Anda di halaman 1dari 32

Working Paper 3

KEMISKINAN
DAN
HARGA BERAS 2
1. Pendahuluan

B agian ini akan mengupas tentang bagaimana dampak


dari perubahan suatu rezim harga beras terhadap
kelompok miskin. Assessment ini menjadi sangat penting
mengingat ada pertentangan antara dua kelompok yang
melihat masalah perubahan rezim harga beras dari sisi yang
berbeda dengan menggunakan kelompok orang miskin
sebagai pokok bahasan. Di satu sisi, terdapat kepercayaan
yang kuat di masyarakat bahwa meningkatkan harga beras
akan mendorong penurunan kemiskinan yang lebih cepat.
Sementara di pihak lain kelompok pro liberalisasi harga
mengingatkan bahwa mayoritas kelompok miskin di
daerah pedesaan termasuk yang menggantungkan sumber
pendapatan berasal dari subsektor pertanian pangan
merupakan net consumer sehingga setiap kenaikan harga
Mohamad Ikhsan 1 beras akan meningkatkan jumlah orang miskin. Kenaikan
harga beras akan mengganggu nutrisi minimum kelompok
miskin mengingat dominasi beras dalam diet kelompok
miskin. Bundel garis kemiskinan BPS atau garis kemiskinan
alternatif seperti Bank Dunia dan LPEM menunjukkan
sekitar 60-65 persen pengeluaran untuk makanan dari
kelompok miskin berasal dari beras. Menarik pula

1
Kepala LPEM-FEUI
2
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Vivi Alatas dan Steve
Mink dari Bank Dunia untuk bantuannya serta kepada Usman dan Bintoro
atas bantuan dalam perhitungan dengan menggunakan data SUSENAS.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada DAI-USAID- Bappenas,
Copyright © 2003 LPEM
Badan Ketahanan Pangan Deptan dan LPEM-FEUI atas kontribusinya
Working Paper No.3/2003 untuk membiayai riset ini.

1
Working Paper 3

mengkaitkannya dengan cara kelompok miskin mengatasi penurunan daya beli selama
krisis ekonomi didominasi dengan baik upaya penurunan kuantitas konsumsi makanan
atau komposisi makanan dari sumber kalori yang mahal menjadi yang lebih murah.
Perubahan ini jika permanen akan mengganggu keseimbangan dalam nutrisi kelompok
miskin khususnya bayi dan anak-anak dalam umur pertumbuhan.
Untuk melihat bagaimana pengaruh harga beras terhadap kelompok miskin menjadi
sangat penting ada baiknya melihat terlebih dahulu profil kemiskinan di Indonesia dengan
memfokuskan pada subsektor pertanian pangan. Dalam tahapan berikutnya akan dilihat
pula status net consumer atau producer dari penduduk baik miskin dan bukan miskin dilihat
dari pelbagai dimensi. Dalam bagian terakhir akan dikaji bagaimana dampak kenaikan
harga beras terhadap pelbagai kelompok penduduk menurut klasifikasi sebelumnya dan
dampaknya terhadap tingkat kemiskinan.

2. Profil Kemiskinan di Indonesia


Mayoritas orang miskin menggantungkan nasibnya pada sektor pertanian. Data Susenas
tahun 1999 menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi 55,26 persen
dari total poverty incidence di Indonesia. Gambaran ini terjadi baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan dimana poverty incidence di kedua daerah tergolong tinggi. Di daerah
perkotaan misalnya walaupun hanya 19 persen dari tingkat kemiskinan berasal dari sektor
pertanian tetapi poverty incidence t
ergolongpa l
ingt ingg i
. Seme ntar
adi daera hpe desaan–
yangme rupakank on tri
b utord arit
igaper e
mp atkemi skin andi Indone si
a–s ektorpe r
tanian
bukan hanya mempunyai kontribusi sebesar 67 persen dari poverty incidence, tetapi juga
mempunyai tingkat kemiskinan yang paling tinggi dilihat dari semua ukuran kemiskinan
yang ada. Yang lebih mengkuatirkan adalah ukuran kemiskinan lainnya yaitu poverty gap –
yang menggambarkan perbedaan antara pendapatan rata-rata kelompok miskin dengan
garisk emiskinan–da ni ntens i
ta
sk emi ski
nan–y angdi tunju kka
nol ehi nde kssquared
poverty gap –di sektorpe rtanianj ugate
rg ol
ongt i
ng gi.Mi salnyad alamTabel 2 ditunjukkan
poverty gap di sektor pertanian adalah dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor
non pertanian dan intensitas kemiskinan 2,21 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor
nonpe rtanian–ba ndi ng kande ng a
npe rbanding ans erupaj i
kaheadcount index yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yang mencapai 1,79 kali.
Gambaran agregat di atas memberikan implikasi kebijakan yang sangat luas.
Pertama, walaupun tingkat kemiskinan di daerah pedesaan (dan sektor pedesaan) telah
mengalami penurunan yang cukup signifikan, tetapi kemiskinan di daerah pedesaan dan
sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama. Kedua, alokasi
anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapatkan prioritas mengingat

2
Working Paper 3

besarnya kedalaman tingkat kemiskinan di daerah pedesaan dan pertanian. Ketiga,


tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti kemiskinan di sektor pertanian
mesti didesain lebih hati-hati mengingat heterogenitas dalam faktor-faktor yang
menyebabkan kemiskinan tersebut.
Tetapi harus disadari pula sektor pertanian sangat luas mulai pertanian pangan,
kehutanan hingga perikanan. Tabel 2 menunjukkan disagregasi dari poverty incidence dalam
sektor pertanian yang menunjukkan bahwa kondisi kesejahteraan dalam sektor pertanian
pangan bukan merupakan yang terburuk di antara subsektor-subsektor dalam pertanian.
Poverty incidence di subsektor pertanian pangan adalah 36 % sementara di beberapa subsektor
seperti kehutanan dan peternakan mempunyai tingkat kemiskinan yang lebih tinggi yaitu
40 persen dan 44 persen.
Yang menarik pula jika indeks jurang kemiskinan (poverty gap) atau indeks kedalaman
kemiskinan (squared poverty gap) digunakan kontribusi sektor pertanian pangan mempunyai
indeks yang lebih tinggi yang memberikan dua implikasi penting. Pendapatan rata-rata
kelompok miskin yang bekerja di sektor pangan berada lebih jauh di bawah garis
kemiskinan relatif dibandingkan pendapatan per kapita kelompok miskin di subsektor
pertanian lainnya dengan asumsi tingkat tabungan yang relatif sama di antara penduduk
miskin ini. Hal ini memberikan implikasi dibutuhkan transfer yang relatif besar untuk
mengatasi kemiskinan di sektor pertanian pangan ini.
Tabel 2 menunjukkan pula distribusi pendapatan di antara kelompok miskin
subsektor pertanian pangan relatif lebih buruk dibandingkan subsektor lainnya. Hal ini
memberikan implikasi bahwa baik kebijakan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi
(pro growth) dan pro equity akan membantu pengentasan kemiskinan.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan dekomposisi dari indeks kemiskinan berdasarkan
status dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga. Terlihat bahwa 57 persen penduduk
miskin dalam subsektor pertanian pangan adalah kepala keluarga yang dibantu dengan
pekerja sementara disusul oleh buruh tani sebesar 24 persen. Sementara jika dilihat
berdasarkan jenis pekerjaan, 99 persen penduduk miskin dalam subsektor pertanian
pangan adalah petani atau buruh tani. Tabel tersebut juga menunjukkan 35% petani yang
dibantu oleh pekerja sementara adalah tergolong penduduk miskin dan 47 persen buruh
tani tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum. Untuk kelompok pertama income
gap yaitu perbedaan pengeluaran rata-rata kelompok miskin dengan garis kemiskinan
mencapai Rp 16.048,8 per kapita per bulan. Jumlah petani dengan dibantu pekerja keluarga
(beserta tanggungannya) yang tergolong miskin adalah sekitar 10,2 juta maka dibutuhkan
sekitar Rp 1,96 trilyun per tahun transfer untuk mengangkat kelompok ini dari kemiskinan.
Sementara pengeluaran kelompok buruh tani miskin ini adalah sekitar 20 persen di bawah

3
Working Paper 3

garis kemiskinan atau sekitar Rp 15.326 per kapita/bulan di bawah garis kemiskinan
pedesaan. Jika jumlah buruh tani miskin berjumlah sebanyak 4,3 juta jiwa maka dibutuhkan
transfer sebanyak Rp 720 milyar atau 12 persen dari total biaya untuk mengeliminasi
kemiskinan di daerah pedesaan Indonesia pada tahun 1999.
Dekomposisi indeks ini sekali lagi menunjukkan argumen yang kuat bagi pemerintah
untuk menetapkan sektor pertanian pangan sebagai target dalam kebijakan anti kemiskinan.
Tetapi apakah hal ini harus dilakukan dengan kebijakan harga baik output, input atau subsidi
bunga? Jawaban ini sangat tergantung pada beberapa hal. Pertama, tentang pemilikan
aset; kedua, status keluarga miskin di sektor pertanian pangan: apakah net consumer atau net
producer. Keduanya akan dijelaskan dalam bagian di bawah ini.
Argumen kedua yang sering digunakan oleh kelompok pro intervensi adalah
subsektor pertanian pangan (beras) mendominasi perekonomian pedesaan akan
mempunyai multiplier yang besar terhadap sektor-sektor lain di sektor pedesaan. Analisis
dengan menggunakan Tabel Input-Output membenarkan pula argumen ini jika dilihat
dengan menggunakan forward and backward linkages. Tetapi analisis tersebut belum lengkap
mengingat distribusi pemilikan asset khususnya tanah tidak tercermin dalam Tabel Input-
Output. Tabel 5 menunjukan dekomposisi indeks kemiskinan dengan distribusi pemilikan
aset (tanah pertanian). Dari Tabel ini terlihat bahwa sekitar 84 persen orang miskin di
subsektor pertanian pangan adalah buruh tani atau petani gurem dengan luas lahan di
bawah 1 hektar konsisten dengan Tabel 3 dan 4. Hal ini berarti kebijakan harga, apakah
berkaitan dengan subsidi harga output, input atau bunga pinjaman hanya akan
menguntungkan kelompok petani dengan luas tanah di atas 1 hektar yang proporsinya
hanya 3 persen dari penduduk miskin di subsektor pertanian pangan.
Argumen pertama dan kedua masih membenarkan intervensi pemerintah melalui
kebijakan harga jika beberapa kondisi berikut terpenuhi: pertama, seperti yang diterangkan
di atas tentang status kelompok petani gurem yang proporsinya cukup besar 13,19 persen
dari total penduduk miskin yang kepala keluarganya bergantung pada sektor pertanian
pangan. Jawaban akan dijelaskan dalam bagian di bawah ini dengan menggunakan criteria
net benefit ratio. Argumen kedua, berkaitan dengan dinamika pasar tenaga kerja di sektor
pedesaan. Apakah kenaikan harga akan mendorong permintaan tenaga kerja dan terdapat
korelasi positif dan cukup kuat antara kenaikan harga pangan dengan upah buruh tani.
Jika terdapat hubungan yang kuat, dengan elastisitas permintaan dan penawaran tenaga
kerja tertentu hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dari buruh tani. Yang
kedua ini berada di luar cakupan dalam tulisan singkat ini.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah determinan kemiskinan di sektor
ini? Mason (1996) dan Ikhsan (1998) menunjukkan beberapa determinan kemiskinan di

4
Working Paper 3

daerah pedesaan. Pertama, human capital endowment yang belum memadai yang menyulitkan
proses transformasi tenaga kerja antar sektor. Terdapat perbedaan yang mencolok antara
net atau gross ratio antar desa dan kota terutama pada tingkat sekolah menengah pertama
dan atas. Kedua, kuantitas dan kualitas infrastruktur. Kuantitas dan kualitas infrastruktur
mempunyai beberapa peran dalam mengatasi masalah kemiskinan di daerah pertanian
yaitu (i) perbaikan kuantitas dan kualitas infrastruktur akan mengurangi marjin transportasi;
apalagi dikaitkan dengan pelbagai studi yang menunjukkan bahwa peranan biaya
transportasi makin meningkat dalam total harga pada tingkat konsumen. Pengurangan
marjin transportasi akan memberikan tambahan keuntungan bagi para petani; (ii) perbaikan
jumlah stok dan kualitas infrastruktur juga akan memberikan bargaining position yang lebih
kuat bagi petani dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar baik dalam sektor keuangan
dan pemasaran. Ketiga, distribusi pemilikan tanah terutama di Pulau Jawa. Tabel 5
secara nyata menunjukkan betapa kuatnya korelasi antara pemilikan tanah dengan tingkat
kemiskinan. Faktor keempat, berkaitan dengan kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan
pemerintah yang terlalu bias kepada beras selama 30 tahun telah mendistorsi harga relatif
komoditi pertanian lain yang sebetulnya mempunyai keunggulan komparatif dan nilai
tambah yang lebih baik. Pengurangan campur tangan pemerintah melalui UU Pangan
tahun 1992 yang memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman sendiri
sudah merupakan langkah awal positif untuk mengurangi distorsi dalam sektor pertanian.
Masih berkaitan dengan intervensi pemerintah yaitu tingginya campur tangan pemerintah
di sektor ini dalam bentuk tataniaga yang telah menyebabkan petani harus merelakan
sebagian rente ekonomi kepada pihak pedagang. Tabel 6-8 memberikan pelajaran yang
penting tentang bagaimana semestinya intervensi pemerintah untuk meningkatkan
pendapatan petani yang sekaligus memperbaiki distribusi pendapatan. Intervensi
pemerintah dilakukan justru untuk menjamin mekanisme pasar berjalan. Rendahnya harga
yang diterima petani disebabkan karena tiga hal: pertama, ketidaksempurnaan informasi;
kedua, tingginya biaya transportasi; dan ketiga, ketidaksempurnaan pasar baik karena alasan
pertama dan kedua maupun intervensi pemerintah. Ketidaksempurnaan informasi telah
merupakan penyebab dua penyakit klasik dari petani yaitu kegagalan untuk melakukan
tawar-menawar dan keterbatasan terhadap akses terhadap lembaga keuangan (Stiglitz,
1996). Akibatnya munculnya praktek monopsoni yang merugikan petani yang akhirnya
menyebabkan pangsa harga yang diterima oleh petani cenderung lebih rendah dari
seharusnya. Kasus kopra, cengkeh dan gaplek (Lampung) merupakan contoh dari kasus
ini. Tingginya biaya transportasi akibat kualitas infrastruktur yang buruk telah dapat
dibuktikan dalam banyak kasus. Kasus coklat di Sulawesi Selatan merupakan contoh
yang baik. Harga yang diterima oleh petani makin membaik sejalan dengan perbaikan
infrastruktur. Tambahan lagi harga yang diterima petani yang memiliki akses lebih baik

5
Working Paper 3

ke Ujungpandang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang kondisi


jalannya lebih buruk. Sementara contoh dari intervensi pemerintah yang menurunkan
pendapatan petani selain dalam kasus cengkeh dan rotan juga terjadi di banyak propinsi
lain. Sebagai contoh di NTT, yang merupakan propinsi yang jurang kemiskinan dan
tingkat kedalaman kemiskinan tertinggi di Indonesia, regulasi atau tataniaga yang
dipaksakan oleh Pemda Tingkat I maupun Tingkat II telah menyebabkan harga petani
sangat rendah dan menyebabkan terjadinya transfer kekayaan dari petani miskin kepada
persekutuan antara aparat pemerintah dan pedagang (World Bank, 1996 dan 1997). UU
No. 18/1997 sebetulnya telah mengurangi otoritas Pemda untuk melakukan pemungutan
pajak atau retribusi yang merugikan masyarakat dan telah memberikan manfaat terhadap
masyarakat miskin yang ditandai dengan kenaikan marjin yang diterima petani (lihat Tabel
6). Namun amandemen UU No.18 yaitu UU No.34 memberikan keleluasaan yang sangat
luas untuk daerah untuk mengimplementasikan pelbagai pajak atau pungutan baru
terutama dikaitkan dengan keterbatasan institusi dalam pemerintah pusat.

3. Perubahan Harga Beras dan Tingkat Kesejahteraan pada


Masyarakat Miskin
Untuk melihat pengaruh kebijakan harga beras terhadap kelompok miskin , pemahaman
terhadap karakteristik dari setiap kelompok masyarakat apakah net consumer atau producer.
(Mellor, 1978). Rumah tangga yang merupakan net seller akan diuntungkan oleh kenaikan
harga beras, sementara rumah tangga yang tergolong net consumer atau net buyer seperti
rumah tangga perkotaan, buruh tani atau rumah tangga non farming akan dirugikan akibat
penurunan harga beras. Adalah menjadi catatan penting bahwa argumen di atas hanya
merupakan dampak langsung dari perubahan harga beras karena rumah tangga di
pedesaan masih dipengaruhi oleh dampak tidak langsung seperti perubahan-perubahan
dalam pasar tenaga kerja dan perubahan dalam permintaan akan kegiatan (barang dan
jasa) non farm. Jika elastisititas produksi dan permintaan tenaga kerja cukup besar, dampak
kenaikan harga beras bagi buruh tani atau rumah tangga di luar sektor perberasan akan
dapat mengkompensasi dampak langsung melalui kenaikan permintaan tenaga kerja
dan upah serta permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa non farm activities. Data
empirik memberikan indikasi kasar bahwa dampak yang terakhir cenderung makin kecil
ditandai dengan rendahnya elastisitas penawaran beras terhadap harga. Kenyataan ini
didukung pula dengan tiga fakta penting lainnya yaitu (i) upah riil (upah buruh tani
dideflasikan dengan harga beras) yang makin menurun yang memberikan indikasi tentang
hubungan harga beras dan upah pertanian yang inelastik; (ii) makin kecilnya peran beras
dalam pola konsumsi rumah tangga pedesaan dan perkotaan dan; (iii) diikuti dengan
makin kurang bergantungnya sumber pendapatan rumah tangga pertanian terhadap

