BAB I
PENDAHULUAN
3
yang cenderung banyak mengandung lemak permukaan. Sebuah studi di Indonesia
melaporkan identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan
M. furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa. 4
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan
2
kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga karena peran asam azeleat, suatu
asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase
6,7
dalam alur produksi melanin. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah
senyawa indol yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi
yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. 7 Penemuan dominasi M. furfur
pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol
yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi
jamur terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten
terhadap sinar matahari.3,4
Tujuan terapi pada PV adalah untuk mengembalikan Malassezia sesuai
5
jumlah komensalnya, bukan untuk mengeradikasi Malassezia dari tubuh. Terapi
topikal merupakan terapi pilihan utama untuk pitiriasis versikolor. Terapi sistemik,
dapat dipilih apabila penyakit melibatkan area kulit yang luas, rekurensi, dan gagal
2,8
terapi topikal. Studi menunjukkan, terapi dalam jangka waktu yang lama,
konsentrasi yang lebih tinggi pada terapi topikal dan dosis yang lebih tinggi pada
2,5,8
terapi oral, terbukti meningkatkan angka kesembuhan. Lesi hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi dapat bertahan dalam waktu lama sampai hitungan bulan, meskipun
penyakit telah sembuh, yang menyebabkan pasien merasa penyakit belum sembuh. 8
Repigmentasi memerlukan waktu lama dan dari segi kosmetik sering dirasakan
mengganggu oleh pasien. 9 Tujuan tinjauan pustaka ini adalah menambah pemahaman
mengenai mekanisme hipopigmentasi yang terjadi pada PV, penatalaksanaan untuk
PV dan repigmentasinya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan hanya
1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis terbanyak kedua di
2,3
antara dermatofitosis lain di Indonesia. Lingkungan yang hangat dan lembab
diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia terletak pada garis ekuator
dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan kelembaban 70%. PV lebih
banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda baik laki-laki maupun
perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia 21-25 tahun, sedangkan pada
perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30 tahun. Di daerah tropis, laki-laki
4
pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi
3
penyakit yang lebih lama. Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada
kerentanan terhadap PV. Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang
normal di kulit, diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain. 1 Belum ada
penjelasan mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis
bahwa lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga
muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi. 6
Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi tidak
dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa proses
imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi histiosit dan
peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit juga akan
meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan terjadinya
elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada respon imun yang
diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang akan mengakibatkan
apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar. Malassezia juga
mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi
Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara
jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan
melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter
tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi
hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum
korneum. 10
2.1.3.1 Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor
Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses penggelapan
kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam azeleat, suatu asam
dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat menghambat tirosinase dalam
alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit
termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini
11
terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap. Hipopigmentasi akan menetap
6
beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan
kulit normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu
Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit tryptophan-
dependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang
merupakan gambaran klinis PV pada umumnya. Senyawa indol tersebut ada yang
mempengaruhi melanogenesis dan ada yang mampu menyebabkan downregulation
proses inflamasi, antara lain. 2,3,5
Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir surya.
Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan oleh adanya
pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M. furfur. Pityriacitrin
memiliki kemampuan untuk melindungi jamur terhadap paparan ultraviolet,
sehingga menyebabkan M. furfur lebih resisten terhadap sinar matahari.4
Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm
memberikan warna kuning-kehijauan.
Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan menghambat
aktivitas 5-lipoksigenase.
Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan
apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.
Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel dendritik
dan kemampuannya mempresentasikan antigen.
tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp
12
dikatalisa dari biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1. Hal ini menunjukkan
bawa penggunaan spontan dari metabolit produk mampu mengkonstitusi salah satu
jalur penting dalam patofisiologi PV.8
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta
penebalan stratum korneum.13 Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus melanositosis
serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada terjadinya
hiperpigmentasi.1,14 Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa Malassezia spp. dapat
memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo pada lesi hiperpigmentasi
hal ini belum terbukti. 14
2.1.3.2 Proses Repigmentasi
Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang memiliki
efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan lipoperoksidase. 15 Pada
pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat dari melanosit, bervariasi
mulai melanosom hingga gangguan degenerasi mitokondria. Salah satu asam
dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam azeleat yang mungkin
menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan
hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat
repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi untuk periode
waktu tertentu. 16
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis
perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan dengan
menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-
liberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan kesembuhan
dengan repigmentasi cepat. 7,17
Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di kulit.
Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit dan
berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. 17 Melanosit dan
8
keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan produksi
nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan
aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses
repigmentasi pada PV. 2
misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia. 3,21 Pada
kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk gambaran
seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus pengobatan
akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang menetap. 22
pergelangan tangan, jari tangan, tumit, dan disekitar lesi lama. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis,
degenerasi sel basal. Trepanoma dapat ditemukan di epidermis pada stadium
primer, sekunder, dan tersier tapi tidak ditemukan treponema pada makula
depigmentasi. Lesi primer atau sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan
namun lesi stadium lanjut akan menetap seumur hidup. 2,29
6. Chemical leucoderma
Chemical leucoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan
berulang bahan kimia terutama derivat fenol dan sulfhydryl. Telah dilaporkan
terjadinya leukoderma ada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon
(MBEH) yang digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan
pada disinfektan dan germisida tetapi juga pada tape adesif, kontrasepsi
diafragma, baju karet, kondom karet, boneka karet, sarung tangan karet dan
lain-lain. Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat menyerupai
vitiligo. Makula hipopigmentasi bewarna putih susu tidak hanya terjadi di
tempat aplikasi tetapi juga dapat terjadi lesi satelit berupa makula
hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang biasanya permanen.
Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan atau
dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat
reversibel jika paparan dihentikan. Hipomelanosis oleh karena hidrokuinon
biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi depigmentasi penuh dan tidak ada
lesi satelit. Kelainan ini bersifat reversibel.
Pada pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak
mempunyai gambaran diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo.
Pada makula tidak ditemukan melanosit dan tidak ada perubahan pada
epidermis dan dermis.
Terdapat banyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma
akibat bahan kimia. Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tirosinase,
hambatan oksidasi sintesis tirosinase, gangguan pada sintesis melanosom,
14
berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi oleh
15
spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan fluorochromes.
Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna kuning kehijauan
pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone. Pityrialactone adalah salah satu
metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar di bawah lampu UV 365 nm. 1,2
Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat menunjukkan lesi yang lebih
luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan biasa. Perlu diketahui bahwa
tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi dengan lampu Wood. 2 ,3
Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan tambahan
streptomycin, penicillin, dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di atasnya tidak
bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal kulit.1,2
Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak pada kultur
dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni et al. di Tunisia
yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak 65% pada kultur
dengan medium Dixon dengan teknik molekuler. 15
Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora
yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid
Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni hifa
dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada melanosit dan infiltrat sel radang
15
minimal. Organisme terkadang tampak di sekitar folikel rambut dan di sekitar
muara folikel.
Tabel 1. Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 2,3
Nama Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan
Obat topikal
Berbagai derivat Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi
azol, missal terbatas
mikonazol
Terbinafin Krim 1-2x/hari Untuk lesi
terbatas. Tidak
dianjurkan FDA
untuk PV
Ketokonazole Sampo 2% 1x 5 menit/hari
sebelum mandi
Selenium sulfide Sampo 1,8% a. Minimum Mewarnai
1x10 pakaian, tidak
menit/hari untuk wajah dan
sebelum mandi
genitalia
b. Setiap dua hari
sekali tiap
malam
sebelum tidur
Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat
sulit hilang,
sebaiknya tidak
untuk wajah
Propylene glycol Solusio 50% 2X/hari
Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5
menit/hari selama
19
2 minggu
Obat sistemik
Ketoconazol Tablet 200mg a. 1 tablet/hari Perhatian pada
selama 7-10 efek samping dan
hari interaksi obat
b. Dosis tunggal
2 tablet atau
diulang hingga
4 dosis dalam 2
minggu
Itrakonasol Kapsul 100 mg a. 800-1000mg Untuk kasus
terbagi dalam 5 rekalsitran.
