KEMISKINAN
DAN
HARGA BERAS 2
1. Pendahuluan
1
Kepala LPEM-FEUI
2
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Vivi Alatas dan Steve
Mink dari Bank Dunia untuk bantuannya serta kepada Usman dan Bintoro
atas bantuan dalam perhitungan dengan menggunakan data SUSENAS.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada DAI-USAID- Bappenas,
Copyright © 2003 LPEM
Badan Ketahanan Pangan Deptan dan LPEM-FEUI atas kontribusinya
Working Paper No.3/2003 untuk membiayai riset ini.
1
Working Paper 3
mengkaitkannya dengan cara kelompok miskin mengatasi penurunan daya beli selama
krisis ekonomi didominasi dengan baik upaya penurunan kuantitas konsumsi makanan
atau komposisi makanan dari sumber kalori yang mahal menjadi yang lebih murah.
Perubahan ini jika permanen akan mengganggu keseimbangan dalam nutrisi kelompok
miskin khususnya bayi dan anak-anak dalam umur pertumbuhan.
Untuk melihat bagaimana pengaruh harga beras terhadap kelompok miskin menjadi
sangat penting ada baiknya melihat terlebih dahulu profil kemiskinan di Indonesia dengan
memfokuskan pada subsektor pertanian pangan. Dalam tahapan berikutnya akan dilihat
pula status net consumer atau producer dari penduduk baik miskin dan bukan miskin dilihat
dari pelbagai dimensi. Dalam bagian terakhir akan dikaji bagaimana dampak kenaikan
harga beras terhadap pelbagai kelompok penduduk menurut klasifikasi sebelumnya dan
dampaknya terhadap tingkat kemiskinan.
2
Working Paper 3
3
Working Paper 3
garis kemiskinan atau sekitar Rp 15.326 per kapita/bulan di bawah garis kemiskinan
pedesaan. Jika jumlah buruh tani miskin berjumlah sebanyak 4,3 juta jiwa maka dibutuhkan
transfer sebanyak Rp 720 milyar atau 12 persen dari total biaya untuk mengeliminasi
kemiskinan di daerah pedesaan Indonesia pada tahun 1999.
Dekomposisi indeks ini sekali lagi menunjukkan argumen yang kuat bagi pemerintah
untuk menetapkan sektor pertanian pangan sebagai target dalam kebijakan anti kemiskinan.
Tetapi apakah hal ini harus dilakukan dengan kebijakan harga baik output, input atau subsidi
bunga? Jawaban ini sangat tergantung pada beberapa hal. Pertama, tentang pemilikan
aset; kedua, status keluarga miskin di sektor pertanian pangan: apakah net consumer atau net
producer. Keduanya akan dijelaskan dalam bagian di bawah ini.
Argumen kedua yang sering digunakan oleh kelompok pro intervensi adalah
subsektor pertanian pangan (beras) mendominasi perekonomian pedesaan akan
mempunyai multiplier yang besar terhadap sektor-sektor lain di sektor pedesaan. Analisis
dengan menggunakan Tabel Input-Output membenarkan pula argumen ini jika dilihat
dengan menggunakan forward and backward linkages. Tetapi analisis tersebut belum lengkap
mengingat distribusi pemilikan asset khususnya tanah tidak tercermin dalam Tabel Input-
Output. Tabel 5 menunjukan dekomposisi indeks kemiskinan dengan distribusi pemilikan
aset (tanah pertanian). Dari Tabel ini terlihat bahwa sekitar 84 persen orang miskin di
subsektor pertanian pangan adalah buruh tani atau petani gurem dengan luas lahan di
bawah 1 hektar konsisten dengan Tabel 3 dan 4. Hal ini berarti kebijakan harga, apakah
berkaitan dengan subsidi harga output, input atau bunga pinjaman hanya akan
menguntungkan kelompok petani dengan luas tanah di atas 1 hektar yang proporsinya
hanya 3 persen dari penduduk miskin di subsektor pertanian pangan.
Argumen pertama dan kedua masih membenarkan intervensi pemerintah melalui
kebijakan harga jika beberapa kondisi berikut terpenuhi: pertama, seperti yang diterangkan
di atas tentang status kelompok petani gurem yang proporsinya cukup besar 13,19 persen
dari total penduduk miskin yang kepala keluarganya bergantung pada sektor pertanian
pangan. Jawaban akan dijelaskan dalam bagian di bawah ini dengan menggunakan criteria
net benefit ratio. Argumen kedua, berkaitan dengan dinamika pasar tenaga kerja di sektor
pedesaan. Apakah kenaikan harga akan mendorong permintaan tenaga kerja dan terdapat
korelasi positif dan cukup kuat antara kenaikan harga pangan dengan upah buruh tani.
