Perusahaan Gas dan Listrik Hindia Belanda itu membangun pembangkit tenaga uap
di Gambir, di tepi Sungai Ciliwung, berkekuatan 3.200 kwatt, 3.000 kwatt, dan
1.350 kwatt yang merupakan pembangkit pertama di Hindia Belanda. Setromnya
untuk memasok keperluan listrik bagi Jakarta dan sekitarnya.
Lampu gas pertama menyala pada 4 September 1862, di gedung yang kini dikenal
Sebagai Istana Negara. Kemudian pada 1 Oktober 1862 digunakan untuk menerangi
jalanan utama di Batavia, termasuk di Cikini.
Di Hindia Belanda, bisnis listrik berkembang pesat. Pada akhir abad ke-19, NIGM
berekspansi ke Surabaya. NIGM kemudian mendirikan anak perusahaan Algemeene
Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij, biasa disebut ANIEM. ANIEM
dengan cepat berkembang menjadi perusahaan listrik terbesar di tanah air.
Suryadi mengatakan ”banyak priayi Yogya yang menyebut "aniem" untuk listrik
dan "cagak aniem" untuk tiang listrik” (dalam Matanasi, 2017). Hingga akhir abad
20 Aniem masih lekat pada kepala orang zaman dulu khususnya pada kota-kota
yang sudah teraliri jaringan listrik (Matanasi, 2017).
Kerapihan dan keelokan kerja ANIEM harus berakhir setelah masuknya Jepang ke
Indonesia pada 1942. Pengelolaan listrik diambil alih oleh Djawa Denki Djigjo Sja.
Pada 1945, menyusul kekalahan Jepang dari tentara Sekutu, Jepang pergi ari
Indonesia. Pengelolaan listrikpun beralih ke pihak Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Qadar Iwan Himawan. 2016. “Listrik Era Kolonial”, Tambang, Agustus 2016/Th
XI, hlm 11. Jakarta : PT. Media Bakti Tambang