Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal penting didalam kehidupan. Seiring dengan

kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat yang cenderung kurang

memperhatikan kesehatan maka berkembang penyakit di masyarakat.

Berkembangnya penyakit ini mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan

sendiri. Pengobatan sendiri adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan

pengobatan sakit ringan (minor illnesses), tanpa resep atau intervensi dokter

(Shankar, et al., 2016). Swamedikasi adalah salah satu pengobatan yang paling

banyak dilakukan dan bermacam pilihan obat sudah tersedia, sehingga diperlukan

pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit.

Obat yang dikonsumsi harus selalu digunakan secara benar dan tepat agar

memberikan manfaat klinik yang optimal pada tubuh (Badan POM, 2015)

Swamedikasi bertujuan dalam upaya peningkatan kesehatan, pengobatan sakit

ringan,dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah kunjungan dokter. Swamedikasi

bersifat aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk, efektif, hemat waktu, dan

biaya (Supardi dan Notosiswo, 2005).

Tiga puluh delapan persen dari pasar produk farmasi merupakan produk obat

bebas atau Over-The-Counter (OTC) (World Bank, 2009). Banyaknya jenis obat yang

dijual dipasaran memudahkan seseorang melakukan pengobatan sendiri

1
2

(swamedikasi) terhadap keluhan penyakit. Informasi tentang gejala penyakit mungkin

belum diketahui masyarakat. Masyarakat seringkali mendapatkan informasi obat

melalui iklan, baik dari media cetak maupun elektronik yang merupakan jenis

informasi paling berkesan, sangat mudah ditangkap serta sifatnya yang komersial.

Ketidaksempurnaan iklan obat yang mudah diterima oleh masyarakat, salah satunya

tidak adanya informasi obat mengenai kandungan bahan aktif. Dengan demikian

apabila hanya mengandalkan jenis informasi ini masyarakat akan kehilangan

informasi yang sangat penting yaitu jenis obat yang dibutuhkan untuk mengatasi

gejala sakitnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2008).

Hasil survey pada tahun 2002 memperkirakan ada lebih dari 92% orang di

dunia pernah menggunakan paling tidak satu jenis obat bebas ditahun sebelumnya

dan 55% orang pernah menggunakan lebih dari satu jenis obat bebas (World Self-

Medication Industry, 2009). Umumnya swamedikasi dilakukan untuk mengatasi

keluhan dan penyakit ringan yang banyak di alami masyarakat, seperti demam, batuk,

flu, nyeri, diare dan gastriris (Handayani, 2010) .

Bila digunakan secara benar, obat bebas dan obat bebas terbatas seharusnya

bisa sangat membantu masyarakat dalam pengobatan sendiri secara aman dan efektif.

Namun sayangnya, seringkali dijumpai bahwa pengobatan sendiri menjadi sangat

boros karena mengkonsumsi obat-obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau malah

bisa berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pakai.

Bagaimanapun, obat bebas dan bebas terbatas bukan berarti bebas efek samping,

sehingga pemakaiannya pun harus sesuai dengan indikasi, lama pemakaian yang
3

benar, disertai dengan pengetahuan pengguna tentang risiko efek samping dan

kontraindikasinya (Ristekdikti, 2018).

Menurut Supardi dan Notosiswoyo (2006) Swamedikasi yang dilakukan tidak

tepat akan melakukan kesalahan dalam penggunaan obat dan kurangnya kontrol pada

pelaksanaannya. Dampak lainnya yaitu dapat menyebabkan bahaya serius terhadap

kesehatan, seperti reaksi obat yang tidak diinginkan, perpanjangangan masa sakit,

resiko, kontraindikasi, dan ketergantungan obat. Maka masyarakat harus mengetahui

informasi obat yang digunakan dengan tepat dan benar.

