Anda di halaman 1dari 44

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1


A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan .......................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................................................................................... 3
A. Definisi Keracunan ......................................................................................................................... 3
B. Etiologi Keracunan ......................................................................................................................... 4
C. Tanda dan Gejala Keracunan ........................................................................................................ 4
D. Patofisiologi Keracunan ................................................................................................................. 5
E. Macam – Macam Keracunan ......................................................................................................... 5
F. Penatalaksanaan secara Umum ................................................................................................... 10
G. Komplikasi ................................................................................................................................. 11
H. CEDERA .................................................................................................................................... 11
1. Perbedaan Koding Pada Cedera Tunggal dan Cedera Ganda .................................................... 12
2. Prinsip Koding Multipel ............................................................................................................. 13
3. Kategori Cedera .......................................................................................................................... 14
4. Ketentuan Koding Fraktur ......................................................................................................... 22
5. Kode Untuk Luka Terbuka yang Menyertai Cedera Lain .......................................................... 27
6. Luka Bakar dan Korosi .............................................................................................................. 28
I. KERACUNAN............................................................................................................................... 34
J. KOMPLIKASI PASCA BEDAH ..................................................................................................... 39
BAB III KESIMPULAN............................................................................................................................. 42
A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 42
B. Saran .............................................................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 43

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Keracunan adalah salah satu kasus darurat yang paling sering terjadi pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun dan hampir selalu terjadi di rumah. Bagian terbesar dari kasus ini adalah
menelan racun. Untungnya kasus ini sudah menurun dengan adanya kemasan produk yang
baik dan banyaknya pusat-pusat pengendali keracuna (National Safety Council, 2006)).
Menurunnya kasus keracunan juga disebabkan karena adanya Poison Prevention Packaging
Act tahun 1970 yang mengatur bahwa beberapa obat berbahaya dan produk rumah tangga
tertentu harus dijual dalam wadah yang sulit dibuka oleh anak-anak. Akan tetapi, masalah
keracunan masih menjadi kekhawatiran bermakna dalam bidang kesehatan (Wong, 2008).
Banyak produk yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari di rumah seperti
membersihkan rumah, sebagai obat, merawat kebun, dapat menjadi etiologi dari keracunan
pada anak. Pada umumnya, bahan-bahan beracun yang paling berbahaya bagi anak-anak
adalah obat-obatan, produk pembersih, pestisida, minuman beralkohol, dan produk minyak
bumi misalnya bensin (National Safety Council, 2006). Karakteristik perkembangan anak
dapat menjadi faktor predisposisi keracunan. Bayi dan toddler mengeksplorasi lingkungan
mereka melalui percobaan oral. Selain itu, anak juga mengalami perkembangan autonomi dan
inisiatif yang meningkatkan rasa keingintahuan mereka tentang sesuatu dan meningkatnya
tingkah laku tidak patuh (Wong, 2008). Benda-benda yang menarik bagi mereka akan dilihat
dan menjelajahinya. Kecelakaan keracunan pada anak sering terjadi ketika anak ditinggal
seorang diri dan apabila bahan beracun lupa disimpan dengan benar.
Kasus keracunan masih menjadi alasan utama dari perawatan darurat di rumah sakit.
Hal itu dikarenakan adanya angka kematian anak usia di bawah 5 tahun akibat keracunan.
Angka kematian tersebut berkisar 80.000-90.000 anak yang menerima perawatan darurat dan
20.000 yang perlu dirawat di rumah sakit. ¾ dari kasus keracunan tersebut berhasil ditangani
dengan baik (National Safety Council, 2006).
Penanganan keracunan perlu dirujuk ke rumah sakit karena untuk mengantisipasi
komplikasi yang memburuk dari keracunan terutama pernapasan dan sirkulasi. Penanganan

1
2

keracunan pra-hospital juga sangat dianjurkan bagi setiap orang tua melalui penyuluhan atau
prerencanaan pemulangan pasien (discharge planning). Penanganan dan perawatan pasien
anak dengan keracunan akan dilakukan oleh dokter, perawat serta disiplin ilmu lainnya yang
berhubungan dengan kegawatan keracunan pada anak. Dalam hal ini, perawat memegang
peranan penting dalam perawatan pasien di ruang kegawatan serta penyuluhan ketika
discharge planning pasien.
Oleh karena itu, penyusun ingin membuat makalah tentang asuhan keperawatan
keracunan pada anak yang akan membahas poin-poin terkait keracunan pada anak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran konsep keracunan ?
2. Apa saja macam-macam keracunan dan penanganan dari keracunan ?
3. Bagaimana konsep trauma ?
4. Bagaimana konsep komplikasi paska bedah ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk menjelaskan tentang konsep keracunan (definisi, etologi, manifestasi klinis).


2. Untuk memaparkan macam-macam keracunan dan penanganannya masing-masing.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pembaca
a. Dapat menambah wawasan pembaca mengenai kercunan dan penanganannya (baik
pre-hospital maupun hospital).
b. Dapat menjadikan referensi untuk makalah pembaca selanjutnya dengan adanya kritik
dan saran untuk penulisan.
2. Bagi Penyusun
a. Dapat berbagi informasi dan menambah wawasan penyusun tentang keracunan serta
penanganannya.
b. Dapat dijadikan sumber tambahan referensi dalam penyusunan makalah selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Keracunan
Racun adalah bahan yang jika tertelan, terhirup, teresap kedalam kulit (misalnya, dari
tanaman) atau tersuntikkan (misalnya dari serangan serangga) bias menyebabkan penyakit,
kerusakan dan kadang-kadang kematian.
Keracunan adalah salah satu kasus darurat yang paling sering terjadi pada anak-anak
dibawah usia 5 tahun. Bagian terbesar dari kasus ini adalah menelan racun.
Keracunan merupakan masuknya zat yang mengandung racun kedalam tubuh baik
melalaui saluran pencernaan, saluran pernafasan, atau melalui kulit atau mukosa yang
menimbulkan timbul gejala klinis. Anak dapat mengalami keracunan oleh beberapa hal,
seperti produk-produk pembersih, vitamin, obat-obatan, alcohol, cat dan tanaman. Keracunan
merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan anak meninggal dunia. Dari data
statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi di Indonesia secara umum
adalah akibat paparan pestisida, obat-obatan, hidrokarbon, bahan kimia korosif, alcohol dan
beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin, asam jengkolat dan beberapa
tanaman beracun lainnya. Kematian karena keracunan pada anak telah menurun secara
dramatis pada dua decade terakhir, terutama untuk anak yang berumur kurang dari 5 tahun.