Jika terdapat hubungan yang kuat, dengan elastisitas permintaan dan penawaran tenaga
kerja tertentu hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dari buruh tani. Yang
kedua ini berada di luar cakupan dalam tulisan singkat ini.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah determinan kemiskinan di sektor
ini? Mason (1996) dan Ikhsan (1998) menunjukkan beberapa determinan kemiskinan di
4
Working Paper 3
daerah pedesaan. Pertama, human capital endowment yang belum memadai yang menyulitkan
proses transformasi tenaga kerja antar sektor. Terdapat perbedaan yang mencolok antara
net atau gross ratio antar desa dan kota terutama pada tingkat sekolah menengah pertama
dan atas. Kedua, kuantitas dan kualitas infrastruktur. Kuantitas dan kualitas infrastruktur
mempunyai beberapa peran dalam mengatasi masalah kemiskinan di daerah pertanian
yaitu (i) perbaikan kuantitas dan kualitas infrastruktur akan mengurangi marjin transportasi;
apalagi dikaitkan dengan pelbagai studi yang menunjukkan bahwa peranan biaya
transportasi makin meningkat dalam total harga pada tingkat konsumen. Pengurangan
marjin transportasi akan memberikan tambahan keuntungan bagi para petani; (ii) perbaikan
jumlah stok dan kualitas infrastruktur juga akan memberikan bargaining position yang lebih
kuat bagi petani dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar baik dalam sektor keuangan
dan pemasaran. Ketiga, distribusi pemilikan tanah terutama di Pulau Jawa. Tabel 5
secara nyata menunjukkan betapa kuatnya korelasi antara pemilikan tanah dengan tingkat
kemiskinan. Faktor keempat, berkaitan dengan kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan
pemerintah yang terlalu bias kepada beras selama 30 tahun telah mendistorsi harga relatif
komoditi pertanian lain yang sebetulnya mempunyai keunggulan komparatif dan nilai
tambah yang lebih baik. Pengurangan campur tangan pemerintah melalui UU Pangan
tahun 1992 yang memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman sendiri
sudah merupakan langkah awal positif untuk mengurangi distorsi dalam sektor pertanian.
Masih berkaitan dengan intervensi pemerintah yaitu tingginya campur tangan pemerintah
di sektor ini dalam bentuk tataniaga yang telah menyebabkan petani harus merelakan
sebagian rente ekonomi kepada pihak pedagang. Tabel 6-8 memberikan pelajaran yang
penting tentang bagaimana semestinya intervensi pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan petani yang sekaligus memperbaiki distribusi pendapatan. Intervensi
pemerintah dilakukan justru untuk menjamin mekanisme pasar berjalan. Rendahnya harga
yang diterima petani disebabkan karena tiga hal: pertama, ketidaksempurnaan informasi;
kedua, tingginya biaya transportasi; dan ketiga, ketidaksempurnaan pasar baik karena alasan
pertama dan kedua maupun intervensi pemerintah. Ketidaksempurnaan informasi telah
merupakan penyebab dua penyakit klasik dari petani yaitu kegagalan untuk melakukan
tawar-menawar dan keterbatasan terhadap akses terhadap lembaga keuangan (Stiglitz,
1996). Akibatnya munculnya praktek monopsoni yang merugikan petani yang akhirnya
menyebabkan pangsa harga yang diterima oleh petani cenderung lebih rendah dari
seharusnya. Kasus kopra, cengkeh dan gaplek (Lampung) merupakan contoh dari kasus
ini. Tingginya biaya transportasi akibat kualitas infrastruktur yang buruk telah dapat
dibuktikan dalam banyak kasus. Kasus coklat di Sulawesi Selatan merupakan contoh
yang baik. Harga yang diterima oleh petani makin membaik sejalan dengan perbaikan
infrastruktur. Tambahan lagi harga yang diterima petani yang memiliki akses lebih baik
5
Working Paper 3
6
Working Paper 3
pendapatan dari beras. Argumen ini mengisyaratkan bahwa identifikasi terhadap posisi
rumah tangga berdasarkan klasifikasi net buyers atau net sellers sudah memadai untuk melihat
dampak kenaikan harga beras terhadap masih-masing kelompok rumah tangga.