Tindakan swamedikasi menggunakan obat bebas dan bebas terbatas yang

dilakukan biasanya didasari atas beberapa pertimbangan antara lain mudah dilakukan,

mudah dicapai, tidak mahal, dan sebagai tindakan alternatif dari konsultasi kepada

tenaga medis, meskipun disadari bahwa obat-obat tersebut hanya sebatas mengatasi

gejala dari suatu penyakit. Swamedikasi dengan obat bebas dan bebas terbats yang

dilakukan dapat menjadi beresiko apabila dilakukan secara terus menerus untuk

mengobati penyakit yang tidak kunjung sembuh. Responden terkadang tidak

menyadari bahwa obat bebas dan obat bebas terbatas yang dikonsumsinya dapat

menimbulkan efek samping yang merugikan bagi tubuh. Dosis dari beberapa obat

yang dapat digunakan secara bebas terkadang tidak seaman obat dengan resep dokter,

sehingga ketika seseorang menggunakan obat bebas dan obat bebas terbatas lebih dari

dosis yang direkomendasikan, maka akan menimbulkan efek samping, reaksi

merugikan lainnya, dan keracunan (Schlaadt, et.al., 1990 dalam Hidayati, 2017).

Dampak buruk dari swamedikasi yaitu dapat terjadi salah obat, timbul efek samping
4

yang merugikan, dan dapat pula terjadi penutupan gejala gejala yang dibutuhkan

untuk kedokter. Swamedikasi hendaknya dilaksanakan berdasarkan tingkat

pengetahuan yang cukup untuk menghindari penyalahgunaan obat, serta kegagalan

terapi akibat penggunaan obat yang tidak sesuai. Menurut WHO (2012) pengetahuan

yang cukup akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku atau melakukan

sesuatu.

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan dan

kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional.

Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle, et. al., (2012) terdiri dari beberapa

aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi,

ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan makanan, serta ada tidaknya

polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat untuk indikasi penyakit yang sama).

Berdasarkan laporan bulanan di salah satu Apotek di Kota Bandung pada

bulan November 2018 diketahui bahwa jumlah rata-rata perhari pembelian obat

swamedikasi di salah satu apotek di Kota Bandung adalah sebanyak 242 obat dari

berbagai macam ketegori jenis obat, bentuk dan merk obat. Dari berbagai kategori

jenis, bentuk dan merk obat tersebut jumlah terbanyak yang dibeli oleh konsumen

adalah obat untuk demam yaitu dengan rata-rata jumlah pembelian sebanyak 38

dalam bentuk tablet dan cair, obat batuk pilek sebanyak 42 dalam bentuk tablet dan

cair, obat lambung sebanyak 38 dalam bentuk tablet dan cair, obat diare sebanyak 29

dalam bentuk obat tablet dan cair, obat vitamin sebanyak 23 dalam bentuk tablet dan

cair, obat sakit badan dan persendian sebanyak 18 dalam bentuk tablet dan cairan,
5

obat mata dalam bentuk salep dan cair, obat luka sebanyak 17 dalam bentuk salep dan

cair serta obat sembelit sebanyak 12 dalam bentuk kapsul dan cair.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukanlah penelitian tentang “

“Survey Pola Konsumsi Obat Over-The-Counter (OTC) Pada Swamedikasi Di

Salah Satu Apotek Kota Bandung Periode November 2018”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah pola konsumsi obat Over-The-Counter (OTC) pada

swamedikasi di Salah Satu Apotek Kota Bandung periode Oktober-November

2018 ?.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui konsumsi obat Over-The-

Counter (OTC) pada swamedikasi di Salah Satu Apotek Kota Bandung periode

Oktober-November 2018.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tersebut ialah sebagai berikut:

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan informasi, menambah

pengetahuan, wawasan dan pemahaman keterkaitan pelayanan kefarmasian

terhadap pola konsumsi obat Over-The-Counter (OTC).


6

1.4.2 Praktis

a. Untuk Penulis

1. Untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh

ujian diploma (D3) farmasi.

2. Menambah wawasan penulis tentang konsumsi Over-The-Counter (OTC)

pada swamedikasi Untuk Pembaca

b. Untuk institusi

Sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan serta mengoptimalkan

kinerja apoteker dalam memberikan pelayanan obat pada pasien/ masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai