Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS INDONESIA

ASPEK PAJAK PENGHASILAN ATAS TRANSAKSI LINTAS


BATAS NEGARA (STUDI KASUS PT. KIRARA)

MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu komponen penilaian mata kuliah Seminar Perpajakan

Alfredo Ardie Nugraha 1506684773


Cantik Puspitasari 1506684930
Chandika Budi Novandra 1506767366
Doeghell Adjie Pamungkas 1506725325
Krishna Astu Yuwono
Mochamad Kemal Afiantoro
Yosephine Uliarta 1506684956

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FISKAL
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI FISKAL

DEPOK
SEPTEMBER 2018
DAFTAR ISI
BAB 1
GAMBARAN KASUS

Berikut adalah transaksi yang dilakukan PT. KIRARA selama tahun 2017:
1) Membayar bunga pinjaman kepada BUT Wen Wen Corp - Kamboja di
Singapura sebesar Rp400 juta. Dalam kontrak disebutkan bahwa Wen
Wen Corp akan menerima bersih bunga tanpa dipotong pajak.
2) Membayar fee atas pemakaian jasa konsultan pemasaran kepada GREAT
Corp - Singapura sebesar Rp400 juta. GREAT Corp merupakan subsidiary
company dari Great International Corp, Amerika Serikat. Dalam kontrak
disebutkan bahwa pekerjaan akan berlangsung di Indonesia dari tanggal 10
Juni sampai dengan 5 Oktober 2017.
3) Membayar bunga pinjaman kepada Global Finance BV, Belanda sebesar
Rp500 juta. Dalam kontrak disebutkan bahwa jangka waktu pinjaman
yaitu 3 (tiga) tahun. Pokok pinjaman sebesar Rp10 miliar dengan bunga
5%/tahun.
4) Membayar fee sebesar Rp300 juta atas pemakaian jasa teknik dengan Lim
Lim Corp, Singapura. Untuk melaksanakan jasa tersebut, Lim Lim Corp
menugaskan Pak Budiman (residen Indonesia) dari tanggal 15 Juli sampai
dengan 30 Agustus 2017 da Mr. Chong (residen Singapura) dari tanggal 1
Agustus sampai dengan 20 September 2017. Pak Budiman dan Mr. Chong
mendapat honorarium masing-masing sebesar Rp50 juta.
5) Membayar formula pembuatan produk susu kaleng kepada Sweety
Corporation, Amerika Serikat sebesar Rp600 juta. Dalam rangka praktik
pembuatan produk tersebut, Sweety Corporation juga diminta untuk
memberikan technical assistant dengan mendatangkan tenaga ahli selama
30 hari dengan fee sebesar Rp100 juta. Dalam invoice yang ditujukan
kepada PT. KIRARA, tertulis bahwa total tagihan kontrak adalah sebesar
Rp700 juta.
BAB 2
PERMASALAHAN

1. Bagaimana aspek Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi yang dilakukan


oleh PT. KIRARA dan BUT Wen Wen Corp?
2. Bagaimana aspek Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi yang dilakukan
oleh PT. KIRARA dan GREAT Corp?
3. Bagaimana aspek Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi yang dilakukan
oleh PT. KIRARA dan Global Finance BV?
4. Bagaimana aspek Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi yang dilakukan
oleh PT. KIRARA dan Lim Lim Corp, termasuk terhadap tenaga ahli?
5. Bagaimana aspek Pajak Penghasilan (PPh) dalam transaksi yang dilakukan
oleh PT. KIRARA dan Sweety Corporation?
BAB 3
TINNJAUAN REGULASI

2.1 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)


Article 13 tentang Royalti dalam P3B antara Amerika Serikat dengan
Indonesia. Dalam article ini diatur bahwa yang dimaksud royalti adalah segala
pembayaran yang digunakan untuk penggunaan hak cipta dalam hal-hal artistik
maupun pengetahuan, termasuk di dalamnya penggunaan hak cipta untuk film,
paten, desain, model, rancangan, formula ataupun merek jual dan informasi-
informasi mengenai hal industrial, komersial, maupun pengalaman dalam ilmu
pengetahuan.

2.2 Undang-Undang
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 24 ayat (3) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 26 ayat (1a) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
Tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 32A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2.3 Peraturan Pemerintah


Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010
Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan.

2.4 Peraturan Menteri Keuangan


Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (PMK 243/2014).
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (PMK 243/2014).
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (PMK 243/2014).
Pasal 10 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (PMK 243/2014).
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
242/PMK.03/2014 (PMK 242/2014)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK/03/2014 tentang Tata Cara
Pembayaran dan Penyetoran Pajak

2.5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010 tentang Perubahan


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tentang Perubahan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nmor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk
Formulir Surat Setoran Pajak
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 tentang Perubahan
Kedua Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013
tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan Usaha
dan Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan
PKP, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

2.6 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/1988 Tentang PPh Pasal
26 Atas Bunga Kredit Luar Negeri.
BAB 4
PEMBAHASAN