Secara praktis, identifikasi ini dapat dilakukan dengan mengikuti metodologi yang
dikembangkan oleh Deaton (1989, 1997) yaitu dengan menghitung net benefit ratio yang
didefinisikan sebagai nilai penjualan netto dari suatu komoditi relatif terhadap pendapatan.
NBR ini dapat diinterpretasikan sebagai “ before response”atau impact elasticity dari
pendapatan riil sebagai akibat perubahan harga. NBR ini merupakan dampak segera
(very short run impact) karena mengasumsikan tidak perubahan dalam perilaku produsen
maupun konsumen.
Tabel 9-15 dan Gambar 1-3 menunjukkan tentang perhitungan net benefit ratio
untuk penduduk Indonesia berdasarkan daerah pedesaan dan perkotaan. Tidak
mengherankan jika terlihat mayoritas rumah tangga perkotaan adalah net consumers, dengan
hanya 5 % rumah tangga yang tergolong sebagai net producers. Di daerah pedesaan hampir
45% rumah tangga adalah net producers dari beras. Gambar 1 dan 2 memberikan gambaran
kasar tentang bagaimana dampak jangka pendek dari kenaikan harga beras jika kita ingin
menggolongkan dalam klasifikasi winners dan losers. Karena NBR mencerminkan benefit
sebagai persentase terhadap total konsumsi rumah tangga, garis mendatar (flat line) semua
rumah tangga akan mendapatkan benefit secara proporsional sehingga perubahan harga
tidak akan berupa regressive atau tidak progressive. Slope yang positif menunjukkan kelompok
yang diuntungkan secara proporsional mengarah pada kelompok better off dan sebaliknya
untuk slope yang negatif yang diuntungkan adalah kelompok orang miskin.
Gambar 1 dan 2 menunjukkan slope yang positif, sehingga kenaikan tarif beras
akan menguntungkan kelompok petani kaya di daerah pedesaan dan merugikan kelompok
miskin di perkotaan. Dalam Gambar 2 terlihat bahwa NBR bernilai negatif untuk semua
kelompok pendapatan sebagai konsekuensi dari 96 persen penduduk kota adalah net
consumers. Slope yang positif juga merupakan pencerminan dari Engel law yang menunjukkan
persentase dari pengeluaran untuk beras akan menurun sejalan dengan peningkatan
pengeluaran atau pendapatan.
Dampak total terhadap seluruh penduduk sangat tergantung pada efek kompensasi
negatif yang dialami oleh net consumers dengan manfaat yang diperoleh oleh net produser.
Dengan hanya 29 % dari rumah tangga di Indonesia yang tergolong sebagai net produser
maka setiap 1 orang net produser akan dijumpai 3 orang rumah tangga net consumers. Pesan
yang tersirat dari Gambar 3 adalah pengenaan tarif beras akan lebih merugikan
dibandingkan menguntungkan.
7
Working Paper 3
dimana Dwi1 = the first order approximation dalam perubahan tingkat kesejahteraan untuk
rumah tangga i sebagai akibat perubahan harga beras.
3
Terdapat kejanggalan dalam data Susenas 1999 ini terutama yang menyangkut posisi rumah tangga di Nusa
Tenggara Timur. Propinsi ini dikenal sebagai propinsi yang minus dalam produksi beras sehingga terasa
janggal jika memiliki posisi dominan dalam net producer beras. Dugaan awal kesalahan terdapat pada kesalahan
dalam inflation factor rumah tangga pedesaan di NTT yang terlalu besar. Data sampel Susenas menunjukkan
posisi rumah tangga konsumen yang lebih dominan dan lebih masuk akal melihat karakteristik daerah ini.
