Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ensefalitis mengacu pada proses inflamasi akut, biasanya difus, yang
mempengaruhi otak. Sementara meningitis terutama merupakan infeksi pada meninges,
suatu gabungan meningoensefalitis mungkin juga terjadi. Infeksi oleh virus adalah
penyebab paling umum dan penting ensefalitis, meskipun organisme lain kadang-
kadang dapat menyebabkan ensefalitis. Sebuah penyakit ensefalitis yang disebabkan
oleh perubahan fungsi kekebalan tubuh normal dalam konteks infeksi virus sebelumnya
atau setelah vaksinasi juga dikenal dengan baik (ensefalomielitis diseminata akut,
ADEM). Ensefalitis infeksius mungkin sulit dibedakan dengan ensefalopati yang
mungkin dikaitkan dengan berbagai penyebab metabolisme. Di antara faktor-faktor
yang membantu focus perhatian pada ensefalitis virus selama beberapa tahun terakhir
adalah:
 pengembangan agen antivirus yang efektif untuk kondisi ini, terutama
asiklovir untuk ensefalitis virus herpes simpleks (HSE) yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks (HSV) -1 atau HSV-2
 munculnya infeksi human immunodeficiency virus (HIV) pada sistem saraf
pusat (CNS) dengan berbagai infeksi virus akut terkait
 pengakuan baru-baru ini tentang infeksi virus yang muncul dari SSP seperti
ensefalitis West Nile dan ensefalitis virus Nipah.
Ensefalopati adalah istilah untuk setiap penyakit menyebar dari otak yang
mengubah fungsi otak atau struktur. Ensefalopati dapat disebabkan oleh agen infeksi
(bakteri, virus, atau prion), atau mitokondria disfungsi metabolisme, tumor otak atau
peningkatan tekanan dalam tengkorak, kontak yang terlalu lama untuk unsur-unsur
beracun (termasuk pelarut, obat-obatan, radiasi, cat, bahan kimia industri, dan tertentu
logam), trauma progresif kronis, gizi buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah
ke otak. Ensefalopati dapat juga disebabkan oleh penyakit parah dan negara-negara
maju, infeksi, atau sebagai akibat dari mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
Tiga penyebab utama dari ensefalopati adalah penyakit hati, penyakit ginjal, dan
kekurangan oksigen di otak. Gejala-gejala yang terkait dapat mencakup perubahan

1
kepribadian halus, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, kelesuan, progresif
kehilangan memori dan kemampuan berpikir, kehilangan kesadaran progresif, dan
gerakan spontan yang abnormal. Gejala bervariasi dengan keparahan dan jenis
ensefalopati.
Ensefalopati dapat bervariasi dalam tingkat keparahan dari hanya perubahan
halus dalam kondisi mental ke keadaan yang lebih maju yang dapat menyebabkan
koma. Penyebab utama kematian terkait termasuk sepsis, runtuh peredaran darah, dan
kegagalan otak yang berhubungan dengan sindrom meliputi edema serebral, rusak
darah-otak-hambatan, meningkatkan tekanan intrakranial, batang otak herniasi, dan /
atau neurotoksin bocor ke otak dan membunuh sel-sel otak. Selain itu, pasien dengan
ensefalopati berat biasanya mengembangkan hipertensi intrakranial, yang dapat
menghasilkan iskemia serebral dan herniasi otak cedera.
Ciri ensefalopati adalah kondisi mental berubah. Tergantung pada jenis dan
tingkat keparahan ensefalopati, gejala neurologis progresif umum adalah hilangnya
memori dan kemampuan kognitif, perubahan kepribadian halus, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, kelesuan, dan kehilangan kesadaran progresif. Gejala-gejala neurologis
lainnya termasuk nystagmus, tremor, otot atrofi dan kelemahan, demensia, kejang, dan
kehilangan kemampuan untuk menelan atau berbicara. Tes darah, cairan tulang
belakang pemeriksaan, pencitraan, electroencephalograms, dan studi diagnostik yang
sama dapat digunakan untuk membedakan berbagai penyebab ensefalopati.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan
oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan
masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.[1,2]
Ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu: ensefalitis primer (acute viral ensefalitis)
disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak dan medulla spinalis. Dan ensefalitis
sekunder (post infeksi ensefalitis) dapat merupakan hasil dari komplikasi infeksi virus
saat itu.[3]