3.1 Aspek Pajak Penghasilan dalam Transaksi antara PT. KIRARA dan
BUT Wen Wen Corp
Aspek Pajak Penghasilan (PPh) yang terdapat dalam suatu transaksi
mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan (UU PPh). Berdasarkan Pasal 1 UU PPh, PPh dikenakan
terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Subjek Pajak dalam transaksi pembayaran bunga pinjaman oleh PT.
KIRARA kepada BUT Wen Wen Corp adalah PT. KIRARA dan BUT Wen Wen
Corp, sedangkan bunga pinjaman adalah penghasilan yang diterima oleh BUT
Wen Wen Corp.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh, PT. KIRARA adalah subjek
pajak dalam negeri (SPDN) Indonesia. Hal ini karena PT. KIRARA merupakan
badan yang didirikan dengan menggunakan hukum yang berlaku di Indonesia,
yaitu Perseroan Terbatas (PT). Sementara itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (4) huruf b
UU PPh, BUT Wen Wen Corp adalah subjek pajak luar negeri (SPLN) Indonesia.
Hal ini karena BUT Wen Wen Corp adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
badan yang didirikan di Kamboja untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Singapura sehingga tidak didirikan di Indonesia dan dapat menerima
penghasilan dari Indonesia tidak melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Selanjutnya, bunga pinjaman yang menjadi penghasilan BUT Wen Wen Corp
termasuk ke dalam objek PPh sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf f UU PPh sehingga BUT Wen Wen Corp tergolong ke dalam Wajib Pajak
luar negeri (WPLN) karena telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh.
Indonesia berhak memajaki penghasilan yang diterima oleh WPLN karena
Indonesia menerapkan asas sumber dalam pemungutan pajaknya. Indonesia
merupakan negara sumber atas penghasilan bunga pinjaman yang diterima BUT
Wen Wen Corp. Hal ini karena berdasarkan Pasal 24 ayat (3) huruf b UU PPh,
penghasilan yang berupa bunga bersumber dari negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani bunga, yaitu Indonesia selaku negara domisili dari PT.
KIRARA. Sementara itu, transaksi yang dilakukan antara PT. KIRARA dan BUT
Wen Wen Corp merupakan transaksi lintas batas negara (cross-border
transactions) sehingga negara domisili dari BUT Wen Wen Corp dapat
mengklaim hak pemajakan terhadap satu objek yang sama (pemajakan berganda).
Untuk mencegah hal tersebut, berdasarkan Pasal 32A UU PPh, Pemerintah
Indonesia berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain
(treaty partner) dalam bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty)
Tax treaty memiliki sifat lex specialis derogate lex generalis sehingga
perlakuan pemajakan terhadap transaksi lintas batas negara mengacu tax treaty
terlebih dahulu dibanding UU domestik yang ada. Tax treaty mengatur pembagian
hak pemajakan masing-masing negara domisili dari pihak-pihak yang
bertransaksi. Dengan demikian, tax treaty berlaku bagi SPDN (residen) masing-
masing treaty partner. Sementara itu, walaupun BUT Wen Wen Corp
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Singapura, namun tax treaty
Indonesia dan Singapura tidak dapat digunakan sebagai acuan perlakuan
pemajakan atas transaksi antara PT. KIRARA dan BUT Wen Wen Corp. Hal ini
karena berdasarkan article 1 tax treaty Indonesia dan Singapura, tax treaty
Indonesia dan Singapura berlaku bagi residen masing-masing negara sedangkan
BUT Wen Wen Corp merupakan residen Kamboja sebagaimana tertuang dalam
Pasal 26 ayat (1a) UU PPh, yang disebutkan bahwa negara domisili dari WPLN
selain BUT di Indonesia (BUT Wen Wen Corp) adalah negara tempat tinggal atau
kedudukan WPLN selain BUT di Indonesia (BUT Wen Wen Corp) yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan yang diterimanya (beneficial
owner), yaitu Kamboja.
Kamboja tidak termasuk treaty partner dari Indonesia sehingga tidak
terdapat tax treaty antara Indonesia dan Kamboja. Oleh sebab itu, perlakuan
pemajakan atas penghasilan yang diterima BUT Wen Wen Corp dari PT.
KIRARA mengacu pada UU domestik masing-masing negara. Perlakuan
pemajakan atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh WPLN selain BUT
(BUT Wen Wen Corp) mengacu pada Pasal 26 ayat (1) huruf b UU PPh.
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia berhak memajaki penghasilan yang
diterima BUT Wen Wen Corp sebesar 20% dari jumlah bruto (Rp400.000.000),
yaitu Rp80.000.000. Selanjutnya, sesuai dengan konsep withholding tax, pajak
penghasilan sebesar Rp80.000.000 tersebut dipotong atau dipungut oleh pihak
yang memberikan penghasilan, yaitu PT. KIRARA.
Berdasarkan kontrak, BUT Wen Wen Corp akan menerima bersih bunga
tanpa dipotong pajak. Hal ini mengakibatkan PT. KIRARA harus menanggung
sendiri beban PPh sebesar Rp80.000.000, yang seharusnya ditanggung oleh BUT
Wen Wen Corp. Oleh karena itu, PT. KIRARA akan mencatatkan beban sebesar
Rp80.000.000 tersebut ke dalam laporan keuangan komersialnya Namun,
berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun
2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak
Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010), PPh yang ditanggung oleh
pemberi penghasilan tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak. Dengan demikian, dalam laporan keuangan menurut
pajak, beban PPh BUT Wen Wen Corp sebesar Rp80.000.000 yang ditanggung
PT. KIRARA tidak dapat menjadi biaya pengurang Penghasilan Kena Pajak PT.
KIRARA. Namun, apabila PT. KIRARA hendak menjadikan biaya PPh Pasal 26
yang ditanggung sendiri tersebut menjadi biaya pengurang maka dapat dilakukan
gross-up sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-22/PJ/1988 Tentang PPh Pasal 26 Atas Bunga Kredit Luar Negeri (SE-
22/1988).
Berdasarkan SE-22/1988, jumlah bunga yang terutang atau yang
dibayarkan ke BUT Wen Wen Corp merupakan jumlah bunga neto (jumlah bunga
yang telah dipotong PPh Pasal 26) yang jumlahnya sebesar 80% dari jumlah
bunga bruto. Berikut adalah penghitungan PPh Pasal 26:

PPh Pasal 26 = 20% x 100/80 x Rp400.000.000 = Rp100.000.000

Berdasarkan penghitungan di atas, biaya PPh Pasal 26 yang ditanggung sendiri


menjadi sebesar Rp100.000.00, namun sesuai dengan Pasal 6 UU PPh, maka
biaya tersebut dapat menjadi pengurang Penghasilan Kena Pajak karena biaya
tersebut telah menjadi bagian dari bunga yang harus dibayar.
PPh sebesar Rp80.000.000 (atau Rp100.000.000 apabila dilakukan gross-
up) yang ditanggung oleh PT. KIRARA wajib disetorkan ke bank Persepsi atau
Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat
tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Selain
itu, PT. KIRARA wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 26 rangkap tiga,
yaitu lembar pertama untuk BUT Wen Wen Corp, lembar kedua untuk Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), dan lembar ketiga untuk arsip PT. KIRARA. Selanjutnya,
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (PMK
243/2014), PT. KIRARA wajib melaporkan PPh Pasal 26 yang dipotong dengan
menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (3) PMK 243/2014, SPT Masa yang
dilaporkan PT. KIRARA paling sedikit memuat data mengenai jenis pajak, nama
Wajib Pajak (WP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan, tanda tangan Wajib Pajak atau
kuasa Wajib Pajak serta jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau
jumlah pajak yang dibayar, tanggal pembayaran atau penyetoran, dan data lainnya
yang terkait dengan kegiatan usaha WP. SPT Masa PPh Pasal 26 disampaikan ke
(KPP) atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) secara
langsung atau melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau dengan cara lain,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) PMK 243/2014.