8
Working Paper 3
Sementara itu after response income effect dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
Dwi2 /xoi = Dporp / porp PRir + ½ (Dporp / porp )2 PRir errs - Dporc / porc CRir -
½ (Dporp / porp )2 CRir errd ………………………. .(2)
dimana: Dwi2 = the second order approximation dalam perubahan tingkat kesejahteraan untuk
rumah tangga i sebagai akibat perubahan harga beras.
err = Elastistas Penawaran
s
Catatan penting dari formula di atas, jika elastisitas permintaan dan penawaran sama
dengan nol, maka persamaan (2) adalah identik dengan persamaan (1). Jika hal ini terjadi
–da lamk asusda mpa ks e ke
tika–da mpa kk enaika
n1 % ha rgapa di
/be r
ast e
rha dap
pendapatan adalah posisi net benefit ratio dikalikan 1%. Perkiraan ini mengasumsikan
perubahan harga pada tingkat produsen akan secara penuh ditransmisikan dalam
perubahan harga konsumen. Asumsi ini cenderung sangat longgar mengingat pada saat
harga padi meningkat 1%, harga beras cenderung meningkat lebih tinggi dari 1% sementara
sebaliknya pada saat harga padi mengalami penurunan, harga beras menurun kurang dari
proporsional. Tambahan asumsi lain yang penting dalam menghitung dampak jangka
pendek adalah:
Elastisitas penawaran padi terhadap harga: 0,3
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT miskin: - 0,975
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT menengah: - 0,701
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT kaya: - 0,508
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT kota : - 0,504
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT desa : - 0,707
4
Lihat Minot dan Goletti (2000) untuk derivasi lengkap dari formula tersebut. Formula di atas merupakan
pengembangan dari formula yang dikembangkan oleh Deaton (1989).
9
Working Paper 3
Tabel-tabel 16-18 menunjukkan baik dampak seketika maupun dampak jangka pendek
(after response impact) yang hasilnya dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dilihat dari dampak
seketika, seperti diduga semula, penduduk di kota akan mengalami dampak yang lebih
besar dibandingkan penduduk desa, dan penduduk di luar Jawa akan mengalami
penurunan tingkat kesejahteraan lebih besar dibandingkan dengan penduduk di Jawa.
Bahkan penduduk desa di luar Jawa mengalami penurunan tingkat kesejahteraan yang
lebih besar dibandingkan dengan penduduk kota di Jawa yaitu 1,18 persen (Desa luar
Jawa) dan 1,03 (Kota-Jawa). Jika penyesuaian di antara produsen dan konsumen
diperhitungkan, terlihat dampak penurunan pendapatan riil menjadi lebih moderat. Bahkan
di daerah pedesaan Jawa, kenaikan harga beras relatif netral. Kedua, masih berkaitan
dengan dampak seketika, disagregasi menurut propinsi menunjukkan, penduduk di
propinsi-propinsi luar Jawa merupakan kelompok yang dirugikan di atas rata-rata
penurunan tingkat kesejahteraan nasional kecuali beberapa daerah pedesaan Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah yang
mengalami penurunan tingkat kesejahteraan secara moderat. Namun gambaran di atas
menunjukkan hampir semua penduduk secara agregat mengalami penurunan tingkat
pendapatan riil. Gambaran ini sedikit berbeda jika dampak penyesuaian di tingkat produsen
dan konsumen dimana terdapat dua propinsi yang mengalami peningkatan pendapatan
yaitu penduduk di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi selebihnya tetap
mengalami penurunan dalam pendapatan riilnya. Ketiga, Tabel 18 menunjukkan bahwa
kelompok orang miskin dirugikan secara disporposional akibat kenaikan harga beras
terlepas dari lokasi penduduk miskin bertempat tinggal. Penduduk miskin mengalami
penurunan tingkat kesejahteraan lebih dua kali lipat dibandingkan penduduk bukan miskin
yaitu 1,72 % penurunan dalam pendapatan riil untuk kelompok miskin dibandingkan
minus 0,81 % untuk kelompok bukan miskin. Perbandingan ini makin mencolok jika
kita membandingkan antara penurunan pendapatan riil penduduk miskin di daerah
perkotaan luar Jawa dengan penurunan pendapatan riil penduduk bukan miskin di Pulau
Jawa dimana perbandingannya mencapai 18 kali (minus 2,29 % dan minus 0,13%).