Zat yang dapat menimbulkan keracunan dapat berbentuk :


1. Padat, misalnya obat-obatan, makanan
2. Gas, misalnya CO
3. Cair, misalnya alcohol, bensin, minyak tanah, zat kimia
Seseorang dapat mengalami keracunan dengan cara :
1. Tertelan melalui mulut, keracunan makanan, minuman
2. Terhisap melalui hidung, misalnya keracunan gas CO
3. Terserap melalui kulit/mata, misalnya keracunan zat kimia

3
4

B. Etiologi Keracunan

Ada berbagai macam kelompok bahan yang dapat menyebabkan keracunan, antara lain :

1. Bahan kimia umum (Chemical toxicants) yang terdiri dari berbagai golongan seperti
pestisida (organoklorin, organofosfat, karbamat), golongan gas (nitrogen, metana, karbon
monoksida, klor), golongan logam (timbal, posfor, air raksa, arsen), golongan bahan
organik (akrilamida, anilin, benzena toluene, vinil klorida fenol), dan alcohol.
2. Racun yang dihasilkan oleh makluk hidup (Biological toxicants) mis : sengatan serangga,
gigitan ular berbisa , anjing dll.
3. Racun yang dihasilkan oleh jenis bakteri (Bacterial toxicants) mis : Bacillus cereus,
Compilobacter jejuni, Clostridium botulinum, Escherichia coli dll.
4. Racun yang dihasilkan oleh tumbuh tumbuhan (Botanical toxicants) mis : jamur amnita,
jamur psilosibin, oleander, kecubung dll.
C. Tanda dan Gejala Keracunan
Banyak sekali gejala dan tanda tanda keracunan yang mirip dengan gejala atau tanda
dari suatu penyakit, seperti kejang, stroke dan reaksi insulin. Seseorang yang telah mengalami
keracunan kadang dapat diketahui dengan adanya gejala keracunan. Gejala-gejala keracunan
tersebut secara umum dapat berupa gejala non-spesifik dan spesifik, namun kadang kadang
sulit untuk menentukan adanya keracunan hanya dengan melihat gejala gejala saja. Perlu
dilakukan tindakan untuk memastikan telah terjadi keracunan dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan periodik
urin, tinja, darah, kuku, rambut dan lain-lain.
Pada umumnya tanda dan gejala yang terjadi pada anak saat keracunan adalah sebagai
berikut:
a) Anda merasa ingin muntah, dimana muntah tanpa sebab yang jelas.
b) Ada luka bakar di bibir atau mulut Anda.
c) Anda susah untuk dibangunkan.
d) mengalami kesulitan pernafasan.
e) mengalami sakit perut.
f) menalami serangan sakit yang mendadak.
5

D. Patofisiologi Keracunan
Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu faktor bahan kimia,
mikroba, toksin, dan lain-lain. Dari penyebab tersebut dapat mempengaruhi vaskuler sistemik
sehingga terjadi penurunan fungsi-fungsi organ dalam tubuh. Biasanya akibat dari keracunan
menimbulkan mual, muntah, diare, perut kembung, gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi
darah dan kerusakan hati (sebagai akibat keracunan obat dan bahan kimia). Gejala dan tanda
keracunan yang khas biasanya sesuai dengan jalur masuk racun ke dalam tubuh. Bila masuk
melalui saluran pencernaan, maka gangguan utama akan terjadi pada saluran pencernaan. Bila
masuk melalui jalan nafas maka yang terganggu adalah pernafasannya dan bila melalui kulit
akan terjadi reaksi setempat lebih dahulu. Gejala lanjutan yang terjadi biasanya sesuai dengan
sifat zat racun tersebut terhadap tubuh. Mual dan muntah terjadi disebabkan karena adanya
iritasi pada lambung sehingga asam lambung meningkat. Makanan yang mengandung bahan
kimia beracun (IFO) dapat menghambat atau menginaktivasi enzim tubuh yaitu kolinesterase
(KhE). Dalam keadaan normal, KhE ini bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid (Akh)
dengan jalan mengikat Akh-KhE yang bersifat inaktivasi. Bila konsentrasi racun lebih tinggi
dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi, maka akibatnya akan terjadi penumpukan Akh
di tempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala-gejala rangsangan Akh yang berlebihan dan
pada akhirnya akan menimbulkan efek muskarinik, nikotinik, dan SSP (menimbulkan
stimulasi dan kemudian depresi SSP).

E. Macam – Macam Keracunan


1. Keracunan Hidrokarbon
Kelompok hidrokarbon yang sering menyebabkan keracunan adalah minyak
tanah,bensin, minyak cat ( tinner ) dan minyak untuk korek api. Gejala klinik : terutama
terjadi sebagai akibat dari iritasi pulmonal dan depressi susunan saraf pusat.
o Irritasi pulmonal : Batuk, sesak, retraksi, tachipneu, cyanosis, batuk darah dan udema
paru. Pada pemeriksaan foto thorak bisa didapatkan adanya infiltrat di kedua
lapangan paru, effusi pleura atau udema paru.
6

o Depressi CNS : Terjadi penurunan kesadaran mulai dari patis sampai koma,kadang-
kadang disertai kejang.
o Gejala-gejala GI Tract : Mual, muntah, nyeri perut dan diare.
2. Keracunan Makanan
a. Keracunan Jamur
Keracunan setelah macam jamur yang disebut belakangan ini dapat saja terjadi. Ada
jamur yang mengandung racun amanitin dan muskarin.
- Racun tersebut bekerja sangat cepat dan menyebabkan:
o Rasa mual
o Muntah
o Sakit perut
o Mengeluarkan banyak ludah dan keringat
o Miosis
o Diplopia
o Bradikardi sampai konvulsif
o Manitin dapat menyebabkan disfungsi hepatoseluler dan ginjal
- Pengobatan
Pemberian cairan secara oral atau intravena dapat diberikan secara intravena
antropin sebanyak 0,02 mg/kg.
b. Keracunan Makanan Kaleng
Disebabkan oleh kuman Clostridium botulinum yang sering terdapat dalam makanan
kaleng yang rusak atau tercemar kuman tersebut.
Gejala klinik:
o Mata kabur,refleks cahaya menurun atau negatif,midriasis dan kelumpuhan
otot-otot mata
o Kelumpuhan saraf-saraf otak yang bersifat simetrik
o Dysphagia, dysarthria
o Kelumpuhan ( general paralyse )
c. Keracunan Jengkol
Pada keracunan jengkol terjadi penumpukan kristal asam jengkolat di tubuli,ureter
dan urethrae. Keluhan terjadi 5 - 12 jam sesudah makan jengkol.
7

Gejala klinik:
o Sakit pinggang,nyeri perut,muntah,kencing sedikit-sedikit dan terasa sakit
o Hematuria,oliguria sampai anuria dan kencing bau jengkol
o Dapat terjadi gagal ginjal akut
d. Keracunan Ketela Pohon
Dapat terjadi karena ketela pohon yang mengandung cyanogenic unamarine
(mengandung HCN).
Gejala klinis:
o Tergantung pada kandungan HCN, kalau banyak dapat menyebabkan
kematian dengan cepat
o Penderita merasa mual, perut terasa panas, pusing, lemah dan sesak
o Pernafasan cepat dengan bau khas (bitter almond)
o Kejang, lemas, berkeringat,mata menonjol dan midriasis
o Mulut berbusa bercampur darah
o Warna kulit merah bata (pada orang kulit putih) dan sianosis
e. Keracunan Makanan yang Terkontaminasi
Tidak jarang terjadi keracunan bahan makanan yang tercemar oleh kuman,
parasit, virus, maupun bahan kimia. Kuman-kuman yang dapat menyebabkan
keracunan bahan makanan ialah Staphilococcus, Salmonella, Clostridium Botulinum,
E. Coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dll. Tercemarnya makanan biasanya
melalui lalat, udara, kotoran rumah tangga, dan terutama melalui juru masak yang
menjadi pembawa kuman. Kuman yang masuk kedalammakanan cepat
memperbanyak diri dan memproduksi toksin. Akibat keracunan tergantung dari
virulensi, banyaknya kuman, sifat kuman ialah tidak tahan panas.
o Gejala timbul 3-24 jam setelah makan makanan yang tercemar kuman terdiri dari
mual muntah, diare, sakit perut, disertai pusing dan lemas.
o Pengobatan
Diberi cairan cukup secara oral atau intravena. Jika perlu penderita dapat
diberikan pengobatan tambahan terhadap sakit perutnya dengan analgesia atau
sedatif dan jka muntah terus-menerus suntikkan anti emetik. Bilamana demam
dapat dianjurkan pemberian antibiotik.
8