3.2 Aspek Pajak Penghasilan dalam Transaksi antara PT. KIRARA dan
Great Corp
PT KIRARA merupakan perusahaan yang berdomisili di Indonesia.
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat
(3), PT KIRARA dikategorikan sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN)
karena bertempat kedudukan di Indonesia dan didirikan dengan menggunakan
hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Perseroan Terbatas. Pada tahun 2017, PT
KIRARA melakukan transaksi dengan GREAT Corp-Singapura. GREAT Corp-
Singapura merupakan perusahaan yang berdomisili di Singapura dan didirikan
berdasarkan hukum Singapura, sehingga sesuai dengan Undang-Undang Pajak
Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (4), GREAT Corp-Singapura
dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Transaksi yang
dilakukan antara PT KIRARA dengan GREAT Corp-Singapura berupa
pembayaran fee atas pemakaian jasa konsultan pemasaran kepada GREAT Corp-
Singapura sebesar Rp 400 Juta. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan
Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1), atas imbalan berupa fee yang diterima
oleh GREAT Corp-Singapura tersebut merupakan objek pajak penghasilan.
Berdasarkan ketentuan di dalam UU PPh Indonesia, seharusnya atas
penghasilan yang diterima oleh GREAT Corp-Singapura dapat dikenakan pajak di
Indonesia berupa PPh Final Pasal 26, karena GREAT Corp-Singapura merupakan
SPLN dan menerima penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Namun, karena
atas transaksi tersebut telah terjadi transaksi lintas batas negara, maka atas hak
pemajakannya harus berdasarkan pada Tax Treaty jika negara yang menjadi lawan
transaksi merupakan treaty partner. Hal ini dikarenakan adagium hukum yang
berlaku atas Tax Treaty adalah Lex specialis derogate lex generalis (ketentuan
khusus mengesampingkan ketentuan umum), sehingga Tax Treaty yang
merupakan ketentuan yang khusus mengatur pemajakan penghasilan antar negara
yang diperoleh WPDN yang terikat Tax Treaty, mengesampingkan ketentuan
domestik (UU PPh) untuk hal yang sama (Gunadi, 2013: 449). Indonesia dan
Singapura merupakan treaty partner, oleh karena itu atas transaksi yang terjadi
antara PT KIRARA dengan GREAT Corp-Singapura dalam penentuan hak
pemajakannya didasarkan pada Tax Treaty Indonesia-Singapura.
Berdasarkan ketentuan dalam Article 2 Tax Treaty Indonesia-Singapura,
objek pajak yang dicakup dalam Tax Treaty hanya Pajak Penghasilan.
Penghasilan tersebut bisa berasal dari active income (usaha, jasa, pekerjaan,
kegiatan), dan juga passive income (bunga, dividen, royalti). Secara konsep
perpajakan internasional, untuk menentukan hak pemajakan pada transaksi yang
berupa active income, harus ditentukan terlebih dahulu apakah atas transaksi
tersebut menimbulkan BUT di Indonesia atau tidak. Hal ini dikarenakan Indonesia
sebagai negara sumber berhak memajaki penghasilan yang diperoleh WPLN
hanya jika di negara sumber terdapat BUT. Penentuan adanya BUT di Indonesia
ditentukan berdasarkan jangka waktu (time test) yang berlaku pada masing-
masing Tax Treaty. Jangka waktu (time test) merupakan jumlah hari sebagai
batasan wajib pajak dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Tax Treaty. Apabila
jangka waktu adanya BUT di Indonesia dipenuhi, maka atas imbalan jasa tersebut
dikenakan pajak di Indonesia berdasarkan Undang-Undang domestik Indonesia.
Sedangkan, jika jangka waktu adanya BUT di Indonesia tidak terpenuhi, maka
atas imbalan jasa tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia (Muljono,
2010: 287).
Penentuan BUT dalam Tax Treaty Indonesia-Singapura diatur dalam
article 5 mengenai Permanent Establishment. Tax Treaty Indonesia-Singapura
article 5 paragraph 2 huruf i mengatur bahwa time test suatu jasa dikatakan
menimbulkan BUT adalah apabila jasa tersebut dilakukan di Indonesia lebih dari
90 hari dalam kurun waktu 12 bulan. Berdasarkan kasus diatas, jasa konsultan
pemasaran yang dilakukan oleh GREAT Corp-Singapura berlangsung dari tanggal
10 Juni sampai dengan 5 Oktober 2017, yaitu selama 118 hari. Sehingga, atas jasa
konsultan pemasaran yang dilakukan oleh GREAT Corp-Singapura dianggap
memiliki BUT di Indonesia karena telah melewati time test. Oleh karena itu, atas
imbalan jasa yang diperoleh GREAT Corp-Singapura dari kegiatan pemberian
jasanya kepada PT KIRARA, Indonesia memiliki hak untuk mengenakan pajak
penghasilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam article 7 Tax Treaty
Indonesia-Singapura yang mengatur bahwa laba perusahaan yang diterima oleh
perusahaan di negara domisili dari kegiatan usahanya di negara sumber hanya
dapat dikenakan pajak di negara domisili. Namun, terdapat pengecualian bahwa
apabila perusahaan tersebut memiliki BUT di negara sumber, maka negara
sumber memiliki hak untuk mengenakan pajak atas laba BUT tersebut.
Berdasarkan attributable principle, maka negara sumber hanya dapat mengenakan
pajak atas laba BUT yang berasal dari negara sumber saja. Sehingga Indonesia
hanya berhak mengenakan pajak atas imbalan berupa fee jasa konsultan
pemasaran GREAT Corp-Singapura.
Berdasarkan kasus diatas, kegiatan pemberian jasa yang dilakukan oleh
GREAT Corp-Singapura kepada PT KIRARA telah menimbulkan BUT di
Indonesia, sehingga Indonesia memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang
diterima oleh GREAT Corp-Singapura berdasarkan Undang-Undang Pajak
Domestik Indonesia. Undang-Undang Pajak Domestik yang digunakan dalam
kasus ini adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
23 ayat 1 yang mengatur bahwa atas penghasilan yang dibayarkan kepada WPDN
atau BUT, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan dengan jasa konsultan. PPh
Pasal 23 dihitung berdasarkan tarif dikalikan dasar pengenaan pajak. Lebih lanjut,
berdasarkan UU PPh Pasal 26 ayat (4), untuk menghitung laba BUT diatur bahwa
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia juga dikenakan Branch Profit tax (BPT) pajak sebesar 20% (dua puluh
persen), kecuali jika ditetapkan lain berdasarkan tax treaty. Berdasarkan kasus
diatas, dasar hukum yang digunakan dalam penentuan hak pemajakan didasarkan
oleh tax treaty Indonesia-Singapura. Oleh karena itu, berlaku ketentuan reduce
rate yakni tarif BPT tidak boleh melebihi 15% sebagaimana yang diatur dalam
Protokol Tax Treaty Indonesia-Singapura paragraph 3.
Dari sisi GREAT Corp-Singapura, karena telah dianggap memiliki BUT di
Indonesia maka juga timbul kewajiban perpajakan BUT Great Corp di Indonesia
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 yang
mengatur bahwa ‘Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan’. Kewajiban perpajakan
tersebut meliputi kewajiban untuk mendaftarkan diri, kewajiban pembukuan,
kewajiban menyetorkan pajak yang terutang, dan kewajiban untuk melaporkan
SPT. Kewajiban untuk mendaftarkan diri diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP
yang mengatur bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
mendapat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketentuan lebih lanjut mengenai
NPWP diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018
tentang Perubahan Kedua Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-
20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian NPWP, Pelaporan
Usaha dan Pengukuhan PKP, Penghapusan NPWP dan Pencabutan Pengukuhan
PKP, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak. Setelah mendaftarkan
diri dan memperoleh NPWP, GREAT Corp-Singapura berkewajiban untuk
melakukan pembukuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU
KUP bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan. Kemudian, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU KUP diatur bahwa
Wajib Pajak wajib untuk menyetorkan pajak yang terutangnya di Kas Negara atau
tempat-tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Ketentuan
lebih rinci mengenai penyetoran pajak diatur dalam PMK Nomor
242/PMK/03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak. Selain
itu, GREAT Corp-Singapura juga memiliki kewajiban untuk mengisi dan
melaporkan SPT sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU KUP yang
mengatur bahwa Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT dengan
benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.
Dari sisi PT KIRARA, PT KIRARA memiliki kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak sebesar 2% (dua persen) atas imbalan yang ia berikan kepada
GREAT Corp-Singapura. Kemudian, atas pembayaran fee sebesar Rp 400 Juta
kepada GREAT Corp-Singapura, PT KIRARA dapat menjadikannya biaya
pengurang penghasilan kena pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1). Selain
berkewajiban melakukan pemotongan pajak atas imbalan yang diterima GREAT
Corp-Singapura, PT KIRARA juga berkewajiban untuk membuat bukti potong
paling lambat akhir bulan saat terutangnya pajak. Setelah membuat bukti potong
dan melakukan pemotongan, PT KIRARA wajib melakukan penyetoran atas PPh
yang dipotong paling lambat maksimal hari ke-10 pada bulan berikut setelah
terutangnya pajak penghasilan tersebut ke kas negara melalui kantor pos atau
bank persepsi yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Kemudian, PT KIRARA wajib
melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 tersebut paling lambat tanggal 20 pada bulan
berikutnya. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
10/PJ/2017 Pasal 4 ayat (1), SPT Masa PPh Pasal 23 yang dilaporkan oleh PT
KIRARA harus juga disertai dengan lampiran SKD WPLN yang telah memenuhi
persyaratan administratif. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa jika
PT KIRARA tidak melampirkan SKD WPLN, maka ketentuan dalam tax treaty
tidak dapat digunakan. Sehingga dalam penentuan hak pemajakan dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh. Apabila PT
KIRARA terlambat dalam melakukan penyetoran PPh 23 tersebut, maka akan
dikenakan sanksi 2% per bulan dari jumlah kekurangan setor. Sedangkan apabila
PT KIRARA melakukan pemotongan PPh 23 namun tidak menyetorkannya, maka
dikenakan sanksi 100% dari pokok pajak yang tidak/kurang disetorkan ditambah
sanksi keterlambatan berupa bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang
tidak atau kurang disetorkan.
Selain Pajak Penghasilan, kewajiban perpajakan lain yang timbul dari
transaksi pembayaran fee atas pemakaian jasa konsultan pemasaran kepada
GREAT Corp-Singapura adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemberian jasa
konsultasi pemasaran oleh GREAT Corp-Singapura kepada PT Kirara,
menunjukkan bahwa telah terjadi pemanfaatan jasa oleh PT Kirara. Berdasarkan
UU PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1) huruf e, diatur bahwa ‘Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean’. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor 147 Tahun 2010, diatur bahwa yang dimaksud
dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam
Daerah Pabean adalah:
a) Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;
b) Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar
Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut
tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
c) Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah
Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d) Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut
dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean

Berdasarkan kasus diatas, dengan berpedoman pada ketentuan di dalam


Pasal 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 147 Tahun 2010, maka
transaksi yang dilakukan antara PT Kirara dengan GREAT Corp-Singapura
merupakan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam
Daerah Pabean. Hal ini dikarenakan JKP diserahkan oleh badan yang berada di
luar Daerah Pabean, yaitu GREAT Corp yang berada di Singapura, dan atas
kegiatannya di Indonesia tidak menimbulkan perubahan satus menjadi SPDN.
Selain itu, kegiatan pemanfaatan JKP tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean,
yaitu oleh PT Kirara yang merupakan perusahaan di Indonesia. Sehingga,
berdasarkan pada UU PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1) huruf e, atas
transaksi pemberian jasa yang dilakukan antara GREAT Corp-Singapura dengan
PT Kirara terutang PPN sebesar 10%, karena adanya pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

3.3 Aspek Pajak Penghasilan dalam Transaksi antara PT. KIRARA dan
Global Finance BV
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 4 ayat 1 huruf (f),
bunga yang diterima oleh Global Finance BV termasuk penghasilan kena pajak.
Bunga ini dibayarkan kepada Global Finance BV yang merupakan Subjek Pajak
Luar Negeri Berdasarkan pasal 2 UU Pajak Penghasilan karena bertempat
kedudukan dan didirikan di Belanda oleh PT KIRARA merupakan subjek pajak
dalam negeri karena berkedudukan Indonesia dan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia karena berbentuk PT. Bunga yang diterima oleh Global Finance BV
dari PT KIRARA, berdasarkan pasal 26, seharusnya dipotong pajaknya terlebih
dahulu oleh PT KIRARA dengan tarif 20% dari jumlah bruto bunga yang
dibayarkan sehingga total pajak terutangnya adalah sebesar Rp 100 juta.
Namun berdasarkan tax treaty Indonesia—Belanda, pajak atas bunga
merupakan pajak termasuk dalam pajak-pajak yang tercakup dalam treaty
ini.Berdasarkan article 4, PT KIRARA memiliki fiscal domicile Indonesia dan
Global Finance BV memiliki fiscal domicile Belanda. Untuk menghindari pajak
berganda di Indonesia dan Belanda akibat kedaulatan setiap negara untuk
memungut pajak di masing-masing sesuai dengan hukum domestik yang berlaku,
maka dibagilah hak pemajakan atas penghasilan bunga. Berdasarkan article 11
penghasilan tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia jika fiscal domicile dari
perusahaan penerima penghasilan adalah Belanda. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam paragraph 2 bahwa pendapatan atas bunga dapat dipajaki di
negara sumber jika beneficial owner dari penghasilan tersebut adalah residen dari
negara lainnya (dalam hal ini belanda) dengan tarif tidak lebih dari 10% gross
amount dari jumlah bunga. Berarti jika pendapatan bunga berasal dari Indonesia
dan penerima penghasilan adalah residen Belanda, maka penghasilan atas bunga
tersebut dapat dipajaki di Belanda berdasarkan hukum domestik yang berlaku
disana dan juga di indonesia sesuai pasal 26 UU PPh namun dengan tarif tidak
lebih dari 10%.
Akan tetapi, berdasarkan renegosiasi Perjanjian Penghindaran pajak
Berganda antara Indonesia dan Belanda pada tahun 2017 yang efektif berlaku
sejak Oktober 2017, pada paragraph 4 yang menyebutkan bahwa negara sumber
memiliki hak pemajakan bila beneficial owner dari pendapatan tersebut
merupakan residen Belanda dan pinjaman yang bersangkutan memiliki jatuh
tempo lebih dari 2 tahun sehingga pendapatan atas bunga dikenai pajak sesuai
dengan ketentuan paragraph 2 namun negara pemberi penghasilan hanya memiliki
hak pemajakan dengan tarif tidak lebih dari 5%. Global Finance BV berdasarkan
penjelasan tersebut memiliki pajak terutang sebesar 25 Juta Rupiah yang harus
dipotong oleh PT KIRARA.
Karena paragraph 2 menuntut dibuktikannya beneficial owner dari
penghasilan Global Finance BV, maka pembuktikan kebenaran bahwa Global
Finance BV di Belanda merupakan beneficial owner dari pendapatan atas bunga
tersebut dilaksanakan bila Global Finance BV dapat memenuhi syarat-syarat yang
ada dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 PER 10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Selain itu Global Finance BV
merupakan fiskal residen Belanda dan bunga tersebut dalam hal:
a. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee;
atau
b. bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit,
yang harus memenuhi ketentuan:
1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana,
aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk
memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki;
dan
4. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis
untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima
dari Indonesia kepada pihak lain.