hari Perhatian pada
b. 200-400
efek samping dan
mg/hari selama
3-7 hari interaksi obat
c. 400 mg dosis
tunggal
Flukonasol Tablet 50 mg 400 mg dosis Tidak dianjurkan
dan 150 mg tunggal atau di FDA untuk PV
ulang setelah 2
minggu
atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal bulan; atau itrakonazol 2 kali
200mg/ hari setiap bulan.1,5 Meskipun demikian, sebaiknya diobati ulang saat PV
kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif dalam jangka lama. 1
sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai lini kedua terapi
untuk infeksi Mycobacterium tuberculosis. Cycloserine bekerja dengan
menghambat enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin ligase yang
menyebabkan deplesi D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang pertama
menunjukkan hasil yang impresif dari aplikasi TAM inhibitor topikal untuk PV.
Hasil ini mampu menunjukkan pentingnya jalur metabolik Trp pada patogenesis
PV dan membantu mengembangkan pendekatan terapi baru serta pencegahannya.
Pembentukan metabolit dari Trp harus dihentikan pada stadium awal karena
apabila efek farmakologi telah terbentuk dan berkembang maka intervensi terapi
akan sulit. 11
3. Terapi Fotodinamik
Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa strain
jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya tampak dengan
adanya photosensitizer. 34 Terapi fotodinamik telah banyak digunakan di seluruh
dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu pula untuk penyakit inflamasi
37
maupun infeksi kulit lain. Pada infeksi dermatofit, secara in vitro terapi
fotodinamik menunjukkan degradasi hifa dan inaktivasi dari spora. Jumlah cahaya
yang sesuai harus menembus sampai stratum korneum dan folikel rambut,
biasanya berada pada spektrum regio cahaya merah. 37 Kim melaporkan
penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan terapi fotodinamik
untuk lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang memuaskan. ALA 20%
topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan ditutup dengan bahan
oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang berlebih dibersihkan dan lesi
disinari dengan cahaya dari diode pemancar cahaya (gelombang cahaya
630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan adalah 100 J/cm2 dan dosis cahaya
yang diberikan adalah 70-80J/cm2. Prosedur diulangi 2 minggu kemudian dengan
peningkatan dosis cahaya kelipatan 10 J/ cm2. Lesi membaik dalam 4minggu dan
pasien diobservasi sampai dengan 3bulan tanpa reinfeksi. 34
4. Adapalene
22
Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk
pengobatan PV memberikan efikasi yang sama dibandingkan dengan
ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog asam
retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas yang aman
dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang menggunakan kortikosteroid
terdapat penurunan epidermal turnover sehingga PV kerap muncul. Adapalene
diduga mampu melepaskan keratinosit abnormal dan menormalkan kembali
disfungsi keratinisasi dari keratinosit serta disfungsi epidermal turnover pada lesi
PV. Kelebihan lainnya, adapalene mampu menurunkan sekresi sebum dari
kelenjar sebasea, sehingga adapalene gel topikal mampu menciptakan lingkungan
yang kurang nyaman untuk Malassezia spp. sehingga menurunkan propagasi
Malassezia spp. dan jumlah spora serta hifa dengan cara eliminasi bersamaan
dengan lepasnya keratinosit abnormal pada lapisan keratin. Hal ini menyebabkan
33
PV lebih mudah diobati. Pada salah satu mekanisme lesi hiperpigmentasi
dinyatakan bahwa faktor inflamasi turut berperan. Adapalene memiliki aktivitas
anti inflamasi. Berdasarkan kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang
menemukan bahwa adapalene gel topikal mengurangi reaksi inflamasi. Efek
imunomodulasi dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada
lesi PV sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun
adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan jamur
dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia spp. untuk
hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi kemungkinan resistensi obat
terhadap jamur.
23
BAB III
RINGKASAN
selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang menghasilkan
angka kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik dengan 5-
aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas. Adapalane gel juga
menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2% krim pada pitiriasis
versikolor.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Wiley-
Blackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12.
2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.
2298-311.
3. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013. h. 24-34.
4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013. h. 24-34.
5. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. The
Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev 2012; 25:
106-41.
6. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In:
Brakhage AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2 nd ed. Berlin: Springer;
2008. p. 115-54.
7. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis
versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:
541-3.
8. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions.
Arch Dermatol 2010; 146:1132.
25