6
Working Paper 3

pendapatan dari beras. Argumen ini mengisyaratkan bahwa identifikasi terhadap posisi
rumah tangga berdasarkan klasifikasi net buyers atau net sellers sudah memadai untuk melihat
dampak kenaikan harga beras terhadap masih-masing kelompok rumah tangga.
Secara praktis, identifikasi ini dapat dilakukan dengan mengikuti metodologi yang
dikembangkan oleh Deaton (1989, 1997) yaitu dengan menghitung net benefit ratio yang
didefinisikan sebagai nilai penjualan netto dari suatu komoditi relatif terhadap pendapatan.
NBR ini dapat diinterpretasikan sebagai “ before response”atau impact elasticity dari
pendapatan riil sebagai akibat perubahan harga. NBR ini merupakan dampak segera
(very short run impact) karena mengasumsikan tidak perubahan dalam perilaku produsen
maupun konsumen.
Tabel 9-15 dan Gambar 1-3 menunjukkan tentang perhitungan net benefit ratio
untuk penduduk Indonesia berdasarkan daerah pedesaan dan perkotaan. Tidak
mengherankan jika terlihat mayoritas rumah tangga perkotaan adalah net consumers, dengan
hanya 5 % rumah tangga yang tergolong sebagai net producers. Di daerah pedesaan hampir
45% rumah tangga adalah net producers dari beras. Gambar 1 dan 2 memberikan gambaran
kasar tentang bagaimana dampak jangka pendek dari kenaikan harga beras jika kita ingin
menggolongkan dalam klasifikasi winners dan losers. Karena NBR mencerminkan benefit
sebagai persentase terhadap total konsumsi rumah tangga, garis mendatar (flat line) semua
rumah tangga akan mendapatkan benefit secara proporsional sehingga perubahan harga
tidak akan berupa regressive atau tidak progressive. Slope yang positif menunjukkan kelompok
yang diuntungkan secara proporsional mengarah pada kelompok better off dan sebaliknya
untuk slope yang negatif yang diuntungkan adalah kelompok orang miskin.
Gambar 1 dan 2 menunjukkan slope yang positif, sehingga kenaikan tarif beras
akan menguntungkan kelompok petani kaya di daerah pedesaan dan merugikan kelompok
miskin di perkotaan. Dalam Gambar 2 terlihat bahwa NBR bernilai negatif untuk semua
kelompok pendapatan sebagai konsekuensi dari 96 persen penduduk kota adalah net
consumers. Slope yang positif juga merupakan pencerminan dari Engel law yang menunjukkan
persentase dari pengeluaran untuk beras akan menurun sejalan dengan peningkatan
pengeluaran atau pendapatan.
Dampak total terhadap seluruh penduduk sangat tergantung pada efek kompensasi
negatif yang dialami oleh net consumers dengan manfaat yang diperoleh oleh net produser.
Dengan hanya 29 % dari rumah tangga di Indonesia yang tergolong sebagai net produser
maka setiap 1 orang net produser akan dijumpai 3 orang rumah tangga net consumers. Pesan
yang tersirat dari Gambar 3 adalah pengenaan tarif beras akan lebih merugikan
dibandingkan menguntungkan.

7
Working Paper 3

Perhitungan lebih rinci menunjukkan hanya beberapa daerah pedesaan di Sumatera


Barat, Jawa Tengah dan NTT dimana posisi rumah tangga net producer lebih dominan
dibandingkan dengan posisi sebagai net consumers3. Hal ini sedikit berbeda dengan
perhitungan net benefit ratio yang menunjukkan secara rata-rata tidak ada satu pun daerah
yang menunjukkan net benefit ratio yang positif. Tabel 11 dan 14 menunjukkan disagregasi
berdasarkan status kemiskinan dimana terlihat kelompok miskin baik di kota dan desa
merupakan net consumers dan memiliki net benefit ratio yang lebih rendah dibandingkan
kelompok pendapatan lainnya. Dengan demikian fakta ini menunjukkan kenaikan harga
beras (deviasi harga beras dari harga internasional) akan merugikan kelompok miskin.
Sebagian dari gambaran ini dapat dijelaskan menggunakan Gambar 4 dimana terlihat
kelompok produsen beras dari kelompok miskin cenderung meng gunakan
pendapatannya untuk konsumsi sendiri dibandingkan dengan kelompok yang lain
sebagaimana ditunjukkan hanya 70% dari petani produsen beras dari kelompok miskin
yang menjual berasnya di pasar. Bandingkan dengan persentase produsen yang berasal
dari kelompok bukan miskin dimana sekitar 80 persen ikut terlibat dalam pasar beras.
Lebih jauh lagi disagregasi posisi rumah tangga berdasarkan lapangan usaha utama
rumah tangga menunjukkan sesuatu yang dramatis yaitu di sektor pertanian pangan
sekalipun net consumers lebih dominan dibanding dengan net producers. Bahkan pangsa
konsumsi berasnya relatif dibandingkan dengan pangsa pendapatan dari kegiatan produksi
padi tidak jauh berbeda dibandingkan rumah tangga yang penghasilan utamanya di luar
sektor pertanian pangan (lihat Tabel 15).
Perhitungan di atas masih tergolong kasar karena hanya melihat dampak jangka
pendek dengan tanpa memperhitungkan reaksi dari konsumen dan produsen sebagai
akibat perubahan harga. Pengembangan lebih lanjut dari perhitungan NBR memungkinkan
perhitungan yang lebih kompleks yang memasukkan elastisitas permintaan dan penawaran
konsumen dan produsen. Secara analitikal, perubahan kesejahteraan sebagai akibat
perubahan harga dapat dibagi menjadi:4

Dwi1 /xoi = Dporp / porp PRir - Dporc / porc CRir………………(


1)

dimana Dwi1 = the first order approximation dalam perubahan tingkat kesejahteraan untuk
rumah tangga i sebagai akibat perubahan harga beras.

3
Terdapat kejanggalan dalam data Susenas 1999 ini terutama yang menyangkut posisi rumah tangga di Nusa
Tenggara Timur. Propinsi ini dikenal sebagai propinsi yang minus dalam produksi beras sehingga terasa
janggal jika memiliki posisi dominan dalam net producer beras. Dugaan awal kesalahan terdapat pada kesalahan
dalam inflation factor rumah tangga pedesaan di NTT yang terlalu besar. Data sampel Susenas menunjukkan
posisi rumah tangga konsumen yang lebih dominan dan lebih masuk akal melihat karakteristik daerah ini.

8
Working Paper 3

xoi = tingkat pendapatan awal dari rumah tangga i


porp = Harga awal untuk menghitung nilai produksi beras di daerah r
porc = Harga awal untuk menghitung nilai konsumsi beras di daerah r
PRir = Nilai produksi beras rumah tangga i sebagai persentase terhadap total
pendapatan atau pengeluaran.
CRir = Nilai konsumsi beras rumah tangga i sebagai persentase terhadap total
pendapatan atau pengeluaran

Sementara itu after response income effect dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:

Dwi2 /xoi = Dporp / porp PRir + ½ (Dporp / porp )2 PRir errs - Dporc / porc CRir -
½ (Dporp / porp )2 CRir errd ………………………. .(2)

dimana: Dwi2 = the second order approximation dalam perubahan tingkat kesejahteraan untuk
rumah tangga i sebagai akibat perubahan harga beras.
err = Elastistas Penawaran
s

errd = Hicksian Elasticity of Demand.

Catatan penting dari formula di atas, jika elastisitas permintaan dan penawaran sama
dengan nol, maka persamaan (2) adalah identik dengan persamaan (1). Jika hal ini terjadi
–da lamk asusda mpa ks e ke
tika–da mpa kk enaika
n1 % ha rgapa di
/be r
ast e
rha dap
pendapatan adalah posisi net benefit ratio dikalikan 1%. Perkiraan ini mengasumsikan
perubahan harga pada tingkat produsen akan secara penuh ditransmisikan dalam
perubahan harga konsumen. Asumsi ini cenderung sangat longgar mengingat pada saat
harga padi meningkat 1%, harga beras cenderung meningkat lebih tinggi dari 1% sementara
sebaliknya pada saat harga padi mengalami penurunan, harga beras menurun kurang dari
proporsional. Tambahan asumsi lain yang penting dalam menghitung dampak jangka
pendek adalah:
Elastisitas penawaran padi terhadap harga: 0,3
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT miskin: - 0,975
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT menengah: - 0,701
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT kaya: - 0,508
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT kota : - 0,504
Elastisitas harga terhadap permintaan beras RT desa : - 0,707

4
Lihat Minot dan Goletti (2000) untuk derivasi lengkap dari formula tersebut. Formula di atas merupakan
pengembangan dari formula yang dikembangkan oleh Deaton (1989).

9
Working Paper 3

Tabel-tabel 16-18 menunjukkan baik dampak seketika maupun dampak jangka pendek
(after response impact) yang hasilnya dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dilihat dari dampak
seketika, seperti diduga semula, penduduk di kota akan mengalami dampak yang lebih
besar dibandingkan penduduk desa, dan penduduk di luar Jawa akan mengalami
penurunan tingkat kesejahteraan lebih besar dibandingkan dengan penduduk di Jawa.
Bahkan penduduk desa di luar Jawa mengalami penurunan tingkat kesejahteraan yang
lebih besar dibandingkan dengan penduduk kota di Jawa yaitu 1,18 persen (Desa luar
Jawa) dan 1,03 (Kota-Jawa). Jika penyesuaian di antara produsen dan konsumen
diperhitungkan, terlihat dampak penurunan pendapatan riil menjadi lebih moderat. Bahkan
di daerah pedesaan Jawa, kenaikan harga beras relatif netral. Kedua, masih berkaitan
dengan dampak seketika, disagregasi menurut propinsi menunjukkan, penduduk di
propinsi-propinsi luar Jawa merupakan kelompok yang dirugikan di atas rata-rata
penurunan tingkat kesejahteraan nasional kecuali beberapa daerah pedesaan Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah yang
mengalami penurunan tingkat kesejahteraan secara moderat. Namun gambaran di atas
menunjukkan hampir semua penduduk secara agregat mengalami penurunan tingkat
pendapatan riil. Gambaran ini sedikit berbeda jika dampak penyesuaian di tingkat produsen
dan konsumen dimana terdapat dua propinsi yang mengalami peningkatan pendapatan
yaitu penduduk di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi selebihnya tetap
mengalami penurunan dalam pendapatan riilnya. Ketiga, Tabel 18 menunjukkan bahwa
kelompok orang miskin dirugikan secara disporposional akibat kenaikan harga beras
terlepas dari lokasi penduduk miskin bertempat tinggal. Penduduk miskin mengalami
penurunan tingkat kesejahteraan lebih dua kali lipat dibandingkan penduduk bukan miskin
yaitu 1,72 % penurunan dalam pendapatan riil untuk kelompok miskin dibandingkan
minus 0,81 % untuk kelompok bukan miskin. Perbandingan ini makin mencolok jika
kita membandingkan antara penurunan pendapatan riil penduduk miskin di daerah
perkotaan luar Jawa dengan penurunan pendapatan riil penduduk bukan miskin di Pulau
Jawa dimana perbandingannya mencapai 18 kali (minus 2,29 % dan minus 0,13%).
Penyesuaian di sisi produsen dan konsumen menyebabkan gambaran ini lebih buruk lagi
dimana penduduk bukan miskin di pedesaan Jawa yang menikmati peningkatan
pendapatan 0,27 persen sebagai akibat peningkatan harga. Keempat, ketiga poin di atas
menunjukkan kenaikan harga beras mempunyai dampak bukan hanya penurunan
pendapatan riil melainkan dampak distribusi pendapatan. Dampak distribusi pendapatan
init e rjadida l
am be ber
a padi me ns iy aituda ripendu du kk ot
ak edesa–y a ngmu ng
kin
diharapkan; dan dua dampak yang tidak diinginkan yaitu dari penduduk luar Jawa kepada
penduduk Jawa dan dari penduduk miskin kepada penduduk bukan miskin. Perhitungan

10
Working Paper 3

ini sekali lagi menunjukkan kebijakan proteksi beras cenderung anti poor walaupun belum
memperhitungkan dampak dinamika dalam pasar tenaga kerja5.

4. Dampak Kenaikan Harga Beras terhadap Indeks Kemiskinan


Bagian terakhir dari bab ini akan melihat tentang dampak kenaikan harga terhadap indeks
kemiskinan. Asumsi yang digunakan sama dengan bagian sebelumnya dimana perubahan
pendapatan riil rumah tangga disimulasikan terhadap garis kemiskinan mula-mula. Dampak
pendapatan riil di sini adalah dengan memperhitungkan penyesuaian pada konsumen
dan produsen.
Hasil perhitungan yang tergambarkan dalam Tabel 19 dan 20 sangat konsisten
dengan temuan-temuan sebelumnya. Secara agregat, setiap kenaikan 10% kenaikan harga
beras akan ditranslasikan dalam kenaikan sekitar 1% proporsi penduduk miskin atau
tambahan sekitar 2 juta penduduk miskin di Indonesia. Disagregasi lebih lanjut memberikan
beberapa temuan yang menarik. Pertama, kenaikan harga beras sebesar 10% akan
menyebabkan kenaikan indeks headcount sebesar 1,15 poin persentase di daerah kota dan
sekitar 0,90 poin persentase di daerah pedesaan. Berbeda dengan besarnya penurunan
pendapatan riil penduduk luar Jawa secara agregat lebih besar dibandingkan penduduk
di Jawa, dampak kenaikan harga beras cenderung akan meningkat kemiskinan yang lebih
besar di Jawa dibandingkan dengan di luar Jawa. Hal ini berlaku baik untuk pedesaan
maupun perkotaan. Disagregasi lebih lanjut menunjukkan hanya 18 daerah kota dan
desa (berdasarkan propinsi) yang peningkatan kemiskinan berada di bawah rata-rata
nasional, sedangkan selebihnya 34 daerah mengalami kenaikan headcount index di atas
rata-rata nasional. Daerah pedesaan Nusa Tenggara Barat merupakan daerah yang
mengalami peningkatan paling tinggi yaitu 2,56 poin persentase, disusul oleh daerah
perkotaan NTT, daerah pedesaan Jambi dan perkotaan Maluku (lihat Gambar 5).
Gambar 6 menunjukkan gambaran yang konsisten dengan temuan sebelumnya dimana
dampak kenaikan harga diukur dengan perubahan indeks kemiskinan akan dirasakan
lebih besar oleh daerah miskin dibandingkan daerah kaya. Gambar ini menambah dimensi
dampak distribusi dimana kenaikan harga beras secara implisit dapat berupa transfer
dari daerah miskin ke daerah kaya.
Dimensi lain dari perubahan harga beras terhadap tingkat kemiskinan terlihat dari
Tabel 19, perbedaan relatif antara daerah kota dan desa jika ukuran kemiskinan digunakan
poverty gap index atau squared poverty index. Yang pertama mengukur tingkat kedalaman

5
Dinamika di pasar tenaga kerja sektor pedesaan dihambat oleh kenyataan bahwa rata-rata pemilikan tanah
sebesar 0,25 hingga 0,30 ha sehingga diperkirakan kenaikan harga tidak ditransmisikan melalui kenaikan
permintaan tenaga kerja dan upah.

11
Working Paper 3

kemiskinan sementara yang kedua mengukur intensitas kemiskinan. Gambar 7


memperjelas dimensi kemiskinan berkaitan dengan ukuran kemiskinan dan perubahan
harga beras. Pertama, dampak kenaikan harga beras cenderung meningkat (dalam
persentase kenaikan indeks) jika ukuran kemiskinan yang lebih ketat digunakan. Artinya
kenaikan harga beras bukan hanya meningkat jumlah orang miskin tetapi makin
memperdalam jurang kemiskinan dan meningkatkan intensitas kemiskinan dalam
persentase kenaikan yang meningkat pula. Translasinya adalah biaya penanggulangan
kemiskinan dengan asumsi perfect targeting akan cenderung meningkat pula dari Rp 9,01
trilyun per tahun menjadi Rp 9,64 trilyun per tahun atau peningkatan sebesar Rp 618
milyar per tahun6
Kedua, dilihat dari dimensi daerah, jika headcount index digunakan terlihat daerah
pedesaan Jawa mengalami peningkatan yang relatif kecil dalam tingkat kemiskinan
walaupun sebagian besar orang miskin berlokasi di daerah pedesaan Jawa. Tetapi
perhatikan, jika indeks intensitas kemiskinan digunakan (squared poverty gap), peningkatan
kemiskinan di daerah pedesaan Jawa meningkat lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan
luar Jawa. Hal ini sekali lagi menunjukkan kelompok miskin di Jawa merupakan kelompok
yang paling terpukul akibat kenaikan harga beras.

5. Kesimpulan
Uraian dalam bagian sebelumnya menunjukkan bahwa berbeda dengan pandangan yang
dipercayai oleh masyarakat, kenaikan harga beras terutama dengan melakukan proteksi
akan memberikan implikasi yang negatif terhadap orang miskin. Dengan kata lain,
kebijakan harga beras yang protektif merupakan kebijakan anti orang miskin. Setiap
10% kenaikan harga beras identik dengan kenaikan 1% penduduk miskin atau dengan
kata lain lebih dari dua juta penduduk Indonesia jatuh miskin akibat kenaikan harga
beras 10%.
Kenaikan harga beras juga mengandung dimensi distribusi yang tidak diinginkan
yaitu:
· Terjadi transfer pendapatan dari penduduk luar Jawa kepada penduduk Jawa
· Terjadi transfer dari penduduk kota kepada penduduk desa
· Tetapi transfer pendapatan tersebut berasal dari penduduk di propinsi miskin
kepada penduduk propinsi kaya atau penduduk miskin kepada penduduk kaya.

6
Cara perhitungan biaya penanggulangan kemiskinan adalah sebagai berikut. Pertama, menghitung poverty
income gap yaitu dengan membagi poverty gap indeks dengan headcount index. Angka ini menunjukkan berapa
jarak antara rata-rata pendapatan kelompok dengan garis kemiskinan. Kedua, kalikan poverty income gap dengan
garis kemiskinan akan menghasilkan nilai moneter dari income gap. Ketiga, kalikan dengan jumlah penduduk
miskin untuk mendapatkan biaya agregat per bulan dan per tahun.

12
Working Paper 3

Kebijakan proteksi beras dengan demikian bukan hanya akan meningkatkan


kemiskinan tetapi juga akan memperburuk distribusi pendapatan yang tercermin pula
peningkatan yang monotonik (monotically increasing) dalam dampaknya terhadap jumlah
orang miskin (terefleksikan dalam headcount index), kedalaman (poverty gap index) dan
intensitas kemiskinan.

13
Working Paper 3

6. Daftar Pustaka

Alatas, Vivi. (2001), A Short Note on Rice Price Policy in Indonesia, Mimeo.

Deaton, Angus. (1997), The Analysis of Household Survey: A Microeconometric Approach to


Development Policy, The World Bank and the John Hopkins University Press,
Baltimore, Maryland, USA.

Ikhsan,. Mohamad. (1998), The Disaggregation of Indonesian Poverty: Policy and


Analysis, an unpublished PhD Thesis, University of Illinois at Urbana-
Champaign, IL, USA.

