . Sebenarnya teori ini
berlaku untuk semua jenis vaksin impor, baik untuk unggas maupun untuk ternak non unggas dan hewan
kesayangan .
Seperti telah dilaporkan di atas, bahwa vaksin rabies untuk anjing-anjing kampung telah dapat dipenuhi dari
produksi dalam negeri . Namun sampai sejauh ini belum dapat diketahui dengan pasti sebenarnya berapa
dosis/jumlah vaksin yang dibutuhkan tersebut. Hal ini sama, karena populasi pasti dari anjing dan kucing liar di
Indonesia tidak diketahui. .
Apabila dikaitkan dengan rencana "Indonesia bebas rabies tahun 2005" maka hal ini dapat menjadi salah
satu kendala, karena vaksinasi pada anjing maupun kucing liar sangat sulit dilapokan. Di samping itu, hewan
tersebut tidak "bertuan" juga mobilitas dan perkembang biakkannya sangat cepat dan tinggi .

KESIMPULAN

Dari hasil kajian di atas dapat disimpulkan bahwa antara permintaan potensial clan permintaan aktual vaksin
baik untuk ayam (pedaging, petelur dan lokal) maupun untuk ternak non unggas (seperti sapi potong, sapi perah,
kerbau, domba, kambing dan babi) clan hewan kesayangan (kucing dan anjing) ternyata masih ada kekurangan yang
cukup besar
Dari
- total kebutuhan vaksin ayam tersebut, kebutuhan vaksin untuk ayam sebanyak 81,5%, melupiti 41,9%
untuk ayam petelur (layer) dan 39,6% untuk ayam pedaging (broiler) dan sisanya sebanyak 18,5% untuk ayam
lokal.
Dari
- ke delapan macam vaksin ayam ternyata yang paling . banyak dibutuhkan adalah vaksin ND, IB dan IBD
yang rata-rata mencapai 63,7%, 15,6% clan 14,1% atau total sebanyak 93,4% per tahun dari total kebutuhan
vaksin . Sisanya sebanyak 6,6% meliputi vaksin untuk Coryza, pox, ILT, EDS dan SHS.
Dari
- ketersediaan (suplai) vaksin ayam tersebut, ternyata rata-rata sebanyak 75,1% berasal dari impor clan
hanya sebanyak 24,9% produksi dalam negeri, yaitu dari PUSVETMA, Surabaya clan produsen swasta lain .
Dari permintaan potensial (kebutuhan) vaksin ternak non unggas yang meliputi vaksin SE, Anthrax,,"Brucellosis .
dan Hog Cholera, baru rata-rata sebesar 19,9% yang dapat dipenuhi/tersedia di lapngan, berarti masih ada
kekurangan suplai vaksin rata-rata sebanyak 80,1% per tahun

40 3
ANN] KUSUMANINGSIH et al. : Studi Kebutuhan Berbagai Macam Obat Hewan (Terutama Vakrin) di Indonesia

Kebutuhan vaksin ternak non unggas yang paling tinggi adalah untuk pencegahan penyakit Anthrax sebesaf
40%, SE sebesar 31,2%, Brucellosis sebesar 15,9% dan Hog Cholera sebesar 13% per tahun. Ketersediaattt-
(suplai) vaksin SE, Anthrax dan Brucellosis berasal dari produksi dalam negeri, sedangkan Hog Cholera
seluruhnya dari impor .
Kebutuhan vaksin rabies untuk pemberantasan penyakit rabies pada anjing liar dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri, sedangkan vaksin untuk hewan kesayangan (anjing dan kucing) baru tersedia sebanyak 12%,
meliputi sebanyak 5,8% dari dalam negeri dan sebanyak 6,2% dari impor dan masih ada kekurangan supai
sebanyak 87,9%.
Dengan adanya kekurangan suplai (ketersediaan) dan besarnya impor vaksin, baik untuk ayam, ternak non
unggas dan hewan kesayangan, maka hal ini harus menjadi peluang untuk substitusi impor vaksin yang tinggi
dengan memberdayakan produksen-produsen vaksin dalam negeri .

SARAN

Berkaitan dengan fakta di atas maka untuk pengembangan vaksin dalam negeri diprioritaskan pada vaksin-
vaksin yang mempunyai nilai ekonomis dan daya saing tinggi, seperti vaksin ND, IB dan IBD.

DAFTAR PUSTAKA

AKOSO, T.B . 1999 . Kebijakan Direktorat Jenderal Petemakan dalam memenuhi kebutuhan obat hewan (vaksin dan bahan
biologis veteriner lainnya) . Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta. Makalah
disampaikan pada "Workshop Veteriner", 27 Juli di Puslitbang Peternakan . Bogor.
AKOSo, T.B . 2000 . Kebutuhan bahan biologik untuk menunjang pengamanan temak terhadap penyakit . Direktorat Bina
Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan . Jakarta. Makalah disampaikan pada "Seminar dan Pameran Teknologi
Veteriner", 14-15 Maret 2000 di Balitbangtan . Jakarta.
ANONIM. 1978 . Pedoman pengendalian penyakit hewan menular. Jilid I. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal
Peternakan . Departemen Pertanian. Jakarta.
ANONIM. 2000. Kasus Anthrax, akibat keteledoran vaksinasi. Majalah Infovet. (067) Februari . Hal. :30-33 .
Anonin . 1999 . Laporan Tahunan 1998/1999 Dinas Peternakan . Pemerintah Kabupaten Daerah tingkat II Bogor. Bogor.
BAHRI, S. 1994. Residu obat hewan pada produk temak dan upaya pengamanannya. Makalah disampaikan pada "Lokakarya
Obat Hewan dan Musyawarah Nasional III ASOHI. Jakarta tanggal 5-6 Desember 1994.
BAHRI, S.,A. NURHADI, E. MASBULAN, E. MARTINDAH dan A. KUSUMANINGSIH (Penyunting). 1999 . Laporan Workshop terbatas
"Upaya pengembangan vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya di Indonesia. Bogor 27 Juli 1999 . Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
DARMINTO . 1995 . Vaksinasi penyakit Tetelo secara kontak pada ayam buras: Perbandingan analisis antara kondisi laboratorium
dan lapangan . Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 1(2) :105-113 .
PARTADIREDJA, M. 1999 . Potensi, peluang dan prospek perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis
veteriner lain di Indonesia. Makalah disampaikan pada "Workshop Veteriner", 27 Juli di Puslitbang Peternakan. Bogor.
PRONOHARTONO, T. 1999 . Peran, fungsi dan kebijakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) dalam menunjang pemenuhan
kebutuhan vaksin dan bahan biologis lain di Indonesia. Makalah disampaikan pada "Workshop Veteriner", 27 Juli di
Puslitbang Peternakan . Bogor.
PRONOHARTONO. T. 2000 . Kebutuhan dan ketersediaan obat hewan di Indonesia. Makalah disajikan pada "Seminar nasional
IPTEK Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan . Departemen Pertanian . Jakarta. 14-15 Maret 2000 .
SETIAWAN, H. Imbuhan pakan. Infovet Edisi 014. Mei-Juni 1994 . Halaman: 6.
TATANG, E.P . 1999 . Beternak ayam kampung agar untung (Bagian 2). Majalah Infovet. (063) Agustus.
THRUSFIELD, M. 1994 . Veterinery epidemiology . 2th. Ed . Blackwell. Universit
y of Edinburgh. UK .
. . wlxYosujiANTo, S.D . 1994 . Sistem pengawasan obat hewan dalam sistem kesehatan hewan nasional . Dalam kumpulan makalah'
"Temu Karya Obat Hewan" . Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktur Jenderal Peternakan bekerjasama dengan
Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Jakarta tanggal

404

Anda mungkin juga menyukai