Agar kesepakatan dalam treaty dapat digunakan, maka PT KIRARA dalam


penyampaian SPT masanya harus melampirkan SKD yang memenuhi persyaratan
administratif yaitu menggunakan form DGT-01 yang ditandatangani Direktur
Global Finance BV pada part III form tersebut atau menggunakan Certificate of
Residence yang memenuhi ketentuan dengan tetap mengisis form DG-01 tanpa
mengisi part III. Bagi PT KIRARA, penghasilan yang dibayarkan kepada Global
Finance BV dapat dijadikan beban dalam laporan keuangan sehingga dapat
mengurangi pajak yang terutang sesuai pasal 6 ayat 1 huruf (a) poin (3) UU PPh.

3.4 Aspek Pajak Penghasilan dalam Transaksi antara PT. KIRARA dan
Lim Lim Corp
Transaksi yang dilakukan PT KIRARA dengan Lim Lim Corp merupakan
transkasi atas jasa teknik. Transaksi tersebut merupakan objek pajak yang diatur
di dalam pasal 4 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Ayat 1 huruf a tentang
Objek Pajak. Peraturan yang mengatur tentang transaksi kedua negara ini dapat
ditentukan dengan melihat tempat kedudukan masing masing negara. Karena Lim
Lim Corp merupakan perusahaan yang berkedudukan di singapura dan singapura
merupakan Treaty Partner Indonesia maka dari itu transaksi atas jasa teknik yang
dilakukan antara PT Kirana dengan Lim-Lim Corp diatur dengan Tax Treaty. Hal
yang dapat dilakukan untuk menentukan pajak yang dikenakan atas transaksi ini
yaitu mengacu kepada terbentuk atau tidaknya BUT. Hal ini sesuai dengan Article
7 tentang business profit yang berbunyi :

“The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that


State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State
through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on
business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State
but only so much of them as is attributable to that permanent establishment”.
Menurut article tersebut Indonesia dapat mengenakan pajak atas transaksi
tersebut jika Lim Lim corp mempunyai BUT atau sudah memenuhi Syarat
terbentuknya BUT. Pembentukan BUT diatur di dalam Article 5 paragraph 2
huruf i tentang Permanent Establishment yang berbunyi sebagai berikut:

“the furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise


through an employee or other person (other than an agent of an independent
status within the meaning of paragraph 7) where the activities continue within a
Contracting State for a period or periods aggregating more than 90 days within a
twelve- month period.”

Transaksi yang dilakukan oleh Lim Lim Corp dengan PT Kirana yang
dilakukan di indonesia yaitu dari tanggal 15 Juli 2017 sampai 20 Sepetember 2017
tidak melebihi Time Test +90 hari menurut article 5 diatas. Hal ini dikarenakan
transaksi tersebut hanya berlangsung selama 68 hari sehingga tidak terbentuk
adanya BUT. Dengan tidak terbentuknya BUT, maka indonesia tidak dapat
memungut pajak atas transaksi ini. Namun walaupun indonesia tidak dapat
memungut pajak, PT KIRARA tetap harus membuat bukti potong Nihil sesuai
dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 04/Pj/2017. PT KIRARA
juga harus melampirkan surat keterangan domisili Lim Lim Corp sebagai bukti
bahwa perusahaan tersebut berdiri atau berkedudukan di singapura yang
merupakan treaty partner Indonesia.