2.2 Insiden dan Epidemiologi


Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan sistem kekebalan
tubuh manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat keparahan penyakit.
Di AS, terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk: West Nile, Eastern Equine
Encephalitis, Western Equine Encephalitis , La Crosse, dan St. Louis Encephalitis.
Tahun 1999, terjadi wabah virus West Nile (disebarkan oleh nyamuk Culex)di kota
New York. Virus terus menyebar hingga di seluruh AS. Insidensi di USA dilaporkan
2.000 atau lebih kasus viral ensefalitis per tahun, atau kira-kira 0,5 kasus per 100.000
penduduk.
Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia
(virus yang ditularkan oleh nyamuk pengisap darah atau kutu) dan bertanggung jawab
untuk 50.000 kasus dan 15.000 kematian per tahun di sebagian besar dari Cina, Asia
Tenggara, dan anak benua India.[4]
Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.[1]

3
2.3 Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya
bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan
tersering ialah virus. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis
terbanyak adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern and Western Equine, La Crosse,
St. Louis encephalitis. Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (Coxsackie dan
Echovirus), parotitis, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus (CMV).[5,6]
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah :
1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis
encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,
Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.

2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain
yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.

3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti
infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.

Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru
Japanese B encephalitis yang ditemukan.
Klasifikasi berdasarkan penyebab:
1. ENSEFALITIS SUPURATIVA
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah: Staphylococcus aureus,
Streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
- Patogenesis:
Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media , mastoiditis,
sinusitis, atau dari piema yang berasal dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasis,
empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak

4
dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah
edema,kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Di sekeliling
daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk
kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.

- Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum,
tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi
dan luas abses.(2,3,4,5)
2. ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1. Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A, B, echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria

2. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus,virus
Epstein-barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis

5
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, Kesadaran
menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis
bulbaris.(1,2,3,4,5)

3. ENSEFALITIS KARENA PARASIT


a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama
terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi
plasmodium falsifarum akan melekat satu sama Lainnya sehingga menimbulkan
penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar
secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul :
demam tinggi, kesadaran menurun hingga koma.Kelainan neurologik tergantung pada
lokasi kerusakan-kerusakan.

b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala –
gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Di dalam tubuh manusia
parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.

c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang
di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala-
gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran
menurun.

d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan
masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh
menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk
rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar di dalam sisterna. Jaringan akan
bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejala-gejala neurologik yang timbul
tergantung pada lokasi kerusakan.(2,4)

6
4. ENSEFALITIS KARENA FUNGUS
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,
Cryptococcus neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis.
Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-
ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas
yang menurun.(2,4)

5. RIKETSIOSIS SEREBRI
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yangterdiri
atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam
jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-
gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin
kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.(2,4)

2.4 Patogenesis
Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus
dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke
dalam tubuh virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar
ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir
dan menyebar melalui sistem saraf.[5]
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum ada
kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan
[5]
saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis. HSV-1 mungkin mencapai
otak dengan penyebaran langsung sepanjang akson saraf.[7]
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:

7
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri
sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten.[5]

Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan aksonnya


terutama dianggap menggambarkan ensefalitis “pascainfeksi” atau alergi. Korteks
serebri terutama lobus temporalis, sering terkena oleh virus herpes simpleks; arbovirus
cenderung mengenai seluruh otak; rabies mempunyai kecenderungan pada struktur
basal.[7]
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus.
Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang.
Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan
sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui
peredaran darah atau melalui sistem neural ( virus herpes simpleks, virus varisella
zoster ). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis
(SSPE) sanpai sekarang ini masih belum jelas.
Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons
inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu
(nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran
sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus
herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.