3. Keracunan Obat – Obatan


a. Salisilat
Merupakan keracunan obat-obatan yang paling sering dijumpai pada anak. Faktor-
faktor yang mempermudah terjadinya keracunan salisilat adalah:
o Kemasan salisilat yang dibuat dengan bentuk yang menarik dengan rasa yang
disukai anak-anak ditambah dengan gencarnya usaha promosi melalui media
massa.
o Penggunaan obatt-obatan yang mengandung salisilat secara berlebihan oleh orang
tua yang tidak mengetahui bahaya salisilat.
o Obat-obatan salisilat bisa didapatkan dengan mudah dan harga yang murah.
b. Asetaminofen
Manifestasi klinis, terjadi dalam empat tahap:

o Periode awal (2 – 4 jam setelah tertelan) : mual, muntah, berkeringat, pucat.


o Periode laten (24 – 36 jam) : pasien membaik.
o Keterlibatan hepatik (dapat berakhir sampai 7 hari dan permanen): nyeri di
kuadran kanan atas, ikterik, konfusi, stupor, abnormalitas koagulasi.
o Pasien tidak meninggal pada tahap hepatik dan akan membaik secara bertahap.

c. Aspirin
Manifestasi klinis :
o Keracunan akut : mual, disorientasi, muntah, dehidrasi, diaforesis, hiperpnea,
hiperpireksia, oliguria, tinitus, koma, kejang.
o Keracunan kronis : sama dengan diatas tetapi awaitan samar (sering dikaburkan
dengan penyakit yang sedang diobati), dehidrasi, koma, dan kejang dapat lebih
hebat, kecenderungan perdarahan.
4. Keracunan Bahan Kimia
a. Keracunan Arsen
Lebih dari 20 abad yang lalu arsen digunakan baik oleh orang yunani maupun roma
untuk pengobatan maupun sebagai racun. Pada saat ini tidak banyak obat
mengandung arsen, akan tetapi kadang-kadang dipakai pada pembuatan beberapa
9

herbisida dan peptisida. Arsen dapat juga ditemukan sebagai hasil sampingan dari
peleburan timah, seng, dan logam lainnya.
o Gejala klinis keracunan akut:
Dalam 1 jam setelah menelan arsen sudah timbul:
 Rasa tidak enak dalam perut
 Bibir terasa terbakar
 Sukar menelan
Kemudian disusul dengan:
 Sakit lambung dengan muntah-muntah dan diare berat
 Adakalanya terdapat pula: oliguria sampai anuria, kejang otot dan rasa haus
o Gejala klinis keracunan kronis:
 Otot-otot lemah
 Gatal-gatal
 Pigmentasi
 Keratosis kulit dan edema
o Pengobatan:
 Mencegah berlanjutnya masukan dan penyerapan arsen
 Infus cairan jika ada tanda-tanda renajatan hipovolemik
 Pemberian antidotum seperti dimercarpol (3mg/kg i.m setiap 4 jam sampai
sakit perut hilang dan fesesnya hitam karena norit)

b. Keracunan Asam Basa


Zat asam kuat seperti asam sulfat, asam klorida dan zat basa kuat seperti KOH,
NaOH banyak dipakai sebagai bahan kimia untuk keperluan rumah tangga, seperti
pembersih porselen, bahan anti sumbat saluran air, pembasmi serangga, maupun
unutk memasak seperti cuka bibit.
o Gejala : zat asam atau basa kuat dapat merusak epitel atau mukosa dan disebut
bahan korosif. Bahan ini akan membuat nekrosis di bagian tubuh yang terkena,
seperti kulit dan mata jika tersiram, saluran pernafasan jika terhirup , saluran
pencernaan seperti kulit mukosa mulut, esofagus, lambung jika terminum.
o Dalam fase penyembuhan pada lokasi luka akan terbentuk jaringan granulasi yang
akan menyebabkan stiktura dan stenosis, sehingga menimbulkan kesukaran
menelan. Untuk menghindarkan kejadian ini maka pada keracunan
demikiantindakan cepat dan tepat sangat penting.
10

5. Keracunan Pestisida
Walaupun tujuan pemakaian insektisida itu untuk membasmi berbagai macam serangga
seperti kecoa dan sebagainya. Bahan-bahan demikian dapat pula membunuh manusia.
Dengan demikian jika barang tersebut tidak disimpan di tempat yang aman dan jauh dari
jangkauan anak-anak, maka kejadian keracuan baik melalui kontak maupun inhalasi dan
minum tidak dapat dihindarkan. Untuk menanggulangi kejadian keracunan insektisida
tidak mudahkarena bahan kimia yang dipergunakan oleh tiap produsen tidak sama.
o Gejala : yang sensitif ialah sistem saraf pusat sehingga terdapat:
 Tremor
 Kejang
 Koma
 Paralisis
o Tindakan
 Bilas lambung untuk mengeluarkan racun yang belum diserap
 Beri luminal atau diazepam
 Kirim secepatnya ke rumah sakit untuk dimonitor dan pengobatan selanjutnya

F. Penatalaksanaan secara Umum


1. Mencegah / menghentikan penyerapan racun
a. Racun melalui mulut (ditelan / tertelan)
 Encerkan racun yang ada di lambung dengan : air, susu dan norit.
 Kosongkan lambung (efektif bila racun tertelan sebelum 4 jam) dengan cara
dimuntahkan dan bilas lambung.
b. Racun melalui melalui kulit atau mata
 Pakaian yang terkena racun dilepas.
 Cuci / bilas bagian yang terkena dengan air dan sabun atau zat penetralisir (asam
cuka / bicnat encer).
 Hati-hati : penolong jangan sampai terkontaminasi.
c. Racun melalui inhalasi
 Pindahkan penderita ke tempat aman dengan udara yang segar.
 Pernafasan buatan penting untuk mengeluarkan udara beracun yang terhisap,
jangan menggunakan metode mouth to mouth.
d. Racun melalui suntikan
11

 Pasang torniquet proximal tempat suntikan, jaga agar denyut arteri bagian distal
masih teraba dan lepas tiap 15 menit selama 1 menit.
 Beri epinefrin 1/1000 dosis : 0,3-0,4 mg subkutan/im.
 Beri kompres dingin di tempat suntikan.
2. Mengeluarkan racun yang telah diserap
 Diuretic : lasix, manitol
 Dialisa
 Transfusi exchange
3. Pengobatan simptomatis / mengatasi gejala
 Gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi : RJP.
 Gangguan sistem susunan saraf pusat:
• Kejang : beri diazepam atau fenobarbital
• Odem otak : beri manitol atau dexametason.
G. Komplikasi
1. Henti nafas
2. Henti jantung
3. Korosi esophagus/trakea jika substansi penyebabnya teringesti
4. Syok, sindrom gawat pernafasan akut
5. Edema serebral, konvulsi

H. CEDERA

Koding Cedera dan Keracunan dalam ICD-10 diletakkan dalam Bab 19 yang berjudul “Injury,
Poisoning And Certain Other Consequences Of External Cause” (“Cedera, Keracunan, Dan
Konsekuensi Lain Tertentu Akibat Sebab Luar”) pada Kategori S00-T98, yang terbagi dalam 24
blok kategori. Sebagaimana bab Lainnya, dalam bab ini juga terdapat 2 kategori Pengecualian

(Exclusions) yaitu: Trauma kelahiran (P10 – P15)dan Trauma obstetrik (O70 - O71). 1
12

Gambar 8.1. Pengecualian di Awal Bab 19 ICD-101

Dalam Bab 19 ini terdapat Catatan Khusus di awal bab, sehubungan dengan tatacara koding
cedera, dan jenis-jenis cedera yang dimaksudkan dalam kategori yang ada di bawahnya.