3.4.1 Aspek Pajak Penghasilan terhadap Tenaga Ahli yang Dipekerjakan


Lim Lim Corp
Tenaga ahli yang dipekerjakan Lim Lim Corp yaitu Pak budiman (residen
Indonesia) dengan Mr chong (Residen singapura) aspek perpajakanya terkait
dengan article pada Tax Treaty yaitu article 14 tentang Dependent Personal
Services. Menurut article ini pemajakan atas kedua honorarium yang diberikan
dapat dipajaki di singapura jika memenuhi ketiga syarat yaitu :
a) the recipient is present in the other State for a period or periods not
exceeding in the aggregate 183 days in the calendar year concerned; and
b) the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is a resident
of the first-mentioned State; and
c) the remuneration is not borne by a permanent establishment which the
employer has in the other State.
Ketiga syarat tersebut sudah terpenuhi termasuk syarat time testnya yaitu tidak
melebihi 183 hari. Pekerjaan yang dilakukan oleh Pak budiman hanya sebanyak
47 hari dan Mr Chong sebanyak 51 hari. Oleh karena itu pemajakan hanya dapat
dilakukan di singapura sesuai dengan treaty tersebut. Namun Pak budiman
dikarenakan merupakan residen Indonesia dapat menjadikan pajak yang dipotong
di singapura sebagai KPLN (pasal 24) dan dilaporkan saat SPT PPh OP.

3.5 Aspek Pajak Penghasilan dalam Transaksi antara PT. KIRARA dan
Sweety Corporation
Dalam transaksi yang terjadi antara PT. KIRARA dengan Sweety
Corporation, terdapat pembayaran formula produk susu kaleng sebesar Rp 600
juta yang diterima oleh Sweety Corporation yang berdomisili di Amerika Serikat
yang dibayarkan oleh PT. KIRARA yang merupakan badan perusahaan yang
bertempat kedudukan di Indonesia. Selain itu, PT. KIRARA juga meminta kepada
Sweety Corporation untuk memberikan technical assistant dan mendatangkan
tenaga ahli selama 30 hari dengan fee sebesar Rp 100 juta. Dalam invoice yang
ditunjukkan kepada PT. KIRARA oleh Sweety Corporation tertulis bahwa total
tagihan kontrak ada sebesar Rp 700 juta.
Dari permasalahan di atas, terlihat bahwa telah tejadi transaksi lintas batas
negara antara Amerika Serikat dengan Indonesia, dalam hal ini Sweety
Corporation dengan PT. KIRARA. Hal ini terlihat dari status masing-masing
pelaku transaksi yang telah terjadi. Sweety Corporation memiliki status sebagai
Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 2
ayat (4) UU PPh, sedangkan PT. KIRARA merupakan Subjek Pajak Dalam
Negeri sebagaimana telah diatur dalam pasal 2 ayat (3) UU PPh. Oleh karena itu,
maka untuk dapat melihat aspek pajak penghasilan yang timbul dari transaksi
yang telah terjadi harus terlebih merujuk kepada Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) antara Amerika Serikat-Indonesia.
Transaksi-transaksi yang terjadi antara PT. KIRARA dengan Sweety
Corporation telah diatur dalam P3B antara Amerika Serikat-Indonesia. Pertama
atas transaksi dalam hal pembayaran formula untuk pembuatan susu kaleng yang
dibayarkan oleh PT. KIRARA kepada Sweety Corporation timbul pajak
penghasilan atas royalti. Timbulnya pajak penghasilan atas royalti ini disebabkan
karena pembayaran atas formula tersebut telah terjadi pembayaran dalam hal
penggunaan hak atas formula yang berisi informasi mengenai hal industrial dan
komersial, sebagaimana telah diatur dalam article 13 paragraph 3 huruf (a) yang
berbunyi:
“The term ‘royalties’ as used in this Article means payment of any kind made as
consideration for the use of, or the right to use, copyrights of literacy, artistic, or
scientific works (including copyrights or motion pictures and films, tapes, or other
means of secret processes or formula, trademarks, or for information concerning
industrial, commercial or scientific experience.”
Dari isi article tersebut, dapat terlihat bahwa atas pembayaran formula
yang dibayarkan oleh PT. KIRARA kepada Sweety Corporation ini termasuk ke
dalam pembayaran atas royalti karena terdapat pemberian hak untuk penggunaan
formula pembuatan produk susu kaleng. Sehingga sebagaimana diatur dalam
article 13 paragraph 1 dan 2, atas pembayaran tersebut dapat dipajaki di kedua
negara dengan syarat atas pembayaran tersebut diterima oleh beneficial owner
yang bersangkutan dengan tarif tidak lebih dari 10%. Sebab harus dilihat terlebih
dahulu beneficial owner yang sebenarnya dari transaksi yang ada adalah karena
royalti termasuk ke dalam passive income, yang mana atas penghasilannya yang
bersumber dari transaksi lintas batas negara harus benar-benar dapat membuktikan
bahwa penerima penghasilan atas transaksi ini adalah beneficial owner dan bukan
agen atau conduit semata. Ketentuan mengenai beneficial owner sendiri di dalam
ketentuan perpajakan Indonesia diatur dalam PER-25/PJ/2010 tentang Perubahan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Dari transaksi
pembayaran royalti yang dibayarkan kepada Sweety Corporation oleh PT.
KIRARA dan berdasarkan kasus yang ada, maka terlihat bahwa Sweety
Corporation merupakan beneficial owner atas penghasilan tersebut dan bukan
merupakan agen atau conduit semata. Oleh karena hal-hal di atas, maka atas
pembayaran royalti tersebut Indonesia dapat memajakinya dengan tarif sebesar
10% dari jumlah bruto pembayaran royalti sebesar Rp 600 juta, sehingga pajak
penghasilan yang diterima oleh Indonesia dari transaksi ini adalah sebesar Rp 60
juta.
PT. KIRARA sebagai pemotong dari pajak penghasilan yang timbul atas
pembayaran royalti tadi wajib melaporkan PPh pasal 26 paling lama tanggal 20
bulan berikutya ke KPP tempat PT. KIRARA terdaftar sesuai dengan yang diatur
dalam Pasal 10 ayat (1) PMK 243/2014 Tentang Surat Pemberitahuan. PT.
KIRARA wajib untuk menerbitkan bukti potong di akhir bulan saat terjadinya
pembayaran, disediakan untuk dibayarkan atau jatuh temponya pembayaran
penghasilan atas royalti tersebut. Royalti sebesar Rp 600 juta yang dibayarkan
oleh PT. KIRARA dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto bagi PT.
KIRARA sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf (a) UU PPh.
Selain penghasilan atas royalti, Sweety Corp juga memperoleh
penghasilan atas technical fee assistant atau disebut juga jasa teknik. Jasa teknik
dalam Tax Treaty Indonesia – Amerika Serikat diatur dalam Article 7 tentang
Business Profit. Di dalam pasal ini, diatur bahwa business profit hanya dapat
dikenakan di negara sumber apabila perusahaan negara domisili menjalankan
usaha di negara sumber melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT). Adapun BUT diatur
dalam Article 5 paragraph 2 yang menyatakan bahwa BUT meliputi pemberian
jasa (furnishing of services) yang berlangsung di negara sumber selama lebih dari
120 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Dengan demikian, Sweety Corp tidak
memiliki BUT di Indonesia karena hanya berada di Indonesia selama 30 hari.
Karena Sweety Corp tidak memiliki BUT, maka berdasarkan Article 7 paragraph
1 tentang Business Profit, Indonesia sebagai negara sumber tidak memiliki hak
pemajakan atas penghasilan dari jasa teknik yang diterima oleh Sweety Corp
sebesar Rp 100 juta. Di dalam praktik, apabila di dalam kontrak atau invoice tidak
dipisah atau tidak dirinci jenis transaksinya, maka atas seluruh penghasilan
tersebut dikenakan pajak atas royalti.
Meskipun PT. Kirara tidak memotong pajak atas transaksi tersebut, namun
sesuai dengan pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 242/PMK.03/2014, PT. Kirara tetap memiliki kewajiban untuk
melaporkan SPT PPh 26 dengan jumlah pajak yang dipotong 0, dan dilampiri SSP
lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan
disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Selain itu PT. Kirara juga harus melampirkan Ceritificate of Domicile Sweety
Corp. Pembayaran fee atas jasa teknik dapat dibebankan oleh PT. Kirara sebagai
pengurang penghasilan bruto sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Selain dikenakan Pajak Penghasilan, aspek pajak yang timbul dari
transaksi antara PT. Kirara dan Sweety Corp adalah PPN. Pembayaran royalti dari
PT. Kirara kepada Sweety Corp diklasifikasikan sebagai penggunaan harta tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, yang merupakan objek PPN sesuai dengan
pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPN, sehingga terutang 10% dari jumlah bruto.
Besarnya pajak yang terutang adalah