Penyesuaian di sisi produsen dan konsumen menyebabkan gambaran ini lebih buruk lagi
dimana penduduk bukan miskin di pedesaan Jawa yang menikmati peningkatan
pendapatan 0,27 persen sebagai akibat peningkatan harga. Keempat, ketiga poin di atas
menunjukkan kenaikan harga beras mempunyai dampak bukan hanya penurunan
pendapatan riil melainkan dampak distribusi pendapatan. Dampak distribusi pendapatan
init e rjadida l
am be ber
a padi me ns iy aituda ripendu du kk ot
ak edesa–y a ngmu ng
kin
diharapkan; dan dua dampak yang tidak diinginkan yaitu dari penduduk luar Jawa kepada
penduduk Jawa dan dari penduduk miskin kepada penduduk bukan miskin. Perhitungan
10
Working Paper 3
ini sekali lagi menunjukkan kebijakan proteksi beras cenderung anti poor walaupun belum
memperhitungkan dampak dinamika dalam pasar tenaga kerja5.
5
Dinamika di pasar tenaga kerja sektor pedesaan dihambat oleh kenyataan bahwa rata-rata pemilikan tanah
sebesar 0,25 hingga 0,30 ha sehingga diperkirakan kenaikan harga tidak ditransmisikan melalui kenaikan
permintaan tenaga kerja dan upah.
11
Working Paper 3
5. Kesimpulan
Uraian dalam bagian sebelumnya menunjukkan bahwa berbeda dengan pandangan yang
dipercayai oleh masyarakat, kenaikan harga beras terutama dengan melakukan proteksi
akan memberikan implikasi yang negatif terhadap orang miskin. Dengan kata lain,
kebijakan harga beras yang protektif merupakan kebijakan anti orang miskin. Setiap
10% kenaikan harga beras identik dengan kenaikan 1% penduduk miskin atau dengan
kata lain lebih dari dua juta penduduk Indonesia jatuh miskin akibat kenaikan harga
beras 10%.
Kenaikan harga beras juga mengandung dimensi distribusi yang tidak diinginkan
yaitu:
· Terjadi transfer pendapatan dari penduduk luar Jawa kepada penduduk Jawa
· Terjadi transfer dari penduduk kota kepada penduduk desa
· Tetapi transfer pendapatan tersebut berasal dari penduduk di propinsi miskin
kepada penduduk propinsi kaya atau penduduk miskin kepada penduduk kaya.
6
Cara perhitungan biaya penanggulangan kemiskinan adalah sebagai berikut. Pertama, menghitung poverty
income gap yaitu dengan membagi poverty gap indeks dengan headcount index. Angka ini menunjukkan berapa
jarak antara rata-rata pendapatan kelompok dengan garis kemiskinan. Kedua, kalikan poverty income gap dengan
garis kemiskinan akan menghasilkan nilai moneter dari income gap. Ketiga, kalikan dengan jumlah penduduk
miskin untuk mendapatkan biaya agregat per bulan dan per tahun.
12
Working Paper 3
13
Working Paper 3
6. Daftar Pustaka
Alatas, Vivi. (2001), A Short Note on Rice Price Policy in Indonesia, Mimeo.
Mason, Andrew. (1996),Targeting the Poor in Rural Java. IDS Bulletin, Vol.27 (1):67-82
Mellor, John. Food Policy and Income Distribution in low-income countries, Economic
Development and Cultural Change, 27(1):1-26
14
Working Paper 3
Gambar 1:
Distribution of Net Benefit Ratio for Rural Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure for All Indonesia)
.040623
-.017443
.001047 98.9916
xx
Gambar 2:
Distribution of Net Benefit Ratio for Urban Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure for All Indonesia)
-.031005
-.240633
.078513 99.0692
xx
15
Working Paper 3
Gambar 3:
Distribution of Net Benefit Ratio for All Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure)
