Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN LAYANAN UMUM DAERAH DAN

PENGELOLAAN KEUANGAN

2.1 Tinjauan Umum Tentang Badan Layanan Umum Daerah

2.1.1. Definisi dan Dasar Pengaturan Badan Layanan Umum Daerah

Sebelum membahas mengenai kewenangan badan layanan umum daerah (BLUD)

dalam hal pertanggung jawaban pengelolaan keuangan, akan dibahas terlebih dahulu

mengenai tinjauan umum tentang badan layanan umum daerah serta tinjauan umum

mengenai pengelolaan keuangan.

Badan layanan umum daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja

Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan

pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa

penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan

dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 68 ayat

(1) yang menyebutkan bahwa “Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan

pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian ditegaskan kembali dalam PP No. 23 Tahun

2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang

menyebutkan bahwa “BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan

memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan

produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat”.


Sedangkan asas-asas Badan Layanan Umum Daerah yang dijelaskan dalam Pasal 2

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 yaitu :

a. BLUD beroperasi sebagai perangkat kerja pemerintah daerah untuk tujuan

pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan praktek

bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan kewenangan yang

didelegasikan oleh kepala daerah.

b. BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah yang dibentuk untuk

membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah, dengan status hukum tidak

terpisahkan dari pemerintah daerah.

c. Kepala daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan

pelayanan umum yang didelegasikan kepada BLUD terutama pada aspek manfaat

yang dihasilkan.

d. Pejabat pengelola BLUD bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian

layanan umum yang didelegasikan oleh kepala daerah.

e. Dalam pelaksanaan kegiatan, BLUD harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi

serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa mengutamakan pencarian

keuntungan.

f. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLUD disusun dan

disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran

serta laporan keuangan dan kinerja pemerintah daerah.

g. Dalam menyelenggarakan dan meningkatkan layanan kepada masyarakat, BLUD

diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya.

Dari uraian definisi, tujuan dan asas BLUD, maka dapat terlihat bahwa BLUD

memiliki suatu karakteristik tertentu, yaitu :


1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari

kekayaan Negara/Daerah;

2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat;

3. Tidak bertujuan untuk mencari laba;

4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;

5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan

pada instansi induk;

6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara

langsung;

7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil;

8. BLUD bukan subyek pajak.

Selain itu, sekalipun BLUD dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan

produktivitas ala korporasi, namun terdapat beberapa karakteristik lainnya yang membedakan

pengelolaan keuangan BLUD dengan BUMN/BUMD, yaitu:

1. BLU/BLUD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam

rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

2. Kekayaan BLU/BLUD merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak

dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan

kegiatan BLUD yang bersangkutan;


3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan

pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang

pemerintahan yang bersangkutan;

4. Pembinaan keuangan BLUD instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat

pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan

kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang

bersangkutan;

5. Setiap BLUD wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan;

6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja

BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta

laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah

daerah;

7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan

merupakan pendapatan negara/daerah;

8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang

bersangkutan;

9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain;

10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam

peraturan pemerintah.

Badan Layanan Umum Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan

yang secara khusus mengaturnya, yaitu:


1. Pasal 1 angka 23, Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan

Penerapan Standar Pelayanan Minimal;

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.02/2006 tentang Persyaratan

Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi

Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum;

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan

Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum;

6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 09/PMK.02/2006 tentang Pembentukan

Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum;

7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006 jo. PMK No.

73/PMK.05/2007 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola,

Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum;

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.02/2006 tentang Tata Cara

Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, Dan Perubahan Rencana Bisnis Dan Anggaran

serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum;

9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas

Badan Layanan Umum;


10.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan

Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi

Pemerintah Untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;

11.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman

Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum;

12.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah;

2.1.2 Persyaratan dan Penetapan Badan Layanan Umum Daerah.

2.1.2.1 Persyaratan Badan Layanan Umum Daerah

Persyaratan pembentukan BLUD diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (

Permendagri ) Nomor 61 Tahun 2007 pasal 4, yang secara pokok menyatakan bahwa Satuan

kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLUD pada

SKPD atau Unit Kerja apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.

Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan

menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:

a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;

b.Pengelolaan wilayah kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian

masyarakat atau layanan umum;

c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau layanan

kepada masyarakat;
d.Bidang layanan umum yang diselenggarakan meliputi kegiatan pemerintah yang

bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan

semi barang/jasa publik (quasi public goods).

Contoh instansi yang menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa layanan

umum adalah pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah,

penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian. Contoh instansi

yang melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah atau kawasan secara otonom adalah

otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet). Contoh instansi yang

melaksanakan pengelolaan dana adalah pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan

menengah, pengelola penerusan pinjaman, dan pengelola tabungan perumahan.

Persyaratan teknis terpenuhi apabila:

a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan

ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD sebagaimana direkomendasikan oleh

sekretaris daerah untuk SKPD atau kepala SKPD untuk unit kerja;

b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana

ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLUD;

c. Instansi yang hendak diusulkan menjadi BLUD harus memperhatikan persyaratan

teknis yang berlaku pada sektor masing-masing.

Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan

dapat menyajikan seluruh dokumen berikut antara lain ;

a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan

manfaat bagi masyarakat.


b. Pola Tata Kelola, yaitu peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi dan

tata laksana, akuntabilitas, dan transparansi.

c. Rencana Strategis Bisnis, mencakup antara lain pernyataan visi, misi, program

strategis, dan pengukuran pencapaian kinerja.

d. Standar Pelayanan Minimal.

e. Laporan keuangan pokok atau prognosa / proyeksi laporan keuangan.

f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

Dokumen persyaratan tersebut disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala

SKPD untuk mendapatkan persetujuan sebelum disampaikan kepada menteri

keuangan/gubernur/ bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.

Dari ketiga persyaratan tersebut, persyaratan administratif yang sangat menentukan

dapat tidaknya SKPD atau Unit Kerja menerapkan PPK-BLUD. Hal ini disebabkan dari

dokumen administratif tersebut akan dinilai oleh tim penilai yang ditetapkan oleh Kepala

Daerah, yang anggotanya paling sedikit terdiri dari:

(1) Sekretaris Daerah, sebagai ketua merangkap anggota;

(2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), sebagai sekretaris merangkap

anggota;

(3) Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, sebagai anggota;

(4) Inspektorat Daerah, sebagai anggota;

(5) Tenaga ahli (apabila diperlukan) sebagai anggota.

Dari tim penilai ini dikeluarkan rekomendasi kepada Kepala Daerah, layak tidaknya

usulan SKPD atau Unit Kerja tersebut untuk menerapkan PPK-BLUD. Untuk itu, tim penilai
harus betul-betul memahami konsepsi BLUD. Kalau tidak paham, penerapan BLUD hanya

sekedar ganti nama belaka dan tidak akan tercapai tujuan BLUD. Untuk itu, dalam

memudahkan tim penilai dalam menilai dokumen administratif, Menteri Dalam Negeri telah

mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 900/2759/SJ tanggal 10 September 2008 perihal

Pedoman Penilaian Penerapan PPK-BLUD. Setelah Kepala Daerah menerima hasil penilaian

dari tim penilai, Kepala Daerah memutuskan menerima atau menolak usulan SKPD atau Unit

Kerja untuk menerapkan PPK-BLUD. Kalau usulan diterima, penetapan penerapkan PPK-

BLUD dengan Keputusan Kepala Daerah (tidak dengan Peraturan Kepala Daerah atau

Peraturan Daerah). Penetapannya dengan Status BLUD Penuh atau BLUD Bertahap, yang

membedakan dari status BLUD tersebut adalah dalam pemberian fleksibilitasnya. Untuk

BLUD dengan status penuh, diberikan seluruh fleksibilitas sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut.