1. Perbedaan Koding Pada Cedera Tunggal dan Cedera Ganda


Bab 19 ini menggunakan bagian S untuk koding berbagai tipe cedera yang terkait bagian tubuh
tunggal sedangkan bagian T mencakup cedera pada beberapa bagian tubuh (multiple) atau bagian
tubuh yang tak dirinci (unspecified), dan juga untuk keracunan serta akibat lain tertentu dari
sebab luar. Bilamana letak multipel dari cedera dirinci (specified) pada judul kategori, kata
“with” menunjukkan keterlibatan kedua letak/lokasi, sedangkan kata ”and” menunjukkan
keterlibatan salah satu atau kedua letak. Untuk mengingat kembali konvensi tanda baca untuk
“with” dan “and”, Anda dapat membuka kembali modul KKPMT I terlebih dahulu tentang Tata
Cara Penggunaan ICD-10 dan Pedoman Koding.

Berikut contoh kode cedera ganda.1

Gambar 8.2. Koding Cedera Ganda1

Kode T00.0 merupakan cedera ganda, yang mengenai head with neck. Perhatikan kata “with”
13

yang mensyaratkan keberadaan kedua cedera tersebut. Jadi kode T00.0 hanya dapat digunakan
pada cedera superfisial ganda yang melibatkan kepala dan leher. Jika hanya salah satu saja, misalnya
cedera superfisial pada kepala saja, maka kode yang tepat adalah S00.- sedangkan jika hanya cedera
pada leher saja dikode sebagai S10.- (perhatikan inclusion terms pada kategori tersebut).
Demikian pula pada kode T00.1 yang merupakan kategori ganda melibatkan thorax with
abdomen, lower back and pelvis. Perhatikan ada kata “with” dan “and”. Dengan demikian
maka kode T00.1 hanya dapat digunakan pada cedera superfisial yang mengenai thorax (S20.-)
yang disertai S30.- dan/atau T09.0. Karena kata with dan and berimplikasi berbeda. Maka jika ada
S20.- dan S30.- atau S20.- dan T09.0 saja, atau S.20.-, S30.- dan T09.0 bersamaan, baru dapat
menggunakan kode demikian. Jika hanya cedera thorax saja, maka kodenya adalah S20.-.
Demikianlah, untuk kode cedera tunggal cukup digunakan kode S sedangkan cedera ganda
menggunakan kode T.

2. Prinsip Koding Multipel


Dalam mengkode cedera, prinsip koding ganda (multipel) pada cedera sebagaimana
disebutkan dalam Aturan Koding Morbiditas harus selalu diikuti, sepanjang memungkinkan.
Adapun kategori kombinasi pada cedera multipel disediakan untuk digunakan pada keadaan tidak
terdapatnya rincian yang cukup tentang gambaran kondisi individualnya, atau untuk kebutuhan
tabulasi primer, dimana kode tunggal dirasakan lebih sesuai; selain dari itu, maka cedera sebaiknya
dikode secara terpisah. Oleh karena itu, penulisan kode cedera multipel harus mengacu pada
ketentuan aturan koding morbiditas dan mortalitas pada volume 2 ICD- 10.
Untuk itu, beberapa kategori terkait cedera ganda, memuat keterangan untuk

mengingatkan kaidah koding multipel pada aturan morbiditas, sebagai berikut.1

Gambar 8.3. Contoh Catatan Tentang Kaidah Morbiditas/Mortalitas1

Pada Aturan Koding Morbiditas, pada kondisi ganda atau multipel, maka tata cara
kodingnya adalah diurutkan (sequencing) berdasarkan sumber daya yang digunakan. Apabila
14

terdapat salah satu cedera yang lebih predominan dibandingkan cedera yang lain, maka
diurutkan, yang menjadi kondisi utama adalah cedera yang pre-dominan, sedangkan cedera lain
menjadi kondisi lain. Jika saudara lupa dengan kaidah tersebut, saudara dapat membuka kembali
modul terdahulu tentang Aturan Koding Morbiditas.
Dalam buku Understanding Medical Coding disebutkan bahwa pada kasus-kasus cedera yang
multipel ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan. Apabila dalam satu regio yang sama
terdapat beberapa jenis cedera dengan gradasi yang berbeda, maka kondisi utama adalah cedera

yang lebih berat gradasinya, misalnya:3


a. cedera superfisial seperti abrasi atau kontusio tidak perlu dikode jika pada lokasi yg
samaterdapat cedera yang lebih berat, misalnya open wound atau fraktur; dan
b. bilamana cedera primer seperti misalnya fraktur, juga menimbulkan kerusakan minor pd
pembuluh darah/saraf perifer, maka cedera primer dikode terlebih dulu baru kode tambahan
untuk cedera minornya, demikian pula sebaliknya.

3. Kategori Cedera
Blok kategori pada Bagian S serta kategori T00-T14 dan T90-T98 berisikan kode cedera pada
level kategori 3-karakter yang diklasifikasikan berdasarkan tipe cedera, yaitu sebagai berikut.

Gambar 8.4. Tipe Cedera pada Bab 19 ICD-101

Berdasarkan keterangan di awal bab 19, kita dapat mengetahui tipe-tipe cedera dan
kategorisasinya berdasarkan ICD-10.
15

Superficial injury, meliputi:


Abrasi
Blister /vesikelberisi cairan
Contusion (memar), mencakup bruise dan hematoma

Cedera akibat benda asing superfisial(yang menggores) tanpa adanya luka terbuka mayor Gigitan
serangga (tak berbisa)

Open Wound, meliputi:


Gigitan hewan
Luka iris
Lacerasi
Luka tusuk:
 NOS
 Dengan benda asing (yang penetrasi/menembus)
Fraktur, meliputi :
Fraktur
 Tertutup :
 Comminuted
 Depressed (tertindih)
 Elevated (terangkat )
 Fissured (retak)
 Greenstick Dengan atau
tanpa luka
 Impacted (terhantam/terpukul)
yang lama
 Linear (retak linear) sembuh
 March
 Simple
 Slipped (terpeleset)

Epiphysis
 Spiral
16

 Dislokasi
 Displaced (geser tempatnya)

Fraktur:
 Terbuka:
 Compound (ganda)
 Terinfeksi Dengan atau
 Missile tanpa luka
yang lama
 Dengan Luka Tusuk (puncture) sembuh
 Disertai Benda Asing

Pengecualian
Fraktur:
 Patologis (M84.4):
 Dengan Osteoporosis (M80.-)
 Stress (f r a k t u r akibat tekanan) (M84.3)

Malunion fraktur (M84.0)


Non union fraktur [pseudoarthrosis] (M84.1)

Dislokasi, Terkilir dan Teregang (Sprain and Strain), meliputi:


Avulsi
Lacerasi
 Terkilir (Keseleo) Teregang
 Traumatik: Tulang rawan
pada (kartilago)(Kapsula)
 Hemartrosis Persendian (Joint
 Ruptur capsule) Ligamen
 Subluksasi
 Robekan
17

Cedera pada Saraf dan Chorda Spinalis, meliputi: Lesi komplit atau inkomplit pada chorda
spinalis Lesi pada kontinuitas saraf dan chorda spinalis Traumatik (akibat cedera):
 Pemisahan saraf
 Hematomyelia
 Paralysis (transien)
 Paraplegia
 Quadriplegia

Cedera Pada Pembuluh Darah, meliputi: Avulsi (robekan)


Luka iris Lacerasi
Traumatik (akibat cedera):
 Aneurysma atau fistula (arteriovenous) pada pembuluh darah
 Arterial Hematoma
 Ruptur (pecah)

Cedera pada Otot, Fascia dan Tendon, meliputi: Avulsi


 Luka iris Lacerasi Regangan
pada otot, fascia dan tendon
 Ruptur akibat trauma

Cedera Remuk (Crushing Injury)


Amputasi traumatik (akibat cedera)

Cedera Pada Organ Dalam, meliputi: Cedera (akibat) ledakan


Memar
Cedera benturan (concussion)
Remuk (crushing)
Lacerasi
Traumatik (akibat cedera): pada organ-organ dalam
 Hematoma
 Luka tusuk (puncture)
18

 Pecah (ruptur)
 Robekan (tear)

Cedera Lain dan Tak Spesifik


Selaras dengan susunan tipe cederayang telah disebutkan sebelumnya, maka susunan kategori
dalam Bab 19 juga mengikuti urutan tersebut. Misalnya Blok Kategori Injuries of the Head (S00-

S09) misalnya, akan tersusun mulai dari cedera superfisial, open wound, fraktur, dan seterusnya.1

Gambar 8.5. Susunan Kategori Dalam ICD-101

Jadi, dengan adanya keterangan tipe-tipe cedera tersebut, maka pada kategori 3-
karakter, cukup dicantumkan kategorinya saja tanpa merinci lagi jenis-jenis cederanya. Sebagai
contoh, jika kita mencari kode untuk “hematoma pada dahi” maka kita akan menemui hal-hal
berikut.
Secara legeartis, maka diagnosis “Hematoma pada dahi” akan kita telusuri dengan
menggunakan Lead Term (kata kunci) “hematoma”. Tata cara pemilihan lead term sudah
pernah dibahas pada bagian sebelumnya tentang Tata cara penggunaan ICD-10. Namun,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terminologi yang digunakan dalam buku ICD-10
19

sangat luas variasinya. Dan istilah yang digunakan pun dapat dalam Bahasa Inggris atau
terminologi medis (bahasa Latin atau Greek/Yunani). Terkadang mencari dengan satu istilah atau
terminologi tertentu, belum didapatkan kode yang diharapkan. Dalam hal tidak
ditemukannya kata kunci yang kita cari, maka disarankan untuk menggunakan istilah lain yang
sejenis atau yang merupakan sinonim dari istilah yang kita cari. Anda dapat mengingat kembali
dengan membuka bab terdahulu tentang cara pemilihan lead term. Pada saat kita menelusuri buku
Volume 3, Indeks Alfabetik, jika kita menggunakan lead term “hematoma”, kita akan

menemukan keterangan sebagai berikut.2

Gambar 8.6. Indeks Alfabetik Hematoma2


Ternyata kita tidak dapat menemukan “dahi” atau “forehead” di bawah term
“hematoma”. Namun bukan berarti tidak ada kode yang tepat untuk itu. Mungkin kita harus
mencoba menemukan dengan term yang berbeda. Oleh karena itu, perhatikan bahwa di
belakang/di bawah term hematoma tertulis “see also Injury, superficial” yang berarti petunjuk agar
koder mencoba mencari atau melihat ke term tersebut. Ingatlah bahwa kata “see” dan “see also”
merupakan salah satu tanda baca yang perlu diikuti dalam tata cara koding untuk menemukan kode
yang tepat (baca kembali Bab Konvensi Tanda Baca). Marilah kita lihat apa yang tercantum di

bawah term tersebut.2

Gambar 8.7. Indeks Alfabetik Injury superficial2


20

Dengan term injury, superficial, kita mendapatkan kode S00.8 untuk lokasi forehead (dahi).
Sebagaimana dijelaskan dalam langkah-langkah koding pada modul terdahulu, maka setiap selesai
melakukan pencarian kode pada indeks, jangan lupa untuk melakukan cross- checking ke volume 1
daftar tabulasi untuk memastikan bahwa kode tersebut benar, dan tidak terdapat pengecualian atau
catatan lain yang dapat mengubah kodenya.

Gambar 8.8. Kode Hematoma pada Dahi 1

Jadi, hematoma pada dahi akan dikode sebagai S00.8; Superficial injury of other parts of head
(forehead). Meskipun hematoma tidak secara eksplisit tercantum pada kategori tersebut, namun
pada awal Bab 19 telah tercantum bahwa bruise, hematoma atau contusion tergolong dalam
superficial injury.
Contoh lain adalah diagnosis “lacerasi pada lengan atas”. Setelah dicari dalam Index
Alfabetik (buku Volume 3) menggunakan lead term (kata kunci) “laceration” maka akan

didapatkan sebagai berikut.2

Gambar 8.9. Indeks Alfabetik Laceration 2


21

Di bawah term “laceration” kita tidak mendapatkan kata “arm” (lengan atas), karena di
belakang kata Laceration terdapat kata see also, maka kita harus merujuk ke “Wound, Open”
sebagaimana diperintahkan dalam Indeks. Setelah kita buka “Wound, Open” pada indeks, maka

akan dijumpai hal berikut.2

Gambar 8.10. Indeks Alfabetik Wound, open 2

Maka berdasarkan keterangan pada indeks, Open Wound pada upper arm adalah S41.1.
Sesuai pedoman, kita akan lakukan cross check ke buku Volume 1, dan terlihat hal

berikut.1

Gambar 8.11. Indeks Alfabetik Laceration 2

Jadi laserasi lengan atas = laceration of upper arm = S41.1, meskipun dalam buku hanya tertulis
Open Wound, dan tidak ada istilah laceration tercantum di dalamnya. Hal ini disebabkan
karena di awal Bab 19 sudah ada penjelasan bahwa laceration termasuk dalam kategori Open
Wound.
Demikianlah penjelasan mengapa di awal Bab terdapat keterangan tentang kategori- kategori
cedera yang ada dalam Bab 19, termasuk kategori-kategori yang ada pada fraktur. Keterangan
yang ada dapat membantu koder untuk mengkategorikan suatu fraktur.
22

4. Ketentuan Koding Fraktur


Dalam daftar tabulasi volume 1, setiap kategori “fraktur”, senantiasa terdapat

keterangan berikut.1

Gambar 8.12. Kode Opsional pada Fraktur 2

Jadi, meskipun kode ini hanyalah kode opsional, dalam koding kasus fraktur harus
dinyatakan sebagai tertutup/terbuka. Fraktur tertutup adalah fraktur yang tanpa disertai luka
terbuka pada kulit, sedangkan fraktur terbuka adalah yang disertai luka terbuka pada kulit
(keterangan lebih lengkap dapat Anda lihat pada bab sebelumnya). Jika fraktur tidak
dinyatakan tertutup atau terbuka, maka dianggap tertutup, dengan kode 0.
Di awal bab 19 terdapat keterangan tentang kategori fraktur, baik tertutup (closed) atau

terbuka (open), sehingga apabila dokter hanya menuliskan “greenstick fracture” 1 maka koder
dapat mengasumsikan fraktur tertutup berdasarkan keterangan tersebut (meskipun lebih baik
mengkonfirmasikan pada dokter yang bersangkutan).