8
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara
langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah. Infeksi
primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa
somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan
komplikasi dari reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia
trigeminal.Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi
yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi
lengket.Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat kapiler-kapiler
dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist
timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat
timbul konvulsi dan koma.
Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar
dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks. Sangatlah sukar untuk
menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.Kecuali pada kasus-kasus
non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan
indentifikasi morfologik.
Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri) atau
virus herpes (badan inklusi intranuklear)

9
2.5 Manifestasi Klinis
Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran menurun.
Manifestasi klinis tergantung kepada :
1. Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
- Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri,
terutama lobus temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2. Patogenesis agen yang menyerang.
3. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.

Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan


hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar, sebelum kesadaran
menurun, sering mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi, terdapat
jeritan dan perasaan tak enak pada perut.Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal
atau hanya twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang

10
beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau
paralisis, afasia dan sebagainya.
Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan
perubahan pola pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu
diagnosis.Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,
rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus.Rabies
memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis,
koma pada stadium paralisis.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau
subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7
hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan
kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan
penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun
sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang
mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.
Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa kasus dapat
menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan papil edema.

2.6 Diagnosis
- Gejala Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan.[5]
Mulainya sakit biasanya akut, walaupun tanda-tanda dan gejala sistem saraf sentral
(SSS) sering didahului oleh demam akut non spesifik dalam beberapa hari. Pada anak,
manifestasi klinik dapat berupa sakit kepala dan hiperestesia, sedangkan pada bayi dapat
berupa iritabilitas dan letargi. Nyeri kepala paling sering pada frontal atau menyeluruh,
remaja sering menderita nyeri retrobulbar. Biasanya terdapat gejala nausea dan muntah,
nyeri di leher, punggung dan kaki, dan fotofobia. Masa prodromal ini berlangsung
antara 1-4 hari kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung

11
dari keterlibatan meningen dan parenkim serta distribusi dan luasnya lesi pada neuron.
Gejala-gejala tersebut dapat berupa gelisah, perubahan perilaku, gangguan kesadaran,
dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi
bila peradangan sampai meningen. Selain itu, dapat juga timbul gejala dari infeksi
traktus respiratorius atas (mumps, enterovirus) atau infeksi gastrointestinal (enterovirus)
dan tanda seperti exantem (enterovirus, measles, rubella, herpes viruses), parotitis, atau
orchitis (mumps atau lymphocytic chotiomeningitis).[5,7,8]

- Pemeriksaan Penunjang
1. Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan
LP (lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin berguna
untuk memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.[9]
Pada CT-scan dapat ditemukan edema otak dan hemoragik setelah satu
minggu.Pada virus Herpes didapatkan lesi berdensitas rendah pada lobus temporal,
namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat hari setelah onset.CT-scan tidak
membantu dalam membedakan berbagai ensefalitis virus.[5]
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium
merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu
peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang
terinfeksi dan meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi herpes
virus memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral dan
bilateral.[8]
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas lambat
bilateral). Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda EEG: 1)
gelombang delta aktif yang terus-menerus; 2) gelombang delta yang disertai spike
(gelombang paku) ; 3) pola koma alpha. Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG
ditandai adanya gelombang delta yang difus dan gelombang paku tidak menyolok pada
fase akut.Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah
tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi apabila pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan

12
lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis
fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang
biasanya menjadi predileksi virus Herpes simpleks.[5]

2. Laboratorium

Biakan dari darah ,viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar
mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau jaringan otak ; dari
feces untuk jenis enterovirus,sering didapatkan hasil positif.
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang didominasi
oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/mm3 pada 95% pasien. Pada 48 jam pertama
infeksi, pleositosis cenderung didominasi oleh sel polimorfonuklear, kemudian berubah
menjadi limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam batas normal
dan jumlah ptotein meningkat. PCR (polymerase chain reaction) dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis ensefalitis.[8,9]
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan serebrospinal
biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody. Pemeriksaan PCR mempunyai
sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil postif pada 98%
kasus yang telah terbukti dengan biposi otak. Tes PCR untuk mendeteksi West Nile
virus telah dikembangkan di California.PCR digunakan untuk mendeteksi virus-virus
DNA.Herpes virus dan Japenese B encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari ensefalitis adalah:
1. Sepsis dan bakteremia
2. Kejang demam
3. Measles
4. Mumps
5. Reye Syndrome[10]

13
2.8 Penatalaksanaan
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien
koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral
atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
asam basa darah.
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan
fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila
pasien panas. Apabila didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian Dexamethasone tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial
yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan dengan
dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang baik berupa drainase
postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada pasien ensefalitis yang mengalami
gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorokan serta adanya paralisis pita suara
atau otot-otot pernapasan. Pada pasien herpes ensefalitis (EHS) dapat diberikan
Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis dapat
menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini Acyclovir IV telah
terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama. Dosis
Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.[5]

2.9 Komplikasi dan Prognosis


Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara, kehilangan
memori, atau berkurangnya kontrol otot.
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur
anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim maka
prognosisnya jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik,
psikiatri, epileptik, penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan
pada infeksi yang disebabkan oleh virus Herpes simpleks.[7]

14
2.10 Pencegahan
 Early treatment (pengobatan awal) pada demam tinggi atau infeksi
 Hindari menghabiskan waktu di luar rumah pada waktu senja ketika serangga
aktif menggigit.
 Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan
 Indikasi seksio sesar jika ibu memiliki lesi aktif herpes untuk melindungi bayi
baru lahir
 Imunisasi/vaksin anak terhadap virus yang dapat menyebabkan ensefalitis
(mumps, measles/campak)
 Japanese Encephalitis dapat dicegah dengan 3 dosis vaksin ketika akan
berpergian ke daerah dimana virus penyebab penyakit ini berada. Menurut CDC
(Centers for Disease Control and Prevention), vaksin ini dianjurkan pada orang
yang akan menghabiskan waktu satu bulan atau lebih di daerah penyebab
penyakit ini dan selama musim transmisi. Virus Japanese Encephalitis dapat
menginfeksi janin dan menyebabkan kematian.

3.1 Definisi Ensefalopati


Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi
otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah
disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut
(jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi
minimal, halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor
(secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati
menggambarkan perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada
gangguan atensi baik berupa agitasi hiperalert hingga koma.(12)
Istilah ensefalopati biasanya diikuti oleh kata lain yang menunjukkan penyebab
dari kelainan otak tersebut. Beberapa jenis ensefalopati berdasarkan penyebabnya: (12)
a) Ensefalopati hepatik, yaitu ensefalopati akibat kelainan fungsi hati.
b) Ensefalopati uremik, yaitu ensefalopati akibat gangguan fungsi ginjal.
c) Ensefalopati hipoksia, yaitu ensefalopati akibat kekurangan oksigen pada otak.
d) Ensefalopati wernicke, yaitu ensefalopati akibat kekurangan zat tiamin (vitamin B1),
biasanya pada orang yang keracunan alcohol.

15
e) Ensefalopati hipertensi, yaitu ensefalopati akibat penyakit tekanan darah tinggi yang
kronis.
f) Ensefalopati salmonela, yaitu ensefalopati yang diakibatkan bakteri Salmonella
penyebab sakit tipus.

3.2 Epidemiologi
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian
dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London,
menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57
ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.(1) Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Australia Timur menunjukkan 11 angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran
hidup atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada
negara maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkaitan dengan kejadian
hipoksik iskemik intrapartum.(13)

3.3 Etiologi
Penyebab ensefalopati keduanya banyak dan beragam. Beberapa contoh
penyebab ensefalopati meliputi : (12)
a) menular (bakteri, virus, parasit, atau prion).
b) anoxic (kekurangan oksigen ke otak, termasuk penyebab traumatis),
c) beralkohol (toksisitas alkohol).
d) hepatik (misalnya, gagal hati atau kanker hati).
e) uremik (ginjal atau gagal ginjal).
f) Penyakit metabolik (hiper atau hipokalsemia, hipo- atau hipernatremia, atau hipo-
atau hiperglikemia).
g) tumor otak.
h) banyak jenis bahan kimia beracun (merkuri, timbal, atau amonia).
i) perubahan tekanan dalam otak (sering dari perdarahan, tumor, atau abses).
j) gizi buruk (vitamin yang tidak memadai asupan B1 atau penarikan alkohol).

16
3.4 Gejala
Meskipun penyebabnya banyak dan beragam, setidaknya satu gejala hadir dalam
semua kasus adalah kondisi mental yang berubah. Kondisi mental berubah mungkin
kecil dan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun (misalnya, pada hepatitis
mengalami penurunan kemampuan menggambar desain sederhana, disebut apraxia) atau
mendalam dan berkembang pesat (misalnya, anoksia otak menyebabkan koma atau
kematian dalam beberapa menit). Seringkali, gejala perubahan status mental dapat hadir
seperti tidak dapat memberikan perhatian, penilaian buruk atau buruknya koordinasi
gerakan. Gejala serius lainnya yang mungkin terjadi antara lain : (12)
a) Letargi.
b) Demensia.
c) Kejang.
d) Tremor.
e) Otot berkedut dan mialgia,
f) Respirasi Cheyne-Stokes (pola pernapasan diubah terlihat dengan kerusakan otak dan
koma).
g) Koma.
Seringkali keparahan dan jenis gejala berhubungan dengan penyebab kerusakan.
Misalnya, kerusakan hati akibat alkohol (sirosis alkoholik) dapat mengakibatkan tremor
tangan involunter (asteriksis), sedangkan anoksia berat (kekurangan oksigen) dapat
menyebabkan koma. Gejala lain mungkin tidak parah dan akan lebih terlokalisasi
seperti kelumpuhan saraf kranial (kerusakan salah satu dari 12 saraf kranial yang keluar
otak). Beberapa gejala mungkin sangat minimal dan hasil dari cedera berulang ke
jaringan otak. Sebagai contoh, ensefalopati kronis traumatik (CTE), karena cedera
seperti gegar otak berulang kali ditopang oleh pemain sepak bola dan lain-lain yang
bermain olahraga dapat menyebabkan perubahan lambat dari waktu ke waktu yang tidak
mudah di diagnosis. Kecederaan tersebut dapat mengakibatkan depresi kronis atau
perubahan kepribadian lain yang dapat mengakibatkan hal yang lebih serius.(14,15)

17
3.5 Klasifikasi
1. Ensefalopati akibat infeksi

a. Definisi
Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis,
ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri
menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani
transplantasi dan pada pasien yang mengalami imunosupresi.(15) Ensefalitis dan
ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi
otak tanpa adanya proses inflamasi langsung di dalam parenkim otak. Pasien dapat
menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus. Diagnosis
dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting.(16)

b. Patogenesis.
I. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan
diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek
endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan
cairan serebrospinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis,
stress oksidatif dan eksitotoksisitas akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya
adalah multifaktorial.(16)

Endotoksin.
Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab
disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan
akan bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak
dilindungi oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor
seperti reseptor menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin
dan nitrit okside dari mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin
dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi, IL-6 dari monosit/makrofag, yang akan
bereaksi langsung dengan menginduksi ekspresi mediator inflamasi. (16)
Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi sitokin
inflamasi termasuk didalamnya, IL-1, TNF α, dan IL-6 yang memegang peranan

18
penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat
menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2
yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal akan berlaku
demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya
anafilaktoksin C5a juga dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan
dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.(16)
Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adhesi pada sel endotelial
mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide
syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan
kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak
vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah korteks akan mengalami
pembengkakan dan akan terjadi ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh
darah. Pembengkakan kaki astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan
sawar darah otak. Edema otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan
dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak
meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edema sitotoksik. (16)

c. Gejala Klinis
Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi sepsis berat dan menyebabkan
kegagalan multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan
tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan
koma. Status konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga
terkadang timbul pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat
menimbulkan delirium, agitasi dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik
jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik,
misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada ensefalopati sepsis yang mungkin
timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten yang tergantung pada
kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik,
tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat
menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.(16)

d. Diagnosis

19
Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran
penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG
merupakan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat
menunjukkan abnormalitas walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pemeriksaan
EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada
pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan,
akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang
disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker
untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah
protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh
selastroglial. S100B akan meningkat pada serum dan cairan serebrospinal setelah terjadi
cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik intrasitoplasmik enolase yang dapat
ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi
darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.(16)

e. Penatalaksanaan
Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya
dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.Dibutuhkan terapi suportif seperti
menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan simptomatik seperti
muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk
penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.(16)

2. Ensefalopati akibat toksis


Ensefalopati yang diinduksi obat.
a. Definisi
Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari
pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit hepar primer sebelumnya.(17)

b. Gejala Klinis
Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan enzim
serum hepar. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana terjadi disfungsi

20
kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi
dimulai hingga berkisar 3-5 tahun berikutnya.(17)

c. Etiologi
Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah
fenobarbital dan phenitoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia
pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada salah satu
penelitian, penambahan toporimate inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam
valproat mempercepat terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa obat
lainnya yang dapat menyebabkan keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat merusak
siklus urea atau meningkatkan produksi ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat
tersebut antara lain glysin yang digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang
menstimulasi produksi ammonia, selain itu carbamazepin, dan salisilat dosis tinggi juga
memberikan kesan yang sama.(17)

d. Patogenesis
Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan mekanisme
yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada beberapa
kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim siklus urea, ornithine transcarbamilase,
dengan outcome yang jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat
menginduksi hiperamonia dengan cara metabolismenya dalam hati, yang menghasilkan
metabolit toksik yang dapat menghambat carbamoyl-phosphate-synthetase, yang
merupakan reaksi enzimatik pertama pada siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi
ammonia.

e. Penatalaksanaan
Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam
valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan
perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi carnitine juga menunjukkan
penurunan gejala toksisitas yang diinduksi asam valproat.(17)

21
3. Ensefalopati akibat metabolik
a. Definisi dan Klasifikasi
Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya merupakan masalah
baik bagi neonatus maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung pada waktu
dan intervensi yang hati-hati. Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum keadaan
klinis yang ditandai dengan:
1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat.
2) Gangguan neuropsikoatrik kejang, lateralisasi.
3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak.
4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.
Gangguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal
dan gangguan metabolik. Gangguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar,
sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatik. Kerusakan
genetik dari metabolism dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat dari
hanya hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan
hingga tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan
metabolik tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi
(misalnya infeksi, obat, toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang
tapi faktor lain yang berkontribusi terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam
beberapa hari. Varian ketiga, ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik.
Edema serebral yang sangat berkaitan dengan ketoasidosis diabetik.
b. Patofisiologi
- Teori Amonia
Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab dalam
patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk
ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal
dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal,
berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi
berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme
hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang
mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga

22
menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada
astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama
terjadinya pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga
ditemukan ketika adanya pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik
memiliki kadar serum ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia
berhubungan dengan perbaikan tingkat ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kadar glutamine pada cairan
serebro spinal dengan derajat ensefalopati hepatik, tetapi kerusakan fungsi kognitif
seperti memori episodik, perhatian berkesinambungan yang terjadi pada ensefalopati
hepatik menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa dengan
tes psikometrik komputer.

- Teori kesalahan neurotransmiter


Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan
prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat,
konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatik (AAA) yaitu triptopan, tyrosin
dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda
(leucine,isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter
yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi
ensefalopati hepatik.

c. Gejala Klinis
Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan
kriteria. West Haven berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif
dan koma dalam.

d. Penatalaksaan
Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik
adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang
mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang
membutuhkan terapi jangka panjang. Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi

23
yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites
sebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik.
Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah
keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena
adanya hidrasi yang kurang maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang
sering dilakukan pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance.
Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral,dengan
target 6-8cm H2O.Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi,dan
indikator fungsi renal. Pemberian cairan secara intra vena sebagai media pemberian
elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati terganggu.(18)

e. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolik adalah terutama dengan
memberi pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu
bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah
terjadinya enefalopati.(18)

f. Prognosis
Ensefalopati hepatik merupakan penyakit hati stadium terminal dengan tanda
prognostik yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu
satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun.(13)

4. Ensefalopati akibat iskemik


a. Definisi
Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal dan
iskemia. Merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk
mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi
menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan.

b. Patofisiologi

24
Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang
penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau
nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai pals serebral atau defisiensi
mental.(6).Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari: (13)
1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi,
penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan,atau keracunan karbon monoksida.
2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi
anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid.
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani
uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan.
4) Pemisahan plasenta premature.
5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat.
6) Vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain.
7) Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.

Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari(15):


1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat
kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik.
2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel-sel vital,
akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau
kehilangan darah yang masif.
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang
adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak.
4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit
jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat. Janin yang
mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri
tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk
gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikantahanan vascular
janin) dan kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi
hipoksik kronis. Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan

25
kardiovaskular janin dan system saraf pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan
hipoksia pasca lahir dalam kamarbersalin.(15)

c. Gejala Klinis
Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonates memiliki karakteristik
edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis.
Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi
atau diplegispastika. Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik
iskemik mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup
bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas
iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik),
status marmoratus ganglia basalis dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada
bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat atau multifokal yang menghasilkan
kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat
memainkan peranan penting dalam patogenesis asfiksia jejas otak.(15)

d. Penatalaksanaan
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang
menyebabkannya, kematian dan kecacatan kadang-kadang dapat dicegah melalui
pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan
buatan dan koreksi disfungsi multiorgan terkait. Edema otak dapat timbul pada 24 jam
berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang berat. Selama waktu ini dapat
terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini refrakter terjadap dosis biasa
antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB/iv) dapat digunakan selama kejang akut,
sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin memerlukan dosis
pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin. Walaupun
sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik,
kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh
hipokalsemi atau hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu
berkisar 200C. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan dengan
neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal pada resusitasi konvensional,

26
ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar 230-300C dan didiamkan hingga ia
menangis.

e. Prognosis
Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik stadium 3
memiliki insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang serius terutama
pada perkembangan sarafnya. Prognosis dari asfiksia berat juga tergantung pada cedera
pada sistem organ lain.

3.6 Diagnosis Banding


Diagnosis ensefalopati adalah masing masing jenis ensefalopati (iskemik,
metabolik, toksik dan septik) selain itu ensefalopati juga harus dibedakan dengan:
1. Ensefalitis
2. Perdarahan intracranial
3. Edema serebri

3.7 Pengobatan
Pengobatan ensefalopati bervariasi dengan penyebab utama dari gejala.
Akibatnya tidak semua kasus ensefalopati diperlakukan sama. Beberapa contoh yang
berbeda "perawatan ensefalopati" untuk penyebab yang berbeda.(11)
Kunci untuk pengobatan ensefalopati apapun adalah untuk memahami penyebab
dasar dan dengan demikian merancang skema pengobatan untuk mengurangi atau
menghilangkan penyebab. Ada satu jenis ensefalopati yang sulit atau tidak mungkin
untuk mengobati itu adalah ensefalopati statis (negara atau kerusakan otak mental yang
diubah yang permanen). Yang terbaik yang dapat dilakukan dengan ensefalopati statis,
jika mungkin, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan melaksanakan rehabilitasi
untuk memungkinkan individu untuk tampil di tingkat fungsional tertinggi.(11)

3.8 Komplikasi
Komplikasi ensefalopati bervariasi dari tidak ada gangguan mental sehingga
mengarah pada kematian. Komplikasi dapat sama dalam beberapa kasus. Komplikasi

27
tergantung pada penyebab utama dari ensefalopati dan dapat diilustrasikan dengan
mengutip beberapa contoh dari berbagai penyebab. (11)
a. Hepatik ensefalopati (pembengkakan otak dengan herniasi, koma, kematian)
b. Metabolik ensefalopati (mudah marah, lesu, depresi, tremor, kadang-kadang, koma
atau kematian)
c. Anoxia-ensefalopati (berbagai komplikasi, dari tidak ada di anoksia jangka pendek
untuk perubahan kepribadian, kerusakan otak parah sampai mati dalam acara anoxic
jangka panjang)
d. Uremik ensefalopati (letargi, halusinasi, pingsan, otot berkedut, kejang, kematian)
e. Ensefalopati Hashimoto (kebingungan, intoleransi panas, demensia)
f. Ensefalopati Wernicke (kebingungan mental, kehilangan memori,penurunan
kemampuan untuk menggerakkan mata)
g. Bovine spongiform ensefalopati (BSE) atau "penyakit sapi gila" (ataksia, demensia,
dan mioklonus atau otot bergetar tanpa irama atau pola)
h. Shigella ensefalopati (sakit kepala, leher kaku, delirium, kejang, koma)
i. Penyebab Infeksi ensefalopati anak (lekas marah, susah makan, hypotonia, kejang,
kematian)