Sedangkan BLUD Bertahap, diberikan fleksibilitas pada batas-batas tertentu berkaitan

dengan jumlah dana yang dapat dikelola langsung, pengelolaan barang, pengelolaan piutang,

serta perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur pengelolaan keuangan serta tidak

diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan

barang dan/atau jasa

2.1.2.2 Penetapan Badan Layanan Umum Daerah

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 menyebutkan bahwa

Kepala Daerah memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan

penetapan BLUD paling lambat tiga bulan sejak dokumen persyaratan diterima secara

lengkap dari Sekretaris Daerah atau Kepala SKPD.

Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Tim Penilai, usulan penetapan BLUD

dapat ditolak atau ditetapkan dengan status BLUD penuh maupun BLUD bertahap, yaitu :
1. Status BLU Penuh

Status BLU penuh diberikan apabila persyaratan substantif, teknis dan administratif

telah dipenuhi dengan memuaskan sesuai dengan kriteria SOP penilaian. Satuan kerja

( satker) yang berstatus BLUD Penuh diberikan seluruh fleksibilitas pengelolaan

keuangan BLUD, yaitu:

a. Pengelolaan Pendapatan

b. Pengelolaan Belanja

c. Pengadaan Barang/Jasa

d. Pengelolaan Barang

e. Pengelolaan Kas

f. Pengelolaan Utang dan Piutang

g. Pengelolaan Investasi

h. Perumusan Kebijakan, Sistem, dan Prosedur Pengelolaan Keuangan.

2. Status BLU Bertahap

Status BLUD Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif, teknis, dan

administratif telah terpenuhi, namun persyaratan administratif kurang memuaskan

sesuai dengan kriteria SOP penilaian. Status BLUD Bertahap berlaku paling lama tiga

tahun dan apabila persyaratan terpenuhi secara memuaskan dapat diusulkan untuk

menjadi BLUD Penuh.

Fleksibilitas yang diberikan kepada satuan kerja yang berstatus BLUD bertahap

dibatasi:
1. Penggunaan langsung pendapatan dibatasi jumlahnya, sisanya harus disetorkan ke kas

negara sesuai prosedur PNBP.

2. Tidak diperbolehkan mengelola investasi;

3. Tidak diperbolehkan mengelola utang;

4. Pengadaan barang/jasa mengikuti ketentuan umum pengadaan barang/jasa pemerintah

yang berlaku.

5. Tidak diterapkan flexible budget.

2.2 Tinjauan Umum Pengelolaan Keuangan

2.2.1. Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah

Dalam rangka penataan pengelolaan keuangan negara/daerah telah diterbitkan

berbagai produk peraturan perundang-undangan. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir

sejak dimulainya reformasi pemerintahan yang diikuti dengan penataan pengelolaan

keuangan negara/daerah, telah dilakukan dua kali perubahan dalam bidang penataan

pengelolaan keuangan, terutama yang terkait dengan keuangan daerah.

Perubahan pertama dilakukan dengan diterbitkannya UU 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar dilaksanakan otonomi daerah. Pelaksanaan

otonomi daerah itu diikuti dengan pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat

dan daerah yang diatur dalam UU 25/1999. Selanjutnya sebagai dasar implementasi UU

dimaksud dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, dikeluarkan PP 105/2000 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah.


Pada akhirnya, dengan terbitnya paket undang-undang keuangan negara, juga

dilakukan revisi atas dua undang-undang di atas. Setelah perubahan dimaksud, produk hukum

yang mendasari pengelolaan keuangan negara/daerah selengkapnya sebagai berikut:

a. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara;

b. UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara;

c. UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara;

d. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah;

e. UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah;

f. PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;

g. PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;

h. PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;

i. PP No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi

Pemerintah.

2.2.2. Tinjauan Umum Pengelolaan Keuangan Negara.

Keuangan negara dapat didefinisikan dalam arti sempit dan dalam arti yang luas.