Mason, Andrew. (1996),Targeting the Poor in Rural Java. IDS Bulletin, Vol.27 (1):67-82

Mellor, John. Food Policy and Income Distribution in low-income countries, Economic
Development and Cultural Change, 27(1):1-26

14
Working Paper 3

Gambar 1:
Distribution of Net Benefit Ratio for Rural Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure for All Indonesia)

.040623

-.017443
.001047 98.9916
xx

Gambar 2:
Distribution of Net Benefit Ratio for Urban Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure for All Indonesia)

-.031005

-.240633
.078513 99.0692
xx

15
Working Paper 3

Gambar 3:
Distribution of Net Benefit Ratio for All Households:
(Y axis: Net Benefit Ratio, X axis: Percentile of Expenditure)

.009468

-.054139
.001047 98.991
xx

Gambar 4:
Seller to Producer Ratio

0.82

0.80

0.78

0.76

0.74
Total
Rural
0.72

0.70

0.68

0.66

0.64
Poor Near Poor Not Poor
16
Working Paper 3

Gambar 5:
Perubahan Indeks Kemiskinan Akibat Kenaikan Harga Beras 10 Persen

3.00

NTB-D
2.50

Jambi-D NTT-K

2.00 Maluku-K
NTB-K
Persentase Point Perubahan

Bengkulu-K
1.50 Aceh-K Jatim-K
Jabar-K
Jateng-K NTT-D Kalsel-K
Bengkulu-DJabar-D Bali-K Kalteng-K
Kalbar-D Sulteng-K
Sumsel-D
Sumsel-K Kaltim-D Sulsel-K
1.00 Sumut-D Jambi-K Yogya-D Kalsel-D Sultra-K Irian Jaya-D
Lampung-K
Aceh-D Lampung-D Jatim-D
Sumut-K Yogya-K Sulut-D
0.50 Jateng-D Sulteng-D
Sultra-D
Kalbar-K Sulut-K
Kaltim-K
Riau-K
Sumbar-D
Riau-D Irian Jaya-K
Sumbar-K Jakarta Bali-D
Sulsel-D
0.00 Kalteng-D
0 10 20 30 40 50 60
Maluku-D
-0.50

Gambar 6:
Perubahan Indeks Headcount Akibat Perubahan Harga Beras
dan Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga
Perubahan HCI

Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga

17
Working Paper 3

Gambar 7:
Persentase Kenaikan Indeks Kemiskinan Akibat Perubahan Harga Beras

16.00

14.00

12.00
Persen Perubahan

10.00
Jawa Kota
Luar Jawa Kota
8.00 Jawa Desa
Luar Jawa Desa
Total
6.00

4.00

2.00

0.00
HCI PGAP SPGAP

Pendapatan Rata-rata Rumah Tangga

Gambar 8:
Perubahan Indeks Jurang Kemiskinan Akibat Kenaikan 10% Harga Beras
Perubahan pov. Gap

Log Pengeluaran RT Rata-rata

18
Working Paper 3

Tabel 1
Poverty Line and Number of Population Below the Poverty Line 1976-2000

Poverty Line Number of Population Percentage of Population


Year (Rp/capita/month) Below the Poverty Line Below the Poverty Line
(million ) (%)
Urban Rural Urban Rural U+R Urban Rural U+R
1976 4,522 2,849 10.0 44.2 54.2 38.8 40.4 40.1
1978 4,969 2,981 8.3 38.9 47.2 30.8 33.4 33.3
1980 6,831 4,449 9.5 32.8 42.3 29.0 28.4 28.6
1981 9,777 5,877 9.3 31.3 40.6 28.1 26.5 26.9
1984 13,731 7,746 9.3 25.7 35.0 23.1 21.2 21.6
1987 17,381 10,294 9.7 20.3 30.0 20.1 16.1 17.4
1990 20,614 13,295 9.4 17.8 27.2 16.8 14.3 15.1
1993 27,905 18,244 8.7 17.2 25.9 13.5 13.8 13.7
1996 38,246 27,413 7.2 15.3 22.5 9.7 12.3 11.3

1996 42,032 31,366 9.6 24.9 34.5 13.6 19.9 17.7


1998 b/ 96,959 72,780 17.6 31.9 49.5 21.9 25.7 24.2
1999 c/ 92,409 74,272 15.7 32.7 48.4 19.5 26.1 23.5

Notes :
a/ Susenas of Februari based on the 1998 standard which is adjusted to account for the shift in consumption
pattern of the respective year.
b/ Based on Susenas of December 1998
c/ Based on Susenas of February (regular) 1999

Source : Central Bureau of Statistic.

19
Working Paper 3

Tabel 2
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Kelompok Lapangan Usaha, 1999

Kontribusi Terhadap Total


DAERAH KELOMPOK LAPANGAN USAHA Head Poverty Squared Head Poverty Squared
Count Gap Pov Gap Count Gap PovGap

KOTA NON PERTANIAN 14.39 2.59 0.74 20.16 19.09 18.68


PERTANIAN 34.64 7.27 2.22 4.74 5.24 5.46
Pertanian Tanaman Pangan 44.28 9.80 3.07 73.62 77.57 79.66
Pertanian Tanaman Lainnya 16.78 2.61 0.60 8.67 6.42 4.88
Peternakan 32.73 8.33 2.86 4.34 5.26 5.93
Jasa Pertanian dan Peternakan 19.20 2.88 0.56 0.63 0.45 0.29
Kehutanan dan Penebangan Kayu 25.17 6.85 2.66 1.35 1.75 2.23
Pembiakan Binatang Laut 28.72 3.99 0.88 2.23 1.48 1.07
Perikanan Laut 22.02 3.64 0.94 7.40 5.83 4.97
Perikanan Darat 23.56 3.49 0.83 1.76 1.24 0.97
TOTAL 16.20 3.01 0.87 24.90 24.33 24.14

DESA NON PERTANIAN 22.03 3.98 1.09 24.58 23.38 21.80


PERTANIAN 31.58 6.22 1.88 50.51 52.28 54.07
Pertanian Tanaman Pangan 36.07 7.19 2.19 76.95 77.93 78.31
Pertanian Tanaman Lainnya 17.36 2.73 0.69 12.40 9.91 8.29
Peternakan 43.78 9.77 3.18 5.05 5.73 6.16
Jasa Pertanian dan Peternakan 13.99 3.19 1.18 0.11 0.13 0.16
Kehutanan dan Penebangan Kayu 39.94 10.60 3.98 2.52 3.41 4.23
Pembiakan Binatang Laut 12.08 3.33 1.38 0.09 0.12 0.17
Perikanan Laut 24.64 4.60 1.24 2.11 2.00 1.78
Perikanan Darat 19.61 3.85 1.37 0.77 0.77 0.90
TOTAL 27.65 5.30 1.55 75.10 75.67 75.86

TOTAL NON PERTANIAN 17.78 3.21 0.89 44.74 42.48 40.48


PERTANIAN 31.82 6.30 1.91 55.26 57.52 59.52
TOTAL 23.51 4.47 1.31 100 100 100
Sumber : Diolah daridari
Sumber : Diolah Susenas
Susenas 99. 99

20
Working Paper 3

Tabel 3
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Status Pekerjaan, 1999
Dekomposisi Indeks Kemiskinan Menurut Status Pekerjaan, 1999
% Kontribusi Terhadap Total
LAPANGAN USAHA/DAERAH STATUS PEKERJAAN Penduduk Head Poverty Squared Head Poverty Squared
Miskin Count Gap Pov Gap Count Gap Pov Gap

PERTANIAN PANGAN/ DESA Bekerja Sendiri 16.49 30.16 5.74 1.67 16.49 15.76 15.04
Dibantu Oleh Pekerja Sementara 57.55 34.99 7.12 2.25 57.55 58.78 61.17
Dibantu Oleh Pekerja Permanen 0.83 23.30 5.22 1.55 0.83 0.93 0.91
Pekerja Swasta 24.17 46.83 9.10 2.58 24.17 23.56 21.97
Pekerja Keluarga 0.96 32.49 6.59 1.88 0.96 0.98 0.92
Total 100 36.07 7.19 2.19 100 100 100

Tabel 4
Dekomposisi Indeks Kemiskinan menurut Tipe Pekerjaan, 1999

% Kontribusi Terhadap Total


LAPANGAN USAHA/DAERAH TIPE PEKERJAAN Penduduk Head Poverty Squared Head Poverty Squared
Miskin Count Gap Pov Gap Count Gap Pov Gap

PERTANIAN PANGAN/ DESA Profesional dan Teknikal 0.08 26.76 5.73 1.42 0.08 0.09 0.07
Juru Tulis 0.04 19.24 2.86 0.50 0.04 0.03 0.02
Pekerja Penjual 0.01 18.99 2.79 0.41 0.01 0.01 0.01
Pekerja Jasa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petani, Pekerja Petani 99.70 36.11 7.20 2.19 99.70 99.78 99.84
Pekerja Produksi dan Oprtr Trpt 0.16 33.32 3.61 0.73 0.16 0.09 0.06
Total 100 36.07 7.19 2.19 100 100 100

21
Working Paper 3

Tabel 5
Dekomposisi Indeks Kemiskinan
menurut Kelompok Lapangan Usaha dan Luas Lahan, 1999

Kelompok NON PERTANIAN PANGAN PERTANIAN PANGAN


DAERAH Luas Lahan Jml Pend Head Poverty Squared Jml Pend Head Poverty Squared
(ha) Miskin Count Gap Pov. Gap Miskin Count Gap Pov. Gap

KOTA 1. 0 99.16 14.75 2.66 0.76 89.30 50.46 11.28 3.57


2. 0<luas<=1 0.63 10.01 1.44 0.33 8.75 23.39 4.44 1.24
3. 1<luas<=2.5 0.15 12.03 2.80 0.77 0.47 9.20 2.92 0.95
4. 2.5<luas<=5 0.06 5.03 1.34 0.47 1.47 24.50 5.70 1.49
luas > 5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total 100.00 14.68 2.64 0.75 100.00 44.28 9.80 3.07

DESA 1. 0 92.58 22.94 4.28 1.21 83.97 40.92 8.40 2.60


2. 0<luas<=1 5.38 13.66 1.95 0.49 13.20 22.91 3.90 1.05
3. 1<luas<=2.5 1.13 17.83 3.64 0.93 2.31 21.76 3.61 0.87
4. 2.5<luas<=5 0.14 8.28 0.84 0.11 0.36 12.33 1.99 0.53
5. Luas > 5 0.77 65.63 3.97 0.24 0.16 18.63 1.85 0.22
Total 100.00 22.12 4.05 1.14 100.00 36.07 7.19 2.19

Sumber : Lihat Tabel 2.

Tabel 6
Indonesia: The Impact of Tax Reduction and Deregulation on Farmers ;
Farm Gate Prices as Percentage of Wholesale Prices in Consuming Area

Proportion of FinalWholesale Trade or


Processing Factory Price received by Farmers
Commodity Province, Kabupaten Before Deregulation After Deregulation Change
(approx. June 1997) (date of interview, eraly 1999)

Fresh tea leaves West Java, Sukabumi 77% 84% 7%


Cocoa beans South Sulawesi, Polmas 88% 97% 9%
South Sulawesi, Bone 84% 81% -3%
Coffee (arabica) South Sulawesi, Polmas 91% 94% 3%
Coffee (robusta) Central Java, Temanggung 95% 98% 3%
Copra North Sulawesi, Minahasa 65% 82% 17%
Coconuts (for oil) North Sulawesi, Minahasa 63% 83% 20%
Cloves North Sulawesi, Minahasa 83% 97% 14%
Shredded Tobacco Central Java, Temanggung 63% 94% 31%
Onions West Nusatenggara, Bima
Destiation Banjarmasin 57% 75% 18%
Candlenuts West Nusatenggara, Bima
Destination Mataram 71% 80% 9%
DestinationBanjarmasin 58% 74% 16%
Fresh fish Yogyakarta, Gunungkidul 86% 80% -6%
North Sulawesi, Gorontalo 60% 80% 20%
Shrimp South Sulawesi, Bone 85% 88% 3%
Milk West Java, Sukabumi 50% 60% 10%
Cattle South Sulawesi, Bone 81% 88% 7%
North Sulawesi, Gorontalo 60% 83% 23%
East Nusatenggara,(1995) 69% n.a n.a
West Nusatenggara,Bima 73% 80% 7%
West Nusatenggara
East Lombok 86% 89% 3%

Source : Persepsi Daerah Report, IBRD TA and ASEM Trust Fund, 1999.

22
Tabel 7
Perbandingan Sistem Pemasaran
Untuk Beberapa Komoditi Dalam Era Tata Niaga di Indonesia

23
Working Paper 3

Sumber : Diolah dari berbagai sumber.


Working Paper 3

Tabel 8
Perbandingan Pangsa Harga yang Diterima Petani dengan Harga Ekspor

Komoditas Propinsi Tahun Pangsa Derajat Ketidaksempurnaan


Petani (%) Pasar/ Intervensi Pemerintah
Biji Coklat Sulsel 1995 89 Sangat Rendah
Biji Kopi Robusta Sulsel 1995 92 Rendah-Medium
Kacang Mete Sulsel 1995 78 Sangat Rendah
Biji Kopi Arabika Sulsel 1995 77 Rendah-Medium
Gaplek Lampung 1988 18 Tinggi
Gaplek Jatim 1988 53 Medium
Gula Indonesia 1993 47 Sangat Tinggi
Kopra Sulteng 1995 73 Medium

Sumber : Diolah dari Akiyama dan Nishio (1995).

Tabel 9
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras berdasarkan Desa-Kota

Jumlah Rumah Tangga Persentase Terhadap Total


Daerah Zero Net Net Zero Net Net
Total
Position Producer Consumer Position Producer Consumer

Kota Jawa 0 794056 12837677 13631733 0.0 5.8 94.2


Bukan Jawa 0 258116 5651755 5909871 0.0 4.4 95.6
Desa Jawa 3338 7686118 9117435 16806891 0.0 45.7 54.2
Bukan Jawa 717 6020490 8611367 14632574 0.0 41.1 58.9
Total 4055 14758780 36218234 50981069 0.0 28.9 71.0

24
Working Paper 3

Tabel 10
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras berdasarkan Propinsi

Jumlah Rumah Tangga Persentase Terhadap Total


Daerah Zero Net Net Zero Net Net
Total
Position Producer Consumer Position Producer Consumer
Aceh Kota 0 6109 182912 189021 0.0 3.2 96.8
Desa 0 347144 356288 703432 0.0 49.4 50.6
Sumut Kota 0 54967 1077881 1132848 0.0 4.9 95.1
Desa 0 706833 784055 1490888 0.0 47.4 52.6
Sumbar Kota 0 20682 292681 313363 0.0 6.6 93.4
Desa 0 427617 358486 786103 0.0 54.4 45.6
Riau Kota 0 4880 359089 363969 0.0 1.3 98.7
Desa 717 70276 549971 620964 0.1 11.3 88.6
Jambi Kota 0 1972 191374 193346 0.0 1.0 99.0
Desa 0 83679 334721 418400 0.0 20.0 80.0
Sumsel Kota 0 5424 541609 547033 0.0 1.0 99.0
Desa 0 434893 779350 1214243 0.0 35.8 64.2
Bengkulu Kota 0 4381 122654 127035 0.0 3.4 96.6
Desa 0 80137 175701 255838 0.0 31.3 68.7
Lampung Kota 0 16045 249662 265707 0.0 6.0 94.0
Desa 0 667577 703006 1370583 0.0 48.7 51.3
Jakarta Kota 0 0 2171689 2171689 0.0 0.0 100.0
Jabar Kota 0 202963 4862435 5065398 0.0 4.0 96.0
Desa 2274 22985528 3340966 26328768 0.0 87.3 12.7
Jateng Kota 0 238438 2428682 2667120 0.0 8.9 91.1
Desa 1064 2458470 2407361 4866895 0.0 50.5 49.5
DI Yogyakarta Kota 0 97208 383331 480539 0.0 20.2 79.8
Desa 0 140942 136002 276944 0.0 50.9 49.1
Jatim Kota 0 255447 2991540 3246987 0.0 7.9 92.1
Desa 0 2788178 3233106 6021284 0.0 46.3 53.7
Bali Kota 0 27988 295184 323172 0.0 8.7 91.3
Desa 0 149427 282436 431863 0.0 34.6 65.4
NTB Kota 0 18882 160880 179762 0.0 10.5 89.5
Desa 0 300872 470763 771635 0.0 39.0 61.0
NTT Kota 0 21164 154572 175736 0.0 12.0 88.0
Desa 0 979749 650880 1630629 0.0 60.1 39.9
Kalbar Kota 0 2402 194852 197254 0.0 1.2 98.8
Desa 0 331179 343466 674645 0.0 49.1 50.9
Kalteng Kota 0 480 115039 115519 0.0 0.4 99.6
Desa 0 101369 230625 331994 0.0 30.5 69.5
Kalsel Kota 0 5353 229231 234584 0.0 2.3 97.7
Desa 0 206402 345689 552091 0.0 37.4 62.6
Kaltim Kota 0 6134 320878 327012 0.0 1.9 98.1
Desa 0 81982 221088 303070 0.0 27.1 72.9
Sulut Kota 0 8918 199208 208126 0.0 4.3 95.7
Desa 0 181713 307976 489689 0.0 37.1 62.9
Sulteng Kota 0 1084 128291 129375 0.0 0.8 99.2
Desa 0 108470 262539 371009 0.0 29.2 70.8
Sulsel Kota 0 49329 474580 523909 0.0 9.4 90.6
Desa 0 598850 661377 1260227 0.0 47.5 52.5
Sultra Kota 0 783 95168 95951 0.0 0.8 99.2
Desa 0 87558 183278 270836 0.0 32.3 67.7
Maluku Kota 0 550 134133 134683 0.0 0.4 99.6
Desa 0 36725 311107 347832 0.0 10.6 89.4
Irian Jaya Kota 0 589 131877 132466 0.0 0.4 99.6
Desa 0 38038 298565 336603 0.0 11.3 88.7

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

25
Working Paper 3

Tabel 11
Posisi Rumah Tangga terhadap Padi/Beras
berdasarkan Status Kemiskinan dan Daerah
Jumlah Rumah Tangga Persentase Terhadap Total
Daerah/Kategori Zero Net Net Zero Net Net
Total
Position Producer Consumer Position Producer Consumer
Kota Jawa Miskin 0 285738 2719550 3005288 0.0 9.5 90.5
Hampir Miskin 0 172110 2053900 2226010 0.0 7.7 92.3
Bukan Miskin 0 336208 8064227 8400435 0.0 4.0 96.0
Bukan Jawa Miskin 0 62849 587875 650724 0.0 9.7 90.3
Hampir Miskin 0 36389 768907 805296 0.0 4.5 95.5
Bukan Miskin 0 158878 4294973 4453851 0.0 3.6 96.4
Desa Jawa Miskin 0 2742936 3232745 5975681 0.0 45.9 54.1
Hampir Miskin 1137 1982919 2107944 4092000 0.0 48.5 51.5
Bukan Miskin 2201 2960263 3776746 6739210 0.0 43.9 56.0
Bukan Jawa Miskin 0 1512031 1644286 3156317 0.0 47.9 52.1
Hampir Miskin 0 1135091 1327372 2462463 0.0 46.1 53.9
Bukan Miskin 717 3373368 5639709 9013794 0.0 37.4 62.6

Kota Jawa+Bukan Jawa Miskin 0 348587 3307425 3656012 0.0 9.5 90.5
Hampir Miskin 0 208499 2822807 3031306 0.0 6.9 93.1
Bukan Miskin 0 495086 12359200 12854286 0.0 3.9 96.1
Desa Miskin 0 4254967 4877031 9131998 0.0 46.6 53.4
Hampir Miskin 1137 3118010 3435316 6554463 0.0 47.6 52.4
Bukan Miskin 2918 6333631 9416455 15753004 0.0 40.2 59.8
Kota+Desa Jawa+Bukan Jawa Miskin 0 4603554 8184456 12788010 0.0 36.0 64.0
Hampir Miskin 1137 3326509 6258123 9585769 0.0 34.7 65.3
Bukan Miskin 2918 6828717 21775655 28607290 0.0 23.9 76.1

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

Tabel 12
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan Desa-Kota

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Persentase Persentase


Net Benefit
Pengeluaran Nilai Nilai Konsumsi Produksi
Ratio
Daerah Rumah Tangga Konsumsi Produksi Beras Beras
(dalam
per Bulan Beras/RT Beras/RT terhadap dari
persen)
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) Pengeluaran Pengeluaran

Kota Jawa 745226 87334 10207 11.72 1.37 -10.35


Luar Jawa 765349 104439 7988 13.65 1.04 -12.60

Desa Jawa 403901 86067 64248 21.31 15.91 -5.40


Luar Jawa 487832 114465 56845 23.46 11.65 -11.81

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

26
Working Paper 3

Tabel 13
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan Propinsi

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Persentase Net


Persentase
Pengeluaran Nilai Nilai Konsumsi Benefit
Produksi
Daerah Rumah Tangga Konsumsi Produksi Beras Ratio
Beras dari
per Bulan Beras/RT Beras/RT terhadap (dalam
Pengeluaran
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) Pengeluaran persen)
Aceh Kota 745111 105007 6096 14.09 0.82 -13.27
Desa 499642 118923 60935 23.80 12.20 -11.61
Sumut Kota 763672 113201 12874 14.82 1.69 -13.14
Desa 520236 133717 91708 25.70 17.63 -8.07
Sumbar Kota 788067 96412 10314 12.23 1.3 -10.93
Desa 645656 119518 79003 18.51 12.2 -6.28
Riau Kota 841631 102319 1064 12.16 0.1 -12.03
Desa 612154 117705 14731 19.23 2.4 -16.82
Jambi Kota 672427 95825 510 14.25 0.1 -14.17
Desa 463077 113878 18532 24.59 4.0 -20.59
Sumsel Kota 702281 98983 1432 14.09 0.2 -13.89
Desa 503855 116366 57796 23.10 11.5 -11.62
Bengkulu Kota 728861 92474 3925 12.69 0.5 -12.15
Desa 500883 114518 31470 22.86 6.3 -16.58
Lampung Kota 734763 101523 10983 13.82 1.5 -12.32
Desa 449963 105525 66704 23.45 14.8 -8.63
Jakarta Kota 1283657 88393 0 6.89 0.0 -6.89
Jabar Kota 696621 98086 7068 14.08 1.0 -13.07
Desa 440289 105085 64752 23.87 14.7 -9.16
Jateng Kota 590712 79854 17765 13.52 3.0 -10.51
Desa 397639 77918 63577 19.60 16.0 -3.61
DI Yogyakarta Kota 614082 66999 18501 10.91 3.0 -7.90
Desa 424640 65981 35615 15.54 8.4 -7.15
Jatim Kota 607259 79007 14495 13.01 2.4 -10.62
Desa 373914 75759 65635 20.26 17.6 -2.71
Bali Kota 831055 108827 17268 13.10 2.1 -11.02
Desa 607747 122743 45326 20.20 7.5 -12.74
NTB Kota 594727 102968 13372 17.31 2.2 -15.07
Desa 401046 115167 49358 28.72 12.3 -16.41
NTT Kota 685705 141415 18780 20.62 2.7 -17.88
Desa 352902 111254 43156 31.53 12.2 -19.30
Kalbar Kota 975175 110678 1174 11.35 0.1 -11.23
Desa 498404 150257 57181 30.15 11.5 -18.67
Kalteng Kota 892609 119554 247 13.39 0.0 -13.37
Desa 559413 143306 48366 25.62 8.6 -16.97
Kalsel Kota 737925 95972 2064 13.01 0.3 -12.73
Desa 461003 105711 39812 22.93 8.6 -14.29
Kaltim Kota 829502 86469 2327 10.42 0.3 -10.14
Desa 555201 106666 33715 19.21 6.1 -13.14
Sulut Kota 700585 107043 5812 15.28 0.8 -14.45
Desa 453088 100481 68748 22.18 15.2 -7.00
Sulteng Kota 745337 98887 545 13.27 0.1 -13.19
Desa 485549 106131 79709 21.86 16.4 -5.44
Sulsel Kota 761631 101970 17458 13.39 2.3 -11.10
Desa 527510 106469 71809 20.18 13.6 -6.57
Sultra Kota 716746 109361 1547 15.26 0.2 -15.04
Desa 462818 113350 59107 24.49 12.8 -11.72
Maluku Kota 740562 99454 277 13.43 0.0 -13.39
Desa 463029 72993 37119 15.76 8.0 -7.75
Irian Jaya Kota 877724 97671 1144 11.13 0.1 -11.00
Desa 379522 60096 17908 15.83 4.7 -11.12

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.


27
Working Paper 3

Tabel 14
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras
berdasarkan Keluarga Miskin dan Bukan Miskin

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Persentase Net


Persentase
Pengeluaran Nilai Nilai Konsumsi Benefit
Produksi
Daerah/Kategori Rumah Tangga Konsumsi Produksi Beras Ratio
Beras dari
per Bulan Beras/RT Beras/RT terhadap (dalam
Pengeluaran
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) Pengeluaran persen)

Kota Jawa Miskin 305200 75922 11006 24.88 3.61 -21.27


Hampir Miskin 450322 86182 11740 19.14 2.61 -16.53
Bukan Miskin 980793 91722 9515 9.35 0.97 -8.38
Luar Jawa Miskin 344390 89254 10290 25.92 3.0 -22.93
Hampir Miskin 458513 99505 7761 21.70 1.7 -20.01
Bukan Miskin 882331 107550 7693 12.19 0.9 -11.32
Desa Jawa Miskin 258855 78685 43262 30.40 16.7 -13.68
Hampir Miskin 359704 89464 63687 24.87 17.7 -7.17
Bukan Miskin 559350 90551 83197 16.19 14.9 -1.31
Luar Jawa Miskin 294901 99996 47511 33.91 16.1 -17.80
Hampir Miskin 377827 113872 56849 30.14 15.0 -15.09
Bukan Miskin 585442 119694 60113 20.45 10.3 -10.18

Kota Jawa+Luar Jawa Miskin 312176 78295 10879 25.08 3.5 -21.60
Hampir Miskin 452498 89721 10683 19.83 2.4 -17.47
Bukan Miskin 946677 97207 8884 10.27 0.9 -9.33
Desa Miskin 271314 86051 44730 31.72 16.5 -15.23
Hampir Miskin 366512 98634 61118 26.91 16.7 -10.24
Bukan Miskin 574280 107227 69988 18.67 12.2 -6.48
Kota+Desa Jawa+Luar Jawa Miskin 282996 83833 35052 29.62 12.4 -17.24
Hampir Miskin 393704 95815 45169 24.34 11.5 -12.86
Bukan Miskin 741611 102724 42532 13.85 5.7 -8.12

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

28
Working Paper 3

Tabel 15
Net Benefit Ratio dan Penyesuaian Harga Beras berdasarkan
Lapangan Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga

Rata-rata Rata-rata Rata-rata Persentase Net


Persentase
Pengeluaran Nilai Nilai Konsumsi Benefit
Produksi
Sektor Rumah Tangga Konsumsi Produksi Beras Ratio
Beras dari
per Bulan Beras/RT Beras/RT terhadap (dalam
Pengeluaran
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) Pengeluaran persen)

Pertanian 422684 102721 75148 24.30 17.78 -6.52


Pangan 393045 98503 96533 25.06 24.56 -0.50
Pertambangan 627318 104526 16680 16.66 2.66 -14.00
Manufaktur 592491 90768 13016 15.32 2.2 -13.12
Listrik, Gas dan Air Minum 824218 91459 9934 11.10 1.2 -9.89
Bangunan 573436 98261 18324 17.14 3.2 -13.94
Perdagangan, Hotel dan Restoran 670044 95264 16439 14.22 2.5 -11.76
Transportasi 615242 96605 12282 15.70 2.0 -13.71
Bank dan Lembaga Keuangan 1007872 87916 6443 8.72 0.6 -8.08
Jasa Lainnya 752887 96713 15899 12.85 2.1 -10.73

Sumber : Diolah dari Susenas 1999.

Tabel 16
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10% Desa - Kota

Percentage Change in Real Income


Daerah
Immediate Impact Short Run Impact

Kota Jawa -1.03 -0.63


Bukan Jawa -1.26 -0.86

Desa Jawa -0.54 -0.04


Bukan Jawa -1.18 -0.68

29
Working Paper 3

Tabel 17
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10%

Immediate Impact Short Run Impact


Daerah
Percentage Change in Real Income
Aceh Kota -1.33 -0.93
Desa -1.16 -0.66
Sum ut Kota -1.31 -0.91
Desa -0.81 -0.30
Sum bar Kota -1.09 -0.69
Desa -0.63 -0.12
Riau Kota -1.20 -0.80
Desa -1.68 -1.18
Jam bi Kota -1.42 -1.02
Desa -2.06 -1.56
Sum sel Kota -1.39 -0.99
Desa -1.16 -0.66
Bengkulu Kota -1.21 -0.81
Desa -1.66 -1.15
Lam pung Kota -1.23 -0.83
Desa -0.86 -0.36
Jakarta Kota -0.69 -0.29
Jabar Kota -1.31 -0.90
Desa -0.92 -0.41
Jateng Kota -1.05 -0.65
Desa -0.36 0.14
DI Yogyakarta Kota -0.79 -0.39
Desa -0.72 -0.21
Jatim Kota -1.06 -0.66
Desa -0.27 0.23
Bali Kota -1.10 -0.70
Desa -1.27 -0.77
NTB Kota -1.51 -1.10
Desa -1.64 -1.14
NTT Kota -1.79 -1.39
Desa -1.93 -1.43
Kalbar Kota -1.12 -0.72
Desa -1.87 -1.36
Kalteng Kota -1.34 -0.93
Desa -1.70 -1.19
Kalsel Kota -1.27 -0.87
Desa -1.43 -0.93
Kaltim Kota -1.01 -0.61
Desa -1.31 -0.81
Sulut Kota -1.44 -1.04
Desa -0.70 -0.20
Sulteng Kota -1.32 -0.92
Desa -0.54 -0.04
Sulsel Kota -1.11 -0.71
Desa -0.66 -0.15
Sultra Kota -1.50 -1.10
Desa -1.17 -0.67
Maluku Kota -1.34 -0.94
Desa -0.77 -0.27
Irian Jaya Kota -1.10 -0.70
Desa -1.11 -0.61
Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

30
Working Paper 3

Tabel 18
Dampak Seketika dan Jangka Pendek
Sebagai Akibat Kenaikan Harga Beras 10% Daerah - Kategori

Immediate Impact Short Run Impact


Daerah/Kategori
Percentage Change in Real Income

Kota Jawa Miskin -2.13 -1.49


Hampir Miskin -1.65 -1.13
Bukan Miskin -0.84 -0.44
Bukan Jawa Miskin -2.29 -1.66
Hampir Miskin -2.00 -1.48
Bukan Miskin -1.13 -0.73
Desa Jawa Miskin -1.37 -0.73
Hampir Miskin -0.72 -0.19
Bukan Miskin -0.13 0.27
Bukan Jawa Miskin -1.78 -1.14
Hampir Miskin -1.51 -0.99
Bukan Miskin -1.02 -0.62

Kota Jawa+Bukan Jawa Miskin -2.16 -1.52


Hampir Miskin -1.75 -1.22
Bukan Miskin -0.93 -0.53
Desa Miskin -1.52 -0.89
Hampir Miskin -1.02 -0.50
Bukan Miskin -0.65 -0.25
Kota+Desa Jawa+Bukan Jawa Miskin -1.72 -1.09
Hampir Miskin -1.29 -0.76
Bukan Miskin -0.81 -0.41

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

Tabel 19
Dampak Kenaikan Harga Beras Sebesar 10% terhadap Indeks Kemiskinan
berdasarkan Desa-Kota, Jawa dan Luar Jawa

Sebelum Penyesuaian Sesudah Penyesuaian Poin Persentase Perubahan


Daerah Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap
Index Index Index Index Index Index Index Index Index

Kota Total 18.19 3.48 1.02 19.34 3.79 1.13 1.15 0.31 0.11
Jawa 21.75 4.32 1.30 22.99 4.68 1.44 1.24 0.36 0.14
Luar Jawa 10.64 1.69 0.43 11.58 1.89 0.49 0.94 0.20 0.06

Desa Total 27.86 5.34 1.54 28.76 5.65 1.67 0.90 0.31 0.13
Jawa 35.54 6.81 1.92 36.46 7.18 2.08 0.92 0.37 0.16
Luar Jawa 19.25 3.69 1.12 20.14 3.94 1.21 0.89 0.25 0.09

Total 24.08 4.61 1.34 25.08 4.92 1.46 1.00 0.31 0.12

Sumber : Lihat Tabel 2.

31
Working Paper 3

Tabel 20
Dampak Kenaikan Harga Beras Sebesar 10%
terhadap Indeks Kemiskinan
berdasarkan Propinsi dan Desa-Kota

Sebelum Penyesuaian Sesudah Penyesuaian Point Persentase Perubahan


Daerah Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap Headcount Pov. Gap Sq.of.PovGap
Index Index Index Index Index Index Index Index Index
Aceh Kota 3.23 0.33 0.05 4.74 0.42 0.07 1.51 0.09 0.02
Desa 12.23 1.73 0.37 13.10 1.82 0.40 0.87 0.09 0.03
Sumut Kota 5.92 0.61 0.10 6.58 0.74 0.12 0.66 0.13 0.02
Desa 15.54 2.26 0.57 16.58 2.48 0.63 1.04 0.22 0.06
Sumbar Kota 6.80 0.70 0.11 7.00 0.80 0.13 0.20 0.10 0.02
Desa 3.79 0.34 0.07 4.04 0.42 0.08 0.25 0.08 0.01
Riau Kota 1.61 0.15 0.03 1.88 0.20 0.04 0.27 0.05 0.01
Desa 2.19 0.41 0.11 2.42 0.46 0.13 0.23 0.05 0.02
Jambi Kota 11.63 1.49 0.30 12.65 1.69 0.35 1.02 0.20 0.05
Desa 16.98 2.33 0.46 19.21 2.71 0.56 2.23 0.38 0.10
Sumsel Kota 13.17 2.15 0.55 14.31 2.42 0.64 1.14 0.27 0.09
Desa 9.98 1.19 0.23 11.17 1.39 0.29 1.19 0.20 0.06
Bengkulu Kota 9.74 1.37 0.30 11.36 1.55 0.35 1.62 0.18 0.05
Desa 9.44 1.02 0.15 10.84 1.25 0.19 1.40 0.23 0.04
Lampung Kota 13.83 1.77 0.38 14.77 2.03 0.45 0.94 0.26 0.07
Desa 17.62 2.83 0.71 18.40 2.96 0.75 0.78 0.13 0.04
Jakarta Kota 3.20 0.42 0.10 3.47 0.46 0.11 0.27 0.04 0.01
Jabar Kota 20.92 4.24 1.32 22.40 4.65 1.48 1.48 0.41 0.16
Desa 32.56 6.02 1.66 33.95 6.51 1.86 1.39 0.49 0.20
Jateng Kota 32.84 6.60 1.94 34.28 7.08 2.12 1.44 0.48 0.18
Desa 36.93 6.78 1.84 37.48 7.03 1.95 0.55 0.25 0.11
DI Yogyakarta Kota 20.46 3.79 1.01 21.14 4.02 1.09 0.68 0.23 0.08
Desa 34.76 6.71 1.83 35.81 7.03 1.96 1.05 0.32 0.13
Jatim Kota 27.77 5.54 1.66 29.32 5.96 1.83 1.55 0.42 0.17
Desa 37.29 7.60 2.25 38.06 7.98 2.42 0.77 0.38 0.17
Bali Kota 9.20 1.41 0.33 10.55 1.63 0.40 1.35 0.22 0.07
Desa 5.84 0.82 0.19 6.11 0.93 0.22 0.27 0.11 0.03
NTB Kota 26.63 5.90 1.97 28.55 6.46 2.19 1.92 0.56 0.22
Desa 28.68 4.75 1.17 31.24 5.47 1.42 2.56 0.72 0.25
NTT Kota 42.04 9.81 3.22 44.29 10.53 3.52 2.25 0.72 0.30
Desa 59.83 15.52 5.40 61.27 16.43 5.84 1.44 0.91 0.44
Kalbar Kota 3.45 0.43 0.10 3.85 0.50 0.12 0.40 0.07 0.02
Desa 15.51 2.33 0.51 16.75 2.68 0.63 1.24 0.30 0.12
Kalteng Kota 9.15 1.43 0.40 10.40 1.63 0.46 1.25 0.20 0.06
Desa 5.33 0.91 0.22 5.33 0.92 0.22 0.00 0.01 0.00
Kalsel Kota 14.63 2.21 0.51 16.11 2.46 0.58 1.48 0.25 0.07
Desa 17.98 2.88 0.68 19.00 3.17 0.78 1.02 0.29 0.10
Kaltim Kota 10.21 1.67 0.42 10.62 1.79 0.46 0.41 0.12 0.04
Desa 11.97 1.82 0.47 13.11 2.03 0.52 1.14 0.21 0.05
Sulut Kota 11.56 1.86 0.47 11.99 2.08 0.54 0.43 0.22 0.07
Desa 12.44 2.30 0.68 13.12 2.34 0.69 0.68 0.04 0.01
Sulteng Kota 14.47 2.62 0.78 15.72 2.92 0.90 1.25 0.30 0.12
Desa 23.42 4.82 1.59 23.92 5.24 1.76 0.50 0.42 0.17
Sulsel Kota 15.91 2.69 0.67 17.10 2.96 0.75 1.19 0.27 0.08
Desa 19.15 3.09 0.78 19.22 3.23 0.83 0.07 0.14 0.05
Sultra Kota 9.80 1.62 0.38 10.82 1.84 0.45 1.02 0.22 0.07
Desa 35.68 7.17 2.18 36.18 7.36 2.25 0.50 0.19 0.07
Maluku Kota 19.59 3.12 0.76 21.63 3.41 0.84 2.04 0.29 0.08
Desa 47.83 11.06 3.48 47.52 11.21 3.54 -0.31 0.15 0.06
Irian Jaya Kota 6.22 0.99 0.24 6.44 1.08 0.27 0.22 0.09 0.03
Desa 60.96 18.87 8.54 61.99 19.38 8.79 1.03 0.51 0.25

Sumber : Perhitungan Penulis Berdasarkan Susenas 1999.

32

Anda mungkin juga menyukai