10% x Rp 600.000.000 = Rp60.000.000

Pembayaran technical asisstant fee dari PT. Kirara kepada Sweety Corp
diklasifikasikan sebagai pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean ke
dalam Daerah Pabean, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN, sehingga
terutang 10% dari jumlah bruto. Besarnya pajak yang terutang adalah

10% x Rp 100.000.000 = Rp10.000.000

Oleh karena Sweety Corp berada di luar Daerah Pabean, maka sesuai
dengan pasal pasal 13 ayat (1) UU PPN dan 6 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan,
Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari
Luar Daerah Pabean, PPN tersebut harus dipungut, disetor, dan dilaporkan sendiri
oleh PT KIRARA dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). SSP ini
merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak, sehingga bagi PT.
Kirara SSP ini merupakan Faktur Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Namun SSP sebagai dokumen yang dipersamakan kedudukannya dengan
Faktur Pajak hanya dapat dikreditkan apabila memenuhi syarat material dan syarat
formal. Ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai SSP tertuang dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 tentang Bentuk
Formulir Surat Setoran Pajak sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013. Dalam PER-24/PJ/2013 ini
disebutkan juga bahwa satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk
pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu masa pajak atau satu tahun pajak/surat
ketetapan pajak/surat tagihan pajak dengan menggunakan satu kode akun pajak
dan satu kode jenis setoran. Dengan demikian, PT. Kirara harus membuat 2 SSP,
yaitu untuk royalti dibuat SSP atas Barang Kena Pajak tidak berwujud dan untuk
technical assistant fee berupa pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah
Pabean. Jenis Pajak PPN Dalam Negeri menggunakan kode akun pajak 411211.
Dengan kode jenis setoran 101 untuk pembayaran PPN terutang atas pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean. Serta kode 102 untuk pembayaran
PPN terutang atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penulisan nama Wajib Pajak.
Nama Wajib Pajak dalam SSP adalah Sweet Corp dengan alamat di Amerika
Serikat, dan NPWP ditulis 000 kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan
kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.
DAFTAR REFERENSI

Gunadi, 2013, Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, Jakarta: Bee Media


Indonesia
Muljono, Djoko, 2010, Panduan Brevet Pajak – Pajak Peghasilan, Yogyakarta:
CV.ANDI OFFSET

Anda mungkin juga menyukai