Gambar 8.13. Kategori Fraktur Tertutup 2

Sebagaimana telah dijelaskan tentang kaidah koding kondisi ganda, maka pada fraktur ganda
23

(multiple), koding dapat dilakukan sebagai berikut.3


1. Diurutkan (sequencing) dengan kode utama disesuaikan derajat keparahan (severity) dari
fraktur, dan dokter penanggung jawab yang harus menentukan sekuensialnya.
2. Jika tidak ada yang predominan dapat menggunakan kode untuk kondisi ganda (kode
kombinasi) sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Jika tidak dapat dikode kombinasi, maka fraktur dapat dikode terpisah dan diurutkan sesuai
derajat keparahannya.
4. Pada fraktur patologis, fraktur yang terjadi bukan akibat trauma melainkan disebabkan oleh
karena adanya suatu penyakit. Oleh karena itu, selain kode fraktur, perlu ditambahkan pula
kode underlying disease-nya, seperti misalnya: osteoporosis.
Jika dokter menuliskan diagnosis “Fraktur pada tulang rusuk (costae), disertai
hematothorax” maka langkah-langkah kodingnya adalah sebagai berikut.
1) Tentukan lead term pada diagnosis tersebut. Pedoman penentuan lead term telah
pernah dibahas sebelumnya. Jika Anda lupa, silahkan membuka kembali modul
terdahulu tentang Lead term. Pada kasus tersebut ini, dengan penulisan menggunakan
bahasa Indonesia, maka lead term yang tepat untuk diagnosis pertama adalah “fraktur”.
2) Setelah menentukan lead term, langkah pertama adalah mencari kode sementara pada
Indeks alfabetik. Bukalah buku volume 3 (indeks alfabetik) pada seksi yang sesuai.
Fraktur merupakan suatu cedera (injury), sehingga kita akan membuka indeks alfabetik
(volume 3) pada Section 1 Index of Diseases and Nature of Injury pada huruf “F”. Dan
mulailah mencari istilah “Fraktur”.
3) Setelah menemukan lead term Fraktur, maka langkah selanjutnya kita telusuri semua
istilah di bawah kata fraktur untuk menemukan modifier yang menerangkan istilah
fraktur, sesuai dengan penulisan dokter, yaitu pada tulang rusuk (costae, atau ribs).
Sebagaimana telah dijelaskan pada modul terdahulu, di bawah lead term akan terdaftar
modifier-modifier yang menerangkan lead term; dapat berupa lokasi anatomik, sifat,
keterangan, etiologi, dan sebagainya. Jika perlu, Anda boleh membuka kembali bab
terkait.
24

Gambar 8.14. Indeks alfabetik untuk fracture2

Jika ditelusuri di bawah term fraktur, ternyata tidak dijumpai kata costae. Sehingga kita
harus mencoba mencari dengan istilah lain. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
terminologi dalam buku ICD 10 dapat menggunakan terminologi medis (bahasa latin
atau bahasa yunani) atau dalam bahasa Inggris. Jadi, jika kita belum berhasil
menemukan terminologi yang kita cari, maka kita harus pikirkan istilah lain. Dalam hal
tulang rusuk, selain costae, mungkin kita harus mencari ribs (b. Ing).

Gambar 8.15. Indeks alfabetik untuk fracture of ribs2

Setelah kita mencoba mencari dengan terminologi “fracture of ribs”, ternyata dijumpai kode
yang dimaksud. Jadi seorang koder harus mampu mencari terminologi yang tepat berikut kata
alternatifnya, karena ICD-10 dapat menggunakan istilah dalam bahasa Inggris, Yunani ataupun
Latin.
25

4) Setelah mendapatkan term “fracture of ribs” pada indeks, maka di sana tercantum kode
sementara, yaitu S22.3. Disebut kode sementara, karena masih harus dilakukan
pengecekan (cross check) terlebih dahulu ke Daftar Tabulasi (Volume 1).
5) Langkah berikutnya, kita akan cross-check ke volume 1 untuk kode S22.3 tersebut.

Gambar 8.16. Kode untuk fracture of rib2

6) Dalam volume 1 tercantum S22.3 sebagai fracture of rib. Jadi sudah sesuai dengan
diagnosis yang ditulis oleh dokter. Namun koder harus waspada, karena di bawah
kategori S22 terdapat catatan khusus tentang kelengkapan kode fraktur. Pada kode
fraktur harus mencantumkan keadaan terbuka atau tertutup. Apabila tidak dinyatakan
terbuka atau tertutup, maka dianggap tertutup.
7) Oleh karena itu, kode final yang diberikan untuk “fraktur pada tulang rusuk (asumsi
tertutup) adalah: S22.30.
8) Selanjutnya, diagnosis ke dua yaitu hematothorax. Kita akan cari indeks alfabetiknya
terlebih dulu, yaitu pada Section 1 Index of Diseases and Nature of Injury pada huruf
“H”(karena masih termasuk injury) pada volume 3.
26

Gambar 8.17. Indeks alfabetik untuk hematothorax2

Ternyata pada indeks hematothorax terdapat petunjuk cross-references ke


hemothorax.

Maka kita akan telusuri sesuai petunjuk, yaitu ke Hemothorax.2

Gambar 8.18. Indeks alfabetik untuk hemothorax2

Di bawah termhemothorax ternyata ada beberapa pilihan kode, tergantung modifier-


nya. Hemothorax yang disebabkan infeksi bakterial yang non-tuberkulosa kode-nya
adalah J94.2; sedangkan jika hemothorax pada bayi (newborn) adalah P54.8; dan
seterusnya. Nah, adapun kasus kita adalah yang tergolong pada cedera (injury), jadi
modifier yang tepat adalah “traumatic”. Maka hemothorax yang traumatik, kode yang
tepat adalah S27.1.

9) Selanjutnya kita akan cross check ke volume 1 untuk kode tersebut.


27

Gambar 8.19. Kode untuk Hematothorax 2

Ternyata memang benar bahwa kode S27.1 adalah tepat untuk diagnosis “traumatic
hemothorax”. Hanya perlu ditambahkan kode untuk menyatakan ada/tidaknya open wound.
Berhubung tidak ada keterangan, maka diasumsikan tidak ada luka terbuka pada rongga thorax.
Sehingga kode lengkapnya adalah S27.10
10) Dengan demikian, jika dokter menuliskan diagnosis “Fraktur pada tulang rusuk
(costae), disertai hematothorax” maka kodenya adalah S22.30 dan S27.10. Pada kondisi
cedera ganda, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah sequencing atau urutan
koding berdasarkan kondisi yang pre-dominan. Namun pada kasus ini tidak ada
penjelasan tentang predominansi, maka kode ditetapkan sesuai urutan penulisan diagnosis
dokter.

5. Kode Untuk Luka Terbuka yang Menyertai Cedera Lain


Di bawah kategori S06 tentang Cedera Intracranial didapatkan catatan khusus sebagai

berikut.1
28

Gambar 8.20. Kode opsional tambahan terkait open wound yang menyertai 1

Jadi untuk kategori S06, ada atau tidaknya luka terbuka ke arah intracranial diberikan kode
khusus. Demikian pula pada kategori S27 terdapat kode opsional tambahan yang
menunjukkan ada tidaknya open wound pada thorax.

Gambar 8.21. Kode opsional tambahan terkait open wound yang menyertai 1

6. Luka Bakar dan Korosi


Luka Bakar umumnya diklasifikasikan berdasarkan: kedalaman luka, luas area yang
terkena, dan agen penyebab. Istilah Luka bakar (burn) umumnya adalah luka yang diakibatkan
kontak terhadap api/benda panas, sedangkan luka bakar akibat zat kimia disebut Corrosion.
Berdasarkan kedalamannya, sebagaimana tercantum dalam buku ICD-10 volume 3, luka bakar
terbagi menjadi:
1. derajat satu berupa eritema;
2. derajat dua berupa blister (gelembung) atau hilangnya lapisan epidermal; dan
3. derajat tiga bila terjadi nekrosis dalam pada jaringan di bawah kulit, atau kehilangan
seluruh lapisan kulit (full-thickness skin loss).
29

Gambar 8.22. Pada Indeks Alfabetik Tercantum Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman

4. Dan sebagaimana keterangan yang tercantum dalam indeks alfabetik, klasifikasi pada Gambar
8.22 digunakan bersama kategori T20-T25, T29 dan T30.