Keuangan negara dalam arti sempit diartikan hanya mencakup penerimaan dan pengeluaran

uang melalui Kas Umum Negara selama satu tahun anggaran. Pendekatan yang digunakan
dalam Undang-undang Keuangan Negara adalah dari arti luas, baik dari sisi obyek, subyek,

proses, maupun tujuan.31

Keuangan negara dilihat dari sisi obyek, mencakup semua hak dan kewajiban negara

yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal,

moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dengan memperhatikan cakupan tersebut maka yang menjadi subyek keuangan

negara meliputi seluruh obyek sebagaimana disebutkan di atas yang dimiliki dan/atau

dikuasai Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain

yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang

berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas, mulai dari perumusan

kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan

hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana

tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam

sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan

kekayaan negara yang dipisahkan. Pendekatan tersebut pada umumnya sejalan dengan

perkembangan pendekatan manajemen keuangan negara. Apabila suatu negara

mendefinisikan keuangan negara dalam arti sempit maka fokus pengelolaan keuangan negara

hanya pada APBN/APBD.


31
M. Djafar Saidi, 2011,Hukum Keuangan Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal 11.
Dengan demikian fokus pengelolaan keuangan negara hanya menggunakan perspektif

waktu jangka pendek yaitu satu tahun. Kepentingan-kepentingan jangka panjang kurang

mendapat perhatian, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, akuntansi dan

pertanggungjawaban, maupun pengawasannya.

Dengan memperhatikan definisi Keuangan Negara di atas maka Undang-Undang

Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara/daerah dalam arti luas. Dengan dipilihnya

pendekatan ini maka fokus pengelolaan keuangan negara/daerah tidak hanya pada arus kas,

tetapi juga utang, piutang, dan aset jangka panjang. Dalam melakukan pengelolaan keuangan

tidak hanya memperhatikan kepentingan satu tahun anggaran tetapi menggunakan perspektif

waktu jangka panjang.

Pada tingkat daerah, pengertian di atas diadopsi dalam Peraturan Pemerintah 58/2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 1 butir (5) Peraturan Pemerintah dimaksud

mengartikan Keuangan Daerah sebagai ”semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya

segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”.

Pengertian ini sejalan dengan pendekatan keuangan daerah dalam arti luas yang

dianut dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Selanjutnya Pasal (2) yang mengatur

lingkup menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah mencakup:

a. Hak daerah memungut pajak-retribusi daerah & melakukan pinjaman;

b. Kewajiban daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan

membayar tagihan;

c. Penerimaan daerah;
d. Pengeluaran daerah;

e. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain: uang, surat berharga,

piutang, barang, serta hak-hak lain; dan

f. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah.

Dalam rangka pengelolaan keuangan negara dikenal adanya beberapa azas yang sudah

lazim digunakan selama ini yaitu azas tahunan, universalitas, spesialitas, dan kesatuan. Azas

tahunan artinya membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu. Azas

universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan utuh dalam dokumen

anggaran. Azas spesialitas mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terunci secara

jelas peruntukannya. Azas kesatuan menghendaki agar semua pendapatan dan belanja

negara/daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.

Selanjutnya pengelolaan keuangan negara/daerah juga mengadopsi azas-azas baru

yang berasal dari best practises yang telah diterapkan di berbagai negara untuk menjamin

terselenggaranya pengelolaan keuangan negara/ daerah secara akuntabel dan transparan.

Azas-azas dimaksud terdiri dari32:

1. Akuntabilitas berorientasi pada hasil

Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara, baik

pertanggungjawaban keuangan (financial accountability) maupun

pertanggungjawaban kinerja (performance accountability).

2. Profesionalitas

32
Ibid, hal 22
Keuangan negara harus dikelola secara profesional. Oleh karena itu sumber daya

manusia di bidang keuangan harus profesional, baik di lingkungan Bendahara Umum

Negara/Daerah maupun di lingkungan Pengguna Anggaran/Barang.

3. Proporsionalitas

Sumber daya yang tersedia dialokasikan secara proporsional terhadap hasil yang

akan dicapai. Hal ini diakomodasi dengan diterapkannya prinsip penganggaran

berbasis kinerja.

4. Keterbukaan

Pengelolaan keuangan dilaksanakan secara transparan, baik dalam perencanaan

dan penganggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggung-jawaban, maupun hasil

pemeriksaan.

5. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Pemeriksaan atas tanggung jawab dan pengelolaan keuangan negara/daerah

dilakukan oleh badan pemeriksa yang independen, dalam hal ini adalah Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pemeriksaan oleh BPK dilaksanakan sesuai dengan amanat undang-undang dan hasil

pemeriksaan disampaikan langsung kepada parlemen. Kedudukan BPK terhadap pemerintah

adalah independen, dengan kata lain BPK merupakan external auditor pemerintah.
Berdasarkan Pasal 6 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden

selaku kepala pemerintahan adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara.

Untuk membantu Presiden dalam pelaksanaan kewenangan tersebut maka sebagian

kewenangan:

a. Dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil

pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.

b. Dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna

Anggaran/Pengguna Barang kementerian/lembaga yang dipimpinnya.

c. Diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah

untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam

kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada

hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara

setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operasional Officer (COO)

untuk suatu fungsi pemerintah tertentu.

2.2.3. Tinjauan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 156 ayat 1

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang

dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang

berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.


Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila

penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan

yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya

disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah.

Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan

kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Berdasarkan pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur

pokok yaitu:

- Hak dan Kewajiban Daerah yang dapat dinilai dengan uang

- Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada

Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha

pemerintah daerah mengisi kas daerah. Hak daerah tersebut meliputi antara lain :

1. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34

Tahun 2000).

2. Hak untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo

UU No. 34 tahun 2000).

3. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).

4. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33


Tahun 2004).

Kewajiban daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan

pusat sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2. Memajukan kesejahteraan umum,

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa,

4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan

keadilan sosial.

Di dalam Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat penegasan di

bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah

sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara

dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah

daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam

kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu

bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian

dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah

melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat

perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban

keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu

dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.


Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

1. Pendapatan asli daerah ( PAD), yang meliputi:

(a) hasil pajak daerah;

(b) hasil retribusi daerah;

(c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

(d) lain-lain PAD yang sah;

2. Dana perimbangan yang meliputi:

(a). Dana Bagi Hasil;

(b). Dana Alokasi Umum; dan

(c). Dana Alokasi Khusus; dan

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan pinjaman

hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh

pertimbangan Menteri Dalam Negeri. Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal

pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. Pemerintah daerah dapat

memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan, dan/atau

pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang berpedoman pada peraturan

perundangundangan.

Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan

pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar

pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari

sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang
APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk

memperoleh persetujuan bersama. Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah

disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum

ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam

Negeri untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum

ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur

untuk dievaluasi.

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD

dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah.

Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban

keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan

Pemerintah.

Pengelolaan Keuangan Daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelola

keuangan daerah. Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang

kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan

kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala Daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu

dan para bendahara untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola

keuangan daerah tersebut adalah:

1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).

2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB).

4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).


5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah

(SKPD).

6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.

Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan

pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan

daerah yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai

kewenangan:

a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD).

b. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah.

c. Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang.

d. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran.

e. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah.

f. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang

daerah.

g. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah.

h. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan

memerintahkan pembayaran.

Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah

melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada:

a. Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan Daerah.


b.Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).

c. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna

anggaran/pengguna barang.

Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip

pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau

mengeluarkan uang, yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian intern.

2.2.4. Hubungan Antara Pengelolaan Keuangan Negara Dengan Pengelolaan

Keuangan Daerah.

Dalam Pasal 1 UUD 1945 menetapkan bahwa negara Indonesia adalah negara

kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta

penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat

otonom dan bersifat daerah administrasi.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber-sumber daya

nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas

korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga

merupakan subsistem dari pemerintahan negara sehingga antara keuangan daerah dengan

keuangan negara akan mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang

luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah serta secara proporsional diwujudkan dengan

pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan

daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas

dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah

dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya

manusia dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran

pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari

pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengalokasian

anggaran.

Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui

alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan

alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka dekonsentrasi

dan tugas pembantuan tidak merupakan sumber penerimaan APBD dan diadministrasikan

serta dipertanggungjawabkan secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan

pelaksanaan desentralisasi.

Anda mungkin juga menyukai