3.9 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan ensefalopati tergantung pada penyebab awal dan
secara umum, tempoh waktu yang dibutuhkan untuk membalikkan, menghentikan, atau
menghambat penyebabnya. Akibatnya, prognosis bervariasi dari pasien ke pasien dan
berkisar di prognosis yang buruk yang sering menyebabkan kerusakan otak permanen
atau kematian. Prognosis sangat bervariasi ini dicontohkan oleh pasien yang
mendapatkan ensefalopati dari hipoglikemia. Jika pasien dengan hipoglikemia diberikan
glukosa pada tanda-tanda pertama dari ensefalopati, sebagian besar pasien sembuh
sepenuhnya. Penundaan dalam mengoreksi hipoglikemia (jam sampai hari) dapat
menyebabkan kejang atau koma, yang dapat dihentikan oleh pengobatan dengan
lengkap atau pemulihan dengan kerusakan otak permanen minimal. Penundaan atau
beberapa keterlambatan dalam pengobatan dapat menyebabkan prognosis yang buruk
dengan kerusakan otak, koma, atau kematian.(11)

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000; hal 373-5.
2. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Ed.15 Vol.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996;
hal880-2.
3. Sevigny, Jeffrey MD. Frontera, Jennifer MD. Acute Viral Encephalitis. Brust, John
C.M. In: Current Diagnosis & Treatment In Neurology. International Edition. New
York. Mc Graw Hill. 2007;p449-54
4. Markam,S.Ensefalitis dalam Kapita Selekta Neurologi Ed ke-2,Editor :
Harsono.,Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.
5. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:Wahab
SA.EGC Jakarta. 2000; hal 1141-53
6. Saul N Faust. Pediatric Meningitis and Encephalitis Differential Diagnoses..
Updated on September 17th, 2018. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/802760-differential. Accessed February 23,
2019
7. Saul N Faust. Pediatric Meningitis and Encephalitis Workup. Updated on
September 17th, 2018. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/802760-workup. Accessed February 23,
2019
8. Saul N Faust. Pediatric Meningitis and Encephalitis.. Updated on September 17th,
2018. Available from http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview.
Accessed February 23, 2019
9. Marcella A. Encephalitis. Updated: January 2019. Available from
http://kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html. Accessed
on February 23, 2019.
10. NINDS. Meningitis and Encephalitis Fact Sheet. Last updated on June 7, 2018 .
Available from https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-

29
Education/Fact-Sheets/Meningitis-and-Encephalitis-Fact-Sheet#3083_1. Accessed
February 23, 2019
11. Sherwood, L. Sistem Saraf Pusat. Patofisologi tubuh manusia. Jakarta : EGC
12. Charles Patrick Davis. Encephalopaty. Last updated on 13 August, 2018. Available
from : https://www.medicinenet.com/encephalopathy/article.htm. Accessed
February 23, 2019
13. Mark Mumenthaler, M.D., Heinrich Mattle, M.D. Fundamental of Neurology,1st
edition 2006.
14. Chapter 21: Neurology, Mark Mumenthaler, M.D, Heinrich Mattle, M.
15. Clinical Neuropathology, Catherine Haberland, Rosalind Franklin University.
16. Di Carlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In BehrmanRE, Kliegman RM,
Jenson HB, eds. Nelson Text Book of Pediatrics. 17Th ed. Philadelphia: Saunders
An Imprint of Elsevier Science.
17. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine.
2012;2 (3): 20-27.
18. Management of Hepatic Encephalopathy in the Hospital Michael D. Leise, MD
John J. Poterucha, MD; Patrick S. Kamath, MD;and W. Ray Kim, MD.

30

Anda mungkin juga menyukai