.009468
-.054139
.001047 98.991
xx
Gambar 4:
Seller to Producer Ratio
0.82
0.80
0.78
0.76
0.74
Total
Rural
0.72
0.70
0.68
0.66
0.64
Poor Near Poor Not Poor
16
Working Paper 3
Gambar 5:
Perubahan Indeks Kemiskinan Akibat Kenaikan Harga Beras 10 Persen
3.00
NTB-D
2.50
Jambi-D NTT-K
2.00 Maluku-K
NTB-K
Persentase Point Perubahan
Bengkulu-K
1.50 Aceh-K Jatim-K
Jabar-K
Jateng-K NTT-D Kalsel-K
Bengkulu-DJabar-D Bali-K Kalteng-K
Kalbar-D Sulteng-K
Sumsel-D
Sumsel-K Kaltim-D Sulsel-K
1.00 Sumut-D Jambi-K Yogya-D Kalsel-D Sultra-K Irian Jaya-D
Lampung-K
Aceh-D Lampung-D Jatim-D
Sumut-K Yogya-K Sulut-D
0.50 Jateng-D Sulteng-D
Sultra-D
Kalbar-K Sulut-K
Kaltim-K
Riau-K
Sumbar-D
Riau-D Irian Jaya-K
Sumbar-K Jakarta Bali-D
Sulsel-D
0.00 Kalteng-D
0 10 20 30 40 50 60
Maluku-D
-0.50
Gambar 6:
Perubahan Indeks Headcount Akibat Perubahan Harga Beras
dan Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga
Perubahan HCI
17
Working Paper 3
Gambar 7:
Persentase Kenaikan Indeks Kemiskinan Akibat Perubahan Harga Beras
16.00
14.00
12.00
Persen Perubahan
10.00
Jawa Kota
Luar Jawa Kota
8.00 Jawa Desa
Luar Jawa Desa
Total
6.00
4.00
2.00
0.00
HCI PGAP SPGAP
Gambar 8:
Perubahan Indeks Jurang Kemiskinan Akibat Kenaikan 10% Harga Beras
Perubahan pov. Gap
18
Working Paper 3
Tabel 1
Poverty Line and Number of Population Below the Poverty Line 1976-2000
Notes :
a/ Susenas of Februari based on the 1998 standard which is adjusted to account for the shift in consumption
pattern of the respective year.
b/ Based on Susenas of December 1998
c/ Based on Susenas of February (regular) 1999
19
Working Paper 3
Tabel 2
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Kelompok Lapangan Usaha, 1999
20
Working Paper 3
Tabel 3
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Status Pekerjaan, 1999
Dekomposisi Indeks Kemiskinan Menurut Status Pekerjaan, 1999
% Kontribusi Terhadap Total
LAPANGAN USAHA/DAERAH STATUS PEKERJAAN Penduduk Head Poverty Squared Head Poverty Squared
Miskin Count Gap Pov Gap Count Gap Pov Gap
PERTANIAN PANGAN/ DESA Bekerja Sendiri 16.49 30.16 5.74 1.67 16.49 15.76 15.04
Dibantu Oleh Pekerja Sementara 57.55 34.99 7.12 2.25 57.55 58.78 61.17
Dibantu Oleh Pekerja Permanen 0.83 23.30 5.22 1.55 0.83 0.93 0.91
Pekerja Swasta 24.17 46.83 9.10 2.58 24.17 23.56 21.97
Pekerja Keluarga 0.96 32.49 6.59 1.88 0.96 0.98 0.92
Total 100 36.07 7.19 2.19 100 100 100
Tabel 4
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Tipe Pekerjaan, 1999
PERTANIAN PANGAN/ DESA Profesional dan Teknikal 0.08 26.76 5.73 1.42 0.08 0.09 0.07
Juru Tulis 0.04 19.24 2.86 0.50 0.04 0.03 0.02
Pekerja Penjual 0.01 18.99 2.79 0.41 0.01 0.01 0.01
Pekerja Jasa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petani, Pekerja Petani 99.70 36.11 7.20 2.19 99.70 99.78 99.84
Pekerja Produksi dan Oprtr Trpt 0.16 33.32 3.61 0.73 0.16 0.09 0.06
Total 100 36.07 7.19 2.19 100 100 100
21
Working Paper 3
Tabel 5
Dekomposisi Indeks Kemiskinan
menurut Kelompok Lapangan Usaha dan Luas Lahan, 1999
Tabel 6
Indonesia: The Impact of Tax Reduction and Deregulation on Farmers ;
Farm Gate Prices as Percentage of Wholesale Prices in Consuming Area
Source : Persepsi Daerah Report, IBRD TA and ASEM Trust Fund, 1999.