Gambar 8.23: Kategori T20-T25, T29 dan T301

Selain kedalaman, luka bakar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan luas area yang
terbakar. Umumnya luas area diperlukan untuk pelaporan mortalitas dan kasus, atau jika lokasi
yg terkena tidak dinyatakan secara spesifik. Untuk kategori berdasarkan luas area dapat dilihat pada
30

kategori T31 berikut ini.1

Gambar 8.24. Kategori luka bakar berdasarkan luas area yang terkena1

Hal yang sama juga berlaku pada luka bakar akibat zat kimia (Corrosion). Jika lokasi tidak

dinyatakan secara spesifik, maka dapat digunakan kategori T32.1

Gambar 8.25. Kategori luka korosi berdasarkan luas area yang terkena 1

Pada luka bakar ganda (multiple), koding luka bakar disesuaikan dengan severity-nya. Luka
bakar dengan derajat tertinggi diutamakan. Bila terdapat beberapa luka bakar dengan derajat
kedalaman yang berbeda pada satu lokasi yang sama, maka di-kode sesuai derajat tertinggi.
31

Kategori T29 disediakan jika luka bakar ganda namun tidak menyebutkan dengan
spesifik area multipel yang terkena, melainkan hanya menyebutkan derajat kedalaman luka bakar.
Sebaliknya T30 adalah untuk luka bakar yg tdk jelas area yang terkena, namun hanya menyebutkan
derajat kedalamannya.Adapun T95 adalah untuk gejala sisa dari luka bakar.
Marilah kita coba untuk melakukan koding untuk kasus luka bakar berikut ini.
“Luka bakar dengan nekrosis dalam, pada lengan atas, dan mencapai 9% luas
permukaan tubuh akibat terkena ledakan petasan”.
a. Pertama-tama tentukan lead term yang sesuai untuk kasus tersebut di atas. Sebagaimana
biasa, jika diagnosis tertulis dalam bahas Indonesia, umumnya lead term terletak di depan. Jadi,
lead term yang paling tepat adalah Luka bakar (= Burn). Karena burn termasuk dalam injury,
maka carilah pada Section 1 Index of Diseases and Nature of Injury pada huruf “B”.

Gambar 8.26. Indeks alfabetik pada luka bakar (burn)2

Ternyata di bawah term burn terdapat keterangan tentang derajat kedalaman luka bakar.
Jika melihat keterangan tersebut, maka kita dapat menentukan bahwa luka bakar dengan nekrosis
yang dalam (deep necrosis) termasuk dalam kategori luka bakar derajat tiga. Kategori ini penting
untuk digunakan dalam tahapan koding selanjutnya.
b. Kemudian di bawah lead termburn kita telusuri untuk menemukan modifier selanjutnya, sesuai
penulisan diagnosis dokter, dalam hal ini lokasi luka.
32

Gambar 8.27. Indeks alfabetik pada luka bakar (burn)2

Ternyata di bawah burn, jika kita mencari term “arm” terdapat keterangan “see burn,
limb, upper”. Kemudian saat kita telusuri lebih kebawah dengan terminologi tersebut,
didapatkan bahwa burn pada upper limb (kecuali wrist dan hand), adalah T22.-
Sebagaimana biasa, jika dalam indeks tercantum kode yang diikuti tanda “.-“ (point
dash), maka hal tersebut bermakna bahwa kode yang ditulis dalam indeks belum lengkap,
dan koder harus menyelesaikan pencarian kode pada volume 1. Demikian pula halnya pada kasus
ini. Kode T22.- mensyaratkan pencarian kode selanjutnya pada daftar tabulasi volume 1.
c. Kemudian kita lakukan tahap berikutnya dengan membuka volume 1 pada kategori T22.

Gambar 8.28. Kategori T22 Burn of Upper Limb1


33

Setelah kita buka kategori T22, terdapat beberapa opsi karakter ke-4 subkategori
berdasarkan derajat kedalaman. Pada kasus ini, sebelumnya telah diketahui bahwa luka bakar
dengan derajat tiga. Dengan demikian, maka kode yang tepat adalah T22.3
d. Selanjutnya dalam diagnosis tertulis bahwa luka bakar tersebut mencapai 9% dari total seluruh
luas permukaan tubuh. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kode berdasarkan luas permukaan
tubuh yang terkena luka bakar dapat ditambahkan terhadap kode luka bakar berdasarkan lokasi
dan kedalaman. Untuk mencari kode ini, kita kembali ke indeks alfabetik dengan lead term
“burn”.

Gambar 8.29. Indeks alfabetik “burn” berdasarkan prosentase luka2


e. Terlihat bahwa kode sementara untuk luka bakar untuk luasan kurang dari 10% luas
permukaan tubuh dikode sebagai T31.0. Maka langkah berikutnya adalah melakukan cross
check ke buku volume 1.
34

Gambar 8.30. Kategori T31 luka bakar berdasarkan luas permukaan tubuh1

Dengan demikian, maka diagnosis “Luka bakar dengan nekrosis dalam, pada lengan atas, dan
mencapai 9% luas permukaan tubuh akibat terkena ledakan petasan” akan di kode sebagai
T22.3 dan T31.0.
1) Frosbite
Pada kategori Frostbite, dibagi berdasarkan kedalaman nekrosisnya, dan multiple
region yang terkena.

Gambar 8.31. Kategori Frostbite1

I. KERACUNAN

Dalam koding untuk kondisi yang disebabkan oleh obat-obatan dan zat kimia lain, terdapat
perbedaan antara keracunan (poisoning atau toxic effect) dan efek samping (adverse event).
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 7, yang dimaksud poisoning atau keracunan adalah suatu
kondisi yang disebabkan oleh obat-obatan, ramuan, dan substansi biologik manakala digunakan
secara tidak wajar atau tidak sesuai dengan petunjuk dokter.Beberapa contoh keracunan (poisoning)

adalah:3
1. dosis yg salah akibat suatu error;
2. kesalahan minum obat yg diberikan kepada pasien;
3. overdosis;
4. obat sesuai resep tetapi diminum bersama alkohol; dan
35

5. obat sesuai resep yang diminum bersama obat OTC (obat yang dibeli bebas tanpa resep dokter)
Untuk koding keracunan, tersedia beberapa blok kategori, yaitu sebagai berikut.

Gambar 8.32. Blok Kategori untuk Keracunan Obat-obatan1

Perhatikan keterangan tentang inklusi dan eksklusi yang cukup luas. Misalnya, tidak
mencakup keracunan obat-obatan tertentu yang termasuk dalam zat adiktif (F10-F19).
Kelompok kedua adalah untuk keracunan zat-zat yang bukan obat atau bukan berfungsi sebagai
obat, termasuk makanan, atau bisa/racun, dan zat kimia lain.

Gambar 8.33. Blok Kategori untuk Keracunan Zat-zat Non-medicinalis1

Perhatikan bahwa dalam kategori T51 “alcohol” dimaksud bukan sebagai zat adiktif seperti
36

dalam minuman keras. Jadi kebiasaan mabuk (drunkennes) dan ketergantungan alkohol
(intoksikasi alkohol) tidak masuk dalam kategori ini.
Jika akan mengkode suatu keracunan atau reaksi terhadap penggunaan obat-obatan yang tidak
sewajarnya (salah dosis, salah cara minum, dan lain-lain) maka cara kodingnya adalah: kode
keracunannya terlebih dahulu, baru kode manifestasinya. Jadi jika dokter menuliskan diagnosis
sebagai berikut: “Syncope akibat keracunan obat pestisida golongan Organophosphat”, maka
langkah kodingnya adalah sebagai berikut.
a. Pertama-tama kita cari kata kunci “syncope” dalam indeks alfabetik.