22
Tabel 7
Perbandingan Sistem Pemasaran
Untuk Beberapa Komoditi Dalam Era Tata Niaga di Indonesia
23
Working Paper 3
Tabel 8
Perbandingan Pangsa Harga yang Diterima Petani dengan Harga Ekspor
Tabel 9
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras berdasarkan Desa-Kota
24
Working Paper 3
Tabel 10
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras berdasarkan Propinsi
25
Working Paper 3
Tabel 11
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras
berdasarkan Status Kemiskinan dan Daerah
Jumlah Rumah Tangga Persentase Terhadap Total
Daerah/Kategori Zero Net Net Zero Net Net
Total
Position Producer Consumer Position Producer Consumer
Kota Jawa Miskin 0 285738 2719550 3005288 0.0 9.5 90.5
Hampir Miskin 0 172110 2053900 2226010 0.0 7.7 92.3
Bukan Miskin 0 336208 8064227 8400435 0.0 4.0 96.0
Bukan Jawa Miskin 0 62849 587875 650724 0.0 9.7 90.3
Hampir Miskin 0 36389 768907 805296 0.0 4.5 95.5
Bukan Miskin 0 158878 4294973 4453851 0.0 3.6 96.4
Desa Jawa Miskin 0 2742936 3232745 5975681 0.0 45.9 54.1
Hampir Miskin 1137 1982919 2107944 4092000 0.0 48.5 51.5
Bukan Miskin 2201 2960263 3776746 6739210 0.0 43.9 56.0
Bukan Jawa Miskin 0 1512031 1644286 3156317 0.0 47.9 52.1
Hampir Miskin 0 1135091 1327372 2462463 0.0 46.1 53.9
Bukan Miskin 717 3373368 5639709 9013794 0.0 37.4 62.6
Kota Jawa+Bukan Jawa Miskin 0 348587 3307425 3656012 0.0 9.5 90.5
Hampir Miskin 0 208499 2822807 3031306 0.0 6.9 93.1
Bukan Miskin 0 495086 12359200 12854286 0.0 3.9 96.1
Desa Miskin 0 4254967 4877031 9131998 0.0 46.6 53.4
Hampir Miskin 1137 3118010 3435316 6554463 0.0 47.6 52.4
Bukan Miskin 2918 6333631 9416455 15753004 0.0 40.2 59.8
Kota+Desa Jawa+Bukan Jawa Miskin 0 4603554 8184456 12788010 0.0 36.0 64.0
Hampir Miskin 1137 3326509 6258123 9585769 0.0 34.7 65.3
Bukan Miskin 2918 6828717 21775655 28607290 0.0 23.9 76.1
Tabel 12
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan Desa-Kota
26
Working Paper 3
Tabel 13
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan Propinsi
Tabel 14
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras
berdasarkan Keluarga Miskin dan Bukan Miskin
Kota Jawa+Luar Jawa Miskin 312176 78295 10879 25.08 3.5 -21.60
Hampir Miskin 452498 89721 10683 19.83 2.4 -17.47
Bukan Miskin 946677 97207 8884 10.27 0.9 -9.33
Desa Miskin 271314 86051 44730 31.72 16.5 -15.23
Hampir Miskin 366512 98634 61118 26.91 16.7 -10.24
Bukan Miskin 574280 107227 69988 18.67 12.2 -6.48
Kota+Desa Jawa+Luar Jawa Miskin 282996 83833 35052 29.62 12.4 -17.24
Hampir Miskin 393704 95815 45169 24.34 11.5 -12.86
Bukan Miskin 741611 102724 42532 13.85 5.7 -8.12
28
Working Paper 3
Tabel 15
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan
Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga
Tabel 16
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10% Desa - Kota
29
Working Paper 3
Tabel 17
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10%
30
Working Paper 3
Tabel 18
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10% Daerah - Kategori
Tabel 19
Dampak Kenaikan Harga Beras Sebesar 10% terhadap Indeks Kemiskinan
berdasarkan Desa-Kota, Jawa dan Luar Jawa
Kota Total 18.19 3.48 1.02 19.34 3.79 1.13 1.15 0.31 0.11
Jawa 21.75 4.32 1.30 22.99 4.68 1.44 1.24 0.36 0.14
Luar Jawa 10.64 1.69 0.43 11.58 1.89 0.49 0.94 0.20 0.06
Desa Total 27.86 5.34 1.54 28.76 5.65 1.67 0.90 0.31 0.13
Jawa 35.54 6.81 1.92 36.46 7.18 2.08 0.92 0.37 0.16
Luar Jawa 19.25 3.69 1.12 20.14 3.94 1.21 0.89 0.25 0.09
Total 24.08 4.61 1.34 25.08 4.92 1.46 1.00 0.31 0.12
31
Working Paper 3
Tabel 20
Dampak Kenaikan Harga Beras Sebesar 10%
terhadap Indeks Kemiskinan
berdasarkan Propinsi dan Desa-Kota
32