Gambar 8.34. Indeks alfabetik untuk Syncope2

Jadi kode Syncope adalah R55. Merupakan suatu gejala. Ini adalah manifestasi klinis pada
pasien saat masuk dirawat.
b. Selanjutnya kita cari kode terkait keracunannya, yaitu keracunan pestisida golongan
organophosphat. Nah, dalam koding keracunan obat-obatan dan atau zat kimia, maka kita akan
mencari kata kunci pada Indeks Alfabetik Volume 3, pada Section 3 Table of Drugs and
Chemicals. Mungkin saudara masih ingat dengan bab terdahulu tentang Struktur dan Isi ICD-
10, dan Pedoman Penggunaan Indeks Alfabetik.
c. Pada Section 3 kita mencarinya pada huruf “O” untuk zat kimia Organophosphat.
37

Gambar 8.35. Indeks alfabetik untuk Organophosphates2

d. Didapatkan kode keracunan Organophosphate adalah T60.0. Lalu kita akan cross check ke Volume
1

Gambar 8.36. Kode untuk Keracunan Organophosphat1

e. Maka sesuai dengan kaidah koding keracunan, maka diagnosis “Syncope akibat keracunan
obat pestisida golongan Organophosphat”, maka kodingnya adalah ; T60.0, R55.

Berbeda dengan kasus keracunan, maka koding untuk efek samping atau adverse event. Efek
samping obat adalah manakala pasien diberikan atau menerima pengobatan secara benar, namun
mengalami efek samping obat, seperti syok anafilaktik, toxicity, synergistic reaction, side effect,

dan idiosyncratic reaction.3


Blok kategori yang disediakan untuk kategori Efek Samping adalah termasuk dalam koding
Sebab Luar (Excternal Causes), dan akan dibahas pada Bab 9 dan 10 yang akan datang. Namun sekilas
akan kita bahas sedikit terkait tata cara kodingnya. Untuk efek samping, cara kodingnya adalah kode

manifestasi klinisnya terlebih dulu, baru ditambahkan kode terkait efek samping.3
Jadi jika dokter menuliskan diagnosis “dispepsia setelah minum obat analgetik ibuprofen”,
maka kodingnya adalah sebagai berikut.
38

a. Pertama kita buka indeks alfabetik untuk diagnosis dispepsia yang dituliskan oleh
dokter, pada Section 1 huruf “D”.

Gambar 8.37. Indeks Alfabetik untuk Dyspepsia2 Didapatkan kode sementara untuk
dyspepsia adalah K30.
b. Kemudian sebagaimana mestinya, kita akan cross-check ke buku Volume 1.

Gambar 8.38. Kode untuk Dyspepsia1

c. Selanjutnya kita akan cari kode untuk menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan efek
samping dari obat Ibuprofen. Dalam koding efek samping obat maka kita akan merujuk pada
Section 3 Table of Drugs and Chemicals pada Volume 3 ICD-10 huruf “I”. Dan akan didapatkan
kode sementara Y45.2
39

Gambar 8.39. Indeks Alfabetik untuk Efek Samping Ibuprofen2


d. Selanjutnya, tetap kita akan cross check ke volume 1 terlebih dahulu untuk kode Y45.2
tersebut.

Gambar 8.40. Kode untuk efek samping ibuprofen1

e. Dengan demikian maka untuk efek samping ibuprofen adalah kode Y45.2. kode ini
sesungguhnya merupakan kode sebab luar. Penjelasan lebih lanjut tentang kode sebab luar
(external causes) akan dibahas pada bab berikutnya.
f. Jadi, sesuai kaidah koding maka untuk kasus efek samping obat, maka kode yang tepat untuk
diagnosis “dispepsia setelah minum obat analgetik ibuprofen” adalah: K30 dan Y45.2

J. KOMPLIKASI PASCA BEDAH

Berikut ini adalah suatu blok kategori yang berisikan akibat dari tindakan medis dan
perawatan. Perhatikan eksklusi yang sedemikian banyak pada kategori tersebut.
40

Gambar 8.41. Blok Kategori untuk Komplikasi Perawatan dan Tindakan Medis1

Jadi jika dokter menuliskan diagnosis “Post operasi SC, luka jahitan mengalami infeksi”,
maka kodingnya adalah sebagai berikut.
a. Pertama-tama marilah kita cari lead term “Infection” pada Section 1 indeks alfabetik.
Selanjutnya kita telusuri modifier berikutnya, yaitu luka operasi (postoperative wound), maka
akan kita jumpai kode sementara T81.4

Gambar 8.42. Indeks Alfabetik untuk Infeksi Luka Operasi2


41

b. Kemudian langkah selanjutnya adalah cross-check ke buku volume 1.

Gambar 8.43. Kategori T81.4 untuk Infeksi Luka Operasi1

Ternyata benar bahwa kode T81.4 adalah untuk kategori infeksi yang terjadi setelah tindakan.
Perhatikan daftar inklusinya, yaitu meliputi abses pasca operasi, dan sepsis. Juga terdapat catatan
untuk penggunaan kode sekunder bagi sepsis atau absesnya. Biasanya kode sekunder ini digunakan
untuk spesifikasi, untuk kebutuhan penelitian dan statistik. Jika diperlukan, Anda dapat membuka
kembali bab terdahulu, khususnya Aturan Koding Morbiditas, untuk mengingat kembali tentang
cara penggunaan kode opsional tambahan). Perhatikan juga daftar eksklusi yang cukup banyak.
Dalam daftar eksklusi tercantum bahwa infeksi yang disebabkan oleh tindakan medis lain selain
operasi, mungkin tidak termasuk dalam kategori ini. Misalnya infeksi pasca transfusi dan pasca
injeksi, atau infeksi akibat pemasangan prosthesis, implant dan graft. Jadi, kode yang tepat untuk
diagnosis “Post operasi SC, luka jahitan mengalami infeksi”, adalah T81.4
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Keracunan merupakan masuknya zat yang mengandung racun kedalam tubuh baik
melalaui saluran pencernaan, saluran pernafasan, atau melalui kulit atau mukosa yang
menimbulkan timbul gejala klinis. Anda dapat mengalami keracunan oleh beberapa hal,
seperti produk-produk pembersih, vitamin, obat-obatan, alcohol, cat dan tanaman.
Keracunan merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan anak meninggal dunia.
Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak terjadi di Indonesia
secara umum adalah akibat paparan pestisida, obat-obatan, hidrokarbon, bahan kimia
korosif, alcohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin, asam
jengkolat dan beberapa tanaman beracun lainnya.
Kematian karena keracunan telah menurun secara dramatis pada dua decade terakhir,
terutama untuk anak yang berumur kurang dari 5 tahun. Meski demikian penanganan yang
baik akan mencegah perburukan dari keracunan, sehingga perawat perlu untuk member
asuhan keperawatan secara tepat dan hati-hati.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga pembaca
bisa memvalidasi dengan referensi yang tersedia untuk mendapatka teori yang lebih benar.
Kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan makalah yang memuat keracunan ini.

42
DAFTAR PUSTAKA

Berman, Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawtan Klinis Kozier & Erb. Jakarta:EGC

Cecily, Lynn Betz. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta:EGC

Hidayat, Alimul Aziz. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2 cetakan 3 jilid 2. Jakarta :
Salemba Medika.

Kisanti, Annia. 2012. Panduan Lengkap Pertolongan Pertama pada Darurat Klinis. Yogyakarta
:Araska.

Katzung, BG. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salwmba Medika.

National Safety Council. 2006. Pertolongna Pertama dan RJP pada Anak. Jakarta:Arcan.

Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak Ed.4. Jakarta. Gaya Baru.

Sartono. 2002. Racun dan Keracunan cetakan 1. Jakarta : Widya Medika.

Smeltzer, Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Jakarta:EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai